Masukan nama pengguna
Hujan baru saja reda ketika Liora melangkah menyusuri jalan kecil di kota tua Kure, Jepang. Langit masih kelabu, tapi aroma tanah basah bercampur bunga plum menyeruak seperti kenangan lama yang tiba-tiba bangkit dari tidur panjang.
"Akhirnya...,"
Ia mengeratkan pegangannya pada payung bening yang menudungi kepalanya.
Sudah hampir enam bulan sejak ia memutuskan untuk meninggalkan Jakarta dan memulai hidup baru di negeri yang pernah menjadi bagian dari mimpinya bersama Danu. Tapi, mimpi itu terhenti di tengah jalan, tepat ketika Danu menghilang tanpa jejak di hari mereka seharusnya bertunangan.
____
Liora mengajar Bahasa Indonesia di universitas lokal sebagai bagian dari program pertukaran budaya. Ia menyukai kesunyian kota kecil ini, jauh dari hiruk pikuk dan kenangan yang terus memburunya di tanah kelahirannya. Tapi anehnya, justru di sini, ia sering merasa lebih dekat dengan masa lalu.
Sore itu, ia berbelok ke sebuah kedai kopi kecil yang sering ia kunjungi. Pemiliknya, seorang wanita paruh baya bernama Haruka-san, tersenyum hangat.
“Liora-san, kopi dan kue matcha kesukaanmu, ya?”
“Hai,” jawabnya sambil duduk di dekat jendela. Hujan menyisakan tetesan air di kaca. Ia menatap keluar, dan untuk sesaat, jantungnya berhenti berdetak.
Seorang pria berdiri di seberang jalan, tubuhnya tinggi, rambut sedikit berantakan, dan caranya memegang payung yang sangat mirip sekali dengan Danu.
Ia mengedipkan mata, mencoba memastikan. Tapi pria itu sudah berbelok dan menghilang di lorong sempit.
“Mustahil…” bisiknya. Tapi benaknya mulai dipenuhi pertanyaan. Mungkinkah Danu ada di sini?
Dua hari kemudian, Liora menerima surat di laci mejanya di kampus. Tanpa nama pengirim. Isinya hanya satu kalimat,"Aku tak pernah pergi. Aku hanya terlambat kembali."
Tangannya gemetar. Gaya tulisan itu... ia hafal betul. Itu tulisan tangan Danu. Tapi bagaimana bisa? Ia tak pernah tahu keberadaan Liora sekarang. Bahkan hanya ibunya yang tahu ia ada di Jepang.
Ia mulai menyelidiki. Menelusuri jalan-jalan kecil yang sempat ia lalui. Ia bahkan kembali ke kedai tempat ia melihat sosok itu. Tapi tak ada petunjuk, hingga ia menemukan lukisan di sebuah galeri seni kecil, lukisan seorang gadis berpayung bening, berdiri di tengah hujan. Wajah itu… dirinya sendiri.
“Siapa pelukisnya?” tanyanya pada penjaga galeri.
Pria itu tersenyum, “Namanya Aki. Ia tak pernah menunjukkan wajahnya. Tapi ia rutin mengirim lukisan ke sini, satu per bulan. Dan yang ini datang kemarin.”
Liora merasa seolah semesta bermain-main dengannya. Ia merasa sedang dikejar oleh bayangan masa lalu yang menolak pergi.
Malam harinya, saat hujan turun lagi, Liora nekat menyusuri lorong tempat ia melihat sosok pria itu menghilang. Payungnya basah oleh rintik-rintik yang turun perlahan. Jalanan sepi. Tapi kemudian, ia mendengar suara gesekan kuas di atas kanvas dari sebuah bangunan tua yang pintunya terbuka sedikit.
Ia mengintip.
Seorang pria tengah melukis. Dan ketika pria itu menoleh, Liora terperanjat. Bukan Danu. Tapi pria itu memiliki wajah yang sangat mirip.
“Maaf... aku mengira kamu seseorang yang kukenal,” katanya gugup.
Pria itu mengangguk pelan, “Kamu Liora, bukan?”
Liora mundur satu langkah. “Kamu siapa? Mengapa kamu tahu namaku?”
“Aku Aki. Saudara kembar Danu."
Aki mengundangnya masuk dan menjelaskan semuanya. Ia dan Danu memang kembar. Tapi mereka tumbuh terpisah dengan Aki dibesarkan oleh ayah di Jepang, Danu oleh ibu di Indonesia. Mereka bertemu lagi saat kuliah. Danu selalu bercerita tentang Liora. Tentang betapa ia mencintainya, dan tentang rencananya untuk melamar.
Namun tragedi datang lebih dulu.
“Danu mengalami kecelakaan… tiga hari sebelum hari pertunangan kalian,” suara Aki berat. “Ia koma selama tiga bulan. Dan ketika sadar, ia kehilangan sebagian memorinya.”
Liora menutup mulutnya. Air matanya mengalir tanpa bisa dihentikan.
“Lalu kenapa dia tidak pernah mencariku setelah sadar?”
Aki menunduk. “Dia meningatmu secara perlahan. Tapi waktu itu, ia didiagnosis mengidap kelainan jantung akibat kecelakaan itu. Dia memilih pergi ke Jepang untuk menjalani perawatan... tanpa memberitahumu. Dia ingin kau melanjutkan hidup, tanpa harus menunggu orang yang belum tentu kembali.”
Liora tak bisa berkata apa-apa. Segalanya terasa seperti mimpi buruk yang terlambat diungkapkan.
Seminggu kemudian, Aki mengajak Liora ke tempat peristirahatan Danu. Di sanalah Liora melihat Danu sedang duduk di taman kecil, memandang bunga sakura yang hampir gugur. Tubuhnya kurus, tapi sorot matanya… masih sama.
Mereka tak berkata apa-apa pada awalnya. Hanya saling memandang dalam diam.
“Aku pikir kamu sudah bahagia tanpaku,” ucap Danu pelan.
“Aku tidak pernah benar-benar bahagia tanpa tahu kenapa kamu pergi.”
Danu menghela napas. “Aku takut menjadi beban. Aku takut kehilanganmu lebih dalam kalau kamu melihatku berubah dan…”
Liora menggenggam tangannya. “Aku lebih takut kehilanganmu tanpa tahu alasannya. Tapi sekarang… aku di sini.” ucapnya pelan.
Hujan kembali turun perlahan. Danu tertawa kecil. “Selalu ada hujan saat kita bicara tentang hati, ya?”
Liora mengangguk. “Tapi sekarang aku tahu... selalu ada cinta selepas hujan. Dana ku berharap itu kekal,"
Seminggu setelah pertemuan itu, Danu dan Liora mulai menghabiskan waktu bersama. Mereka mencoba merangkai ulang kebersamaan yang dulu retak. Tapi perlahan, Liora menyadari sesuatu yang aneh. Danu lebih sering melukis dengan tangan kiri, padahal ia kidal. Ia juga mulai menunjukkan minat yang lebih mendalam pada sastra Jepang, bukan fotografi seperti Danu dulu.
Hingga suatu malam, saat Liora membuka buku sketsa Danu, ia menemukan foto identitas tersembunyi.
Nama: Aki Pradana.
Tanggal Lahir: 4 Oktober.
Bukan... itu bukan Danu. Itu Aki.
Liora terdiam. Tak tahu lagi harus berbuat apa?
keesokan harinya, ia menghadapi pria itu.
“Kamu bukan Danu, kan?”
Aki menghela napas panjang. “Danu meninggal setahun lalu. Tapi sebelum ia pergi, ia meminta satu hal padaku, temui Liora, dan pastikan dia tahu bahwa ia dicintai sampai akhir.”
“Jadi semua ini... kebohongan?”
“Tidak. Perasaanku padamu tidak.” ujarnya.
Liora berdiri dalam diam. Hujan turun deras. Tapi kali ini, ia tak membawa payung.
Tiga bulan kemudian, Liora berdiri di tepi pantai Onomichi. Ia menulis surat yang tak pernah terkirim,"Danu, kau pergi dengan cinta yang utuh. Dan Aki, kau datang dengan luka yang jujur. Aku tak tahu apakah ini cinta yang sama. Tapi yang kutahu, setelah hujan, langit tak pernah sepenuhnya kelabu. Selalu ada warna baru, bahkan jika berbeda dari yang dulu."
Ia menutup matanya, membiarkan hujan membasahi wajahnya.
Di belakangnya, Aki berdiri. Tanpa kata. Tapi kali ini, Liora menggenggam tangannya.
Bukan karena ia lupa Danu. Tapi karena ia tahu, cinta yang datang selepas hujan... tidak selalu harus sama, asal tetap tulus adanya.
***Selesai