Cerpen
Disukai
1
Dilihat
2,617
Sebatang kara
Slice of Life



Di sudut kota yang penuh hiruk-pikuk, ada seorang anak kecil bernama Dimas. Ia berusia sepuluh tahun, tetapi hidup telah mengajarkan lebih banyak kepahitan daripada tawa. Sejak usia lima tahun, Dimas menjadi sebatang kara. Kedua orang tuanya tewas dalam sebuah kecelakaan tragis, meninggalkannya tanpa sanak keluarga, tanpa tempat untuk berpulang.


Setelah kejadian itu, Dimas sempat tinggal di panti asuhan, tetapi hidup di sana tak semudah yang ia bayangkan. Kekurangan makanan, perlakuan kasar dari beberapa pengasuh, dan seringnya ia menjadi sasaran ejekan membuat Dimas memutuskan untuk pergi. Di usianya yang masih sangat muda, ia memilih hidup di jalanan, meski ia tahu tak ada tempat yang benar-benar aman.


Hari-harinya kini dihabiskan sebagai pemulung. Dimas mengais-ngais tempat sampah di berbagai sudut kota untuk mencari barang bekas yang bisa dijual. Plastik, kardus, kaleng bekas—semua ia kumpulkan dalam karung lusuh yang lebih besar dari tubuhnya sendiri. Setiap langkahnya diiringi dengan suara gemerisik dari karung yang ia seret di trotoar.


Pagi yang Berat


Pagi itu, Dimas duduk di depan sebuah warung kecil yang sudah tutup. Perutnya keroncongan, tetapi ia tak punya apa-apa untuk dimakan. Ia hanya bisa meneguk air dari botol plastik bekas yang ia temukan sehari sebelumnya. Pandangannya menyapu jalanan, berharap ada sesuatu yang bisa ia ambil dan jual.


"Dik, ngapain di situ?" suara seorang pria paruh baya mengagetkan Dimas.


Pria itu adalah Pak Jono, seorang pedagang sayur keliling yang sering melihat Dimas berkeliaran di sekitar jalan itu. Pak Jono tahu Dimas adalah anak jalanan, tetapi ia tak pernah bertanya banyak.


"Enggak apa-apa, Pak. Saya lagi istirahat," jawab Dimas sambil tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan rasa laparnya.


Pak Jono mengeluarkan sebungkus nasi bungkus dari gerobaknya. "Nih, makan dulu. Masih ada rejeki lebih hari ini."


Dimas menerima nasi bungkus itu dengan tangan gemetar. "Terima kasih, Pak," ucapnya tulus. Ia melahap makanan itu dengan lahap, seolah-olah itu adalah makanan terenak yang pernah ia makan.


Perjuangan di Tengah Panas


Setelah makan, Dimas kembali melanjutkan pekerjaannya. Di bawah terik matahari, ia berjalan dari gang ke gang, memungut barang-barang yang bisa didaur ulang. Beberapa kali ia harus berebut dengan pemulung lain yang lebih tua. Meski sering kalah, Dimas tidak pernah menyerah.


Sore itu, ia menemukan sebuah tas kecil di tempat sampah. Dengan hati-hati, ia membukanya. Di dalamnya ada selembar uang sepuluh ribu yang sudah kotor dan basah. Mata Dimas berbinar. Bagi orang lain, sepuluh ribu mungkin tak berarti banyak, tetapi bagi Dimas, itu cukup untuk membeli nasi bungkus dan air minum untuk dua hari.


Namun, kegembiraannya tak berlangsung lama. Seorang pria bertubuh besar yang juga seorang pemulung mendekatinya.


"Hei, bocah! Itu tas gua! Balikin!" bentak pria itu.


"Tapi... saya nemu di tempat sampah," jawab Dimas gemetar.


"Enggak peduli! Balikin sekarang atau gua kasih pelajaran!" ancam pria itu sambil mengacungkan tinjunya.


Dimas, yang terlalu kecil untuk melawan, hanya bisa menyerahkan tas itu. Pria tersebut pergi sambil tertawa, meninggalkan Dimas yang terduduk lemas. Sepuluh ribu itu lenyap begitu saja, bersama dengan harapan kecilnya untuk makan dengan tenang malam itu.


Pertemuan Tak Terduga


Malamnya, Dimas duduk di bawah jembatan tempat ia biasa tidur. Angin malam yang dingin menusuk kulitnya. Ia meringkuk di balik jaket tipis yang sudah penuh tambalan.


Tiba-tiba, seorang wanita muda lewat. Wanita itu membawa beberapa kantong plastik berisi makanan. Ia berhenti ketika melihat Dimas.


"Kamu tinggal di sini?" tanyanya lembut.


Dimas mengangguk pelan.


Wanita itu, yang bernama Ratna, merasa iba. Ia adalah seorang sukarelawan yang sering membantu anak jalanan. Tanpa ragu, ia memberikan satu kantong makanan kepada Dimas. "Ini untukmu. Jangan takut, makan saja."


Dimas menerima makanan itu dengan penuh rasa syukur. "Terima kasih, Kak."


Ratna duduk di samping Dimas dan mulai berbicara. Ia bertanya tentang kehidupan Dimas, keluarganya, dan impiannya. Meski awalnya ragu, Dimas akhirnya menceritakan semuanya.


"Aku cuma ingin punya tempat tinggal, Kak. Tempat yang aman. Dan mungkin sekolah lagi," katanya lirih.


Ratna terdiam sejenak. Hatinya tergerak mendengar keinginan sederhana itu. Keesokan harinya, ia kembali menemui Dimas. Kali ini, ia membawa kabar baik. "Dimas, aku sudah bicara dengan temanku. Ada sebuah rumah singgah yang bisa menampung kamu. Di sana, kamu bisa makan, tidur, dan kalau mau, kamu bisa sekolah lagi."


Mata Dimas membelalak. "Beneran, Kak? Aku bisa sekolah lagi?"


Ratna mengangguk sambil tersenyum. "Iya, tapi kamu harus janji akan berusaha keras, ya."


Tanpa ragu, Dimas mengangguk. Ia merasa harapan yang sudah lama hilang kini kembali menyala.


*


Di rumah singgah, Dimas mulai belajar menyesuaikan diri. Ia bertemu dengan anak-anak lain yang juga memiliki latar belakang serupa. Meski awalnya sulit, Dimas mulai merasa nyaman. Ia kembali belajar membaca dan menulis, sesuatu yang sudah hampir ia lupakan.


Setiap pagi sebelum sekolah, ia masih membantu memulung untuk mengumpulkan uang. Namun, kali ini ia melakukannya dengan senyum, karena ia tahu masa depannya tak lagi sekelam dulu.


Dimas tak lagi merasa sebatang kara. Ia tahu, meski hidup tak mudah, ia masih punya harapan dan orang-orang baik yang membantunya. Dan ia berjanji, suatu hari nanti, ia akan membantu anak-anak lain yang bernasib sama seperti dirinya.



*


Di rumah singgah, meskipun suasananya jauh lebih baik dibandingkan kehidupan di jalanan, Dimas tetap menghadapi tantangan baru. Tidak semua anak di sana ramah, dan beberapa bahkan merasa iri dengan perhatian yang diberikan kepadanya.


Suatu siang, saat Dimas sedang membereskan buku-buku sekolah yang baru diberikan oleh pengurus rumah singgah, seorang anak bernama Bima, yang lebih tua dan dikenal sering mencari masalah, menghampirinya.


"Eh, anak baru, sok banget lu! Baru juga datang, udah dikasih buku segala," ejek Bima sambil menendang tas Dimas.


Dimas bangkit, menahan amarahnya. "Aku cuma mau belajar. Bukunya juga dikasih sama Kak Ratna, bukan aku yang minta."


Bima mendengus. "Belajar? Anak jalanan kayak kita ini enggak akan jadi apa-apa. Percuma aja lu sok pinter!"


Dimas menggenggam tangannya erat, mencoba menahan diri. "Kalau kamu enggak mau belajar, itu urusan kamu. Tapi aku enggak mau terus hidup seperti dulu."


Mendengar itu, Bima semakin tersulut emosi. Ia mendorong Dimas hingga terjatuh. "Jangan belagu, ya! Di sini, semua sama. Jangan merasa paling hebat!"


Anak-anak lain yang melihat kejadian itu mulai berkumpul. Beberapa mencoba melerai, tetapi Bima terus mendekati Dimas.


"Kamu pikir aku enggak mau sekolah? Aku juga mau, tapi enggak semua orang dapat kesempatan kayak kamu!" seru Bima dengan nada tinggi.


Dimas, yang masih terduduk, menatap Bima dengan sorot mata penuh pemahaman. "Kalau kamu mau, kita bisa belajar bareng. Aku enggak mau sombong. Aku cuma mau kita semua punya masa depan yang lebih baik."


Kata-kata itu membuat Bima terdiam sejenak. Namun, ia hanya menggerutu dan pergi meninggalkan kerumunan.


**


Malam harinya, Kak Ratna memanggil Dimas ke ruang tamu rumah singgah.


"Dimas, aku dengar kamu tadi berantem sama Bima. Itu benar?" tanyanya dengan nada tegas.


Dimas menunduk. "Iya, Kak, tapi aku enggak mulai duluan. Bima yang dorong aku duluan."


Kak Ratna menghela napas. "Aku tahu Bima memang sulit. Tapi kamu juga harus belajar untuk mengendalikan diri. Kalau kamu terus-terusan menghadapi semuanya dengan cara seperti itu, konflik enggak akan selesai."


"Tapi, Kak... dia selalu marah-marah ke aku. Aku enggak tahu salahku apa," ujar Dimas, matanya berkaca-kaca.


Kak Ratna menatap Dimas dengan lembut. "Bima sebenarnya bukan marah sama kamu, Dimas. Dia marah sama hidupnya sendiri. Dia iri karena merasa kamu dapat kesempatan yang dia pikir enggak pernah dia dapatkan. Kamu harus sabar menghadapi orang seperti dia."


Dimas terdiam sejenak, mencerna kata-kata itu. "Kalau gitu, aku harus gimana, Kak?"


"Satu-satunya cara adalah dengan menunjukkan kebaikan. Kalau kamu sabar dan mau berbagi, lama-lama dia akan berubah," jawab Kak Ratna sambil tersenyum.


Dimas mengangguk, meskipun dalam hatinya masih ada keraguan.


**


Beberapa hari kemudian, Dimas sengaja mendekati Bima yang sedang duduk sendirian di halaman.


"Hei, Bima," sapa Dimas pelan.


Bima melirik sekilas. "Ngapain lu ke sini? Mau sok baik lagi?"


Dimas menggeleng. "Enggak. Aku cuma mau tanya, apa kamu mau belajar bareng aku? Aku punya buku baru, kita bisa pakai bareng-bareng."


Bima menatap Dimas dengan curiga. "Kenapa lu peduli sama gua? Bukannya gua udah jahat sama lu?"


Dimas tersenyum kecil. "Karena aku tahu rasanya enggak punya apa-apa. Kalau kita bisa saling bantu, kenapa enggak?"


Bima terdiam lama. Akhirnya, ia menghela napas dan mengangguk pelan. "Ya udah, tapi jangan bilang siapa-siapa gua malu."


Dimas hanya tersenyum. Ia tahu, ini adalah awal yang baik untuk hubungan mereka berdua.



SELESAI






Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)