Masukan nama pengguna
Sore itu, langit Jakarta tampak sendu. Rintik hujan menari di kaca jendela apartemen kecil milik Andini. Ia duduk di meja kerja, menatap sebuah amplop cokelat lusuh yang baru saja dikirim oleh petugas pos. Tidak ada nama pengirim, hanya alamat yang tertulis dengan tinta hitam. Dengan hati-hati, Andini membuka amplop itu. Selembar kertas tua terlipat rapi di dalamnya. Saat ia membuka dan mulai membaca, matanya membelalak. Tulisan itu… adalah tulisan tangan ayahnya.
Ada sesuatu yang harus kamu tahu, Andini. Aku tak bisa menceritakannya saat itu, tapi kini saatnya kau menemukan kebenarannya. Pergilah ke rumah lama kita di Bandung. Cari jawaban di kamar loteng. Maafkan Ayah.
Tangannya gemetar. Ayahnya, Joko, telah meninggal lima tahun lalu akibat serangan jantung. Bagaimana mungkin ia menerima surat ini sekarang?
Andini mengambil cuti keesokan harinya dan langsung berangkat ke Bandung. Rumah masa kecilnya masih berdiri, meski sudah tampak usang dan berdebu. Dengan kunci cadangan yang masih ia simpan, ia membuka pintu dan masuk.
Kenangan masa kecilnya menyeruak. Suara tawa, aroma masakan ibunya, dan bayangan ayahnya yang selalu sibuk di ruang kerja. Tapi pikirannya kembali ke tujuan utama: loteng.
Saat menaiki tangga kayu menuju loteng, ia merasa ada yang mengawasinya. Namun, ia mengabaikannya dan membuka pintu loteng yang lama tak terpakai. Di sana, ia menemukan sebuah peti kayu kecil. Ia membuka kunci dengan sedikit usaha dan menemukan… setumpuk surat serta sebuah rekaman kaset tua.
Ia membaca salah satu surat di atas. Seketika, tubuhnya membeku. Surat itu bukan dari ayahnya, melainkan dari seseorang bernama Ratna—ibunya.
“Jika kamu membaca ini, artinya aku sudah lama pergi. Ada rahasia yang selama ini kusimpan. Andini, aku bukan ibumu yang sebenarnya.”
Jantungnya berdegup kencang. Ini pasti kesalahan. Namun, sebelum pikirannya semakin kacau, ia menemukan selembar foto hitam-putih di antara surat-surat itu. Di foto itu ada dua wanita yang mirip, iya salah satunya adalah ibunya.
Siapa wanita di sebelahnya?
Dengan tangan gemetar, Andini memasukkan kaset tua ke dalam tape recorder yang ia temukan di dalam peti. Setelah beberapa detik suara berderak, terdengar suara seorang wanita.
“Andini, jika kamu mendengar ini, itu berarti kamu sudah cukup dewasa untuk mengetahui kebenaran. Namaku Ratna. Aku bukan ibu kandungmu, tapi aku membesarkanmu sebagai anakku sendiri. Kamu sebenarnya anak saudara kembarku, Rina.”
Saudara kembar? Ibunya memiliki saudara kembar? Mengapa ia tidak pernah tahu?
Ratna melanjutkan, “Rina menghilang secara misterius saat kamu baru berusia satu tahun. Dia diculik, dan hingga hari ini, aku tidak tahu apakah dia masih hidup atau sudah tiada. Aku dan suamiku, Joko, membesarkanmu tanpa bisa memberitahumu hal ini. Tapi kini, kamu harus tahu. Carilah kebenarannya, Andini.”
Seketika, seluruh dunia Andini terasa jungkir balik. Selama ini, ia hidup dalam kebohongan.
Tanpa membuang waktu, Andini mulai mencari informasi tentang Rina. Ia mengunjungi kantor catatan sipil dan menemukan data bahwa Rina memang pernah lahir, namun catatan kehidupannya menghilang sejak tahun 1997, tahun ia diculik.
Namun, ada satu petunjuk menarik. Nama Rina terakhir kali terdaftar dalam sebuah rumah sakit jiwa di daerah Lembang pada tahun 2005. Hatinya berdegup. Apakah mungkin Rina masih hidup?
Saat Andini sampai di rumah sakit itu, seorang perawat tua mengenal nama Rina. “Ya, dia pernah di sini. Tapi dia tidak gila. Dia dipaksa tinggal di sini,” ujar sang perawat.
Andini menelan ludah. “Oleh siapa?”
Perawat itu ragu-ragu sebelum akhirnya berkata, “Suamimu.”
Dunia Andini terasa berhenti. “Apa maksudnya?”
“Sebelum kamu menikah, suamimu, Arman, sering datang ke sini dan menemui Rina. Kami curiga ada hubungan di antara mereka, tapi tidak ada yang tahu pasti.”
Andini merasa tubuhnya melemas. Arman? Suaminya? Apa hubungannya dengan Rina?
Dengan perasaan berkecamuk, Andini pulang dan menunggu Arman. Begitu pria itu pulang, ia langsung mengonfrontasinya.
“Arman, siapa Rina?”
Ekspresi Arman berubah drastis. Ia terdiam, lalu berkata, “Dari mana kamu tahu?”
“Apa hubunganmu dengannya?”
Arman menghela napas panjang, lalu berkata pelan, “Rina adalah istri pertamaku.”
Darah Andini berdesir. “Apa?”
“Aku mencintainya, tapi dia menghilang setelah kecelakaan yang hampir membunuhnya. Aku menemukannya bertahun-tahun kemudian di rumah sakit jiwa. Tapi dia tidak ingat siapa pun, termasuk aku. Aku mencoba membantunya, tapi keluargamu menghalangiku.”
Andini merasa mual. “Kamu berbohong… kenapa kamu tidak pernah bilang apa pun?”
Arman menatapnya dengan ekspresi bersalah. “Karena jika kamu tahu kebenarannya, kamu tidak akan pernah mau menikah denganku.”
Saat itu juga, telepon Andini berdering. Itu dari perawat tadi. Dengan suara terburu-buru, perawat itu berkata, “Bu Andini, kami menemukan sesuatu yang aneh. Kami memeriksa ulang catatan Rina, dan ternyata… dia masih hidup. Tapi seseorang membawanya keluar beberapa bulan lalu dengan identitas palsu.”
Hati Andini mencelos. “Siapa?”
Perawat itu ragu-ragu sebelum menjawab, “Suami Anda, Bu.”
Ponsel hampir terlepas dari genggamannya. Ia menatap Arman, yang kini menatapnya dengan wajah dingin. “Aku bisa menjelaskannya,” kata pria itu pelan.
Namun, sebelum Andini bisa mengatakan apa-apa, listrik di rumah tiba-tiba padam.
Di tengah kegelapan, terdengar suara langkah kaki.
Seseorang ada di dalam rumah mereka. Jantung Andini berdegup kencang. Gelapnya ruangan membuat napasnya tertahan. Ia bisa merasakan keberadaan seseorang di dekatnya.
“Arman…” suaranya hampir berbisik.
Suaminya tak menjawab. Langkah kaki terdengar semakin mendekat. Andini meraba-raba mencari ponselnya, tapi sebelum sempat menyalakan senter, sebuah tangan dingin menyentuh bahunya.
Ia menjerit dan mundur. Saat itu juga, listrik tiba-tiba kembali menyala. Cahaya terang menyilaukan matanya sejenak. Dan di sana, berdiri seorang wanita.
Wajahnya pucat, rambut panjangnya berantakan, dan matanya kosong. Andini merasa tubuhnya membeku. Wajah itu… sangat mirip dengan dirinya sendiri.
“Rina?” bisiknya tak percaya.
Wanita itu menatapnya dengan kebingungan. “Aku… dimana?” suaranya lirih.
Andini menelan ludah. Kakak kembarnya yang selama ini ia kira telah tiada, kini berdiri di hadapannya.
Namun, sebelum ia bisa mendekat, Arman tiba-tiba meraih tangannya dengan erat. “Jangan dekati dia, Andini,” suaranya terdengar tajam.
Andini menepis genggamannya. “Cukup, Arman! Kau sudah berbohong cukup lama. Apa yang kau lakukan padanya?”
Rina mengerjap, lalu berbisik dengan suara gemetar, “Arman… kau…” Air matanya mengalir di pipinya. “Aku ingat sekarang…”
Andini melihat ekspresi suaminya berubah. Wajahnya yang semula tenang kini penuh ketakutan.
“Arman, apa yang dia katakan?” suara Andini terdengar penuh kecurigaan.
Arman tetap diam, tapi Rina melangkah maju, menatapnya dengan amarah yang tertahan.
“Aku ingat semuanya… kau yang mencelakakanku! Kau yang membuatku mengalami kecelakaan itu!” Rina berteriak, suaranya pecah. “Kau memalsukan kematianku dan mengurungku di rumah sakit jiwa selama bertahun-tahun!”
Dunia Andini seakan runtuh. Ia menoleh ke arah Arman yang kini menunduk, rahangnya mengeras.
“Apa ini benar?” suaranya hampir tak terdengar.
Arman menghela napas panjang sebelum akhirnya menatap Andini dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Aku mencintai Rina,” katanya datar. “Tapi dia ingin meninggalkanku. Aku tidak bisa membiarkannya pergi, jadi aku memastikan dia tidak akan pernah bisa kembali.”
Andini merasa mual. Orang yang selama ini ia percayai ternyata adalah monster yang telah menghancurkan hidup saudara kembarnya.
Rina tiba-tiba merogoh sakunya dan mengeluarkan sesuatu, seperti sebuah pisau kecil yang berkarat. “Aku akan mengakhiri ini, Arman,” suaranya bergetar penuh emosi.
Arman tersenyum miring. “Kamu pikir aku akan membiarkanmu?”
Dengan gerakan cepat, Arman meraih vas bunga di meja dan melemparkannya ke arah Rina. Tapi Andini lebih cepat, ia mendorong Rina ke belakang dan menghadang Arman.
“Cukup!” teriaknya. “Aku akan melaporkanmu ke polisi. Kamu akan membayar semua kejahatanmu!”
Namun, Arman tidak menyerah begitu saja. Dengan satu gerakan cepat, ia meraih pisau dari tangan Rina dan berbalik hendak menusuk Andini.
Semuanya terjadi begitu cepat.
Rina menjerit. Andini merasakan sesuatu yang hangat mengalir di perutnya.
Darah.
Namun, itu bukan darahnya.
Ia menatap ke depan dan melihat Arman yang terhuyung dengan pisau menancap di dadanya. Rina berdiri di belakangnya, tangannya gemetar.
Arman terbatuk, lalu tersenyum miris. “Kamu… membunuhku…”
Ia terjatuh ke lantai, darah mengalir membasahi ubin putih. Napasnya tersengal sebelum akhirnya berhenti sepenuhnya.
Keheningan menyelimuti ruangan.
Pisau di tangan Rina terlepas, jatuh ke lantai dengan suara berdenting. Tubuhnya gemetar hebat. “Aku… aku tidak ingin membunuhnya…”
Andini segera merangkulnya. “Tidak apa-apa, Rina. Kamu hanya membela diri.”
Di kejauhan, sirene polisi mulai terdengar. Mereka akhirnya terbebas dari kegelapan masa lalu yang menghantui mereka selama ini.****