Masukan nama pengguna
Prolog.
Desember 2018
Namaku Mira, saat ini aku tengah menempuh pendidikan untuk tingkat sarjana di sebuah kampus swasta yang berada di Bandung mengambil jurusan Farmasi. Tidak ada banyak alasan kenapa aku mengambil jurusan ini, selain permintaan dari orang tua juga karena saat SMK aku mengambil jurusan yang sama. Meskipun, keinginan ku berbeda dan sangat jauh dari bidang ini ....
Apa yang aku inginkan? mengambil jurusan per filman. Aku masih ingat bagaimana berdiri di sebuah studio TV dan di tempat itu aku berkata bahwa "suatu saat aku akan berada disana untuk mengarahkan sebuah acara bersama crew lain."
Keinginan itu sangat kuat, hingga hampir mengganggu pendidikan formal ku. Namun, jalan takdir membawa ku berjalan jauh ke tempat ini. Perlahan-lahan aku mulai menerimanya, menghargai sebuah privilege yang sudah tuhan berikan kepada ku.
Hidupku sangat sempurna orangtua ku sangat mendukung pendidikan yang sedang aku tempuh, lingkungan yang aku dapat juga baik, aku mempunyai teman yang mendukung juga menjaga ku. Semuanya terasa sangat seimbang dan begitu menyenangkan.
Kurang dari satu minggu yang lalu, Kami baru saja merayakan ulang tahun ku yang ke delapan belas di tempat kosan milik temanku, Siska. Sebuah tempat yang sering aku kunjungi untuk menginap.
Hari itu aku mendapat banyak kiriman ucapan selamat dari teman-temanku, di bangku SMA aku tinggal di sebuah asrama yang bertempat di Garut. Disana aku mendapat teman-teman yang sangat berperan penting dalam masa pertumbuhanku. Hari itu mereka mengirim video untuk memberi ucapan selamat atas bertambahnya umurku. Aku menyukainya, hari itu aku benar-benar bahagia mendapat banyak doa juga kasih sayang dari teman-teman dan orang-orang terdekatku.
Keesokan harinya saat kami pulang praktik aku kembali ke kosan Siska. Di sana, mereka menyuruhku membeli lauk pauk untuk hidangan makan bersama.
Lima belas menit berlalu, Aku kembali menaiki tangga yang menghubungkan antara parkiran dan gedung kos-kosan.
Brussssh
Seember air jatuh menimpa tubuhku, membuat langkahku terhenti tepat di pertengahan tangga. Dengan mulut tertutup, aku mencoba mencerna semuanya. Namun, waktu tidak membiarkan itu terjadi.
Mereka terus menghujaniku dengan air dan juga terigu, semua hal itu di lakukan dengan gerakan tawa yang terdengar semakin keras. Menggambarkan rasa senang yang mereka rasakan karena sudah berhasil melaksanakan rencana yang telah di susunnya.
Untuk membuatnya lebih menyenangkan, Aku menghampiri mereka dan membalas setiap serangan yang mereka berikan.
Setelah itu, aku mendapat kue ulang tahun dengan angka lilin bertulis dua puluh. Tidak selaras, dengan umurku yang baru menginjak delapan belas tahun. Tapi aku tetap menyukainya dan untuk mengakhiri hari kami berfoto. Membuat kenangan hari itu abadi dalam sebuah gambar.
Meskipun itu bukan akhir bagiku karena setelahnya aku harus membersihkan tubuh dan langsung pergi untuk menghadiri kumpulan himafar (himpunan mahasiswa farmasi). Di malam harinya aku juga mendapat sebuah kejutan dari kaka tingkatku yang aku kenal ketika mereka menjadi asisten lab praktik.
Itu sangat sempurna dan menyenangkan.
Semuanya berjalan sangat baik aku bisa mengatasi kekuranganku yang dulu. Di tempat ini aku bisa berinteraksi dengan orang-orang tanpa merasa malu juga menjawab soal-soal kimia dengan mudah, menemukan metode untuk menghafal mata kuliah anatomi. Padahal, saat SMK aku sangat kesulitan dengan kedua mata pelajaran itu tapi disini semuanya berjalan lancar bebas tanpa hambatan dan disini pula aku menyentuh bidang yang sebelumnya enggan aku ikuti yaitu organisasi. Bahkan di semester awal aku ikut hima tingkat kampus dan wilayah.
Januari 2019
Ini menjadi tahun pertama, aku mengalami kesulitan di hidupku.
Entah bagaimana, dalam semalam usaha yang tengah di jalani bapak di ambil orang. Semuanya, terjadi begitu cepat dan aku tidak ingat detailnya bagaimana.
Yang aku ingat di hari pertama ujian aku tidak bisa mengikutinya. Perasaan yang aku alami hari itu, sedih sangat sedih bahkan air mata ku mengalir begitu saja.
“Terjebak di situasi yang tidak pernah diinginkan,” tulisku dicerita akun stargram milikku.
Di hari kedua aku bisa mengikutinya, dengan menulis sebuah perjanjian di bagian administrasi. Pemandangan ini tidak asing, aku pernah melihatnya. Dulu, saat SMK temanku mengalami hal yang sama. Namun, kali ini aku yang mengalaminya. Menandatangani, agar di beri keringanan tenggat waktu untuk membayar.
Rasanya sangat tidak nyata, di satu minggu itu pikiran ku terpecah belah memikirkan bagaimana kehidupan ku selanjutnya.
Dalam seminggu itu aku juga berpindah-pindah dari tempat kos temanku yang satu ke yang lainnya. Setelah jam ujian berakhir, aku ikut pulang ke rumah Anne yang berada di kiara condong.
Sama seperti biasa, kami mengendarai motor dengan saling berbincang tentang banyak hal. Rasa senang, ke khawatiran juga masa depan yang selalu mengisi hari-hari kami sebagai seorang mahasiswa.
“Sepertinya aku tidak bisa terus bergantung pada ibu-bapak,” ujarku pada Anne, temanku yang tengah mengendalikan setir motor miliknya.
Dia mengiyakan, menyetujuinya. Meskipun hidup dengan berkecukipan, di usia mudanya dia sudah terjun lebih dahulu ke dunia bisnis. Di malam itu, ia mengajakku untuk memulai bisnis juga mengikuti beberapa event agar bisa mendapat penghasilan.
Aku bernafas lega, karena akhirnya aku menemukan sebuah jawaban. Dan yang harus aku lakukan sekarang hanyalah focus dalam mengerjakan ujian dan untuk kedepannya mari kita pikirkan nanti. Meskipun, perasaan cemas terus bergelut di kepala berusaha membuyarkan semua materi yang aku hapalkan.
Februari-Maret 2019
Aku tidak mengetahuinya lagi. Semuanya, terasa sangat buntu hingga membuat aku terasa pengap dan kesulitan untuk bernafas.
Semester kedua perkuliahan di mulai. dua minggu pertama perkuliahan aku tidak menghadirinya. Kami masih terjebak di keadaan ini mengenai pembiayaan. Jujur saja, biaya untuk melanjutkan bisa terbilang begitu besar terlebih uang untuk semester pertama pun belum terkumpul.
Mencoba bersabar, dan berharap setiap malam itu yang selalu aku lakukan saat ini. Berharap sebuah keajaiban muncul begitu saja di hadapanku dan melenyapkan semua permasalahan yang tengah keluarga ku hadapi.
Ini sulit, bahkan terasa sangat sulit untukku. Aku sadar, aku terlalu bergantung kepada orangtua ku. Hingga, saat mereka goyah aku juga ikut kehilangan arah. Tidak tahu harus melakukan apa dan jatuh dalam rasa bingung yang terus mencuat ke dalam.
Satu Bulan berikutnya, berlalu.
Sudah banyak sekali alasan yang aku pakai untuk memberi penjelasan kepada teman-temanku. Dan, aku tidak bisa mengatasinya lagi. Aku lelah untuk terus-menerus mencari alasan, bahkan kondisi yang aku jalani terasa semakin memburuk.
Aku tidak bisa terus menerus menanyakan kapan aku bisa masuk kuliah lagi? disaat keadaan mereka juga sedang sulit. Aku juga tidak bisa berbicara tentang kondisiku kepada teman-teman, Aku tidak ingin mereka mengetahuinya.
Aku percaya, tanpa aku bicara pun mereka juga mengerti tentang kesedihan yang tengah menimpaku.
Hari-hari itu terasa sangat berat, rasanya aku terjebak di sebuah lorong panjang yang berwarna sangat gelap dan berada di sana membuat ku mudah kehilangan nafas. Aku ingat, orangtuaku selalu memintaku bersabar atas kondisi ini.
Tapi, aku tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Apa yang aku lakukan benar-benar membuat orangtua dan teman-temanku kesulitan.
Malam ini aku memupuk keberanian dan akan membuat keputusan sederhana untukku dan mungkin, ini juga pertama kalinya menentukan bagaimana hidupku.
Aku ingat bagaimana aku berbicara kepada bapak bahwa aku akan berhenti saja dan mereka tidak perlu merasa bersalah atas kondisi ini. Aku percaya bahwa suatu saat aku akan kembali melanjutkan pendidikanku. Semua ini hanya akan terhenti untuk sesaat, itu yang aku yakini. Dan, yang perlu mereka lakukan sekarang adalah membereskan permasalahannya.
Mereka menyetujuinya. meskipun berat, tapi tidak ada pilihan lain bukan? Tidak ada orang tua yang akan tega mengubur mimpi anaknya.
Setelahnya, aku mulai berbicara kepada teman terdekatku di kampus. Aku menceritakan semua secara detail kepada Anne tentang apa yang menimpa keluargaku selama ini. Dia mengiyakan, dan juga memberi saran padaku.
Hal yang paling menyakitkan untukku adalah fakta bahwa aku meninggalkan tempat itu, tanpa mengucapkan selamat tinggal.
2.0 Kenapa saya?
Aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang terjadi dalam hidupku. Setiap hari hanya terasa semakin sulit dan sesak. Bahkan, akhir-akhir ini air mataku terlalu banyak menetes.
Manusia ini, manusia yang paling bebal dan sulit mengeluarkan air mata. Namun, dalam semalam ia berubah menjadi manusia yang paling cengeng.
Untuk waktu yang lama ia meratapi nasibnya yang berakhir buruk.
Dunianya runtuh dalam semalam, kenyamanan yang ia punya juga hilang begitupun dengan privilege yang di milikinya.
“Udah dulu senangnya, sekarang belajar dulu ya?” sebuah kalimat itu terlintas di dalam pikiranku. Seolah-olah tuhan memintaku untuk sedikit berjuang saat ini.
Mengingat delapan belas tahun yang sudah aku lalui dengan kesenangan dan kemudahan.
Tapi, ini sangat sulit. Aku tidak tahu bahwa keputusan sederhana itu membawa ku kepada hal rumit seperti ini.
Dan disaat bersamaan ada sisi lain diriku yang memberontak, masih belum bisa menerima apa yang terjadi.
Satu sisi itu selalu bertanya. Dari sekian banyak orang yang ku kenal. Kenapa, harus aku yang mengalaminya? apa yang telah aku lakukan, hingga bisa berakhir di tempat seperti ini? dan jika akan berakhir di tempat seperti ini dan kembali ke rumah? kenapa dia memberiku kesempatan bertemu dengan orang-orang hebat? kenapa aku harus berhenti? padahal, semuanya sudah berjalan baik.
Tiga tahun setengah aku pergi, dan sekarang harus kembali pulang dengan cara yang kurang menyenangkan.
Aku kembali kesini, di sebuah tempat yang bernama rumah.
Aku sangat tidak mengerti dengan apa yang tengah tuhan persiapkan untukku.
Setiap pertanyaan kenapa, kenapa tidak pernah berhenti di kepalaku. Tidak ada jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Semua pertanyaan itu hanya membuat kepala ku semakin sakit dan terasa berputar.
Rasa sedih yang aku alami cukup dalam. Bahkan rasa itu menampilkan sisi diriku yang lain, dia yang egois karena melihat yang lain menjalani hidup dengan mudah membuatnya mulai membanding-bandingkan hidupnya dan merasa kurang beruntung.
Semua hal yang ku lihat dari aplikasi yang aku buka hanya menyakiti diriku dan tanpa sadar berkata.
"Seharusnya aku disana, bersama mereka dan melakukan hal yang sama."
"Bukan disini," gumamku sambil menatap langit-langit.
Suatu waktu aku benar-benar merasa takut. Hal ini benar-benar mengganggu secara mental dan mengganggu aktifitas yang aku lakukan.
Aku suka tidur, dengan tidur aku bisa melupakan semua hal yang tengah menimpaku. Tapi, disaat yang bersamaan aku takut bangun. Karena, disaat mata ku terbuka aku akan mendapatkan pertanyaan yang sama dari teman-teman dan menyadari bahwa aku masih di tempat ini.
Tring
Sebuah nada notifikasi muncul.
Aku melihat ponselku, satu pesan masuk.
“Mir kemana aja?” satu pesan dari temanku.
“Dek kemana aja? udah lama gak lihat kamu di kampus?” satu pesan lainnya dari kaka tingkat.
“Kenapa? ada yang mau di ceritain?” satu pesan selanjutnya.
Aku mengabaikannya, selalu mengabaikan semua pertanyaan yang masuk di pesan karena tidak bisa menjawabnya.
Terdengar sangat egois. tapi, aku benar-benar tidak bisa melakukannya. Aku tidak ingin mengingat-ingat hal pahit itu lagi. Dan sisi diriku yang lain memiliki gengsi yang sangat besar untuk menceritakan yang sebenarnya.
Berdasar dari itu aku membuat keputusan bodoh lainnya.
Aplikasi haiapp dan stargram di ponselku. Aku menghapusnya, memotong cara berkomunikasi bersama teman-temanku.
Dan benar benar menghilang dari mereka.
Ini yang aku pikirkan. Setidaknya aku tidak perlu merasa bersalah karena mengabaikan pesan dari mereka dan aku tidak perlu membanding-bandingkan hidupku dengan yang lain. Kita memiliki garis hidup yang berbeda dan untuk sekarang aku hanya akan focus pada kehidupan yang ada di depanku. Sebuah perjalanan yang tidak aku ketahui akan membawaku kemana.
Nanti, saat semua keberanian ku sudah terkumpul dan kepercayaan diriku sudah kembali aku akan kembali menyapa mereka dengan cara yang baik.
Aku tidak tahu kapan, tapi mohon bersabarlah.
Apa yang terjadi setelahnya? ternyata aku tidak hanya hilang dari mereka tapi aku juga hilang dalam diriku. Aku tidak tahu apapun mengenai diriku, banyak hal hal yang aku sendiri terkejut. Kenapa, aku bisa melakukannya? dan secara perlahan kepercayaan diriku ikut hilang. Aku menjadi manusia yang kurang pandai dalam berinteraksi.
Sekitar empat bulan aku tidak menggunakan social media. Itu berdampak baik, aku berhenti membandingkan hidupku dan mulai hidup di sini, meskipun membutuhkan waktu yang lama tapi aku mencobanya.
Satu tahun berlalu, aku tidak banyak melakukan apapun. Bahkan, aku tidak keluar dari rumah, Aku hanya berdiam disini, di sebuah ruangan yang berukuran 3x2m. Bahkan bisa di bilang aku hanya terus berdiam diri di kamar, menonton, mendengarkan radio dan kembali tidur. Aku, meninggalkan kamar hanya saat makan atau ingin ke kamar mandi.
Entah baik atau buruk tapi aku benar-benar melakukannya. Aku merasa buntu dan tidak bisa melakukan apa-apa.
Aku berhenti membandingkan diri tapi aku juga tidak tahu harus berjalan kearah mana? timur, barat, utara atau selatan semuanya sama saja membuatku bingung dan takut kalau hal yang sama akan terulang kembali.
Jika, seandainya kalian mengalami hal yang sama? apa yang akan kalian lakukan?
Kenapa tidak bekerja? aku ingin melakukannya. Bahkan, tempat PKL (praktek kerja lapangan) ku dulu menawarkan aku untuk bekerja di sana. Tapi tempatnya sangat jauh dan orangtua ku tidak mengijinkannya.
Mereka lebih menyukai aku berdiam di rumah, di banding pergi ke tempat-tempat lain. Terlalu banyak resiko, katanya.
Untuk kembali ke bangku perkuliahan aku sempat memikirkannya. Bahkan, mamah selalu memberi tahu ku mengenai brosur-brosur universitas. Dan di tahun pertama saat aku berhenti aku sangat optimis akan kembali dan membuktikan bahwa aku bisa kembali mengenyam pendidikan di tempat yang jauh lebih baik. Namun, semuanya tidak berjalan mulus. Rasa trauma yang aku dapat terus bergentayangan di kepala. Aku takut jika hal yang sama juga terulang dan itu hanya akan menambah luka ku saja.
Aku perlu jaminan, dimana aku bisa melanjutkannya hingga selesai. Dengan cara apa? mendapat beasiswa, sebuah jawaban yang paling tepat.
Tapi, apakah aku bisa mendapatkanya? tidak ada hal yang bisa aku tunjukan. Nilaiku di bidang akademis biasa saja, bahkan di beberapa mata pelajaran nilaiku naik turun seperti roller coaster. Di bidang non akademis pun sama saja. Tidak ada satu lomba pun yang pernah diikuti.
Aku benar-benar sangat pendiam bukan? tidak, aku bahkan hanya seorang pemalas yang berharap bisa mendapat beasiswa selama empat tahun. Apa itu mungkin?
3.0 Orang-orang dewasa
-kita beranjak dewasa, jauh terburu seharusnya-
Sebuah penggalan dari lagu Nadin Amizah yang akhir-akhir ini sering aku dengarkan.
Lirik itu benar, kita beranjak dewasa terlalu cepat. Semua berubah dalam semalam, hal yang tidak terbayang justru datang menemui kita dengan sendirinya.
Orang-orang dewasa yang aku temui meninggalkan kesan yang kurang baik untukku. Hal itu, akhirnya membuat aku tidak bisa mempercayai mereka.
Aku masih ingat bagaimana luka pertama ku lahir. Hari itu hari dimana usaha orang tua ku bangkrut total. Entah bagaimana, orang kepercayaannya menikam ia sendiri. Dengan cara yang kurang menyenangkan ia mengambil usaha milik bapak dan karena itu pula beberapa hal harus hilang dari kami.
Pelajaran yang aku ambil darinya, Hanya satu. Tidak usah memberi kepercayaan penuh kepada orang lain. Mau sedekat apapun dan seberapa lama pun itu tetap tidak akan menghentikan niat buruknya.
Agar kalian tidak bingung, aku akan menjelaskannya secara singkat. Bapak ku seorang Bandar, Bandar sayur mayur. Ia membeli berbagai sayuran dari petani dan membawanya ke pasar untuk di jual kepada bos nya yang memiliki lapak di daerah Pasar Caringin Bandung.
###
Kejadian itu tidak berakhir begitu aja, menambah masalah-masalah baru dalam kehidupan kami.
Satu-satunya usaha milik bapak kini hilang dan tak banyak yang bisa ia lakukan. Dalam hal ini, tentu saja dia yang paling tersakiti. Meskipun begitu hidup terus berjalan bukan membiarkan luka kami terus menumpuk.
Satu tahun berlalu.
Aku kembali bertemu dengan orang yang memberi luka baru untukku, Utang piutang dari usaha sebelumnya masih belum terpenuhi. Bahkan, ada beberapa kerja sama yang hanya menguntungkan satu pihak. Pihak B meskipun mereka mengetahui keadaan yang tengah kami lalui mereka tidak mempedulikannya dan terus meminta kami untuk memberi keuntungan terhadap mereka. Padahal, sudah jelas bahwa usaha yang kami kerjakan mengalami kegagalan dan sudah seharusnya kerugian yang di timbulkan diatasi oleh kedua pihak.
Lebih dari satu tahun kami membayar keuntungan itu, sebuah keuntungan yang tidak tahu berasal dari mana. Dari sudut pandangku aku hanya terus melihat orangtuaku mengusahakan untuk memberi mereka sejumlah uang yang cukup besar.
Ada hari dimana aku merasa kesal melihat semua itu dan bertanya kepada diriku sendiri.
“Mereka bisa memenuhi permintaan untuk orang lain tapi kenapa tidak bisa untukku?” bahkan disaat seperti itu aku masih memikirkan tentang diriku.
Tiga Hari menuju lebaran idul fitri tahun 2020.
Kami berurusan dengan orang yang salah. Dia memiliki sebuah jabatan sehingga bisa berbuat seenaknya.
Aku masih ingat bagaimana caranya berjalan memasuki rumah. Suara nada nya yang terus membentak dan merendahkan orangtua ku bergema di kepala.
Aku berdiri di depan pintu kamar, bersembunyi di sebuah lemari besar dan melihat semua kejadian itu dengan tubuh yang bergemetar hebat.
Berbeda dengan reaksiku kedua orang tuaku terlihat lebih tenang.
Ini bukan pertama kalinya bagi mereka.
Tahun 2013 kami mengalami hal yang serupa, Akibat dari jual beli yang di lakukan bapak. Kami mengalami kerugian mencapai 1 Milyar lebih. Pada saat itu, kami tenang dan bisa menutupi semua kerugian itu dengan menjual beberapa aset yang kami punya.
Dan keadaan hari ini benar-benar berbeda, Tidak ada aset yang bisa kami jaminkan atau jual. Usaha untuk meminta bantuan terhadap keluarga maupun orang lain sudah orangtua ku lakukan. Namun, hasilnya nihil tak ada jawaban yang kami dapat selain dari kata hinaan dan ledekan.
Aku tidak bisa terus berdiam diri. Melihat orangtua ku di perlakukan semena-mena oleh orang lain. Karena ini bukan salah mereka dan ini juga bukan hal yang mereka inginkan. Namun, semuanya terjadi begitu saja.
Tubuhku masih bergetar namun disaat yang sama aku juga mengumpulkan keberanian untuk memasuki ruang tamu rumah.
Aku berdiri, menatap mata orang itu yang membalas tatapan mataku dengan sorot matanya yang tajam.
Tanganku mengepal, diikuti helaan nafas berat yang keluar dari mulutku.
Aku tidak begitu ingat apa yang aku katakan kepada orang itu selain kalimat ini.
“Ini juga keadaan sulit untuk kami. Bahkan karena keadaan ini saya juga berhenti kuliah,” ujarku menaikkan nada suaraku.
“Bukan urusan saya ...!” jawab orang itu.
Perkataan itu benar-benar menampar seluruh tubuhku.
Bagaimana dia bisa bersikap seperti itu?
Untuk beberapa saat aku memejamkan mataku, mencoba mencari cara lain.
Di saat aku membuka mata pemandangan lain tersaji di hadapanku. Dengan mata ku sendiri aku melihat bagaimana orang itu menyeret tubuh Bapak dan akan membawanya ke kantor polisi.
Dunia ku benar-benar hancur, aku tidak tahu harus bagaimana lagi.
Aku berlari menuju pintu dengan cepat meminta bantuan kepada Nenekku. Ini bukan satu hal yang bisa kami atasi lagi.
Kurang dari satu menit aku kembali memasuki rumah.
Tubuhku mematung, berdiri di ambang pintu. Melihat orang itu masih berusaha menyeret Bapak. Bahkan, jaket yang ia kenakan hampir terlepas di tubuhnya.
Aku berjalan melangkah kan kaki ku. Kedua lenganku bergerak merangkul tubuh bapak dan membawanya kembali memasuki ruang tamu.
Aku tidak mengerti, kenapa orangtua ku di perlakukan seperti ini. Kami bukan penipu atau penjahat, kami juga korban. Bahkan bukankah dia juga di untungkan dari semua kerja sama ini. Uang lima puluh juta yang di pinjamkan kepada orang tua ku tidak sebanding dengan uang Bunga yang sudah kami berikan kepada mereka. Lebih dari satu tahun setengah kami menyetor uang senilai 2,5jt yang bersifat bunga dan tidak mengurangi pinjaman kami.
Tapi, kenapa mereka masih bisa melakukan hal seperti ini. Menggiring sebuah opini yang membuat keadaan orangtua ku tersudut.
Aku tidak bisa menahannya lagi. Sekarang, ruangan ini di penuhi oleh suara isakkan tangis yang terus keluar dari mulutku. Semakin aku menahannya semakin keras suara tangisan yang aku keluarkan.
Aku memalingkan tubuhku dari orang itu dan membelakanginya. Lengan kiri masih menggenggam erat ujung jaket milik Bapak. Menahannya, agar tidak pergi. Lengan kananku masih berada di bagian wajahku mengusap terus menerus air mata yang tidak berhenti mengalir.
Trek
Suara pintu kembali terbuka, nenekku datang.
Begitu datang dia langsung duduk di kursi. Merasa lemas dengan apa yang terjadi. Selanjutnya mamah langsung bersujud di kakinya, seraya meminta tolong.
Aku tidak kuat, dan tidak bisa berdiri di sana lagi. Melihat semua kejadian itu membuat hatiku benar- benar terasa sakit. Aku memutuskan untuk pergi ke kamar dan bertarung dengan rasa sakit yang terus menyerang seluruh tubuhku.
Di dalam kamar aku masih terus menangis, dengan tubuh yang bergetar hebat ketakutan. Bagian kepala yang terasa akan pecah seluruh tubuh yang terasa kesemutan. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan tubuhku. Karena untuk pertama kalinya aku merasakan hal baru yang menyerang tubuhku secara bersamaan.
Nenek dan juga saudaraku datang menemui ku di kamar. Mereka meminta aku berhenti, agar tidak terus menangis.
Bukan hanya mereka, tapi aku juga menginginkan hal yang sama. Tapi, aku kehilangan kendali atas tubuh ku sendiri bahkan ketika aku menahan semua tangisan itu hanya membuat sesak di dadaku semakin bertambah dan menghasilkan suara tangisan yang lebih kencang.
Dua jam menuju buka puasa. Sebuah keajaiban muncul. Entah kenapa, setelah kedatangan nenekku orang itu bisa di ajak bicara dengan baik berbeda dengan satu jam sebelumnya. Dia yang terus berusaha membawa bapak ke kantor polisi.
Kami menemukan sebuah kesepakatan yang di setujui kedua pihak.
Setelah kejadian itu berakhir, mamah memintaku untuk kembali ke warung agar bisa membantu nenek dan memastikan bahwa kondisinya baik-baik saja.
Sudut bibir ku terangkat, mendengar ucapan itu.
Lantas bagaimana denganku? dunia ku juga berantakan? dan aku juga sedang tidak baik-baik saja, rasa sedih ini masih berada di dalam tubuhku. Aku harus bagaimana lagi?
Aku mengiyakan permintaan mamah. Dan pergi membantu nenek dengan mata yang masih sembap. Aku juga ingat hari itu semua orang melihat ku dengan tatapan yang berbeda, sudah jelas bahwa berita ini sudah tersebar begitu cepat.
Entah kenapa, hari itu berlalu begitu lambat. Bahkan kurang dari satu jam aku harus kembali mendengar kata-kata yng kurang pantas di tunjukkan kepada keluargaku. Sebuah fitnah, tuduhan seolah-olah membenarkan opini yang dibuat orang itu.
Hari ini, aku melihat dunia yang baru. Dunia yang di penuhi oleh orang-orang jahat, mengerikan dan menakutkan.
Perjalanan ini membuat ku takut dan tak bisa mempercayai orang-orang dewasa. Perkataan mereka berbeda dengan tindakan yang mereka lakukan.
Aku tidak berusaha menjelaskan semua hal yang terjadi kepada orang lain, itu hanya membuang waktu dan energi ku saja. Apapun pandangan mereka terhadap aku dan keluarga, Aku tidak akan peduli atau memberi reaksi apapun.
Aku hanya akan berjalan di dunia yang penuh kejutan ini.
4.0 rumah
Aku mengulang perkataan ku lagi. Aku kembali kesini, sebuah tempat yang di sebut rumah dan aku lebih suka menyebutnya sebagai tempat nol kilometer.
Di tempat ini, banyak sekali kejutan yang aku dapatkan. Banyak pertarungan yang aku lakukan untuk melawan diriku sendiri, mengalahkan semua rasa ego yang sudah tumbuh cukup lama.
Kali ini, aku mengakuinya. Aku benar-benar kalah, kalah dari semua hal. Tidak ada yang berjalan baik untukku entah pendidikan, pekerjaan atau pasangan semua sama gelapnya.
Tidak hanya kalah sepertinya aku juga sudah gagal. Gagal untuk meraih mimpiku dan gagal menjadi sebuah harapan untuk orangtua ku.
Beberapa tahun yang lalu, aku pergi dari tempat ini untuk melanjutkan pendidikan ku ke tempat yang sangat jauh. Aku hidup disana dan tumbuh dengan baik. Orang-orang yang aku temui memberi ku sebuah lembaran dan pandangan lain mengenai hidup. Meskipun, aku sadar di bangku SMA aku berleha-leha. Aku tidak pernah memaksakan diri, jika tidak ingin ke sekolah aku tidak berangkat. Aku hanya akan berdiam diri di asrama, berbaring di sebuah kasur yang menumpuk. Sembari menatap langit-langit, mengurai semua cerita yang terlintas di dalam kepala lewat sebuah tulisan.
Sebelumnya aku tidak mengetahuinya, bahwa kepergian ku saat itu menanggung tanggung jawab yang sangat besar. Dan ketika aku kembali orang-orang mulai mepertanyakan, apa yang sudah aku dapatkan?
Fakta yang mereka lihat, aku yang tidak bisa menjadi apa-apa dan tidak melakukan apa-apa. Aku gagal, mereka memberi cap seperti itu. Semua biaya yang orang tua ku keluarkan juga hangus begitu saja. Uang puluhan juta itu, tidak bisa menjadikan ku orang hebat.
Mungkin, seperti itu lah gambaran keadaan saat ini dan bagaimana cara mereka memandangku.
Tentu saja, hal itu juga melukai perasaanku. Tapi, mau bagaimana lagi karena itu memang faktanya. Aku tidak memiliki pekerjaan, aku juga jarang pergi ke masjid untuk beribadah, perilaku yang aku tunjukkan juga tidak mencerminkan kebiasaan anak pesantren.
Mau bagaimana lagi? itu memang aku, aku yang sebenarnya. Aku yang tidak pandai dalam segala hal dan tidak mampu memenuhi ekspektasi yang mereka buat terhadapku.
Tapi itu juga bukan salahku juga kan? mereka yang membangun ekspektasi dan kenapa harus aku yang mewujudkannya. Itu, tidak relevan.
Aku menerima semuanya, apapun itu meski sedikit menyakitkan. Aku hidup sebagai pengangguran yang menjadi beban hidup untuk keluargaku.
Meskipun cerita sebenarnya bukan seperti itu.
Aku menjalani hidup ku dengan begitu keras. Bahkan hal ini tidak pernah terbayangkan sama sekali.
Kejadian hari itu benar-benar merubahku. Aku melepaskan keberanian untuk keluar dari rumah. Kembali menemui orang-orang, meskipun aku sangat tidak menyukainya. Berdiam di warung, melayani orang-orang yang bahkan tidak menyukaiku.
Aku mencari kegiatan lain, agar bisa memenuhi kebutuhan hidup. Aku memulai bisnis dengan membuat es krim yang aku jual seribuan per kap. Di samping itu aku juga menjaga konter pulsa yang sebelumnya di berikan Nenek.
Pada satu malam, aku merasa sudah mengerjakan semua hal. Untuk ukuran seorang pemalas mengerjakan tiga hal dalam sehari terasa sangat melelahkan.
Di malam hari aku terbangun karena mendengar suara pertengkaran yang berasal dari kedua orang tuaku. Aku mendengarkannya, di bawah selimut. Dengan air mata yang kembali menetes seraya berkata seperti ini.
“Lihat, si bodoh ini kembali menangis."
"Beberapa jam yang lalu dia merasa hebat karena mengerjakan banyak hal. Tapi semua itu belum bisa menutupi kebutuhan keluarganya.”
Aku menahan suara tangisan itu agar tidak terdengar oleh siapapun.
Dalam tangisan itu aku ingat berdoa dan meminta pertolongan.
Jika, aku harus bekerja lebih keras lagi. Aku akan melakukannya, yang penting kebutuhan keluarga ku tercukupi.
Tuhan mendengarnya, dia menjawab semua doa yang aku ajukan malam itu.
Hari Kamis di Bulan Agustus.
Aku pergi menemani Nenekku ke pasar untuk berbelanja stok persediaan di warung. Kami berangkat menaiki angkot, jarak yang kami tempuh menghabiskan waktu kurang lebih tiga puluh menit.
Aku berjalan mengikutinya ke setiap toko yang sudah menjadi langganannya.
Di dalam angkot dia berkata akan memberi ku modal untuk berjualan camilan beserta minumannya. Mendengar hal itu sangat membuat aku senang.
Kami berjalan ke toko camilan, membeli tujuh bungkus berbagai makan camilan yang berukuran besar dan bisa di bungkus kembali menjadi ukuran yang lebih kecil dan terjangkau. Tidak lupa kami juga pergi ke toko plastik untuk membeli kap sebagai wadah minuman yang akan aku jual nanti.
Rasa gengsi yang aku miliki sepertinya sudah hilang.
Aku tahu, meskipun aku keluar dari sekolah negeri dan mengeluarkan cukup banyak uang, tapi berakhir berjualan kecil seperti ini terlihat klise dan benar-benar terlihat gagal.
Ternyata pendidikan yang aku tempuh tidak menjadikan aku apa-apa. Mungkin, itu yang mereka lihat dari ku sekarang.
Tapi berjualan seperti ini juga bukan hal yang buruk bukan?
Justru di bidang kecil ini aku bisa memenuhi semua kebutuhan yang aku keluarkan juga membantu sedikit perekonomian keluargaku.
Omset yang aku dapatkan mencapai dua ratus ribuan per harinya dengan keuntungan bersih sekitar 30%.
Saat ini minuman boba tengah viral di social media, Aku ingin mencoba menjualnya dengan harga yang lebih terjangkau tentunya.
Jika minuman boba biasa dijual dari angka enam belas ribu aku akan mulai mencoba menjualnya dari angka tiga ribu rupiah.
Bagaimana bisa? tentu saja bisa aku harus memikirkan kondisi di tempat ini. Target penjualan ku anak-anak kecil, mereka yang hanya mempunyai bekal lima ribu dan paling besar sepuluh ribu.
Aku mencari solusinya, dengan membuat boba dari bahan yang lebih murah dan membuat ukurannya jauh kebih kecil.
Aku berhasil menu baru ini juga menambah penghasilanku.
Ini melelahkan sangat melelahkan, Karena membuat boba sendiri aku harus menyiapkannya lebih awal. Malam setelah pulang berjaga dari warung, aku akan membuat adonan boba dan membentuknya, menahan rasa kantuk yang terus mencoba membuat ku tertidur. Begitupun di pagi hari aku akan pergi berbelanja ke pasar dan selanjutnya akan kembali menjaga warung hingga malam merangkap dari penjaga toko kelontong, tukang pulsa, es krim, sop buah dan hal lainnya.
Keren bukan? siapa sangka aku akan menjalani kehidupan ini. Semua yang aku kerjakan jauh dari ekspektasi mewah yang ada di kepalaku. Tapi tenang saja aku sudah menerimanya. Menerima, semua kekalahan telak ini dan berjalan di jalan yang sudah tuhan tetapkan untukku.
5.0 BESTIES
Tahun 2022
Seperti yang kalian tahu, keadaan yang aku alami benar-benar merubahku entah secara sikap maupun pemikiran.
Kejadian ini tidak mudah untuk kami dan mengakibatkan beberapa hal harus ikut hilang juga.
Satu-satunya yang tidak berubah dan hilang dariku adalah mereka, teman-temanku.
Mereka yang aku kenal sejak di bangku SMP. Hebat bukan, bisa bertahan sejauh ini. Entah kenapa, kehadiran mereka memberiku kekuatan.
Sampai saat cerita ini di bagikan, mereka masih belum mengetahuinya. Empat tahun yang aku alami, aku menyimpannya dengan rapat. Aku berusaha tidak memperlihatkan atau menceritakan langsung keadaan ku kepada mereka.
Ada sedikit ketakutan yang ada dalam pikiranku. Bagaimana jika aku menceritakan ini kepada mereka? akankah pandangan mereka juga terhadapku akan ikut berubah dan berbalik mengasihani ku?
Aku tidak menginginkannya, merasa di kasihani juga terasa sangat menyakitkan. Jadi aku lebih memilih ini, menyimpannya dengan baik.
Bagaimana keadaan mereka? mereka baik-baik saja. Itu yang bisa aku katakan karena itu yang bisa aku lihat dari mereka.
Ada hari dimana aku ingin menghilang dari mereka. Hari itu datang merenggut semua kepercayaan diri yang tersisa dalam tubuhku. Menyadari jalan berbeda yang kami lalui benar-benar membuat aku kelabakan dan mempertanyakan arti hidupku bagi mereka?
“Apakah mereka baik-baik saja dengan kehadiranku?”
Aku merasa tidak layak bersama mereka. Setiap hari mereka melakukan hal yang hebat dan mengembangkan dirinya. Sangat berbeda denganku yang hanya tetap berdiam di sini dan hidup dengan terlalu nyaman.
Namun, setiap hal itu datang. mereka bisa mematahkannya. Mereka masih menganggap dan menghargaiku dengan ajakan kecil atau antar jemput yang mereka lakukan. Hal kecil, namun sangat berarti untukku. Aku sudah tidak memiliki apa-apa tapi mereka masih melakukan hal yang sama untukku.
Bahkan di bulan-bulan aku mengasingkan diri dari ponsel. Mereka masih bisa menemukanku dengan datang dan menjemputku agar keluar dari rumah.
“Mereka ajaib, bahkan sebelum aku bisa mengatakan masalahku. Mereka bisa menghibur dan membuatku pulang dalam keadaan yang jauh lebih baik,” itu yang aku pikirkan.
Tanpa di sadari aku mulai menyukai mereka. Meskipun aku tidak bisa ikut bergabung di obrolan yang mereka buat aku masih tetap senang bisa duduk bersama mendengar candaan yang akhirnya membuat ku lupa tentang duniaku yang berantakkan.
Sampai saat ini, mereka masih menjadi satu-satunya alasan agar aku bisa keluar dari rumah dan bermain. Membuat aku bisa bernafas sejenak, dari riuhnya hidup yang aku jalani.
###
Akhir tahun ini, mereka akan menyelesaikan tingkat sarjana dan menambah gelar di belakang nama mereka.
Apakah aku iri, tidak. Sudah ku katakan aku menerima kekalahan ini, aku sangat bersyukur bisa melihat mereka tumbuh dengan baik dan menyelesaikan pendidikannya.
Akhir bulan Agustus kemarin kami pergi ke bandung untuk menghadiri acara wisuda teman ku yang bernama Milka. Hari ini, secara resmi dia menambah gelar S.H di belakang namanya.
Titik awal keberangkatan kami disini, di rumahku. Detak jantungku berdegup kencang sembari mennggu kedatangan teman-temanku yang lain.
Di perjalanan, aku memikirkan ini. Melihat teman-teman ku berkeliaran di kota yang bernama bandung ini. Aku menyadarinya, mereka sudah jauh tumbuh dewasa dan aku tidak banyak mengetahui perjalanan mereka dengan begitu baik. Mereka bisa menunjukkan jalan dengan baik tanpa menggunakan google map atau takut di tilang polisi.
Mereka tumbuh lebih jauh dari apa yang aku pikirkan.
Kami tiba, di Jl. Tamansari, di kampus tempat temanku melanjutkan pendidikannya. Di sepanjang jalanan terlihat banyak sekali orang yang berjualan buket bunga.
Tempat ini terasa sangat asing bagiku. Aku terlalu lama diam di rumah, melihat mobil-mobil yang terjebak macet membuat ku pusing.
Sepertinya love language ku bukan physical touch, aku jarang seali melakukannya, bahkan sangat asing untuk aku lakukan. Tapi hari ini berbeda aku banyak memeluk dan memegang tangan teman-temanku. Entah kenapa, aku melakukannya begitu saja.
Hari itu aku benar-benar bangga bisa berada di tempat ini. Menjalani hari yang tidak pernah terpikirkan akan aku lewati. Melihat temanku banyak mendapat perhatian dan hadiah sangat membuat aku senang. Setidaknya, dia diperlakukan dengan baik. Itu yang terlintas di kepalaku. Ketika melihat ia bersama temannya yang lain. Mereka juga datang memberinya selamat dan juga hadiah.
Aku senang, bisa melihat sisi ini dari temanku.
Hal itu, membuat aku bersyukur masih bisa berada di lingkaran ini.
Kami memiliki jalan yang begitu beragam, Tapi saat bersama kami bisa melupakan perbedaan itu dan bersenang-senang dengan cara yang sama.
Aku suka mendengarkan mereka bercerita, keluh kesah mereka, hal senang yang sudah mereka lalui juga tentang skripsi yang tidak kunjung usai. Meskipun tidak mengalaminya, dengan cerita yang mereka ucapkan bisa memberikan ku gambaran tentang dunia perkuliahan.
Akhir-akhir ini aku menyadarinya. Sebagai teman, rasanya banyak sekali kekurangan yang aku miliki.
Untuk beberapa kali aku melewatkan hari ulang tahun mereka bahkan tidak memberi ucapan sama sekali. Entah kenapa, tapi terasa sulit saja. Aku tidak pandai merangkai setiap kata menjadi kalimat. Aku juga jarang menanyakan keadaan mereka karena terlalu malu untuk menanyakan hal itu. Aku hanya bisa tahu dan melihat apa yang mereka lakukan dari cerita status akun social medianya saja.
Dalam pertemanan ini, aku tidak tahu menjalankan peran yang seperti apa. Aku bukan teman yang baik, pendengar yang baik atau support system yang baik. Tapi, meskipun begitu aku hanya ingin tetap bersama mereka. Melihat mereka tumbuh, berjalan menuju impiannya dan mendapatkan apapun yang mereka inginkan.
Kemarin salah satu temanku Reza menyelesaikan skripsi dan sidang, tentu saja itu berjalan dengan baik. Aku baru mengucapkannya tadi pagi, Perlu banyak waktu hanya untuk sekedar mengucapkan kata selamat.
Termasuk Nadia dan Haifa, mereka juga sedang menyiapkan sidang untuk skripsinya. Doakan mereka yah, agar semuanya bisa berjalan lancar dan baik.
Aku ingin mengucapkan ini tapi terasa sangat memalukan jika bicara secara langsung dan aku hanya bisa mengatakannya dengan menulis disini.
"Terimakasih karena sudah tidak meninggalkan orang yang merepotkan ini."
“Terima kasih juga karena tidak pernah bertanya tentang apa yang terjadi. Percayalah itu sangat membantu, Kalian tidak perlu melakukan apa-apa. Sama seperti biasanya, aku juga bisa melakukan dan mengatasinya dengan baik.”
“Mari tetap hidup dan terus berbahagia untuk hal-hal kecil seperti pertemuan di awal bulan, cerita random, mendengarkan lagu-lagu yang kita sukai, bernyanyi bersama, menaiki motor dengan atau tanpa tujuan melawan terpaan angin atau derasnya hujan. Mari terus melakukan hal-hal seperti itu.”
6.0 DREAM
Lantas bagaimana dengan mimpiku? sampai sekarang aku belum menyinggungnya kan.
Apa mimpiku?
Aku menyukai film bahkan sangat menyukainya. Ketika menonton sebuah film aku selalu bertanya “Bagaimana mereka bisa membuat film sehebat ini?”
“Aku ingin mempelajarinya.”
Di bangku pertama SMK aku berusaha mencari cara agar bisa keluar dan pindah dari sekolahku. Sebelum di terima disini pun aku sudah membicarakannya kepada Bapak. Bahwa aku tidak menginginkan sekolah di jurusan farmasi dan ingin lebih masuk di jurusan multimedia.
Tapi Bapak menolaknya, dia bilang di kampung mau kerja apa kalau ngambil jurusan itu.
Pada saat itu, aku tidak bisa menjawabnya. Jadi, hanya mengikutinya saja. Namun keinginan ku lebih besar, Aku membuat sekolah ku berantakkan dan berusaha untuk tetap pindah.
Tapi, keinginan itu ditolak. Hingga akhirnya aku lulus dari sekolah itu dan melanjutkan kuliah di jurusan yang sama, Meskipun berakhir kurang baik juga. Hehe.
“Keinginan orang tua atau keyakinan diri sendiri?” pertanyaan itu ada saat aku lulus tingkat SMK, Aku bingung harus mengikuti yang mana.
Tapi, sekarang aku bisa menjawabnya. Pilihlah pilihan yang kalian yakini. Karena, dengan itu kalian akan terus merasa bertanggung jawab dan bersungguh-sungguh. Karena jika mengikuti keinginan orang tua dan kalian menjalaninya setengah-setengah itu juga tidak baik. Bahkan, ketika semua tidak berjalan dengan baik kalian akan tetap disalahkan. Sama seperti hal yang aku alami. Aku mengikuti keinginan orang tuaku, tapi tidak mengerjakannya dengan benar dan berakhir seperti ini. Dan tetap saja semuanya menyalahkanku.
Selain membuat film aku juga bercita-cita menjadi seorang penulis. Makanya, aku selalu menulis hal-hal yang terlintas di benakku juga mengingat hal-hal yang terjadi kepadaku.
Mengenai pendidikan sepertinya aku memang kurang beruntung. Di tahun kedua dan ketiga aku mencobanya. Mengikuti setiap tes beasiswa yang aku dapat infonya. Seperti di instansi bank negeri maupun swasta mereka banyak mengadakan hal seperti itu. Untuk beberapa kali aku juga mengikuti tes di universitas telekomunikasi dan universitas swasta di bandung. Namun, hasilnya nihil aku tidak mendapatkannya.
Usiaku makin bertambah dan kesempatan yang aku dapat juga semakin berkurang. Mereka memiliki batasan umur untuk mengikuti beasiswa dan ada waktu dimana aku tidak bisa melakukannya lagi.
Aku memikirkan solusi yang lain. Aku bisa melanjutkan kuliah, di tempat yang tidak banyak biaya dan aku bisa membiayainya dengan uang ku sendiri, itu yang terlintas di pikiranku bahkan jika perlu tempat itu harus dekat dari rumah sehingga aku bisa pulang pergi dan tidak perlu kos.
Aku mendapatkannya, ada sebuah perguruan tinggi yang aku tuju. Sedikit demi sedikit aku mengumpulkan uang untuk pendaftaran.
Hasilnya, tidak berhasil. sulit sekali mengumpulkan uang untuk saat ini. Usaha yang aku miliki, bagaimana? aku sudah tidak melanjutkannya. Mungkin orang-orang mulai bosan jadi aku berhenti saja. Pun uang modal juga hampir minus karena di pakai biaya sehari-hari. Terus kenapa masih pengen kuliah walau keadaannya kaya gini?
Aku hanya ingin melakukannya. Mengenyam pendidikan yang setara dengan anak-anak lainnya dan mengerjakan suatu hal yang pasti.
Suatu malam, rasanya terasa sangat berat. Dan Mamah menyadarinya, dia bertanya kenapa dan menanyakan keadaanku.
Aku mengatakannya, aku tidak tahu tapi entah kenapa akhir-akhir ini perasaan yang tengah aku alami tidak karuan. Ada momen aku yang terus menangis dan disaat yang bersamaan aku bisa tertawa. Ini membuatku takut, aku tidak bisa mengendalikan emosi yang harus muncul atau tidak.
Obrolan kami berlanjut hingga akhirnya aku berbicara tentang rencanaku yang akan kembali melanjutkan pendidikan.
“Mau daftar kuliah lagi, tenang aja buat daftar sama biaya orientasi mah ada,” ucapku, padahal tak ada satu lembar uang pun di saku ku.
“Tenang aja. da kuliah mah ngga bakal ganggu nikah,” ujarku lagi.
“Bahkan, kalau punya anak kan bisa cuti!” timpalku menambahkan.
“Siapa yang mau ngurusin ke kampusnya?” tanya mamah.
“Sendiri, kan udah gede!” balasku singkat.
“Ya udah sok urusin aja, Jangan sampai ada orang yang tahu!” jawab mamah sembari menitipkan sebuah pesan.
Untuk beberapa saat aku terdiam tidak percaya dengan reaksi yang ia berikan. Aku pikir dia akan melarangnya, mengingat usia ku yang tidak muda lagi dan untuk ukuran di kampung seharusnya aku sudah ...? mengertikan sudah apa.
Tapi dengan entengnya dia mengiyakannya.
Aku senang bukan main. Ternyata pikiran mamah sudah jauh berbeda dan dia masih mau mendukung mimpiku. Bahkan, tanpa ragu ia mengiyakannya.
Aku mengundur, terus mengundur karena uang untuk pendaftarannya masih belum ada dan tidak mungkin aku memintanya. Meskipun ia menawarkan aku tidak bisa menerimanya. Kebanyakan gengsi, padahal butuh.
Waktu berlalu, sampai akhirnya pendaftaran tutup dan semester baru kuliah sudah di buka. Tahun ini aku juga gagal, Ternyata ikhtiar ku kurang sempurna.
###
Sekarang mari focus berbicara tentang mimpiku yang lain.
Siapa sangka di rumah ini, aku bisa menggapai mimpiku.
Dengan sangat percaya diri aku bisa menggapai mimpiku dijalan ini sebuah jalan yang sangat tidak aku inginkan.
Tahun 2020 buku antologi pertamaku yang berjudul Lola dan Kala terbit. Di buku antologi itu aku menulis sebuah cerpen dengan judul “Sebuah proses”.
Dari antologi itu aku mendapat relasi baru berkenalan dengan para penulis lainya. Dunia sekarang canggih bukan bahkan tanpa bertatap muka aku bisa menemukan teman baru dan juga pengalaman yang begitu menyenangkan.
Dari buku itu juga aku mendapat kesempatan baru untuk kembali menulis buku antologi lainnya. seperti “Luruh” di antologi Ambyar, “Adu rayu” di buku Bucin juga di buku antologi Asiknya Zona Tidak Nyaman di buku ini aku lupa mengirimkan cerpen yang mana.
Semenjak itu, aku terus menerus melakukannya. Rasanya sangat menyenangkan, bisa menulis semua hal yang ada di kepalaku dan nanti aku bisa membacanya. Mengulang dan mengingat semua emosi yang berbeda di setiap harinya.
Aku mengembangkannya, belajar untuk menulis sebuah novel pertamaku. Dan kali ini harus tamat bukan hanya sekadar kerangkanya saja atau beberapa bagian yang tumpang tindih. Dalam pengerjaan novel ini aku belajar begitu banyak hal. Bagaimana menulis dengan baik? mengembangkan sebuah ide cerita, menyusun tiap kejadian agar saling berhubungan dan banyak hal lainnya.
Ada waktu dimana aku merasa buntu dengan apa yang aku tulis. Rasanya otakku berhenti bekerja, ketika aku memaksakan untuk menulis semua tidak berjalan baik. Bahkan, tulisan yang aku buat hanya terlihat asal-asalan. Tidak ada emosi di dalamnya.
Butuh satu tahun lebih dalam pengerjaan novel. Novel pertama yang aku buat dan terbitkan di platform Kwikku. Berjudul SEMESTA. Aku senang bisa melihat jumlah pembacanya meningkat setiap hari. Kebahagiaan-kebahagiaan itu membangkitkan keinginan aku untuk hidup dan terus berkembang.
Sepertinya yang aku kerjakan saat ini, benar-benar cocok untukku. Lewat ini, aku bisa mengeluarkan semua emosi dan pikiran yang ada di dalam tubuhku. Tanpa banyak orang yang mengetahuinya yang mereka ketahui hanya ku yang sebagai pedagang dan ini benar-benar menyenangkan. Aku bisa hidup di sebuah dunia yang aku inginkan.
Sama seperti menulis, aku juga berusaha belajar untuk mengembangkan kemampuanku dalam pengerjaan sebuah film. Aku terlalu malu, untuk merekam diri sendiri atau mengajak orang lain. Aku juga tidak terbiasa dengan kamera.
Bulan juni kemarin aku mengikuti sebuah lomba film pendek yang di adakan sebuah perusahaan air mineral. Aku bingung, harus mengajak siapa, teman-temanku rasanya tidak mungkin.
Saat ini, mereka tengah sibuk menyiapkan penelitian, skripsi dan sidang. Jadi, tidak tepat untuk aku mengajak mereka atau mengajak adikku dan teman-temannya seperti tahun lalu? entahlah, aku benar benar tidak tahu.
Waktu berlalu sangat cepat, hari hingga batas lomba juga semakin mendekat. Aku memutuskannya, aku akan mengandalkan tubuhku dan mengerjakannya dengan seluruh kemampuan yang aku punya.
Aku mengerjakannya dalam satu hari, mengambil gambar di pagi hari dan juga mengerjakan proses editing dari sore hingga malam.
Video itu sudah jadi dan sudah ada di platform digital utube akun milikku bernama MR pro dan video itu di beri judul Line 00 sama seperti cerpen yang kini tengah ku tulis. Sama seperti di cerita ini di dalam video itu aku juga menggambarkan apa yang aku rasakan belakangan ini.
Sepertinya aku melakukan kesalahan lagi, aku terlalu terburu-buru dan tidak membaca temanya dengan begitu jelas. Hingga, sepertinya video yang aku buat tidak berhubungan dengan tema yang di berikan.
Aku mengakuinya, sepertinya aku memang kalah lagi. Tapi, tidak apa-apa aku sudah terbiasa menerima kekalahan itu. Jadi, aku tidak sedih. Toh ini juga akibat dari sebuah kelalaian yang aku buat.
Meskipun, begitu aku tetap merasa senang. Karena sudah berani mengerjakannya, menampilkan wajahku, menceritakan semua yang aku rasakan, bahkan di video itu dengan berani merekam suara ku. Padahal aku jarang sekali memperdengarkannya kepada orang lain. Aku lebih suka menulis balasan yang banyak di sebuah pesan, di banding dengan mengirimkan balasan dengan voice notes. Entah kenapa, rasanya malu saja mendengar suara sendiri.
Sekarang semua sudah berbeda. aku mulai terbiasa dengan tempat ini. aku tidak tahu bahwa di tempat ini justru aku bisa mengerjakan hal yang begitu aku mimpikan. Meskipun belum ada titik terangnya, aku akan tetap mengerjakannya mengisi semua kekosongan waktu yang aku miliki dengan hal yang ingin aku lakukan.
EPILOG
Perkataanku di awal cerita ini benar, kan?
Sepertinya tuhan memang ingin aku belajar dan di tempat ini aku benar-benar belajar tentang banyak hal.
Aku menyadarinya, dulu sikapku terlalu arogan dan sombong. Hingga akhirnya tuhan mengambil semuanya. Mengambil apa yang ia titipkan, beberapa hal itu membuat aku harus melepaskan semua rasa ego, gengsi yang sebelumnya memenuhi seluruh tubuhku.
Aku juga di beri kesempatan. Merasakan bagaimana seharusnya anak pertama bertanggung jawab atas keluarganya. Memenuhi kebutuhan hidup, menahan rasa amarah dari setiap cacian dan makian. Belajar mengalah, dari hal yang memang tidak untuk di lawan dan membiarkannya begitu larut.
Aku tidak tahu bisa berdiri hingga saat ini. Menjalani kehidupan yang biasa dan jauh dari ekspektasi mewah yang aku buat.
Dahulu aku sangat ragu dan selalu menanyakan ini.
“Kenapa aku disini? untuk apa? dan apakah jalan ini bisa membawa aku kepada mimpi-mimpi ku? sebuah mimpi, yang aku juga tidak tahu itu apa? dan untuk siapa?”
Dan jawabannya iya, dengan percaya diri aku mengatakannya. Justru di tempat ini aku bisa berjalan menuju mimpi-mimpiku. Sebuah mimpi yang aku tulis di buku catatan saat bangku SMA.
Ini hebat, dan sangat ajaib. Itu yang aku pikirkan.
Benar, memang benar. Aku bukan lagi anak yang mendapat pujian karena masuk sekolah bagus. Bukan lagi, anak yang di ucapkan selamat karena kepintaranya. Hidupku biasa saja, jalan yang aku miliki berbeda dengan kebanyakan orang lain.
Jika kalian mencari cerita indahnya dunia perkuliahan aku tidak bisa memberikannya. Itu sebuah hal yang tidak aku alami. Aku hanya bisa menceritakan ini, sebuah cerita yang ajaib.
Sebuah keadaan yang merubah anak pemalas ini menjadi giat. Ia yang dulu jarang masuk sekolah, kini berusaha untuk terus belajar.
Dan pelajaran lain yang aku dapat. Adalah, jangan terlalu bergantung kepada siapapun. Termasuk, orangtua.
Tapi, tetap saja aku masih membutuhkan dan sangat membutuhkan mereka. Doa yang mereka ucapkan, sebuah dukungan, dan keberadaan mereka yang memberi aku kekuatan untuk menjalani kehidupan yang penuh kejutan ini.
Meskipun begitu, aku tetap mengingatnya. Sudah kewajiban ku untuk membangun atau mewujudkan mimpiku. Ini bagian dari rencanaku, perjalanan dan juga tujuanku.
Tidak perlu melibatkan beberapa orang karena mereka juga sama kesulitan untuk tetap bertahan.
Aku mengingatnya ada satu waktu aku merasa kenapa semuanya berjalan baik dan mudah untuk orang lain? dan tidak untukku?
Pikiran itu salah, dan benar-benar bodoh. Lancang sekali mulut ini berkata seenaknya. Tahu apa aku tentang mereka? yang aku lihat hanya lima belas detik kehidupan yang mereka tampilkan di social medianya. Jadi bagaimana mungkin aku menyimpulkan kehidupan mereka dengan video pendek itu.
Bisa jadi, mereka sama seperti ku. Menyimpan dan menyembunyikan setiap hal buruk yang terjadi karena tidak ingin membuat orang di sekitarnya cemas.
Aku bersyukur bisa tinggal di tempat ini. Disini banyak hal yang merubahku. Aku senang masih tinggal bersama orang tuaku, bisa menceritakan hal-hal yang ingin aku ceritakan tanpa merasa sungkan atau ragu. Menyapa nenek dan kakek, menanyakan keadaan mereka melihat mereka makan dan teratur, Mengajak main keponakanku, dan banyak hal lainnya.
Selalu ada momen di mana aku kehilangan kendali atas tubuhku. Aku selalu merasa sedih tiba-tiba menyadari masih di tempat ini.
Saat rasa itu hadir. Sepertinya, dunia ku sudah berhenti sejak lama. Tidak ada hal yang bisa aku banggakan atau membuat aku berkembang.
Aku menahannya, tapi tidak lama setelahnya rasa amarah itu memuncak membuat aku sensitif dan marah terhadap hal-hal kecil bahkan terkadang air mataku juga mengalir begitu saja.
Yang aku lakukan untuk mengatasi hal itu. Mengasingkan diri, berdiam di kamar untuk mengeluarkan sisa air mata yang menumpuk di ujung pelupuk mata dengan leluasa. Mengatur nafas ku agar tidak tersendat dan jika, itu belum cukup aku akan tidur saja membiarkan hal itu hilang dengan sendirinya.
Kondisi itu, tidak baik dan jika aku memaksakan diri untuk bertemu orang, itu akan lebih memperumit saja dan akan membutuhkan waktu yang lama agar aku bisa kembali baik-baik saja.
Hari-hari sulit juga terkadang muncul membuat aku ingin menyerah saja dan kembali menanyakan kemana arah hidupku yang sebenarnya. Tapi, tetap saja pertanyaan itu belum mendapatkan jawabannya.
Aku memilih bertahan dari semua ketidakpastian ini. Aku juga memilih bertahan untuk hal-hal kecil. Entah, untuk menikmati seporsi mie kesukaanku, mendengarkan lagu yang selalu aku ulangi hingga sepuluh kali, menonton drama korea, film, konser-konser secara online dan variety show itu sumber kebahagiaanku saat ini.
Aku menikmatinya, berusaha mengakhiri hari ku dengan baik. Tidak banyak membuat ekspektasi, mengerjakan semua hal tanpa mengharapkan imbalan. Itu jauh menenangkan, Hatiku terasa tenang dan semua itu tidak lagi membuat aku sesak.
Hidup ini mudah, jika kita mempermudahnya dan akan terasa sempit, jika pikiran kita sempit. Jika terlalu memikirkannya, juga tidak baik bukan. Imajinasi aneh selalu bergentayangan di kepala menimbulkan kekhawatiran-kekhawatiran yang belum tentu datang. semua itu sangat mengganggu, bukan?
Ada satu hal yang aku syukuri juga, aku tidak tahu bisa berjalan sejauh ini. Bahkan ketika aku duduk di bangku SMP, aku tidak pernah berandai-andai bisa duduk di bangku SMA. Saat itu rasanya tidak mungkin, Di daerahku hal itu belum lumrah.
Tapi, Tuhan memberiku sebuah kesempatan yang sangat bagus. Ia mengirim ku ke tempat yang jauh lebih maju. Disana pikiranku terbuka, Bahwa ada hal lain yang harus di kejar yaitu bernama mimpi dan aku bisa mewujudkannya.
Ketika di asrama aku mempunyai teman-teman yang mendukung dan mempercayai mimpiku. Mereka mengakui kemampuanku dan aku selalu menyukai setiap reaksi yang mereka berikan.
Aku selalu terlihat dengan acara pentas seni selalu di adakan. Hal itu, membuatku senang.
Di dalam sebuah kelas kami berbicara, mengenai sebuah ide yang akan kami angkat. Lalu, merekam suara untuk membuat bagian-bagian dari adegannya. Kami menggunakan alat seadanya, menggunakan piring dan sendok atau suara sendiri untuk menambahkan efek-efek tertentu. Lalu, setelahnya aku akan mengerjakan tahap editing dan jika selesai kami akan mulai membagikan tiap peran dan juga mulai berlatih.
Aku tidak tahu perkataan.
"See u on top"
Adalah sebuah hal yang sulit untuk di wujudkan.
Saat itu, kami akan berbicara tentang mimpi-mimpi kami dan berkata akan bersama-sama meraih mimpi kami.
Namun, sekarang terasa sulit. Kami terlihat seperti orang asing, 24/7 yang kami lalui tidak berarti apa-apa. Untuk saat ini, kami mengarungi jalan yang berbeda membuat kami terlalu sibuk dengan dunia yang kami miliki. Bahkan, yang bisa kami lakukan hanya menjadi penonton di cerita akun social medianya saja.
Aku merindukan mereka juga setiap detik kebersamaan mereka.
Aku yang harus berangkat lebih awal karena menuju sekolah yang berbeda. Mereka yang mau mengalah dan memberiku kesempatan agar bisa mandi tanpa mengantri. Setiap tos dan sapaan pagi yang memberiku kekuatan, tongkrongan di tangga yang mengganggu pejalan kaki, cerita rekapan dari hari yang kami lalui, atau cerita tentang malam kami yang mengkhawatirkan hal-hal semu. Seperti sulitnya pelajaran Kimia atau Matematika, cerita gebetannya yang mulai memacari orang lain. Hal-hal seperti itu.
Hari minggu yang selalu kami isi dengan menonton drama Korea atau belajar koreografi dari lagu-lagu baru. Aku sangat merindukannya dan berharap bisa bertemu dengan mereka lagi.