Cerpen
Disukai
1
Dilihat
3,744
Kota Mati/ Langit tanpa suara
Horor

Di sebuah kota yang terletak jauh dari keramaian dunia, terdapat sebuah tempat yang selalu terasa sunyi. Jalan-jalan sepi, tak ada suara hiruk-pikuk kendaraan, dan langit selalu dipenuhi awan kelabu yang menambah kesan kesendirian. Kota itu dikenal dengan nama "Langit Tanpa Suara." Dulu, tempat ini adalah pusat kehidupan, namun kini hanya menyisakan kenangan.




Penduduk kota itu sudah jarang terlihat di jalan. Mereka memilih untuk tinggal di rumah masing-masing, terjebak dalam rutinitas yang monoton. Namun, di salah satu sudut kota, ada seorang pria bernama Arka, yang dikenal sebagai satu-satunya penghuni yang hampir tak pernah terlihat tanpa buku di tangannya. Arka adalah penulis yang sering merenung, seakan mencari sesuatu yang hilang dari hidupnya. Setiap hari, dia menulis cerita yang sama, tentang kota yang sepi, tentang kehidupan yang menunggu untuk bangkit kembali, dan tentang misteri di balik keheningan yang mencekam.




Suatu malam, saat Arka berjalan menyusuri jalanan yang sunyi, dia mendengar suara samar dari sebuah rumah tua. Suara itu seperti sebuah bisikan, namun sangat jelas. Dia mendekati rumah itu dan menemukan seorang wanita tua bernama Nira yang sedang duduk di kursi goyang. Nira mengundangnya masuk dan berkata, "Kota ini bukan selalu sepi, Arka. Ada yang telah hilang dan tidak ada yang tahu kenapa."




Wanita itu kemudian mengungkapkan sebuah rahasia yang mengejutkan: kota ini sebenarnya tidak pernah sunyi. Setiap orang yang tinggal di sana adalah bayangan dari seseorang yang telah lama mati. Mereka hidup di dalam mimpi yang tercipta oleh satu orang, yaitu Arka sendiri. Selama bertahun-tahun, Arka tidak menyadari bahwa dia telah menulis kota ini menjadi kenyataan—sebuah dunia yang penuh dengan keheningan dan kehampaan.




"Selama ini, kamu tidak pernah sadar bahwa kamu telah menghidupkan kota ini melalui tulisanmu, Arka," kata Nira. "Namun, ada satu hal yang belum kamu tulis—kebenaran tentang dirimu sendiri."




Saat Arka mulai memahami apa yang terjadi, ia merasa dunia di sekitarnya mulai berubah. Orang-orang di kota itu mulai memudar, seolah mereka hanyalah bayangan yang siap hilang. Arka panik, mencoba untuk menulis lagi, namun kata-kata tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Kota itu mulai runtuh, dan dalam momen terakhir, Nira tersenyum.




"Ada satu hal yang kamu lupakan, Arka. Kamu tidak hanya menulis kota ini, kamu juga menulis dirimu sendiri. Jika kota ini hilang, maka kamu juga akan hilang."




Dengan detik-detik terakhir yang tersisa, Arka menyadari bahwa dia bukan hanya penulis, tetapi juga bagian dari cerita itu. Dalam keheningan yang mendalam, kota itu akhirnya menghilang bersama dirinya, meninggalkan hanya kenangan tentang tempat yang pernah ada.






Ketika kota itu menghilang, Arka terbangun di ruang yang gelap. Dia tidak bisa melihat apa pun, hanya merasakan udara yang dingin dan sepi. Waktu seakan berhenti. Hanya ada rasa kosong, seperti ada sesuatu yang hilang, dan Arka merasakan perasaan yang belum pernah dia alami sebelumnya: ketidakberadaan.






Lama-kelamaan, sebuah cahaya kecil mulai muncul di kejauhan. Arka berjalan menuju cahaya itu, tidak tahu apa yang akan ditemuinya. Semakin dia mendekat, cahaya itu semakin terang, hingga akhirnya dia berdiri di hadapan sebuah pintu besar yang terbuat dari kayu tua. Pintu itu tampak akrab, seolah pernah dia lihat sebelumnya.






Dengan ragu, Arka membuka pintu tersebut, dan dia mendapati dirinya kembali di kota yang sama, Langit Tanpa Suara. Namun, kali ini semuanya terasa berbeda. Kota ini tidak sepi lagi. Jalan-jalan yang dulu sunyi kini dipenuhi orang-orang yang tersenyum, berjalan dengan penuh kehidupan. Arka kebingungan, bertanya-tanya apakah ini bagian dari mimpi yang lebih besar, ataukah dia benar-benar telah kembali.






Saat dia melangkah lebih jauh, dia melihat seseorang yang sangat dikenalnya—Nira, wanita tua itu, berdiri di ujung jalan dengan senyuman penuh makna. "Apa yang terjadi, Nira? Kenapa semuanya berubah?" tanya Arka dengan penuh kebingungan.






Nira hanya tersenyum dan berkata, "Kota ini memang berubah, Arka. Tapi bukan kota yang berubah, kamu yang berubah. Sejak kamu menyadari bahwa kamu adalah bagian dari cerita ini, kamu memberikan kehidupan baru bagi dirimu sendiri dan untuk kota ini. Sebelumnya, kamu hanya menulis tentang keheningan, karena itu yang kamu rasakan—tapi sekarang, kamu menulis tentang kehidupan."






Arka merasa sebuah beban yang berat terlepas dari dirinya. Ia mulai memahami bahwa kehidupan tidak hanya ditentukan oleh apa yang ada di sekitarnya, tetapi juga oleh bagaimana ia memilih untuk melihat dan menghidupkannya. Dengan kesadaran itu, kota ini kembali dipenuhi dengan suara tawa, percakapan, dan aktivitas yang selama ini hilang. Orang-orang yang sebelumnya tak tampak, kini hadir kembali, saling berinteraksi, dan merayakan kebersamaan.






Namun, plot twist kembali hadir. Ketika Arka melihat ke sekeliling, dia menyadari sesuatu yang sangat aneh—semua orang di kota ini tampak mengenalnya, meskipun dia tidak pernah bertemu mereka sebelumnya. Mereka semua tampak seperti potongan-potongan dari kisah yang pernah ia tulis. Wajah-wajah mereka terlihat familiar, tetapi mereka bukanlah orang sungguhan. Mereka adalah karakter-karakter yang keluar dari halaman-halaman bukunya, yang telah hidup dalam dunia yang dia buat.






Akhirnya, Arka memahami bahwa kota ini tidak hanya tercipta karena kata-katanya. Kota ini adalah manifestasi dari dirinya sendiri, dari setiap pikiran, perasaan, dan impian yang ia tuangkan dalam tulisannya. Dia adalah pencipta dan penghuni sekaligus, sebuah siklus tak terputus yang berulang. "Jadi, aku tidak benar-benar keluar dari cerita ini?" Arka bertanya pada Nira.






Nira menggelengkan kepala, "Tidak, Arka. Kamu selalu menjadi bagian dari cerita ini. Tidak ada yang pernah benar-benar keluar. Kamu adalah pencipta, namun kamu juga adalah ciptaanmu sendiri."






Dengan perasaan campur aduk antara penerimaan dan kebingungannya, Arka kembali menulis, kali ini dengan pemahaman baru. Ia menulis bukan hanya untuk mengisi kekosongan, tetapi untuk memberi arti pada dirinya sendiri dan dunia yang ada di sekitarnya. Dan dengan setiap kata yang ia tulis, kota Langit Tanpa Suara terus hidup, berkembang, dan berubah—selamanya.






Namun, saat Arka menulis kalimat terakhir di halaman itu, sebuah pertanyaan muncul di benaknya: "Siapa sebenarnya yang menulis kisahku?"





Ketika Arka menulis kalimat terakhir, dia merasa ada sesuatu yang menggelitik dalam pikirannya, seperti ada tangan tak terlihat yang membimbingnya. Pertanyaan itu terus terngiang di dalam benaknya, mengganggu ketenangannya. "Siapa yang menulis kisahku?" Ulangnya dalam hati. Suara-suara di sekitarnya mulai meredup, seolah seluruh kota berhenti sejenak untuk mendengarkan pertanyaan itu.






Lalu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Pintu besar kayu yang pernah dilalui Arka kembali muncul di depannya, mengingatkannya pada saat pertama kali ia menemukannya. Tetapi kali ini, ada perbedaan. Pintu itu tampak lebih kecil, lebih ringkih, dan dengan sebuah lubang di bagian bawahnya yang mengeluarkan cahaya keemasan. Arka merasa tertarik, namun juga ragu-ragu. Apa yang akan dia temui jika membuka pintu ini?






Dengan hati yang berdebar, Arka membuka pintu itu perlahan. Di balik pintu, ia mendapati sebuah ruangan yang sangat asing—sebuah ruang putih yang tak memiliki batas, tak ada dinding, hanya langit tak terhingga di atasnya. Di tengah ruangan itu, ada sebuah meja besar yang penuh dengan kertas-kertas yang tersebar, pena, dan tinta yang belum terpakai.






Seorang sosok berdiri di belakang meja itu, mengenakan jubah panjang yang terbuat dari kegelapan, wajahnya tersembunyi dalam bayang-bayang. Arka merasa ada sesuatu yang sangat akrab tentang sosok itu, meskipun ia tidak bisa mengenalinya.






"Siapa kamu?" Arka bertanya, suaranya hampir hilang dalam hening.






Sosok itu mengangkat kepalanya, dan Arka merasa matanya tertuju padanya, meskipun wajahnya masih tersembunyi. "Aku adalah Penulis," jawab sosok itu dengan suara yang dalam dan penuh misteri. "Dan aku juga adalah pembaca dari kisahmu."






Arka terkejut, kebingungannya semakin mendalam. "Penulis? Tapi... bukankah aku yang menulis kisahku sendiri?"






Sosok itu tersenyum samar. "Kisahmu adalah bagian dari kisah yang lebih besar, Arka. Kamu menulis, tetapi ada yang menuliskan dirimu. Setiap kata yang kamu pilih, setiap alur yang kamu ciptakan, adalah bagian dari alur yang sudah ada. Kamu dan aku, kita adalah dua sisi dari koin yang sama."






Arka mundur selangkah, merasa dirinya terperangkap dalam teka-teki yang tak bisa dia pecahkan. "Tapi jika begitu, siapa yang menulis kisahku?" tanyanya sekali lagi, hatinya penuh rasa takut dan penasaran.






Penulis itu mengangkat tangan dan mengarahkan jari ke arah langit tak terhingga. "Kisahmu tidak hanya milikmu, Arka. Kisahmu adalah milik semua yang ada di dunia ini, milik semua yang pernah membaca dan merasakannya. Kamu menulis dengan bebas, namun setiap kata yang kamu tulis adalah buah dari segala pengalaman, perasaan, dan pemikiran yang ada di dunia ini. Kamu bukan hanya menciptakan, kamu adalah bagian dari ciptaan yang lebih besar."






Arka merasa seolah dunia di sekitarnya mulai berputar. Semua yang dia pikirkan, semua yang dia rasakan, mulai terasa seperti alur yang sudah ditentukan. Ia merasa dirinya tidak lagi menjadi penguasa cerita, tetapi hanyalah bagian dari sebuah jaringan tak terlihat, tak terhentikan.






"Jadi, apakah aku hanya ilusi?" Arka bertanya, suaranya bergetar.






Penulis itu tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan dengan sebuah senyuman yang lebih dalam daripada yang pernah Arka lihat. "Ilusi atau kenyataan, itu tergantung pada bagaimana kamu melihatnya. Kamu mungkin merasa seperti karakter dalam sebuah cerita, tetapi ingatlah, Arka—setiap cerita memiliki penciptanya, dan pencipta juga adalah bagian dari cerita."






Tiba-tiba, meja di depan Arka bergerak sendiri, kertas-kertas itu menari, pena mulai menulis tanpa sentuhan tangan. Sebuah kalimat muncul di halaman putih yang kosong: "Siapa yang menulis kisahmu? Kamu, atau aku?"






Arka berdiri diam, menatap kalimat itu. Ia merasa seolah dihadapkan pada sebuah pilihan yang tak bisa dihindari. Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan itu, karena jawabannya adalah kedua-duanya. Arka dan Penulis, keduanya adalah bagian dari kisah yang tak pernah benar-benar bisa dipisahkan.






Saat itu, dengan perasaan campur aduk, Arka menyadari bahwa tidak ada jawaban yang bisa memuaskan rasa penasaran ini. Dia tidak tahu siapa yang menulis kisahnya, atau apakah dia benar-benar menulisnya. Yang ia tahu hanyalah bahwa setiap cerita adalah sebuah perjalanan, dan dalam perjalanan itu, ia menjadi bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya.






Dengan perasaan yang penuh kesadaran baru, Arka kembali menulis. Tidak ada lagi kebingungannya, tidak ada lagi rasa takut, hanya aliran kata-kata yang mengalir dengan bebas. Setiap kata yang ia tulis kini bukan hanya sekadar cerita, tetapi sebuah penciptaan, sebuah perjalanan, dan sebuah pengakuan bahwa ia adalah bagian dari kisah yang tidak akan pernah berakhir.


Dan kota Langit Tanpa Suara, yang kini penuh dengan kehidupan, terus berkembang, berubah, dan hidup—seperti kisah yang tak pernah selesai ditulis.





TAMAT


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)