Cerpen
Disukai
1
Dilihat
5,307
Lilin Cinta
Drama

Yura hanya bisa menghitung menit dan detik.


Hujan memang tengah turun deras malam itu, mengetuk-ngetuk kaca jendela kafe dengan ritme tak beraturan. Di sudut ruangan, Yura menyesap cokelat panasnya yang mulai dingin. Matanya terus melirik jam di dinding.


Lukas terlambat. Lagi.


Ia menghela napas dan mengeluarkan ponselnya, mencoba menghubungi Lukas untuk kesekian kalinya. Nada sambung terdengar, tapi tak ada jawaban.


“Kalau dia lupa lagi, aku akan benar-benar marah,” gumam Yura sambil mengetuk meja dengan gelisah.


Tak lama, pintu kafe terbuka dengan dentingan kecil. Angin malam membawa aroma hujan yang khas. Seorang pria berjaket hitam masuk, rambutnya basah oleh rintik hujan. Lukas.


“Kau terlambat,” kata Yura tanpa basa-basi begitu Lukas duduk di hadapannya.


Lukas mengusap wajahnya, menghela napas panjang. “Maaf, aku ketiduran.”


“Ketiduran?” Yura mengangkat alis, menatapnya tajam. “Kau tahu aku sudah menunggu berapa lama?”


Lukas menundukkan kepala, jari-jarinya menggambar lingkaran di atas meja. “Aku benar-benar minta maaf, Yura.”


Yura terdiam, menatap lelaki di depannya. Biasanya, Lukas akan berusaha menghiburnya dengan candaan atau senyum nakalnya. Tapi malam ini, Lukas terlihat berbeda. Wajahnya pucat, matanya menyimpan kelelahan yang tak biasa.


“Ada apa denganmu?” suara Yura melembut.


Lukas mengangkat kepalanya perlahan, menatap Yura dalam-dalam. Bibirnya bergerak seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi yang keluar hanya gumaman lemah, “Aku hanya lelah.”


Yura menggenggam tangan Lukas di atas meja, merasakan dinginnya kulit lelaki itu. Sesuatu tidak beres.


“Kalau ada yang mengganggumu, kau bisa cerita padaku,” kata Yura pelan.


Lukas tersenyum kecil, tapi matanya tidak menunjukkan kebahagiaan. “Nanti, aku janji.”


Di atas meja, lilin kecil yang menyala sejak tadi mulai meredup. Seperti hubungan mereka—seperti Lukas—perlahan kehilangan cahayanya.



***


Malam itu, Yura tidak bisa tidur. Kata-kata Lukas terus terngiang di kepalanya.


"Aku hanya lelah."


Tapi lelah seperti apa? Lukas bukan tipe orang yang mudah mengeluh. Dan sorot matanya tadi… ada sesuatu yang ia sembunyikan.


Yura membuka ponselnya, membuka chat terakhir mereka.


Yura: Aku serius, Lukas. Aku bisa membantu kalau kau cerita.


Tidak ada balasan. Lukas bahkan belum membaca pesannya.


Frustrasi, Yura bangkit dari tempat tidur dan mengambil mantel. Ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.


Apartemen Lukas berada di lantai lima sebuah gedung tua. Ketika Yura sampai di sana, lampu lorong remang-remang, hanya diterangi beberapa bola lampu yang berkedip. Ia mengetuk pintu apartemen Lukas.


Tidak ada jawaban.


Ia mencoba lagi. Masih tidak ada.


Saat Yura hendak menyerah, ia menyadari sesuatu—pintu tidak terkunci.


Ragu-ragu, ia mendorongnya perlahan.


“Lukas?”


Ruangan itu gelap. Satu-satunya cahaya berasal dari beberapa lilin yang menyala di meja.


Dan di tengah ruangan, duduk Lukas, dengan kepala tertunduk dan tangan gemetar.


Di lantai, berserakan sketsa-sketsa lusuh. Semua menggambarkan sosok yang sama—Yura.


Dengan ekspresi berbeda.


Ada yang tersenyum. Ada yang menangis. Ada yang… terlihat hancur.


Yura merinding. “Lukas, apa yang kau lakukan?”


Lukas mengangkat wajahnya perlahan. Mata hitamnya terlihat kosong.


“Yura…” suaranya bergetar.


Yura menelan ludah. “Apa yang terjadi padamu?”


Lukas membuka mulut, tapi sebelum kata-kata keluar, lilin di meja tiba-tiba padam.


Ruangan jatuh dalam kegelapan.


Dan yang terdengar hanyalah suara napas berat Lukas.


**


Ruangan gelap. Hanya suara hujan di luar jendela dan napas berat Lukas yang terdengar. Yura berdiri kaku di ambang pintu, jantungnya berdebar keras.


"Lukas..." Yura mencoba berbicara, tapi suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan.


Tiba-tiba, Lukas bangkit dari duduknya. Siluet tubuhnya samar di antara bayangan lilin yang baru saja padam. Ia melangkah pelan ke arah Yura.


"Kau seharusnya tidak datang," bisiknya.


Yura mundur selangkah. "Kenapa? Apa yang kau sembunyikan?"


Lukas mengusap wajahnya, tampak frustasi. Ia menyalakan lampu ruangan, dan saat cahaya memenuhi tempat itu, Yura dapat melihatnya dengan lebih jelas.


Mata Lukas merah. Wajahnya tampak lebih tirus daripada terakhir kali mereka bertemu. Jemarinya masih gemetar.


Yura menatap sketsa-sketsa yang berserakan di lantai. Gambar dirinya—dengan ekspresi berbeda—membuat bulu kuduknya meremang. Salah satu sketsa menunjukkan dirinya dengan wajah penuh air mata. Di sudutnya tertulis sebuah kalimat dengan tinta hitam tebal:


"Maafkan aku, Yura."


Yura menelan ludah. "Lukas, apa maksud semua ini?"


Lukas menunduk, menatap lantai seperti mencari jawaban di sana. "Aku… Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya."


Yura berusaha menahan kesabarannya. "Cobalah. Aku di sini."


Lukas mengangkat wajahnya. "Aku sakit, Yura."


Jantung Yura seperti berhenti berdetak sejenak. "Sakit?"


Lukas mengangguk perlahan. "Leukemia."


Dunia Yura seakan runtuh. Ia merasa seperti ditarik ke dalam pusaran gelap yang tak berujung. Hatinya tak tentram.


"Kau... bercanda, kan?" suara Yura bergetar.


Lukas tersenyum tipis, tapi itu bukan senyuman bahagia. "Aku berharap ini hanya lelucon. Tapi kenyataannya tidak."


Yura merasakan matanya mulai panas. "Sejak kapan kau tahu?"


"Empat bulan lalu." Lukas menghembuskan napas panjang. "Aku tidak ingin kau tahu. Aku ingin kau tetap melihatku sebagai Lukas yang sama, bukan seseorang yang sedang menghitung hari."


Yura menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis. "Itu alasan kau mulai menjauh dariku?"


Lukas mengangguk. "Aku tidak ingin kau terluka, Yura."


"Terluka?" Yura tertawa kecil, tapi suaranya penuh kepedihan. "Apa kau pikir aku lebih baik jika tidak tahu? Apa kau pikir aku tidak akan hancur jika tiba-tiba kau pergi tanpa aku mengerti alasannya?"


Lukas terdiam.


"Aku mencintaimu, Lukas." Suara Yura nyaris berbisik. "Dan aku ingin berada di sisimu, apapun yang terjadi."


Lukas menatap Yura lama, seolah ingin menghafal setiap detail wajahnya. "Aku takut, Yura."


Yura mendekat, menggenggam tangan Lukas yang dingin. "Aku juga. Tapi kita bisa hadapi ini bersama."


Lukas tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya malam itu, matanya terlihat sedikit lebih hidup.


Namun, sebelum Yura bisa berkata lebih banyak, tubuh Lukas tiba-tiba melemas.


"Lukas!" Yura menangkapnya tepat sebelum ia jatuh ke lantai.


Detik berikutnya, yang terdengar hanya suara hujan dan teriakan Yura memanggil nama Lukas.


Yura panik, merasakan tubuh Lukas semakin dingin dalam pelukannya. Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya dan segera menghubungi ambulans. Jantungnya berdebar kencang saat ia menggenggam erat tangan Lukas yang mulai kehilangan tenaga. “Bertahanlah, Lukas… Tolong, jangan tinggalkan aku,” bisiknya, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.


Beberapa menit kemudian, suara sirene ambulans memecah kesunyian malam. Para paramedis bergegas masuk dan dengan cekatan memeriksa Lukas. Yura hanya bisa berdiri di sisi ruangan, menahan napas saat mereka mencoba menstabilkan kondisi lelaki yang dicintainya. Ketika salah satu paramedis berkata bahwa Lukas harus segera dibawa ke rumah sakit, Yura mengangguk tanpa ragu dan ikut masuk ke dalam ambulans, menggenggam tangan Lukas sepanjang perjalanan.


Di rumah sakit, dokter langsung membawa Lukas ke ruang gawat darurat. Yura menunggu di luar dengan perasaan kacau, pikirannya dipenuhi ketakutan yang tak bisa ia redam. Lilin di hati mereka hampir padam, dan Yura tidak tahu apakah ia masih memiliki waktu untuk menjaga cahayanya tetap hidup. Saat pintu ruang gawat darurat tertutup, satu pertanyaan terus menghantui pikirannya:


Apakah ia akan kehilangan Lukas selamanya?


SELESAI

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)