Cerpen
Disukai
3
Dilihat
6,067
Mantra Untuk Yunan
Slice of Life

Angin malam bertiup kencang sampai menembus celah jendela kamarku, kurapatkan selimut tebalku yang mulai kalah oleh hawa dingin yang menyelinap melalui celah selimut di bagian kaki. Suasana rumah sudah sepi sejak setengah jam yang lalu, lampu-lampu rumah pun sudah mati hanya menyisakan sebuah lampu super terang di depan rumah dan satu lagi lampu kamarku yang masih disibukkan dengan tugas menerangi buku di pangkuanku.

Kubaca baris demi baris, paragraf demi paragraf dan halaman demi halaman tulisan jelek milikku di masa lalu, sesekali kusunggingkan senyum dan beberapa halaman tentang kesedihan dan kesepian.

Pikiranku terbang mengenang masa itu, sejarah yang kubuat sendiri dan kini coba kukenang sendiri, terbang ke masa lalu, 10 tahun silam ketika aku bertemu dengan sebuah keadaan yang tidak pernah diinginkan seorang anak terhadap orang tuanya.

Kutatap sebuah bingkai poto tua yang memperlihatkan wajahku dan sahabat kecilku yang ompong, Yunan.

*****

 Pagi-pagi Yunan menghampiriku untuk berangkat sekolah, aku yang ketika itu sedang sarapan pun meminta Yunan untuk menunggu terlebih dahulu, dia pun menungguku di halaman rumah, mengobrol dengan bunga krisan yang basah setelah disiram oleh ibu. Dengan buru-buru kulahap besar-besar nasi goreng buatan Ibu yang super mantap, nasi goreng kencur kesukaanku lengkap dengan lima lembar daun kemangi segar. Sangat mantap.

“Sarapan belum ?” tanyaku pada Yunan yang sedang asik mengamati bunga-bunga krisan di halaman rumahku.

“Sudah, tadi Bapak masak telur dadar, banyak daun bawangnya, enak banget,” jawabnya antusias dengan ujung lidah yang terjulur mengelap ujung bibir, seakan menghadirkan gambaran enaknya telur dadar buatan bapaknya padaku.

Kami pun berangkat dengan perut kenyang, rasa bahagia tentu memenuhi hati dan perut kami. Kugayuh sepedaku sejajar dengan sepedanya. Sepanjang perjalanan, Yunan menceritakan tentang pertemuannya dengan ibu dan adiknya dalam mimpi. Wajahnya terlihat sangat bahagia menceritakan hal tersebut, sebuah momen pertemuan yang hanya bisa terjadi dalam mimpi.

“Bapak mau menikah lagi, Ra,” celetuk Yunan setelah raut wajah bahagianya reda, kini wajahnya berubah menjadi datar dan sedih secara bersamaan. Aku terkejut dengan ucapannya, ucapan seorang bocah kelas lima SD yang dengan tegar menghadapi kejamnya hidup yang Tuhan berikan.

“Hah, gimana ?” tanyaku berusaha meminta pengulangan. Aku takut untuk menanyakan secara langsung apa maksud dari perkataannya, meskipun sebenarnya aku sudah sedikit paham dengan kalimat “menikah lagi”. Aku tidak tahu harus merespon dengan bahagia atau sedih.

Sejak ditinggal ibunya sekitar 5 tahun lalu, bapak Yunan dikenal tidak pernah menjalin hubungan dengan wanita mana pun. Mendengar hal ini tentu membuatku terkejut.

“Pasti nanti aku dibuang,” lirihnya nyaris tidak terdengar, ya sudah aku pura-pura saja tidak mendengar.

Tinggal dengan seorang bapak yang galak memang sering membuatnya mengeluh atau bahkan bungkam seribu kata. Hal ini membuatku harus lebih berhati-hati saat menceritakan tentang diriku di depannya, aku takut cerita bahagiaku akan membuatnya terluka.

Hampir semua tetangga sudah mengetahui tabiat bapaknya yang suka main tangan, Yunan bahkan tidak jarang dibentak dan dipukul oleh bapaknya, dia bahkan sering berangkat sekolah dengan mata sembab sembari menahan sakit di bahunya, entah benda apa yang sudah dipukulkan bapaknya pada tubuh kurusnya. Yunan hanya bisa menangis, pernah sekali dia kabur ke rumah neneknya namun dipaksa pulang oleh bapaknya.

Karakter bapaknya yang demikian, tampaknya mengalir dalam darah Yunan yang meskipun di depan bapaknya dia tidak pernah melawan, namun ketika di sekolah dia terlihat sangat berbeda, di sekolah Yunan banyak melawan guru, sering menjahili teman yang lain, bertengkar dengan kakak kelas, bahkan sering pula bapaknya dipanggil ke sekolah karena kelakuan Yunan. Hal ini tentu semakin menjadi alasan bapaknya memberikan pukulan demi pukulan.

Aku yang menjadi teman dekatnya pun sering mendengar keluhan teman-teman dan orang-orang di lingkungan kami tentang kelakuan Yunan, banyak yang mengatakan bahwa wataknya adalah keturunan dari bapaknya, ada juga yang mengatakan bahwa kurangnya kasih sayang ibu membuat dia melampiaskan emosi pada kelakuannya di sekolah. Orang tuaku termasuk kelompok yang setuju dengan pendapat kedua.

“Kamu kalau main sama dia hati-hati, nanti dijahilin juga loh,” ucap Ibu hampir setiap hari. Beliau memang tidak pernah mengatakan kalimat larangan untuk jangan berteman dengan Yunan, beliau hanya berusaha membuatku tidak terlalu dekat dengan Yunan, aku paham bagaimana beliau sangat mengkhawatirkanku, namun aku tidak sampai hati jika harus membiarkan Yunan sendirian tanpa seorang teman.

“Kasihan ya Bu, kalau nggak punya Ibu,” ucapku saat aku pulang sekolah.

“Makannya kamu harus bersyukur karena punya orang tua yang lengkap,” timpal Ibu sembari menyiapkan makan siang. “Kalau disuruh orang tua nurut, selagi masih ada semua,” lanjut Ibu.

Sore itu setelah selesai menyiram bunga krisan kuning di halaman depan rumah aku duduk di bangku bambu panjang depan rumah. Suasana sore yang sejuk dan damai memanjakan mataku, matahari mulai rebah di ufuk barat menebar jingga yang membasuh kelopak krisan, membuatnya tampak semakin mengkilap setelah dibasuh dengan air.

Yunan tiba-tiba datang dan bergabung denganku, badannya berkeringat. Pasti dia baru saja pulang dari mencari rumput untuk ternak bapaknya, sebuah rutinitas yang sudah dia lakukan sejak lama. Dia harus memenuhi wadah rumput sebelum bapaknya pulang, mencari rumput untuk dua ekor kambing bukanlah hal yang mudah apalagi bagi bocah seusianya, ketika anak-anak seusianya sibuk bermain bola di lapangan atau balap sepeda di jalanan kampung, di justru sibuk mengumpulkan rumput di bawah terik matahari.

 “Katanya, hidup nggak selalu sulit, Ra,” ucapnya lirih membuatku menoleh.

 “Tapi kok hidupku masih sulit terus ya ?” lanjutnya dengan sedikit tawa yang tentu saja dibuat-buat untuk menutupi kesedihannya.

“Maksudnya Nan ?” tanyaku tak paham dengan ucapannya. Kerasnya hidup yang dia alami telah berhasil membuatnya menjadi seorang bocah dengan pemikiran dan perbuatan seperti orang dewasa.

“Kalau hidup kita baik-baik saja, perlu dicurigai,” jawabnya sambil menyandarkan badan di sandaran bangku. “Begitu juga kalau hidup kita sulit, perlu dicurigai pula.” Ucapannya semakin membuatku tidak paham.

“Mulai deh bicara kayak orang dewasa, ah males,” Keluhku ikut menyandarkan tubuh. Yunan langung mengganti posisi rebahannya, kini dia duduk bersila menghadap ke depan, menerawang jauh ke ujung Gunung Sangkur yang tidak lancip.

“Hidupku mungkin memang terlihat menyedihkan untuk sekarang ini, Ra. Tapi, mungkin bahkan pasti akan menjadi lebih baik, yang jelas Tuhan akan menjadikan hidupku lebih baik, entah bapak akan berubah, atau aku yang akan merubah.” Suaranya pelan namun dalam. Mata sayunya masih menerawang jauh ke depan.

“Atau bahkan akan ada penyelamat yang dikirim Tuhan.” Suaranya semakin dalam namun pandangannya terbang jauh.

“Apa itu juga berlaku bagi kehidupan bahagia yang juga akan mengalami kesulitan,” timpalku mencoba menanggapi ucapannya, “suatu hari nanti ?” kini aku ikut duduk bersila dan menatap jauh ujung gunung.

“Tentu saja,” jawabnya ringan.

Kehidupan yang baik-baik saja ternyata menyembunyikan pukulan telak mematikan, aku mulai curiga dengan hidupku ini. Perkataan yang keluar dari bibir Yunan menyentak kenyataann hidupku yang menyenangkan.

Apakah ini berarti kehidupanku yang baik-baik saja berpotensi mengalami kesulitan ?

Begitu juga hidup Yunan, hidupnya bisa saja tiba-tiba membaik, begitukah ?

Matahari kian rebah mengantarkan Yunan pulang dengan punggung yang kian hari terlihat kian berat, ada beban batin yang dia tanggung, aku bisa melihat dari wajahnya, dari suaranya dan dari punggungnya.

Yunan terus berjalan, rumah kami yang terbilang dekat hanya terhalang oleh pekarangan pisang dan sebuah rumah tetangga di samping rumahnya, ini membuatku sering mendengar suara-suara keras dan amarah Bapak Yunan yang mengganggu kenyamanan kampung kami. Karena hidup dalam satu lingkungan dan seumuran, Yunan menjadikanku satu-satunya teman perempuan yang cukup dekat dengannya.

Bapak Yunan sering membuat masalah dengan para tetangga, entah karena suara motor bising yang berkeliaran di siang hari, entah karena suara tangisan anak kecil, dan hal-hal lainnya yang dianggap mengganggu bagi Bapak Yunan.

Seperti yang terjadi malam yang lengang ini ketika tiba-tiba berubah menjadi gaduh dan menyakitkan, samar-samar aku mendengar suara teriakan penuh amarah, suaranya sangat keras hingga terdengar oleh Ibu dan Bapak, kedua orang tuaku sampai keluar rumah mencoba mendengarkan lebih dekat apa yang terjadi. Ternyata bukan hanya kami yang mendengar suara teriakan itu, tetangga samping kananku juga sampai keluar rumah untuk memastikan apa yang terjadi.

“Ada apa ya Kang ?” tanya tetangga kami pada Bapak.

“Wah, pasti si Yunan lagi dimarahin bapaknya lagi ini mah,” jawab Bapak dengan berkacak pinggang.

“Ya ampun, karunya pisan,” timpal Ibu sembari mengelus dada kiri. Sebagai seorang Ibu, beliau tentu tidak tega melihat kekejian ini.

Untuk memastikan apa yang terjadi, Bapak dan beberapa tetangga pun mencoba mencari tahu, mereka berjalan menuju rumah Yunan. Aku sangat ingin bergabung dengan mereka, namun Ibu mencegahku.

“Kita tunggu saja kabar dari Bapak,” lirih ibu mencoba menenangkanku.

“Kasihan Yunan, Bu.”

Malam kian larut, namun bapak tak kunjung pulang membuatku semakin bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Tidurku terasa tidak nyenyak karena memikirkan nasib sahabatku itu, apakah dia baik-baik saja ?

Sudah tidak ada suara teriakan lagi di luar sana, kucoba pejamkan mata namun gagal, akhirnya kuambil buku catatan harian yang ala kadarnya hanya sebuah buku tulis sekolah biasa, kutuliskan kejadian hari, bagaimana perasaanku, bagaimana aku mengkhawatirkan Yunan, kutulis semua yang tidak dapat aku sampaikan.

Pagi-pagi setelah shalat Subuh yang kesiangan aku langsung bertanya pada bapak tentang apa yang terjadi semalam, namun dengan wajah keras beliau memintaku untuk jangan banyak bertanya karena yang terjadi tadi malam adalah masalah orang tua. Aku tentu tidak puas dengan jawaban berisi larangan tersebut, kucoba menggali informasi lebih dari ibu.

“Sana nyiramin bunga dulu, Neng. Ibu mau nunggu tukang sayur,” ucap ibu sebelum aku sempat bertanya. Aku pun menyimpan lagi pertanyaanku, kulihat rumah Yunan yang hanya tampak halaman yang sepi, padahal biasanya Yunan sudah mengelap sepeda.

Para ibu terlihat sudah memenuhi bangku panjang depan rumahku sembari menunggu tukang sayur lewat, dan hampir setiap pagi juga aku mendengar gosip beterbangan dari mulut ke mulut dimulai dari lingkaran para penunggu tukang sayur ini.

“Tadi malam pada dengar nggak, Pak Hadi marah-marah keras banget, kayaknya si Yunan dimarahin deh ya ?” tanya seorang Ibu entah kepada siapa, yang jelas aku bisa mendengar bahwa ibu itu yang memulai menggosip.

“Iyah Bu, saya juga dengar, kasihan si Yunan pasti disiksa lagi,” timpal ibu yang lain.

Ada rasa ingin tahu yang menyelimuti hati membuatku mencoba terus mendengarkan, mungkin dari mulut para ibu-ibu aku bisa mendapat informasi terkait kejadian semalam. Namun belum selesai aku menguping, perasaan marah dan sedih memaksaku untuk bergegas masuk ke rumah.

“Eh, dengar-dengar bapaknya si Yunan mau menikah lagi ya ?” sebuah pertanyaan lain keluar dari ibu yang lain, sebuah pertanyaan yang membuat semua ibu terkejut.

Ibuku tidak terlibat dalam obrolan gunjingan tersebut, beliau selalu cepat-cepat mengambil sayur yang dicari, membayar lalu meninggalkan kerumunan. Meskipun ibu sering mengingatkanku untuk berhati-hati dalam bergaul dengan Yunan, nyatanya beliau tidak seperti para ibu-ibu penggosip yang selalu menjadikan keluarga Yunan sebagai topik pembicaraan.

“Neng, ayo masuk,” tegur ibu padaku, beliau pasti tahu kalau aku sedang mencoba menguping. Aku yang tadi memang berniat masuk pun langsung mempercepat langkah di belakang ibu.

“Rusuh deh si ibu-ibu ngegosip mulu,” keluh ibu ketika kami sudah di dapur.

Sembari memasak ibu menceritakan padaku apa yang terjadi berdasarkan cerita bapak, beliau menjelaskan bahwa Pak Hadi marah-marah karena Yunan belum menyiapkan makan malam ketika bapaknya pulang.

“Terus Yunan gimana Bu ?” tanyaku semakin penasaran.

 “Entahlah, Neng,” ucap ibu mengakhiri obrolan kami dan melanjutkan memasak.

Hari ini, Yunan tidak menghampiriku. Kucoba menjinjit mencoba mencari sosok Yunan, namun halamannya masih sama seperti tadi. Sepi.

“Mungkin Yunan sudah diantar Bapaknya,” tebakku mencoba menciptakan kemungkinan baik.

Sesampainya di kelas kudapati tempat duduk Yunan masih kosong, kursinya masih di atas meja. Kuedarkan mataku mencari dia di dalam kelas, kulirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuah kurang sepuluh menit, masih ada waktu sepuluh menit sebelum kelas dimulai.

“Mungkin Yunan nanti diantar Bapaknya,” tebakku lagi setelah tebakan awal meleset.

“Belum berangkat dia, mungkin bangun kesiangan,” ucap Baron seakan tahu bahwa aku mencari Yunan.

Bel masuk berbunyi, semua siswa sudah rapi berbaris di halaman kelas, namun aku belum juga melihat batang hidung Yunan, aku mulai mengkhawatirkannya.

Ketika Ibu guru masuk kelas beliau menyampaikan bahwa bapak Yunan mengabari bahwa Yunan sakit sehingga tidak berangkat sekolah, mendengar hal ini sontak membuat semua tebakanku salah, aku semakin bertanya-tanya sakit apa dia, padahal kemarin dia terlihat baik-baik saja. Apa ini berhubungan dengan kejadian semalam.

Beberapa teman kelas menanyakan padaku tentang Yunan, aku yang memang tidak tahu tentang sakitnya hanya bisa menggeleng menjawab pertanyaan mereka, beberapa dari mereka ada yang bersorak senang karena tidak ada yang membuat keributan di sekolah meskipun hanya satu hari, beberapa lainnya merasa kecewa karena kekurangan personil untuk bertanding bola dengan kelas enam.

Iya, meskipun dikenal sebagai pembuat onar, nyatanya Yunan berbakat dalam permainan sepak bola, walaupun sering mengalami cidera lengan dia tetap bermain bola, hal ini tentu membuat bapaknya kian marah, inilah kenapa Yunan diberi tugas mencari rumput setiap hari.

“Kalau sudah pulang sekolah mana bisa aku main bola, Ra.” Tiba-tiba aku teringat kalimat yang pernah Yunan sampaikan padaku ketika kami pulang sekolah.

“Tapi jangan sampai cidera lagi, Nan,” timpalku berusaha menegurnya. Yunan hanya mengangguk pelan seakan tidak peduli.

Aku pulang dengan mengantongi banyak pertanyaan tentang kondisi Yunan.

“Yunan dibawa ke rumah nenekya, Neng,” ucap Ibu membuka obrolan ketika aku pulang.

“Tumben,” timpalku sambil melepas ikat sepatu.

“Daripada nggak ada yang ngurusin,” ucap Ibu lagi seakan berbicara pada dirinya sendiri.

“Tumben.”

“Kan si Yunan sakit, jadi bapaknya nggak mau kesusahan ngurusin anaknya, ya sudah dibawalah Yunan ke rumah neneknya.” Hatiku mendadak ikut sakit mendengar ucapan Ibu, entah karena ikut merasakan sakit yang diderita Yunan atau karena alasan Pak Hadi yang membawa Yunan ke rumah neneknya, atau karena aku tidak bisa bertemu Yunan untuk waktu yang belum dapat aku tebak.

Kubuka buku catatanku lagi, kutuliskan rasa sedihku karena Yunan sakit. Hujan tiba-tiba membasahi semua sudut kota termasuk membasahi hatiku, aku menangis membayangkan nasib Yunan, kedekatan kami sebagai sahabat membuatku mudah sekali simpati dengannya.

Kuambil sebuah poto lama yang menampilkan wajah kecilku dan Yunan yang terbalut dalam seragam TK berwarna biru cerah, dalam bingkai tua itu terlihat wajah Yunan yang tersenyum lebar sampai memperlihatkan gigi ompongnya. Sebuah senyum tulus yang sudah lama tidak kulihat sejak dia kehilangan ibu dan adiknya.

Sudah tiga hari Yunan tidak berangkat sekolah, Pak Hadi juga tidak ada di rumah sehingga aku tidak punya informan untuk mengetahui kabar Yunan. Baron selaku Ketua Murid mengusulkan untuk menjenguk Yunan, namun setelah kusampaikan bahwa Yunan dan bapaknya tidak ada di rumah wajah Baron mendadak berubah lesu.

“Tapi aku tahu rumah neneknya,” jawabku membuat wajah lesu Baron menjadi sumringah lagi.

“Oke, kalau begitu sekarang kita kumpulin iuran untuk beli roti, buah dan susu,” ucap Baron meyakinkan teman-teman yang lain, “kita jenguk Yunan setelah pulang sekolah,” lanjutnya membuat semua mata hanya menatapnya.

Sesuai rencana yang sudah disepakati, kami menjenguk Yunan tepat setelah pulang sekolah, dari 25 siswa hanya 10 orang yang bersedia ikut menjenguk, karena yang lain berhalangan. Aku dan Baron memimpin rombongan, di sepanjang jalan Baron bertanya terkait masalah yang terjadi antara Yunan dan bapaknya. Baron tampak sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, dia hanya ingin mengonfirmasi kebenaran gosip itu melalui aku selaku sahabat sekaligus tetangganya.

Aku hanya mampu menjawab singkat, aku tidak berani jika harus menjelaskan lebih banyak tentang Yunan, dengan wajah menahan terik Baron hanya mengut-mangut.

Kami menempuh perjalanan selama 15 menit, sesampainya di tempat tujuan kami langsung dipersilakan masuk oleh nenek, beliau memelukku dengan hangat mengingat sudah lama sekali sejak terakhir kali Yunan mengajakku berkunjung kemari.

“Ibu dan Bapak sehat, Neng ?” tanya Nenek sembari melepaskan pelukan.

“Alhamdulillah sehat, Nek,” jawabku.

“Nan, nih ada Neng Dara sama teman-teman,” teriak Nenek sambil mempersilakan kami duduk. Tidak lama kemudian muncul dari balik tirai penghubung ruang tamu dan ruang tengah sebuah wajah yang familier.

“Eh ada teman-teman,” ucapnya sambil menyalami kami satu persatu.

Kutatap wajah pucatnya yang berusaha ramah menyambut kedatangan kami, sebuah kompres gel menempel di kening, tangan kurusnya terasa sangat hangat menandakan bahwa dia masih butuh waktu lebih banyak untuk istirahat.

Baron selaku Ketua Murid sekaligus teman akrab Yunan memulai obrolan-obrolan kecil, teman-teman yang lain pun ikut tertawa saat Yunan menceritakan bahwa dia kabur dari Puskesmas saat hendak disuntik oleh Dokter.

“Kamu kapan berangkat, Nan ?” tanya seorang teman.

“Kapan yah, mungkin lusa,” jawab Yunan berusaha memprediksi, “tapi lusa kan hari Sabtu, tanggung ya udah Senin aja,” lanjutnya membuat semua orang tertawa.

“Pak Salman nitip salam buat kamu, katanya kamu suruh cepat sembuh, sekolah sepi nggak ada kamu,” celetuk Baron membuat wajah Yunan yang tadi pucat menjadi cerah seketika sampai membuat kompresnya hampir lepas.

Aku tidak bisa banyak bicara karena banyak orang, jika hanya ada aku dan Yunan saja mungkin aku akan mengeluarkan semua pertanyaan yang sudah kupendam sejak malam itu. Yunan hanya melirik ke arahku seakan paham apa yang kupikirkan, dia tersenyum sesaaat dan melanjutkan obrolannya dengan Baron dan teman-teman yang lain.

*****

Sebuah Minggu pagi yang cerah dan bahagia, aku tengah asik menyiram bunga krisan di halaman rumah saat Pak Hadi melintas, bukan Pak Hadi yang menjadi alasan kebahagiaanku ini, melainkan sosok yang duduk di jok belakang motornya, itu Yunan.

“Ngapaian Neng ?” sapa Pak Hadi dengan wajah ramah.

“Nyiram tanaman Pak,” jawabku lirih. Yunan yang duduk di jok belakang hanya tersenyum sembari melambaikan tangan ke arahku, kubalas lambaian tangannya sampai pasangan ayah dan anak itu hilang tertutup pekarangan.

“Ra, ini ada oleh-oleh dari Nenek,” ucap Yunan yang tiba-tiba datang ke rumahku dengan kresek hitam. Kucium aroma nangka yang mantap.

“Makasih ya, Nan.”

“Sama-sama. Eh Ra, ada PR nggak selama aku nggak berangkat ?” tanya Yunan.

“Kayaknya ada deh,” jawabku mencoba mengingat, “tapi gampang kok, pasti kamu bisa.”

“Kalau boleh, aku mau pinjam bukumu saja deh, sekalian mencatat pelajaran yang ketinggalan.” Melihat ketulusannya hendak mencatat ulang pelajaran yang tertinggal, aku tidak dapat menolak niat baiknya.

Ibu yang mengetahui Yunan datang langsung keluar, jiwa keibuannya hendak menghibur hati bocah pembuat onar itu. Aku langsung bergegas masuk dan mencari buku catatan pelajaran dan memberi ruang untuk ibu menghibur Yunan. Dari dalam kamar samar-samar aku bisa mendengar ibu mengajak Yunan mengobrol di teras rumah.

“Ini Nan.” Kuserahkan buku catatanku padanya, ibu hanya mendengus halus melihat tingkahku.

“Kalian sudah mau kelas enam, harus rajin belajar, jaga kesehatan.” Kini ibu menasihati kami berdua, beliau tentu sengaja menasihatiku di depan temanku karena beliau tahu kalau aku tidak akan membantah.

“Oke, Bu,” jawabku dan Yunan bersamaan.

Di saat kupikir hubungan Yunan dan bapaknya telah membaik, lagi-lagi aku disakiti oleh keadaan yang menimpa sahabatku, aku tertipu oleh keadaan. Kejadiannya terjadi satu bulan setelah insiden malam itu, kali ini bahkan lebih parah dibandingkan sebelumnya.

Malam itu, hujan sepanjang sore masih menyisakan rintik-rintik tipis hingga menjelang Isya, tidak terlalu deras sampai bisa ditembus oleh suara jeritan Yunan.

“Ampun Pak, ampun,” teriak suara Yunan yang beradu dengan rintik hujan.

“Dasar anak tidak tahu diri.” Suara Pak Hadi sangat keras terdengar. Ibu dan bapakku keluar untuk memastikan apa yang terjadi.

“Astaghfirullah, aya naon deui, Pak ?” tanya Ibu pada Bapak.

“Aduh, kenapa lagi ini si Hadi,” timpal bapak.

“Bu, itu suara Yunan, Bu,” lirihku sembari mencengkeram daster ibu.

“Nggak apa-apa, Neng.” Lirih ibu berusaha menenangkanku.

Lambat laun suara Yunan sudah tidak terdengar, tidak berselang lama terdengar lagi jeritannya yang lebih keras. “Aduh Bapak, ampun, Pak.” Suara Yunan terdengar sangat kesakitan. Di malam yang basah ini, entah apa yang tengah dilakukan Pak Hadi terhadap Yunan. Ingin rasanya aku berlari dan menghampirinya, membantu meringankan beban yang dipikulnya sendiri.

“Ampun Pak, Yunan kapok, Pak.” Suaranya terdengar kian mendekat, aku semakin takut dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan ternyata, suara tangisan Yunan mendekat ke arah rumah kami, dia berlari ke arah kami dengan pakaian basah kuyup, matanya merah dengan wajah yang basah oleh air mata dan hujan.

“Pak Arman, tolongin saya, Pak,” tangis Yunan membuat gerakan memohon di depan Bapak.

Aku tidak dapat menahan air mataku lagi, hatiku sakit melihat kondisi sahabatku, dengan gerakan cepat bapak langsung membangunkan Yunan yang menangis di lantai teras. Setelah banyak pukulan yang diterima, untuk pertama kalinya aku mendengar bahkan melihat Yunan berani untuk melawan balik bapaknya.

“Pak….. to to tolong saya, Bapak mukulin saya lagi, Pak,” turut Yunan dengan tangisan yang kian menjadi-jadi.

“Yunan, sini kamu, dasar anak tidak tahu diuntung.” Kini Pak Hadi sudah memasuki halaman rumah kami, di tangannya tergenggam sebuah sabuk karet, diangkatnya sabuk itu tinggi-tinggi.

“Kang Arman, kamu nggak usah ikut campur urusan keluarga saya,” teriak Pak Hadi ke arah bapak.

“Saya bukan mau ikut campur, Kang Hadi,” timpal Bapak berusaha meredam emosi Pak Hadi. Dari balik punggung bapak, Yunan berdiri gemetar sembari mencengkeram tangan bapak, dia menatapku dengan tatapan yang tidak akan pernah ingin kulihat lagi, aku tidak tega melihatnya.

“Yunan ini anakmu, masa mau kamu pukulin setiap hari, hah ?” bentak Bapak, “kamu nggak malu sama almarhum Mbak Ratna ?” Baru kali ini aku mendengar bapak semarah ini, aku bahkan bisa mendengar suaranya yang parau karena beliau tidak pernah bersuara keras bahkan membentak.

Mendengar nama ibunya disebut Yunan kian menjadi-jadi, Pak Hadi terdiam mendengar ucapan bapak, matanya nanar menatap bapak dan Yunan secara bergantian. Ditariknya tangan Yunan dengan paksa, bapak bingung harus berbuat apa.

“Nggak usah ikut campur, Kang Arman,” desak Pak Hadi dengan suara penuh penekanan di setiap katanya.

Tangan besar Pak Hadi menarik tangan mungil Yunan yang sudah penuh dengan bekas cambukan, bapak menghembuskan nafas berat menyaksikan Yunan ditarik paksa oleh bapaknya.

“Yunan nggak mau tinggal sama Bapak, Bapak jahat” rengek Yunan berusaha melepaskan diri. Bapaknya menghiraukan dan terus menariknya dengan paksa, bapak hanya bisa menatap pemandangan kasar itu dengan perasaan bersalah karena tidak dapat membantu.

Sampai di bangku bambu, Yunan menggigit tangan bapaknya, disusul dengan mendorong bapaknya sampai terjerembab di kubangan air, dia melirik ke arahku dan kedua orang tuaku seakan meminta dukungan, dengan lincah Yunan langsung berlari kencang di bawah hujan yang kian deras.

“Yunan, lari yang jauh,” lirihku seakan merapalkan mantra.

Kalimat itu menjadi mantra yang memisahkanku dan Yunan sampai saat ini, itulah malam yang tidak ingin kusebut sebagai pertemuan terakhir kami, aku tidak ingin pertemuan menyedihkan itu adalah akhir dari pertemuanku dengan Yunan.

Sejak malam itu, Yunan menjadi alasanku lebih banyak menulis buku harian dibandingkan bercerita kepada orang lain. Kini, aku hanya mendengar kabar tentang Yunan dari ibu-ibu penggosip yang nongkrong di bangku bambu depan rumahku.

“Yunan katanya sekarang tinggal sama Pamannya di Bandung,” ucap seorang Ibu.

Kini setiap kali aku duduk di bangku bambu itu bayangan Yunan yang berlari kencang di balik hujan masih memenuhi pelupuk mataku, aku masih mengingat tatapan matanya malam itu. Aku merindukan sikap jailnya, aku rindu bagaimana dia banyak berbicara seperti orang dewasa, aku rindu saat kami menunggu senja di atas bangku bambu yang menjadi saksi kebebasan Yunan.

Bagaimana nasibnya sekarang, apakah dia masih sekolah ?

Apakah dia sudah hidup dengan layak ?

Apakah dia sudah hidup seperti yang pernah dikatakannya di atas bangku bambu ?

Ah, banyak sekali pertanyaan yang sudah kusiapkan untuknya. Aku ingin bercerita padanya tentang apa yang kualami. Hari ini persis seperti ketakutanku sore itu saat Yunan berkata seperti orang dewasa tentang siklus kehidupan yang bisa berubah, hidup yang kadang perlu dicurigai.

Kulihat bapak meninggalkan rumah dengan membawa sebuah ransel besar, ibu hanya duduk di atas sofa ruang tamu dengan mata merah dan wajah basah oleh air mata.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)