Masukan nama pengguna
Hana adalah seorang jurnalis yang selalu penasaran dengan cerita-cerita mistis. Suatu hari, ia menerima pesan misterius berupa e-mail tanpa nama pengirim. Isinya adalah sebuah undangan ke rumah tua di desa terpencil, dengan janji bahwa ia akan menemukan kisah yang belum pernah diceritakan siapa pun. Hana, dengan rasa ingin tahu yang tak terbendung, memutuskan untuk pergi ke lokasi tersebut.
Rumah tua itu berdiri di tengah hutan, kusam dan nyaris runtuh. Pintu kayunya terbuka perlahan dengan suara berderit saat Hana mengetuk. Di dalam, hanya ada perabotan tua yang berdebu dan cermin besar yang berdiri di ruang tengah. Ia mencoba mencari-cari petunjuk, tetapi hanya menemukan sebuah buku harian di atas meja. Buku itu milik seorang gadis bernama Laila, yang tampaknya tinggal di rumah itu puluhan tahun lalu.
Saat membaca, Hana merasakan bulu kuduknya meremang. Tulisan Laila berbicara tentang "seseorang" yang terus mengawasinya dari balik cermin. Dalam salah satu catatan terakhir, Laila menulis bahwa dia mendengar bisikan, "Aku akan membawamu."
Mendadak, Hana mendengar suara langkah kaki di lantai atas. Ia mendongak, tetapi tak ada siapa pun. Terdengar pula suara ketukan dari arah cermin besar. Ketika ia mendekat, ia melihat bayangannya tampak berbeda, bahkan wajahnya terlihat lebih tua dan penuh luka. Tiba-tiba, pantulan itu berbicara, "Kau terlambat."
Hana terjatuh ke lantai, ketakutan. Dalam kepanikannya, ia mencoba keluar dari rumah, tetapi pintu tidak bisa dibuka. Di tengah kegelisahan, ia menemukan sebuah foto keluarga yang robek. Wajah seorang wanita di foto itu sangat mirip dengannya. Di bagian belakang foto, tertulis, "Laila, 1984."
Hana tersadar jika Laila adalah ibunya, yang selalu mengatakan bahwa ia yatim piatu tanpa penjelasan. Namun sebelum ia bisa mencerna semuanya, ia mendengar suara berat di belakangnya, "Akhirnya kau pulang, Laila."
Hana berbalik. Sosok bayangannya keluar dari cermin dan berdiri di depannya, dengan senyuman menyeramkan. Sosok itu berkata, "Sekarang waktunya kita bertukar tempat."
Hana mencoba melawan, tetapi semuanya menjadi gelap. Ketika ia membuka mata, ia melihat dirinya ada di dalam cermin, sementara sosok yang mirip dirinya berjalan keluar dengan tubuhnya sendiri.
Sejak saat itu, rumah tua itu tetap berdiri, dengan sebuah cermin besar yang memantulkan bayangan seorang wanita yang selalu terlihat memohon untuk dibebaskan.
****
Hana, yang kini terperangkap dalam cermin, berteriak sekuat tenaga. Namun, suaranya hanya bergema dalam ruang kosong di dalam kaca. Di luar, tubuhnya yang kini dihuni oleh sosok dari cermin berjalan menjauh dari rumah tua itu, membawa kehidupan yang seharusnya milik Hana.
Hari-hari berlalu dengan lambat bagi Hana. Waktu di dalam cermin terasa seperti kekekalan. Ia menyaksikan dunia luar lewat cermin, tanpa bisa berbuat apa-apa. Tapi di dalam kehampaannya, ia mulai melihat sesuatu yang aneh, yakni tentang bayangan lain muncul di sudut cermin. Sosok itu adalah seorang anak kecil dengan wajah pucat, menatapnya dengan mata penuh kesedihan.
Anak itu memperkenalkan dirinya sebagai Raka, korban lain yang juga pernah tertipu oleh iblis cermin. "Aku sudah di sini selama puluhan tahun," kata Raka. "Tapi ada cara untuk keluar, meski risikonya besar."
Hana mendengarkan dengan saksama. Raka menjelaskan bahwa mereka bisa mencoba menghancurkan cermin dari dalam, tetapi itu hanya mungkin jika seseorang dari luar membantu. Sayangnya, orang yang paling mungkin membantu adalah sosok yang kini menggunakan tubuh Hana.
Namun, ada satu harapan kecil kalau iblis cermin itu hanya bisa hidup di dunia nyata selama ia terus mencuri energi dari orang-orang yang pernah terhubung dengannya. Hana ingat ibunya, Laila, yang pernah tinggal di rumah tua ini. Jika Hana bisa menemukan cara untuk memanggil roh ibunya, mungkin ibunya bisa membantu menghancurkan cermin dari luar.
Raka mengajarinya ritual kuno yang bisa dilakukan bahkan dari dalam cermin. Dengan sisa energi spiritualnya, Hana mencoba memanggil roh Laila. Butuh waktu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, hingga akhirnya, pada malam yang sunyi, roh Laila muncul di dalam cermin, dengan wajah penuh rasa bersalah.
"Maafkan aku, Hana," kata Laila. "Aku yang membawa kutukan ini kepada keluarga kita. Aku terlalu takut untuk melawan waktu itu, tapi aku tidak akan meninggalkanmu lagi."
Laila, dengan bantuan Hana dan Raka, mulai mencari cara untuk menghancurkan cermin. Mereka menemukan bahwa kelemahan iblis itu adalah kejujuran dan jika iblis dihadapkan pada seluruh kebenaran tentang dirinya, ia akan kehilangan kekuatannya.
Namun, ada satu pengorbanan yang harus dilakukan oleh seseorang yang harus rela mengorbankan jiwa mereka untuk menghancurkan cermin selamanya.
"Aku yang akan melakukannya," kata Laila. "Sudah cukup aku melarikan diri. Kini waktunya aku membebaskan kamu, Hana."
Dengan air mata, Hana berusaha menghentikan ibunya, tetapi Laila hanya tersenyum. "Hidupmu masih panjang. Jangan biarkan masa laluku menghantui mu."
Ritual terakhir dilakukan. Dengan kekuatan gabungan mereka, Laila berhasil memaksa cermin retak. Iblis, yang berada di tubuh Hana di luar sana, mulai kehilangan kendali. Tubuh Hana roboh di lantai, sementara cermin itu pecah berkeping-keping, meninggalkan Hana terlempar kembali ke tubuhnya sendiri.
Saat Hana membuka matanya, ia kembali berada di dunia nyata. Namun, cermin itu lenyap bersama roh ibunya. Raka juga menghilang, meninggalkan rasa lega bahwa ia akhirnya bebas.
Hana meninggalkan rumah tua itu, bersumpah tidak akan pernah kembali. Tetapi saat ia berjalan pergi, sebuah bayangan kecil di sudut matanya menarik perhatian. Sebuah pecahan cermin kecil tergeletak di tanah, dan di dalamnya, ia melihat pantulan ibunya yang tersenyum... sebelum pecahan itu menghilang dalam cahaya.
Namun, jauh di dalam hutan, sebuah bisikan terdengar: "Aku akan kembali."
**
Beberapa bulan berlalu sejak kejadian di rumah tua itu. Hana mencoba melanjutkan hidupnya, kembali bekerja sebagai jurnalis, dan berusaha melupakan pengalaman mengerikan yang hampir merenggut nyawanya. Namun, malam-malamnya tidak pernah benar-benar tenang. Kadang-kadang, ia merasa ada sesuatu yang mengawasinya dari kegelapan. Suara bisikan samar terdengar saat ia hampir terlelap.
Suatu malam, Hana menerima sebuah paket misterius tanpa nama pengirim. Di dalamnya terdapat sebuah foto tua yang hampir hancur. Foto itu memperlihatkan rumah tua di hutan yang kini ia hindari mati-matian. Di balik foto, ada tulisan tangan berbunyi seperti ini,
"Kutukan belum selesai. Waktumu terbatas."
Hana gemetar membaca pesan itu. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanyalah lelucon seseorang yang mengetahui kisah rumah tua itu. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu ini lebih dari sekadar peringatan biasa. Ada sesuatu yang belum selesai.
Ia kembali mengunjungi pecahan cermin kecil yang ia simpan sejak hari itu, meskipun ia berjanji akan membuangnya, ia tak pernah bisa melakukannya. Saat ia memerhatikan pecahan itu, ia melihat sesuatu yang mengerikan. Bukan hanya pantulan dirinya, tetapi bayangan gelap yang muncul di belakangnya, menatapnya dengan mata merah menyala.
Malam itu, Hana bermimpi aneh. Ia melihat ibunya, Laila, berdiri di depan rumah tua dengan tangan terikat, dikelilingi oleh bayangan yang tertawa mengejek. Dalam mimpi itu, ibunya berkata, "Hana, kau harus kembali. Ini belum selesai. Jika kau tidak menghancurkannya sepenuhnya, kutukan akan menelan semua yang kau cintai."
Terbangun dengan napas tersengal, Hana menyadari bahwa ia tidak bisa lari dari ini. Kutukan itu lebih dalam daripada yang ia duga. Dan kali ini, ia tahu ia tidak bisa melawan sendirian.
Hana memutuskan untuk mencari bantuan dari seorang paranormal terkenal bernama Pak Rauf, yang dikabarkan memiliki pengalaman melawan entitas gelap. Setelah mendengar kisah Hana, Pak Rauf berkata dengan nada serius, "Apa yang kau hadapi bukan sekadar iblis. Itu adalah entitas tua yang berakar pada keserakahan dan dendam. Untuk menghancurkannya, kita harus kembali ke tempat asalnya dan menyelesaikan apa yang tertunda."
Dengan berat hati, Hana setuju untuk kembali ke rumah tua itu bersama Pak Rauf. Ketika mereka tiba, malam sudah larut, dan hawa dingin terasa menusuk. Rumah itu kini tampak lebih rapuh, tetapi atmosfernya jauh lebih gelap daripada sebelumnya. Pak Rauf menyalakan lilin dan memulai ritual pemurnian, sementara Hana berdiri di belakang, menggenggam pecahan cermin kecil.
Namun, sesuatu mulai bergerak di dalam bayangan. Dinding rumah bergetar, dan suara-suara tawa yang mengerikan mulai memenuhi udara. Iblis itu tahu mereka datang untuk menghancurkannya, dan ia tidak akan membiarkan mereka pergi dengan mudah.
Tiba-tiba, cermin besar yang hancur di masa lalu muncul kembali di tengah ruangan, utuh seperti sedia kala. Di dalamnya, Hana melihat dirinya sendiri, tetapi kali ini versi dirinya yang jauh lebih gelap. "Kau pikir ini selesai, Hana?" sosok itu berkata dengan suara dingin. "Aku adalah bagian dari dirimu, dan kau tidak akan pernah bisa membunuh apa yang sudah menjadi milikmu."
Pak Rauf berteriak agar Hana memusatkan pikirannya dan memecahkan cermin itu dengan pecahan yang ia bawa. Namun, cermin itu memancarkan energi gelap yang melumpuhkan Hana, membuatnya tak mampu bergerak. Pada saat itu, Hana mendengar suara lembut ibunya lagi: "Kau lebih kuat dari yang kau kira. Percayalah pada dirimu sendiri."
Dengan segenap keberanian, Hana mengangkat pecahan cermin itu dan melemparkannya ke cermin besar. Ledakan cahaya menerangi ruangan, disertai dengan teriakan mengerikan dari iblis yang berada di dalamnya. Rumah itu bergetar keras sebelum akhirnya kembali sunyi.
Ketika Hana membuka matanya, cermin itu benar-benar lenyap, dan rumah itu mulai runtuh. Ia dan Pak Rauf berlari keluar, menyaksikan rumah tua itu hancur menjadi debu.
Meskipun semuanya tampak selesai, Hana tahu bahwa ia akan selalu membawa bekas luka dari kejadian itu. Namun, untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar bebas. Iblis itu telah dikalahkan, dan kutukan itu berakhir bersama rumah tua yang kini tinggal puing-puing.