Cerpen
Disukai
0
Dilihat
6,045
Mata Tetangga
Drama



Di Kompleks Taman Harmoni, para penghuninya hidup penuh dengan konflik. Setiap tetangga selalu sibuk mengurusi urusan orang lain, membuat suasana kompleks semakin panas. Namun, sebuah kejadian besar pada suatu pagi mengungkap rahasia gelap yang selama ini tersembunyi.



Pagi itu, Bu Sari sedang duduk di teras rumahnya, memperhatikan Rani yang baru saja turun dari sebuah mobil hitam bersama seorang pria.


Bu Sari berbisik ke Bu Nia yang lewat, dia berujar, "Lihat tuh, si Rani lagi-lagi dijemput pria beda. Jangan-jangan benar ya, dia itu simpanan?"


Seraya tersenyum licik Bu Nia ikut membalas, "Memang sih, akhir-akhir ini mencurigakan. Sebaiknya saya ingatkan dia, biar sadar."


Bu Nia langsung mengetik pesan di grup WhatsApp kompleks:

"Untuk tetangga yang suka mengundang tamu pria asing, ingat ini kompleks keluarga, bukan tempat kos harian. Makasih ya~."


Tak butuh waktu lama, Rani membaca pesan itu. Dengan napas memburu, ia mendatangi rumah Bu Nia.


Rani kemudian berdiri di depan pintu, dan berteriak, "Bu Nia! Maksud Ibu apa ngomong kayak gitu di grup? Mau jatuhin saya?"


Bu Nia dengan santainya, membalas dengan senyum sinis,"Lho, kalau nggak merasa salah, kenapa marah? Saya cuma ngomong fakta yang semua orang lihat."


Nada mulai meninggi, Rani tak terima,"Fakta apanya? Jangan sok tahu soal hidup saya, Bu!"


Pak Budi, tetangga lain yang kebetulan lewat, ikut campur.


"Wah, wah, ribut-ribut pagi-pagi. Tapi jujur saja, Rani, kami semua juga penasaran. Mobil hitam beda tiap hari, jangan-jangan gosip Bu Sari benar ya?"


Sambil menatap tajam Pak Budi, Rani berujar dengan kesal, "Daripada ngurusin hidup saya, Pak, mending Bapak urus tuh utang-utang ke rentenir!"


Wajah Pak Budi langsung memerah. Gosip soal dirinya berutang kepada rentenir adalah isu yang disebarkan Bu Sari beberapa hari lalu. Dengan emosi meluap, Pak Budi berjalan cepat ke rumah Bu Sari.



Konflik semakin memanas antar warga, kali ini Pak Budi mencari keberadaan Bu Sari.


Pak Budi sudah berdiri tepat di depan rumah Bu Sari, ia kemudian berteriak, "Bu Sari! Saya tahu gosip soal saya utang rentenir itu dari mulut Ibu. Apa maksudnya menyebar fitnah?"


Dari dalam rumah Bu Sari hanya tertawa kecil, ia pun membalas "Lho, saya cuma dengar dari orang lain. Kalau nggak benar, kenapa Bapak panik?"


"Jangan pura-pura nggak tahu ya! Kalau begini terus, saya lapor ke RT!" ancam Pak Budi.


Keributan mereka menarik perhatian tetangga lain. Dalam waktu singkat, hampir semua penghuni kompleks berkumpul. Keluarga Mira, yang terkenal ribut, ikut menyiram bensin ke api.


"Aduh, apaan sih ribut-ribut pagi-pagi? Nggak malu apa berantem di depan orang?" Mira ikut berceletuk.


Pak Doni ikut mendekat dengan wajah masam, ia pun ikut menyambar,"Malah kamu ngomong soal malu, Mira. Keluarga kamu tiap malam ribut nggak ada habisnya! Kami jadi nggak bisa tidur!"


"Eh, urus aja rumahmu sendiri, Pak Doni. Nggak suka? Ya pindah aja!" Mira melotot sambil berkacak pinggang.


Situasi semakin memanas. Semua tetangga mulai saling menyalahkan. Bu Nia, seperti biasa, memilih memprovokasi dengan cara halus.


Bu Nia membuka video dari ponselnya, ia berkata, "Sudah, daripada ribut soal ini, mending kita bahas Pak Doni. Jalan depan rumahnya penuh pot besar, bikin macet tiap hari. Kalau mau ribut, mulai dari situ dulu!"


Pak Doni tersinggung. Ia langsung menghentak salah satu pot besar di depan rumahnya hingga pecah.


"Kalau kalian nggak tahu alasan saya pasang pot, jangan komentar! Saya pasang ini buat cegah maling, tahu?!" Pak Doni berkomentar dengan amarah.


Semua terdiam mendengar kata "maling". Mereka saling pandang dengan rasa penasaran.


Bu Sari mendekati Bu Nia dan berbisik," "Maling? Siapa malingnya?"


"Ya saya nggak nuduh siapa-siapa. Tapi ada orang di sini yang sering kedatangan tamu aneh-aneh malam-malam. Kalau bukan mereka, siapa lagi?" Pak Doni mendesis.


Semua mata kini tertuju pada Rani. Suasana menjadi tegang.


Namun, Rani tetap tenang. Ia merogoh ponselnya dan membuka sebuah video dari rekaman CCTV di rumahnya.


"Tamu yang datang ke rumah saya itu saudara saya, yang kebetulan polisi. Dia membantu saya pasang CCTV untuk menangkap maling di kompleks ini." Rani berujar dengan tenang


Semua orang saling pandang. Rani memutar videonya. Dalam video itu, terlihat seseorang sedang mengambil barang dari teras rumah Pak Doni. Sosok itu adalah... Pak Budi.


"Ini dia malingnya. Pak Budi, masih mau menyangkal?" Rani berucap gamblang.


Semua orang terkejut. Pak Budi langsung gelagapan, wajahnya memerah.


"Itu... itu bukan saya! Cuma mirip!" Pak Budi berusaha tetap tenang.


"CCTV tidak pernah berbohong, Pak. Barang-barang yang hilang, termasuk tanaman di pot Bu Sari, pasti ada di rumah Bapak." Rani tetap kekeh.


Satpam yang ikut berkumpul langsung mendekati Pak Budi.


"Pak Budi, sebaiknya ikut saya untuk bicara lebih lanjut. Kalau memang tidak bersalah, pasti bisa dibuktikan." Ujar Satpam.


Pak Budi akhirnya tak bisa berkata apa-apa lagi. Tetangga-tetangga yang tadi mendukungnya kini mencibir.


"Hah, pantes aja sering pamer. Ternyata maling." Bu Sari kali ini berucap dengan nada suara agak keras.


Bu Nia ikut menambahkan sambil menyindir,"Semoga ini jadi pelajaran buat kita semua, ya. Jangan terlalu sibuk urusin hidup orang."



Sejak hari itu, suasana di Taman Harmoni berubah. Para tetangga mulai menjaga jarak satu sama lain, takut rahasia mereka terbongkar seperti Pak Budi. Namun, di balik ketenangan baru itu, drama tetap hidup, hanya menunggu waktu untuk meledak lagi.


**



Setelah kejadian penangkapan Pak Budi sebagai maling oleh satpam kompleks, suasana di Taman Harmoni berubah. Para tetangga menjadi lebih waspada dan cenderung saling menghindari. Namun, di balik keheningan itu, ketegangan baru perlahan muncul. Ada rahasia-rahasia lain yang mulai mencuat, dan kali ini korbannya bukan hanya satu orang.


Beberapa hari setelah insiden Pak Budi, Bu Sari kembali duduk di teras rumahnya. Kebiasaannya mengamati tetangga tetap berjalan seperti biasa. Kali ini, matanya tertuju pada Bu Nia yang sedang memasukkan beberapa kardus besar ke bagasi mobilnya.


Bu Sari mendesis, "Hmmm… mau apa tuh Bu Nia? Kok bawa barang banyak? Jangan-jangan mau pindah?"


Ia langsung mengetik pesan di grup WhatsApp:

"Ibu-ibu, ada yang tahu Bu Nia mau pindah? Kok kayaknya buru-buru banget ya. Aneh, deh."


Bu Nia membaca pesan itu saat sedang di jalan dan menggeleng kesal. Setibanya di rumah, ia langsung mengetik balasan:

"Bu Sari, jangan suka asal nebak. Ini barang-barang mau saya sumbangkan ke panti asuhan. Daripada cuma duduk menggosipkan orang, mending Ibu ikut nyumbang juga, deh."


Seketika grup WhatsApp meledak dengan pesan-pesan para ibu yang menertawakan Bu Sari secara halus. Tapi ini tidak membuat Bu Sari menyerah. Ia malah merasa ada yang disembunyikan Bu Nia.


Bu Sari asyik berbicara sendiri,"Nggak mungkin cuma buat sumbangan. Pasti ada sesuatu."


**


Di malam hari, suasana kompleks tampak lengang. Keluarga Mira seperti biasa masih ribut di dalam rumah. Anak-anak mereka, Dito dan Dila, berlari-larian keluar sambil membawa senter.


"Dil, ayo kita main petak umpet di dekat taman kompleks!" Dito m ngajak Dila.


Dengan antusias nya Dila berujar,"Ayo! Tapi jangan lama-lama, nanti dimarahin Mama."


Saat mereka bermain, Dito melihat sosok gelap berdiri di dekat gudang kosong milik kompleks. Sosok itu tampak memindahkan sesuatu ke dalam sebuah karung besar.


Dito berbisik, "Dil, itu siapa? Kok kayak orang nyolong?"


"Kita pulang aja, Dit. Serem!" Dila gemetaran.


Namun Dito, yang lebih penasaran, mendekat diam-diam. Saat cahaya senter menyentuh wajah orang itu, ia terkejut. Itu adalah Pak Doni.


"Pak Doni? Lagi apa, Pak?" Dito berteriak.


Pak Doni terkejut, tapi dengan cepat ia menyembunyikan karung besar itu ke dalam gudang.


Pak Doni hanya tersenyum canggung,"Ah, ini cuma sampah-sampah rumah saya, Nak. Jangan bilang siapa-siapa, ya."


Anak-anak itu pulang dengan rasa penasaran. Mereka langsung menceritakan kejadian itu pada orang tua mereka, Mira dan suaminya.


"Sampah? Ngapain buang-buang waktu di gudang malam-malam? Aneh banget." Mira berujar sambil mengernyit.


**


Keesokan harinya, kabar tentang Pak Doni yang memasukkan sesuatu ke gudang menyebar cepat. Bu Sari, tentu saja, adalah orang pertama yang membesar-besarkan cerita itu.


"Saya sih udah lama curiga sama Pak Doni. Itu gudang kayaknya tempat dia simpan barang-barang curian. Jangan-jangan dia komplotannya Pak Budi!" tuduh Bu Sari.


Rumor ini semakin menjadi-jadi setelah beberapa warga menemukan barang-barang mereka yang hilang justru berada di sekitar area gudang. Salah satu warga bahkan melapor ke RT.


Malam harinya, RT, satpam, dan beberapa warga termasuk Bu Sari, Bu Nia, dan keluarga Mira mendatangi gudang untuk memeriksa isi di dalamnya. Pak Doni yang terlihat gelisah mencoba menghalangi.


Pak Doni mulai panik,"Ini nggak perlu diperiksa! Isinya cuma barang-barang bekas saya."


"Kalau nggak ada yang disembunyikan, kenapa harus takut?" Pak RT berucap dengan tegas.


Setelah kunci gudang berhasil dibuka, mereka menemukan karung-karung besar. Namun, ketika dibuka, isinya bukan barang curian seperti yang diduga, melainkan… tumpukan botol alkohol ilegal.


Semua orang terkejut.


Bu Sari membelalak,"Astaga! Jadi selama ini Pak Doni jadi bandar minuman keras?!"


Pak Doni hanya bisa terdiam. Sementara itu, Bu Nia tidak mau ketinggalan.


"Pantas saja setiap malam jalan depan rumahnya ramai. Rupanya bukan karena menjaga kompleks, tapi ada bisnis gelap!" Bu Nia ikut-ikutan berkomentar.


Pak Doni akhirnya mengakui bahwa ia memang menjual minuman keras secara ilegal untuk menambah penghasilan. Tapi, sebelum orang-orang bisa lebih jauh menghukumnya, Rani melangkah maju.


"Sebentar! Jadi, Pak Doni selama ini yang menyuplai alkohol ke kompleks ini? Pantesan ada yang sering mabuk tiap malam." Rani kembali berucap.


Semua mata langsung tertuju pada Bu Sari. Mereka ingat bagaimana Bu Sari sering berbicara tidak jelas di grup WhatsApp larut malam, seolah sedang mabuk.


Bu Sari malah terlihat gugup,"A-apaan sih kalian lihat-lihat saya begitu? Saya nggak pernah minum!"


"Oh iya? Jadi siapa yang beli 10 botol dari Pak Doni minggu lalu? Saya lihat kok ada bukti transaksi." ucap Rani.


Pak Doni hanya menghela napas, "Benar. Bu Sari salah satu pelanggan tetap saya."


Semua orang terkejut. Wajah Bu Sari merah padam. Ia mencoba menyangkal, tapi bukti sudah jelas.



Malam itu, rahasia Pak Doni dan Bu Sari terbongkar. Para tetangga kembali geger, kali ini karena orang yang sering menghakimi justru menyimpan kebiasaan buruk.


Namun, di tengah kekacauan itu, ada sesuatu yang aneh. Dalam kebingungan, Rani menyelinap pergi tanpa suara. Tidak ada yang tahu bahwa ia menyimpan rahasia lebih besar yang akan mengguncang seluruh kompleks.


SELESAI




Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)