Masukan nama pengguna
Pagi itu, langit kota kecil di lereng gunung terlihat lebih kelabu dari biasanya. Kabut turun tebal, menutupi pekarangan rumah sederhana milik keluarga Halim. Di dalam kamar yang sempit namun hangat, tangisan seorang bayi baru lahir bergema, menggema di antara kesunyian yang aneh.
Rafi, anak sulung keluarga itu yang baru berusia delapan tahun, berdiri terpaku di sudut kamar. Matanya menatap lekat wajah ibunya, Mama Rara, yang terbaring lemah di ranjang. Wajah wanita itu pucat, senyum terakhirnya masih tertinggal di bibir, seolah mengucap selamat tinggal tanpa kata.
"Mama...?" panggil Rafi lirih, suaranya gemetar.
Tak ada jawaban. Hanya suara detak jam dinding dan isakan bayi yang terus menangis. Ayahnya, Pak Halim, tengah berlari keluar rumah untuk memanggil bidan desa, namun dalam hati kecil Rafi, ia tahu sesuatu yang buruk baru saja terjadi.
Beberapa menit kemudian, Bu Sulastri, bidan tua yang sudah seperti keluarga sendiri, datang tergesa. Napasnya terengah, dan ketika ia melihat kondisi Mama Rara, ia langsung menghampiri sambil menghela napas berat.
"Innalillahi... Bu Rara sudah nggak ada, Raf..." katanya pelan.
Rafi tak mengerti sepenuhnya apa yang terjadi. Tapi ketika Bu Sulastri menyentuh pundaknya dan menariknya ke pelukan, tangis yang selama ini ia tahan pecah begitu saja. Ia menangis sejadi-jadinya, dengan tubuh mungilnya menggigil hebat.
Bayi yang baru lahir itu, adiknya, digendong oleh Bu Sulastri. Rafi menatapnya, masih dengan air mata yang belum mengering. Bayi itu diam sejenak, lalu membuka matanya. Mata bening yang belum tahu apa-apa tentang dunia yang baru saja ia masuki.
"Namanya siapa?" tanya Bu Sulastri lembut.
Rafi menggeleng. Ia tak tahu. Mama belum sempat memberinya nama. Tapi dari buku catatan kecil Mama yang tergeletak di meja, Rafi melihat secarik kertas bertuliskan, "Jika perempuan, namanya Aila."
Hari-hari setelah kepergian Mama Rara diliputi duka dan kebingungan. Pak Halim tenggelam dalam diam. Ia tak banyak bicara. Hanya menatap kosong atau keluar rumah sejak pagi hingga malam. Rafi, yang seharusnya bermain dan belajar, kini belajar mengganti popok, membuat susu, dan menenangkan adik yang menangis.
Tetangga sempat menawarkan bantuan, namun Rafi bersikeras. "Aku mau jaga Aila. Ini pesan Mama."
Satu malam, saat listrik padam karena hujan deras, Rafi terbangun karena Aila menangis. Ia mengambil lilin dan berjalan pelan ke kamar. Namun sesampainya di sana, ia terdiam.
Di sisi ranjang, tampak siluet perempuan dengan rambut panjang sedang menggendong Aila. Bayi itu berhenti menangis dan tampak tenang.
"Ma... mama?" bisik Rafi.
Bayangan itu menoleh dan tersenyum. Senyum yang sangat ia kenal.
Namun begitu lilin mendekat, siluet itu perlahan memudar dan menghilang. Hanya Aila yang tertidur nyenyak dalam selimutnya. Rafimenunduk, menahan napas, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berlari tak karuan. Lilin di tangannya sedikit bergetar, namun ia tetap menatap lekat wajah adiknya. Aila tertidur dengan tenang, seolah tadi tak terjadi apa-apa.
“Kalau itu mimpi… kenapa rasanya hangat?” gumam Rafi, menyentuh pipi Aila yang masih menyisakan jejak air mata. Namun di pipinya sendiri, ia menyadari ada tetesan air yang bukan berasal dari hujan di luar, melainkan dari matanya sendiri. Tetesan rindu yang belum sempat diucapkan, belum sempat diungkapkan sejak Mama pergi.
Seminggu setelah kejadian itu, Rafi mulai mengalami hal-hal ganjil. Setiap kali ia merasa lelah atau menangis sendirian, seolah ada tangan lembut yang mengusap punggungnya. Setiap kali Aila rewel, tiba-tiba ada lagu nina bobo yang terdengar pelan, padahal tak ada radio yang menyala.
Ia pernah bertanya pada Bu Sulastri, “Kalau orang yang sudah meninggal, bisa balik lagi buat jagain anaknya, Bu?”
Bu Sulastri hanya tersenyum samar, “Rasa cinta seorang ibu itu… kadang lebih kuat dari batas dunia, Nak.”
Kalimat itu menempel di hati Rafi seperti benang tak terlihat yang mengikatnya ke dunia Mama.
Sore itu, ketika langit mulai merah jambu, Pak Halim akhirnya duduk bersama Rafi dan Aila di teras rumah. Suasana hening. Angin membawa bau basah tanah dan kayu tua. Untuk pertama kalinya sejak pemakaman, Pak Halim mengusap kepala Rafi dan berkata, “Terima kasih udah jaga Aila.”
Rafi hanya mengangguk. Ia tahu Ayah juga sedang berjuang. Namun ada sesuatu di mata Ayah yang belum ia lihat selama ini, kesedihan yang mendalam, rasa bersalah yang tak pernah diucap.
“Ayah…” Rafi memberanikan diri. “Mama meninggal pas melahirkan Aila, ya?”
Pak Halim menunduk. Diam. Lalu akhirnya mengangguk.
“Ayah terlambat… waktu itu jalan tertutup longsor. Ayah nggak bisa cepat panggil bantuan…”
Tangis yang selama ini tertahan di dada lelaki dewasa itu akhirnya pecah. Rafi menggenggam tangan ayahnya. Kecil, tapi kuat. Seperti ada keteguhan yang diwarisi dari wanita yang kini hanya tinggal dalam kenangan.
Satu bulan kemudian, Rafi mulai sekolah lagi. Ia pergi dengan tas punggung besar dan meninggalkan pesan di telinga Aila, “Tunggu Kakak pulang, ya. Jangan nakal.”
Namun sejak pagi itu, Aila mulai menunjukkan sesuatu yang aneh.
Setiap malam, bayi mungil itu menatap ke sudut kamar yang gelap, seolah ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Kadang ia tertawa sendiri, kadang matanya membesar seakan melihat sesuatu yang membuatnya terkejut.
Rafi memperhatikan ini dengan bingung. Sampai suatu malam, ia memutuskan untuk pura-pura tidur sambil mengawasi Aila dari balik selimut.
Dan benar saja. Sekitar tengah malam, suara lembut terdengar di kamar.
“Aila sayang… jangan nakal, ya…”
Rafi membuka mata pelan. Sosok samar perempuan muncul di sisi ranjang. Kali ini lebih jelas. Wajahnya bersinar lembut, rambutnya tergerai seperti saat Mama hendak tidur dulu.
“Mama…” bisik Rafi, matanya berlinang. Tapi ia tak takut. Justru ada rasa damai.
Mama menoleh, lalu mengangguk pelan. “Terima kasih, Rafi… Jaga Aila, ya… Kamu anak hebat.”
Rafi ingin memeluknya, tapi ketika ia mencoba bangun, sosok itu perlahan memudar. Hanya aroma mawar yang tertinggal di udara.
Hari-hari terus berjalan. Pak Halim mulai kembali bekerja di ladang. Bu Sulastri kadang datang membantu mengurus Aila. Tapi sejak malam itu, Rafi merasa tidak sendiri. Ia tahu, ada sosok Mama yang masih menjaganya dan Aila.
Aila tumbuh dengan cepat. Usianya belum genap satu tahun ketika ia pertama kali mengucapkan kata, “Ma...ma…”
Pak Halim sampai menjatuhkan sendok saat mendengarnya.
“Rafi, kamu ngajarin dia, ya?” tanya Pak Halim.
Rafi menggeleng. “Nggak. Dia belajar sendiri.”
Tapi dalam hati, Rafi tahu. Aila belajar dari bisikan malam. Dari lagu-lagu pelan yang terdengar saat listrik padam. Dari belaian kasih yang masih tertinggal di udara.
Suatu malam, dua tahun setelah kepergian Mama, Aila mengalami demam tinggi. Tubuhnya panas seperti bara. Rafi panik, begitu juga Pak Halim yang segera menghubungi Bu Sulastri.
Di tengah malam yang kelam dan hujan deras, Rafi duduk menggigil di samping ranjang. Tangannya menggenggam erat jemari Aila yang kecil dan lemah.
“Jangan pergi juga, ya, Aila… Jangan tinggalin Kakak…”
Tangisnya pecah. Ia sudah kehilangan Mama. Ia tak sanggup kehilangan Aila juga.
Tiba-tiba angin berhembus lembut ke dalam kamar. Gorden bergerak pelan. Dan Aila, yang tadi kejang, mulai tenang. Napasnya membaik. Rafi menatap ke atas dan untuk terakhir kalinya, ia melihat sosok Mama.
Berbeda dari sebelumnya, Mama berdiri di pintu, tersenyum… tapi ada air mata di matanya. Ia mengangguk, lalu meletakkan telunjuk di bibir, seolah berkata: “Ssstt… Sudah cukup…”
Sosok itu lalu menghilang dalam cahaya hangat yang tak menyilaukan.
Pagi harinya, Aila sembuh total. Dokter bilang itu keajaiban. Tapi Rafi tahu, itu bukan hanya keajaiban.
Itu cinta seorang ibu yang belum selesai.
Tahun demi tahun berlalu. Aila kini sudah bersekolah, dan Rafi tumbuh menjadi pemuda yang tangguh. Pak Halim pun mulai bisa tertawa kembali. Rumah keluarga Halim, meski sederhana, kembali diisi canda dan harapan.
Di lemari tua di kamar Mama, masih tersimpan buku catatan kecil. Rafi tak pernah membukanya lagi, tapi ia tahu, di sana tertulis mimpi-mimpi Mama yang belum selesai.
Dan kini, ia dan Aila akan menyelesaikannya.
Untuk Mama. Untuk cinta yang tak pernah benar-benar pergi.