Masukan nama pengguna
---
"Nak, Ibu Sudah Pergi Jauh...,"
Aku hanya memandang bapak dengan wajah datar, sambil terus mengunyah makanan yang sedari tadi tak kunjung tertelan. Di hadapanku, bapak menangis terisak, memelukku erat, suaranya bergetar.
“Nak, maafkan Bapak... Bapak terlalu sibuk bekerja... Maaf karena mengabaikan kalian...”
Air matanya membasahi kaos hitam yang ia kenakan. Pelukannya semakin erat, seolah takut kehilangan. Aku hanya diam, terlalu kecil untuk memahami makna permintaan maaf itu.
Tidak lama kemudian, suara ambulans meraung-raung, memecah keheningan. Aku menoleh ke luar, melihat kerumunan warga mulai memenuhi halaman rumah. Mereka memandang kami dengan tatapan iba yang membuatku bingung.
“Aduh, kasihan ya?”
“Padahal anaknya masih kecil...”
Beberapa orang menurunkan sebuah peti kayu berwarna hitam dari mobil ambulans. Tangis keluarga memecah suasana. Aku mengerutkan kening, tidak paham apa yang sedang terjadi.
“Ini apa? Kenapa semua orang menangis?” pikirku.
Aku masih terlalu kecil, baru tiga tahun usiaku. Bagiku, ibu hanya pergi sebentar, seperti biasanya. Tidak ada yang berubah, bukan? Aku yakin ibu pasti akan pulang, membawa makanan favoritku sambil tersenyum seperti dulu.
Namun, pemakaman itu berlalu, dan ibu tak kunjung kembali. Tatapan iba dari para tetangga membuatku risih.
“Yang sabar ya, Nak,” ujar seorang wanita seusia ibu, membelai rambutku sambil menangis. Aku hanya menepis pelan tangannya, merasa kesal karena diperlakukan seolah-olah aku anak yang penuh kemalangan.
Mana mungkin ibu pergi untuk selamanya? Ibu pasti tahu, bapak tidak pandai mengurusku. Tapi aku yakin, bude—kakak perempuan bapak—akan menggantikan peran ibu untuk sementara.
Setelah semua tamu pulang, rumah menjadi sunyi. Aku sibuk memunguti tisu-tisu bekas tangisan orang-orang, sementara bapak duduk di sofa, matanya sembab.
“Pak, Kakak lapar,” ujarku pelan, mengelus perut yang mulai keroncongan.
“Tunggu ya, Nak,” jawab bapak lemah, bangkit menuju dapur.
Malam itu, aku memecah kesunyian. “Ibu... Ibu... pulanglah,” panggilku, tanpa sadar air mata mengalir. Dari dapur, aku mendengar isakan bapak, namun tidak ada jawaban lain.
Hari-hari berlalu, hingga aku menginjak usia tujuh tahun. Aku mulai menyadari sesuatu yang berbeda—ibu tak pernah kembali.
“Pak, ibu ke mana?” tanyaku suatu malam.
“Doakan saja ibu bahagia di sana, Nak,” jawab bapak singkat, seperti biasa. Lalu ia menghindar, seolah takut aku bertanya lebih jauh.
Semua keperluanku kini diurus oleh bude. Aku tidak protes, karena kasih sayangnya begitu tulus, hampir membuatku lupa akan ibu. Tapi rasa kehilangan itu tetap ada, mengendap di hati kecilku.
“Bude, ibu kok lama sekali perginya?” tanyaku suatu sore, melepas seragam sekolah.
“Ibumu sudah tenang, Nak,” jawab bude sambil tersenyum tipis.
Aku tidak mengerti apa maksudnya. Kata “sudah tenang” membuat kepalaku penuh pertanyaan. Di mana ibu sekarang? Mengapa ibu pergi? Apa aku pernah salah hingga ibu meninggalkan kami?
Pernah suatu hari, angin sepoi-sepoi menyentuh wajahku saat berjalan ke sekolah. Lalu, sebuah suara lembut berbisik di telingaku.
“Nak, ibu kangen...”
Aku tertegun. Itu suara ibu!
“Ha?! Ibu?!” Aku memutar pandangan, tapi yang kulihat hanya Tria dan Susi, teman-temanku.
“Kamu kenapa, Ra?” tanya Tria heran.
“Aku dengar suara ibu tadi,” jawabku terbata.
“Ah, jangan ngadi-ngadi deh!” balas Susi, suaranya cemas.
Aku yakin itu suara ibu. Tapi, kenapa aku tidak melihatnya?
Di rumah, bude menceritakan hal itu kepada bapak. Mereka khawatir. Bude bahkan menyarankan aku ikut tinggal bersamanya di Riau agar pikiranku lebih tenang.
“Enggak, Mbak... Rara satu-satunya semangatku sekarang,” jawab bapak, suaranya bergetar.
“Tapi kondisi Rara begini terus. Dia masih berharap ibunya kembali, padahal sudah empat tahun, Dek!” Bude mendesak.
Bapak hanya menunduk, menahan tangis. Setelah lama terdiam, ia mengangguk lesu.
“Baiklah...”
Keputusan itu berat, tapi akhirnya aku pindah ke Riau bersama bude. Aku tahu, bapak melakukannya demi aku, meski hatinya hancur karena berpisah denganku.
Kini, aku tinggal bersama bude, tapi satu pertanyaan tetap menghantui: di mana surga ibu? Apakah aku akan menemukan jawabannya suatu hari nanti?
Aku hanya berharap, dari sana, ibu melihatku dan tersenyum.
“Ibu, lihat Rara dari surga, ya...”
---
Hidup di Riau bersama Bude terasa berbeda. Suasana rumah yang baru, teman-teman sekolah yang baru, dan rutinitas yang tidak lagi melibatkan bapak, semuanya membuatku harus belajar menyesuaikan diri. Meski begitu, rasa rindu pada ibu tak pernah pudar.
“Rara, hari ini Bude masak gulai ayam kesukaanmu, ayo makan!” suara Bude memanggil dari dapur.
Aku tersenyum kecil, lalu duduk di meja makan. Tapi setiap kali aku melihat lauk itu, bayangan ibu selalu muncul. Gulai ayam adalah masakan andalan ibu—rasanya tak pernah sama, meski Bude berusaha keras menirunya.
“Bude, ibu masaknya beda...” ujarku pelan.
Bude berhenti sejenak, matanya tampak berkaca-kaca. “Iya, Nak. Tapi Bude janji, Bude akan belajar supaya bisa masak seperti ibu.”
Malam itu, aku merenung di kamar, menatap foto keluarga yang kubawa dari rumah lama. Foto itu sudah mulai pudar, tapi senyum ibu tetap terlihat jelas.
“Buk, kenapa Ibu pergi?” bisikku pelan.
Entah kenapa, malam itu aku bermimpi aneh. Dalam mimpi, aku melihat ibu berdiri di depan sebuah taman yang luas. Wajahnya cerah, tapi ia hanya diam memandangku. Aku mencoba mendekat, tapi langkahku terhenti. Ada dinding kaca tak terlihat yang memisahkan kami.
“Ibu, tunggu!” seruku. Tapi ibu hanya tersenyum, lalu menghilang perlahan.
Aku terbangun dengan keringat dingin, nafasku memburu. Rasanya nyata sekali.
---
Hari-hari berlalu, dan aku mulai terbiasa dengan kehidupan di Riau. Tapi rasa ingin tahu tentang ibu tak pernah hilang. Aku sering bertanya pada Bude, tapi jawabannya selalu sama, “Ibumu sudah tenang, Nak.”
Sampai suatu hari, aku tak sengaja mendengar pembicaraan Bude dengan seseorang di telepon.
“Ya, kasihan Rara. Dia belum tahu kalau ibunya meninggal karena kecelakaan dulu. Kami takut dia belum siap menerima kenyataan.”
Jantungku berdegup kencang. Meninggal? Kecelakaan? Aku segera masuk ke kamar, memikirkan apa yang baru saja kudengar.
Malamnya, aku memberanikan diri bertanya pada Bude.
“Bude, apa benar ibu meninggal karena kecelakaan?” tanyaku langsung, tanpa basa-basi.
Bude terkejut, wajahnya pucat. Ia menghela napas panjang, lalu duduk di sampingku.
“Rara, maafkan Bude karena tidak jujur. Iya, Nak, ibumu meninggal saat Rara masih kecil...” suaranya gemetar, dan matanya mulai berkaca-kaca.
Aku membeku. Meski sudah lama merasa ada yang salah, mendengar kebenarannya tetap seperti pukulan berat.
“Kenapa Bude dan Bapak nggak bilang dari dulu?” suaraku bergetar, hampir menangis.
“Kami ingin Rara siap. Tapi ternyata, Bude salah. Maafkan kami, Nak,” jawabnya, memelukku erat.
Tangisku pecah malam itu. Semua rasa bingung, sedih, dan rindu yang selama ini kupendam akhirnya tumpah.
---
Seiring waktu, aku mulai menerima kenyataan. Aku menyadari bahwa ibu memang tidak akan pernah kembali. Tapi aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan membuat ibu bangga dari tempatnya sekarang.
Bude terus mendukungku, sementara bapak sering menelepon dari kampung.
“Gimana sekolahnya, Nak?” suara bapak terdengar lebih ceria.
“Baik, Pak. Rara dapat nilai bagus kemarin,” jawabku.
“Bagus! Ibu pasti bangga di sana,” ujarnya, suara pelan namun penuh rasa haru.
Kata-kata itu selalu membuatku merasa hangat. Kini, aku tidak lagi melihat kehilangan ibu sebagai akhir dari segalanya. Aku percaya, meski tak terlihat, ibu tetap ada di hati kami.
---
Beberapa tahun kemudian, aku kembali ke kampung bersama Bude dan bapak untuk ziarah ke makam ibu.
“Buk, lihat, Rara sudah besar sekarang. Rara bisa mandiri, seperti yang Ibu inginkan,” ujarku sambil menabur bunga di pusara.
Bapak berdiri di sampingku, menggenggam tanganku erat. “Nak, ibu pasti bangga sama kamu.”
Aku tersenyum kecil, menahan air mata. Meski perih kehilangan itu tetap ada, aku merasa damai.
Di depan makam ibu, aku berdoa dengan tulus, “Terima kasih sudah jadi ibu terbaik untuk Rara. Sampai bertemu lagi di surga, Buk.”
---selesai