Masukan nama pengguna
Sari duduk di pinggir ranjang sempit itu, di kamar asrama majikannya yang kini sudah jadi rumah keduanya selama 15 tahun terakhir. Matanya menatap langit-langit yang penuh bercak jamur, tapi pikirannya melayang jauh... Ke tanah air, ke anak yang waktu ia tinggalkan dulu masih menyusu, kini mungkin sudah lebih tinggi dari dirinya.
Hari itu tanggal 1. Hari gajian. Ia membuka dompet kecil berwarna merah muda, hadiah dari anak majikannya tahun lalu. Uangnya masih utuh. Seperti bulan-bulan sebelumnya, nyaris tak ada yang ia sentuh untuk dirinya sendiri.
Tangannya bergerak pelan membuka aplikasi transfer di ponsel tua miliknya. Nama penerimanya masih sama: Kak Rini.
"Kirim semua, ya, Kak. Untuk cicilan bangun dapur, sama buat tambahan sekolah Dika. Aku simpan sedikit aja buat makan."
Pesan itu dikirim dengan senyum kecil. Sudah jadi kebiasaan. Uang selalu dikirim lebih dulu, baru dia makan.
Layar ponsel menyala sebentar.
[Transfer Berhasil]
Jumlah: 10.000 HKD
Itu hampir semua hasil jerih payahnya bulan ini. Tapi Sari bahagia. Di kepalanya, ia membayangkan rumah kecil di kampung, berdiri dengan tembok bata yang kokoh, lantai keramik baru, dan kamar kecil untuk Dika. Mungkin ada tanaman lidah mertua di teras, seperti yang dulu ia impikan. Dan Dika, anak semata wayangnya, menyambut di depan pintu sambil berkata, "Ibu, akhirnya pulang juga…"
Ia menyeka air matanya sendiri. Bahagia, tapi hampa.
Karena kenyataannya, Dika sudah lama tak membalas pesannya. Video call terakhir terjadi dua tahun lalu, saat ulang tahun Sari, dan hanya berlangsung dua menit. Dika terlihat dingin, seperti berbicara dengan orang asing.
Tapi Sari tak menyerah. Ia selalu menyalahkan jarak.
“Dika bukan berubah. Dika cuma tumbuh.”
Itu mantra yang ia ulang setiap malam sebelum tidur.
Hari itu, ia duduk lama menatap koper di sudut kamar. Koper itu belum dikemas, tapi sudah ada di sana selama dua bulan. Tanda bahwa Sari sedang menyiapkan sesuatu yang besar: pulang.
Ia mencatat daftar kebutuhan terakhir:
-Beli oleh-oleh buat Dika
-Baju baru untuk ibu di kampung (kalau ibu masih ada...)
-Cetak foto-foto kerja dan simpan di album
-Satu gelang emas kecil buat Kak Rini, tanda terima kasih
Tapi malam itu, setelah mengirim uang, ia diam lama. Jantungnya berdebar aneh.
Entah kenapa, ada rasa takut yang menyelip pelan.
Takut bahwa rumah itu tidak seperti dalam bayangannya.
Takut Dika sudah tidak mau memeluknya.
Takut semuanya tidak seperti yang ia pertaruhkan selama ini.
Namun ia buru-buru menepis perasaan itu.
"Yang penting aku sudah kasih semuanya. Aku sudah jadi ibu yang baik."
Ia pejamkan mata dan berdoa.
Di balik tembok sunyi Hong Kong, seorang ibu menabung rindu, menabung harapan, dan percaya pada cinta yang ia kirim lewat remittance setiap bulan.
Ia tidak tahu bahwa cinta itu—sedikit demi sedikit, mulai diabaikan oleh orang-orang yang ia percayakan.
**
Bandara Soekarno-Hatta terasa asing bagi Sari, meski ini tanah kelahirannya. Tangannya gemetar menggenggam koper lusuh berisi dua potong oleh-oleh dan selembar baju gamis paling bagus yang ia simpan khusus untuk momen ini. Setelah 15 tahun, akhirnya ia pulang.
Langit Jakarta mendung, tapi bukan itu yang membuat matanya basah. Ia mencoba mencari-cari wajah anak semata wayangnya di kerumunan penjemput. Tidak ada.
Sari menunduk, mencoba menenangkan dadanya yang seperti diremas. Ia menarik napas dalam, lalu merogoh saku jaketnya, mengambil ponsel butut. Masih ada sinyal. Ia menekan nomor yang sejak dulu dihafalnya di luar kepala.
Nada sambung. Sekali. Dua kali. Tak diangkat.
Ia coba lagi. Kali ini tersambung.
"Halo?" Suara remaja laki-laki terdengar di ujung sana.
“Nak… ini Ibu…”
Hening. Beberapa detik kemudian, suara itu kembali. Datar. Asing.
“Oh… Ibu ya. Eh, saya lagi sibuk, Bu. Nanti aja ya, saya telpon balik.” Klik.
Telepon terputus. Tak sempat Sari bertanya apakah anaknya mau menjemputnya, atau… masih mengingat suaranya.
Ia berdiri mematung. Seolah seluruh bandara mengejeknya, dan langkah-langkah penjemput lain menyuarakan satu kata: sendiri.
Dua jam kemudian, Sari akhirnya sampai di desa. Dengan menumpang mobil bak terbuka, melewati jalanan yang dulu selalu ia rindukan. Tapi kali ini, rindunya terasa hambar.
Ia berdiri di depan rumah yang dulu ia banggakan. Rumah yang dibangunnya dari hasil keringat dan air mata di negeri orang. Tapi kali ini, rumah itu sudah berubah.
Cat dindingnya berbeda. Pintu pagar diganti. Dan plang kecil terpaku di dinding:
“Dijual.”
Sari terpaku. Ia mengetuk pintu. Seorang ibu paruh baya membukakan.
"Bu… ini rumah saya. Rumah Sari. Saya baru pulang dari luar negeri." Suaranya lirih, hampir tak terdengar.
Ibu itu menatapnya dengan bingung. “Mbak salah alamat, kali. Rumah ini saya beli dari kakaknya Sari. Katanya si Sari nggak pernah pulang dan nggak tahu entah dimana….”
Darah Sari seperti berhenti mengalir. Kakaknya? Yang selama ini ia percayakan untuk menjaga rumah, mengurus anaknya, menerima semua hasil jerih payahnya?
Tangisnya pecah di tempat. Ia terduduk di tanah, memeluk kopernya seolah itu satu-satunya yang tersisa dari hidupnya. Semua hilang.
“Ya Allah… 15 tahun… buat apa semua ini…?”
Aku akan melanjutkan adegannya dengan menjaga suasana emosionalnya tetap pekat dan menusuk hati, seperti yang sudah kamu bangun.
Sari duduk di tanah becek itu cukup lama, sementara ibu pemilik rumah baru perlahan menutup pintu. Suara kunci beradu, seperti titik terakhir yang mengunci semua mimpi Sari di luar jangkauan.
Udara sore terasa berat. Bau lumpur bercampur dedaunan basah masuk ke hidungnya, membuatnya teringat halaman rumahnya dulu, tempat Dika kecil pernah berlarian sambil tertawa, tawa yang sekarang terasa seperti dongeng dari orang lain.
Langkah-langkah orang kampung mulai berhenti di dekatnya. Bisik-bisik terdengar. Ada yang berbisik, “Itu Sari, kan? Yang kerja di Hong Kong? Kok pulang begini?”
Ada juga yang hanya menatap, lalu berjalan pergi.
Sari berdiri perlahan, menghapus air mata dengan ujung kerudungnya. Kakinya melangkah pelan menuju rumah orang tuanya, walau ia tak yakin masih ada yang menunggu di sana.
Saat sampai di halaman, ia melihat pintu kayu rumah tua itu terbuka. Seorang tetangga keluar sambil membawa piring kosong.
“Bu Sari?” tanya mereka, terkejut.
“Ibu saya… ada?” suara Sari bergetar.
Tetangga itu terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang.
“Bu Sari… Ibu sampean sudah meninggal… dua tahun lalu.”
Sari membeku. Udara seperti hilang dari paru-parunya.
“Kenapa… nggak ada yang ngabarin?”
Tetangga itu menunduk. “Kakak sampean bilang… sampean sibuk. Katanya nggak usah diganggu.”
Lutut Sari lemas. Ia bersandar ke tiang rumah, merasakan dunia runtuh dua kali di hari yang sama.
Di dalam rumah, ia hanya menemukan kursi tua, lemari reyot, dan beberapa foto yang warnanya sudah pudar. Salah satunya foto dirinya bersama Dika, waktu Dika baru bisa berjalan. Ia meraih foto itu, mendekapnya erat, dan untuk pertama kalinya ia bertanya pada dirinya sendiri, pertanyaan yang selama ini ia tolak.
Apakah semua pengorbanan ini benar-benar untuk Dika… atau hanya untuk ilusi yang sudah lama mati?
Di luar, matahari mulai tenggelam, meninggalkan langit berwarna kelabu. Dan di hati Sari, malam seolah datang lebih cepat dari biasanya.