Masukan nama pengguna
"Rin, temani aku dulu ya," mohon Cempaka, suaranya nyaris bergetar. Gadis bermata minus itu, dengan baju berkerah renda putih yang tampak sudah usang, melirik ke arah luar jendela berkali-kali. "Bapak dan Ibu-ku belum juga pulang... aduh, kenapa lama sekali sih?"
Ririn menahan napas. Ia sebenarnya ragu. Ibunya di rumah sedang kambuh penyakit asam lambungnya. Mana mungkin ia berlama-lama di rumah Cempaka?
"Maaf, Cempaka... Aku harus pulang. Kalau sepuluh menit lagi orangtuamu belum pulang, aku terpaksa tinggalin kamu sendirian," katanya, suara lirih penuh rasa bersalah. "Aku takut pulang sendirian kalau kemalaman. Jalan setapak itu, serem, tau."
Cempaka memandangnya dengan tatapan takut. Ia menarik tirai jendela, lalu berjalan pelan ke arah ranjang dan duduk. Tangannya mencengkeram sprei lusuh yang berwarna pucat.
"Kalau pulang, jangan lewat pohon itu, ya," gumamnya sambil menunjuk ke arah jendela, ke arah yang pernah ia tunjukkan sebelumnya.
"Pohon itu?" Ririn mengerutkan kening, berusaha mengingat.
"Itu yang... katanya kalau bolak-balik lewat situ bisa... gantung diri?" gumamnya, setengah ingin tertawa, setengah ingin lari.
"Jangan diremehkan, Rin... Aku dengar sendiri suara anak kecil di sana. Malam-malam... minta digantungin."
Wajah Cempaka pucat pasi, matanya berkaca-kaca.
Ririn hanya mengangkat bahu. "Ah, mitos," katanya sambil cemberut.
Sepuluh menit berlalu. Tidak ada tanda-tanda Bapak dan Ibu Cempaka kembali. Angin mulai bertiup lebih kencang. Daun-daun di luar jendela bergemerisik, seperti ada yang berbisik di antara sela-selanya.
Akhirnya, dengan berat hati, Ririn berdiri.
"Maaf ya, Pak," katanya pelan. "Aku harus pulang."
Cempaka hanya bisa memandangnya dengan mata penuh kekhawatiran.
Ririn melangkah cepat, menyusuri jalan setapak yang menghubungkan rumah Cempaka ke jalan besar. Pohon itu berdiri gagah di tengah jalan, batangnya tebal, dahan-dahannya menjuntai seolah ingin meraih siapa pun yang lewat.
"Aku gak percaya," gumam Ririn, setengah menantang. "Kalau aku bolak-balik, emang kenapa?"
Ia berjalan melewati pohon itu sekali.
Ia berbalik, melewatinya lagi.
Lalu berbalik lagi, untuk ketiga kalinya.
Saat itulah, udara mendadak membeku.
Suasana sunyi senyap. Tak ada suara jangkrik, tak ada desir angin.
Sesuatu merayap di tengkuknya.
Tiba-tiba,
Ceklik...
Seperti ada tali tak kasatmata yang melilit lehernya.
Ririn tersentak. Ia berusaha menarik napas, tapi tak ada udara. Matanya membelalak, tubuhnya melayang perlahan ke atas, tertarik ke dahan pohon yang paling kuat.
Tubuhnya berontak, kakinya menghentak-hentak tanah.
Namun cengkeraman itu tak terlepas.
Sesuatu yang seperti akar atau rambut, kini menjerat leher dan pergelangan tangannya. Membelit makin erat, seolah menginginkan tubuhnya menjadi bagian dari pohon itu.
Bola matanya terlepas lebih dulu.
Darah mengucur deras dari lubang-lubang kosong di wajahnya. Darah itu meresap ke dalam tanah, mewarnai akar-akar pohon menjadi merah kehitaman.
Tubuh Ririn tergantung di dahan, kaku, seperti boneka yang digantungkan.
Dari balik kegelapan, seorang anak kecil keluar, berjalan pelan.
Tubuhnya kotor, rambutnya panjang menjuntai hingga tanah. Tak tampak di mana ujung rambut itu berakhir.
Anak kecil itu menengadah, menatap tubuh Ririn yang tergantung, lalu menyeringai.
"GANTUNG... AKU..." katanya dengan suara serak, seolah ada ribuan suara lain menggema di belakangnya.
**
Sementara itu, di rumah Cempaka...
Cempaka duduk membatu di ranjang. Sepi.
Ia menggenggam ujung bajunya, mulutnya komat-kamit berdoa. Namun perasaannya kian kacau.
Tiba-tiba, suara ketukan di jendela.
Tok... tok... tok...
Cempaka menoleh.
Ririn berdiri di luar jendela, mengetuk pelan dengan tangan kirinya.
Namun wajah Ririn... hancur.Matanya bolong, darah mengalir deras dari rongga matanya.
Lehernya miring tidak wajar, seolah digantung.
Cempaka membeku. Tubuhnya tak mau bergerak.
Ririn, atau makhluk itu, membuka mulutnya lebar-lebar. Dari mulutnya, suara anak kecil itu keluar:
"Cempaka... gantung aku juga..."
Cempaka menjerit, mundur terbirit-birit ke sudut kamar.
Tapi jendela itu... perlahan terbuka sendiri.
Angin dingin menerobos masuk, dan bersamanya aroma tanah basah dan darah.
Tiba-tiba, rambut panjang berbau anyir menjulur dari jendela, merayap seperti ular.
Menggulung pergelangan tangan Cempaka.
"Gak... gak... jangan..." jerit Cempaka.
Namun rambut itu menariknya dengan kasar. Ia menyeret Cempaka keluar jendela, menuju kegelapan.
Sebelum kesadarannya menghilang, Cempaka sempat mendengar bisikan...
"Biar kita bersama..."
**
Pada keesokan paginya...
Warga menemukan dua tubuh tergantung di pohon itu.Satu, Ririn.Satu lagi... Cempaka.
Keduanya tersenyum lebar, dengan mata kosong.
Darah masih mengalir dari rongga mata dan mulut mereka, dan di antara akar-akar pohon, sesosok anak kecil duduk sambil tertawa.
Tangannya memintal rambutnya sendiri, yang kini membelit kedua jasad itu dengan erat.
"GANTUNG AKU..."
**
Keesokan harinya, Cempaka dan Ririn ditemukan tergantung di pohon besar di pinggir desa. Tubuh mereka mengerikan, tergantung tanpa kehidupan, matanya kosong dan mulutnya menyeringai lebar, seperti senyum yang sudah tak lagi manusiawi. Darah mengalir dari rongga mata dan telinga mereka, meresap ke tanah, mengubah warna tanah menjadi merah pekat. Setiap tetes darahnya seakan menghidupkan sesuatu yang lebih gelap di bawah tanah.
Warga desa hanya bisa terdiam saat mereka melihat jasad itu, tak berani mendekat. Mereka tahu sesuatu yang lebih buruk sedang terjadi, sesuatu yang lebih dari sekadar pembunuhan biasa. Suasana desa terasa dingin, seolah seluruh dunia menahan napas.
Namun, ada satu orang yang tidak takut. Seorang lelaki tua, yang tinggal di ujung desa, berjalan perlahan menuju tempat kejadian. Lelaki itu, yang dikenal sebagai Pak Sabar, adalah satu-satunya orang yang pernah mendengar kisah lama tentang pohon ini.
Dengan langkah pelan, Pak Sabar berdiri di bawah pohon itu. Matanya memandang tubuh yang menggantung, namun matanya bukanlah mata yang penuh ketakutan. Sebaliknya, ada rasa iba yang mendalam, seolah dia memahami penderitaan yang ada di balik kematian tersebut.
Pak Sabar mendekat ke pohon dan menyentuh batangnya dengan tangan yang keriput.
"Semua yang lewat, akan membayar harganya," katanya, hampir berbisik. "Tapi tidak ada yang tahu, siapa yang pertama kali menanam pohon ini..."
Begitu Pak Sabar mulai bercerita, angin di sekitar pohon mulai berputar lebih cepat. Angin itu bukanlah angin biasa, melainkan angin yang membawa suara bisikan dari dalam tanah, suara yang datang dari zaman yang sudah lama terlupakan. Suara yang meminta agar orang-orang mendekat, agar pohon itu mendapatkan "penghormatan" yang seharusnya.
"Pada zaman dahulu," Pak Sabar mulai, "ada seorang wanita muda bernama Maryam. Ia tinggal di desa ini, sama seperti kalian. Maryam sangat mencintai anak-anak, namun anak-anak selalu menghindarinya. Mereka mengatakan bahwa wanita itu memiliki mata yang berbeda, mata yang tidak seharusnya dimiliki oleh manusia biasa. Mata itu bisa melihat ke dalam jiwa seseorang, dan begitu dia melihat, jiwa itu akan hilang."
Pak Sabar menatap pohon itu dengan tajam. "Maryam tidak bisa menerima kenyataan bahwa anak-anak takut padanya. Maka dia mulai mencari cara untuk mendapatkan kembali kasih sayang mereka. Dia berdoa kepada kekuatan yang tidak bisa dimengerti oleh manusia, dan sesuatu itu datang, sesuatu yang mengubah segalanya."
Pak Sabar menghela napas, "Dia menanam pohon ini. Pohon yang bisa mendengarkan doa. Pohon yang bisa memakan jiwa-jiwa yang tersesat. Tetapi, pohon itu juga memiliki aturan: siapa pun yang melewati pohon itu, akan dijerat, dan akhirnya digantung, untuk menjadi bagian dari pohon itu selamanya. Mereka akan menjadi akar yang tumbuh ke dalam tanah, dan tumbuh menjadi bagian dari tubuh pohon."
"Mereka akan menghuni pohon ini... selamanya." Suara Pak Sabar terdengar berat, penuh penyesalan. "Dan Maryam? Dia sendiri menjadi bagian dari pohon itu. Hanya ada satu cara untuk memutus kutukan ini, siapa pun yang mengikatkan dirinya pada pohon, harus memberi pengorbanan. Tidak ada yang bisa selamat. Tidak ada yang pernah bisa keluar hidup-hidup."
Di tengah-tengah cerita Pak Sabar, sebuah suara aneh terdengar. Suara langkah kaki yang berat, datang dari balik pohon. Pak Sabar menoleh cepat, namun yang ia lihat bukanlah sosok manusia. Sosok itu berbentuk bayangan hitam, seperti kabut yang bergerak, dengan mata yang bersinar merah menyala.
"Satu... dua... tiga..." Suara itu mulai menghitung, suaranya serak, seperti datang dari kedalaman tanah. "Mereka akan menggantung aku... menggantung aku selamanya..."
Pak Sabar mundur dengan terkejut, "Tidak! Jangan datang ke sini, kamu akan mengutuk mereka semua!"
Namun, bayangan itu sudah terlalu dekat. Ia bergerak cepat menuju tubuh Cempaka yang masih tergantung, lalu mulai membisikkan sesuatu ke telinga Cempaka.
Tiba-tiba, tubuh Cempaka bergerak. Lengan dan kaki Cempaka yang kaku mulai mengangkat, seolah dihidupkan kembali oleh kekuatan yang lebih besar. Cempaka perlahan membuka matanya, mata kosong tanpa kehidupan, hanya ada kehampaan yang dalam. Ia menatap Pak Sabar dengan senyuman mengerikan di wajahnya.
Pak Sabar mulai berlari, namun tak bisa bergerak cepat. Akar-akar pohon mulai merayap dari bawah tanah, menjalar seperti ular yang menginginkan mangsanya. Akar-akar itu meraih kaki Pak Sabar dan menariknya ke tanah. "Tidak! Jangan biarkan aku terjebak lagi!" teriak Pak Sabar, namun teriakannya hanya menjadi gaung kosong yang hilang dalam kegelapan.
"Sudah terlambat," suara anak kecil itu kembali terdengar, kali ini lebih keras, lebih menakutkan. "Gantung... aku..."
Tiga hari setelah kejadian itu, desa itu menjadi semakin sepi. Tidak ada yang berani mendekati pohon itu. Bahkan para warga yang sebelumnya tidak percaya pada kisah-kisah lama, mulai merasakan perubahan yang aneh di udara. Sesuatu yang berat, seolah ada sesuatu yang selalu mengawasi mereka.
Dan malam itu, saat seorang anak kecil berjalan sendirian di jalan setapak menuju desa, ia melihat sosok dua orang tergantung di pohon itu, Ririn dan Cempaka. Tubuh mereka sudah hampir membusuk, namun mereka masih terlihat hidup, dengan mata yang kosong dan mulut yang terus mengeluarkan bisikan: "Gantung... aku..."
Anak itu menggigil ketakutan. Ia tahu, sudah terlalu terlambat untuk lari.
Pohon itu... akan terus menunggu. Siapa pun yang datang akan menjadi bagiannya. Tidak ada yang selamat.
***