Cerpen
Disukai
3
Dilihat
5,487
Iri sama Tetangga
Slice of Life

Bagi ibu-ibu yang suaminya bekerja sebagai buruh bangunan, waktu sore hari adalah waktu yang paling sibuk karena mereka harus memasak dan menyiapkan makanan untuk suami mereka yang akan pulang tak terkecuali Bu Fitri yang juga seharusnya sedang memasak untuk suaminya. Namun hari ini alih-alih sedang sibuk memasak, Bu Fitri justru menghampiri anaknya yang tengah duduk di ruang tamu dan berhenti di jendela sebelah kiri yang memperlihatkan tetangganya yang sedang mengadakan pengajian.

“Fin, kita di kasih berekat gak sama yang di sebelah?” tanya Bu Fitri kepada anaknya, Fina sambil matanya melihat di jendela ke rumah tetangga sebelah.

Enggak mah, dari tadi aku di sini gak ada yang nganterin berekat tuh.” jawab Fina sambil menggelengkan kepalanya.

Huh! Dasar tetangga gak tau diri! Kalau kita ada acara, dia selalu kita kasih buat ngehormatin dia sebagai tetangga kita. Lah dia, sama sekali gak ngehormatin kita!” omel Bu Fitri sambil duduk di kursi di depan anaknya.

“Ya mungkin yang di kasih yang segrup yasinan aja kali, Mah. Kan yang di undang juga kayaknya cuma grup yasinan mereka aja,” ucap Fina menenangkan ibunya yang masih mengomel tentang tetangganya.

Alah! Kalau kita ngadain acara dan yang di undang cuma keluarga juga, tetep aja tetangga yang nomor satu di undang. Atau kalau pun gak di undang juga, tetangga harus tetep di kasih berekat atau snacknya,”

“Apa sih Mah, papah baru pulang bukannya di tanya gimana kerjaannya, malah dengerin mamah yang ngomel-ngomel enggak jelas,” ucap Pak Farhan, suami Bu Fitri yang baru pulang bekerja.

“Itu loh Pah! Tetangga sebelah ngadain pengajian tapi yang di undang malah yang grup yasinan aja! Mamah yang tetangga sebelahnya aja gak di ajak! Ya kalau emang gak ada tetangga yang di ajak, harusnya tetangga tetep di bagi berekatnya dong biar ngehormatin tetangga. Lah ini ngondang enggak, di kasih berekat juga enggak!” cerocos Bu Fitri kepada Pak Farhan yang baru duduk di sebelah Bu Fitri.

“Udah lah, Mah. Lagian berekat juga isinya paling nasi kotak atau snack, itu-itu aja, gak ada yang beda,” ujar Pak Farhan mencoba menenangkan istrinya yang masih belum berhenti membicarakan tentang tetangga sebelah.

Ah, papah mah gak peka! Gak ngertiin posisi mamah kayak gimana! Kan lumayan pah, kalau kita dapet berekat mamah gak masak juga gak papa! Sia-sia aja dari tadi nungguin berekat! Tau gitu, dari tadi aja mamah masak!” kesal Bu Fitri kepada suaminya. “Awas aja tuh tetangga sebelah! Kalau nanti dia minta tolong, gak bakalan di tolongin!” marah mamahku sambil berjalan ke dapur meninggalkan Fina dan Pak Farhan yang menggeleng pelan terhadap sikap ibu dan istrinya.

Keesokan harinya ...

“Mamah mau kemana pagi-pagi gini bawa sapu lidi?” tanya Fina heran kepada ibunya.

Bagaimana Fina tidak heran jika ibunya yang biasanya pagi-pagi begini masih masak, sekarang justru membawa sapu lidi dan mengenakan pakaian yang sedikit lusuh.

“Itu mamah mau bantuin tetangga sebelah buat beres-beres halamannya soalnya mau di pake buat acara apa gitu. Mamah juga gak tau sih soalnya mamah gak nanya takutnya kalau nanya, mereka malah bilang ‘Loh padahal tetangga deket, kok gak tau?’ gitu. Mamah gak mau ya orang-orang malah mikir begitu,”

“Bukannya kemarin mamah bilang kalau mamah gak bakal bantuin tetangga sebelah?” tanya Fina memastikan apakah ucapan ibunya yang kemarin akan berlaku atau hanya sekedar gertakan saja yang di ucapkan ketika marah.

“Awalnya mamah juga gak mau bantuin dia, Fin! Tapi kamu tau sendiri kan gimana tuh mulut Bu Isih kalau mamah gak bantuin dia. Dia pasti bakalan jelek-jelekin mamah, Fin. Bilang mamah sombong lah, bilang mamah gak peduli sama tetangga lah, ini lah, itu lah! Dan mamah gak akan biarin itu terjadi!” ucap Bu Fitri sambil berjalan ke luar rumah untuk pergi ke rumah Bu Isih, tetangga sebelah yang kemarin mengadakan acara pengajian.

“Selamat pagi Bu Fitri!” sapa Bu Yati kepada Bu Fitri yang baru datang ke rumah Bu Isih.

“Pagi Bu! Udah lama sampai, Bu?” tanya Bu Fitri dengan ramah.

Enggak, Bu! Saya juga baru sampai kok,” jawab Bu Yati, tetangga ujung paling kiri. Bu Fitri dan Bu Yati memang dekat, mungkin karena suami mereka sama-sama buruh bangunan di tempat yang sama hingga akhirnya mereka saling mengenal dan saling memahami karakter mereka satu sama lain.

Bu Fitri dan Bu Yati kemudian menyapa beberapa orang tetangga lain lagi yang kebetulan sedang berada di dekat mereka sehingga demi sopan santun, mereka saling menyapa.

Ketika si pemilik rumah, Bu Isih sudah datang ke halaman, mereka langsung memulai acara bersih-bersih tersebut sambil mengobrol.

Eh Bu, ada acara apaan sih sampai-sampai kita di suruh bersih-bersih di halaman gini?” tanya Bu Wina, tetangga sebelah kiri Bu Isih.

Ketika Bu Wina bertanya, Bu Fitri yang tadinya agak jauh dari Bu Isih pun pelan-pelan mendekat sambil tetap menyapu. Setelah di rasa jaraknya sedikit dekat tapi masih bisa mendengar percakapan mereka, Bu Fitri menghentikan langkahnya dan lanjut menyapu di sekitar tempat ia berdiri. Ia berpura-pura tidak peduli dan fokus menyapu. Sayangnya hanya ia yang tahu bahwa di dalam hatinya ia sudah bersiap-siap membuka telinganya lebar-lebar untuk mendengarkan jawaban atau pun penjelasan dari Bu Isih.

“Oh itu Bu, kemarin ada yang menelepon saya. Katanya mereka mau ngadain demo atau ya semacam sosialisasi lah sama warga desa di sini. Maklum sebentar lagi kan ganti Bupati, jadi ya mereka butuh dukungan. Kalau mereka gak kesini, gimana kita mau milih dia jadi bupati orang kita aja gak kenal sama dia,” jawab Bu Isih dengan nada pamer.

“Oh gitu! Emangnya kapan mereka mau dateng? Terus mereka bagiin apa, Bu? Baju? Botol? Atau apa?” tanya Bu Desi, tetangga seberang Bu Wina, dengan penuh semangat.

“Mereka dateng besok sore, Bu. Mereka juga ngasih kita baju, Bu! Dan harus di foto dulu sebagai bukti bahwa ibu-ibu semua ngedukung mereka. Terus nanti pas mereka datang, ibu-ibu semua harus pakai bajunya biar kita kompak,” jelas Bu Isih.

“Kapan kita di bagi bajunya, Bu? Boleh dua gak Bu bajunya?” tanya Bu Leni, tetangga seberang Bu Fitri.

“Di bagi bajunya besok pagi. Kalau mau dua, boleh bu. Tiga juga boleh, asal ... Satu orang satu. Misalnya satu Bu Leni, satu lagi suaminya, Pak Luki. Nah jadi dua kan? Yang penting satu orang satu dan nanti kalau di foto sesuai dengan yang menerima baju,” ucap Bu Isih sambil tersenyum.

“Kalau datengnya besok sore, ngapain bersihin halamannya hari ini? Besok pagi juga keburu. Kenapa juga harus di rumah ibu padahal kita bisa di balai desa?” tanya Bu Tina yang memang kurang akur dengan Bu Isih.

“Kenapa hari ini? Ya terserah saya dong mau kapan, ini kan rumah saya. Kenapa harus di rumah saya? Karena yang di hubungi oleh mereka itu saya, bukan pihak desa paham, Bu?!” ujar Bu Isih dengan nada mengejek kepada Bu Tina yang tentu membuat Bu Tina meradang.

“Baru gitu aja sombong! Gimana nanti kalau orang itu jadi bupati? Makin sombong aja tuh orang!” gerutu Bu Tina yang hanya di balas senyuman mengejek oleh Bu Isih.

Mereka akhirnya melanjutkan bersih-bersihnya sambil membicarakan hal-hal lainnya seperti tetangga yang sudah melahirkan, prestasi sekolah anak-anak mereka hingga mengecam salah seorang warga RT sebelah yang di gerebek oleh tetangga sekitar karena berduaan di kamar bersama dengan lelaki lain padahal suaminya ada di dalam rumah lebih tepatnya di lantai dua mentang-mentang suaminya tidak bisa melihat.

“Oh iya ibu-ibu, nanti jam sebelas, saya mau izin dulu buat ngambil sembako dari pemerintah. Maklum udah satu bulan,” ucap Bu Isih yang meminta izin untuk meninggalkan rumahnya untuk mengambil bantuan dari pemerintah.

Eh iya juga ya?! Saya hampir lupa udah waktunya kita di bagi sembako BPNT,”

Ho oh! Gak kerasa ya ternyata udah satu bulan,” “Iya, gak kerasa ya?!”

Ya udah gimana kalau kita barengan aja ke Bu Yosi nya?” tanya Bu Isih yang di setujui oleh ibu-ibu,

Ah, iya bu saya juga hampir lupa! Saya hari ini juga mau ke bank, mau ngambil BLT,”

“Saya juga,”

Wah sama! Saya juga mau ngambil uang tapi dari Kartu Prakerja. Lumayan lah buat tambah-tambah usaha warung saya,”

Ya udah kalau begitu, kita stop aja bersih-bersihnya sampai jam sebelas. Besok pagi di lanjut lagi, gimana?” tawar Bu Isih yang disetujui oleh ibu-ibu dengan wajah gembira kecuali Bu Fitri dan Bu Yati yang hanya memasang wajah masam dan beberapa ibu-ibu lain yang hanya memasang wajah cuek dan diam saja,

Tak terasa jam sudah menujukan pukul 11.00 dan mereka berhenti bersih-bersih. Semua ibu-ibu bubar begitu juga Bu Fitri dan Bu Yati.

Bu Fitri yang melihat Bu Yati akan langsung ke rumahnya pun terheran dan bergegas memanggil Bu Yati untuk menghentikan langkah Bu Yati yang akan berbelok dari rumah Bu Isih.

“Bu Yati, tunggu!” panggil Bu Fitri sambil berlari-lari kecil untuk menghampiri Bu Yati yang posisinya agak jauh dari Bu Fitri.

“Iya Bu, ada apa ya?” tanya Bu Yati dengan heran sambil menghentikan langkah kakinya dan menunggu Bu Fitri sampai di hadapannya.

“Itu Bu, saya mau tanya. Ibu gak ke rumahnya Bu Yosi juga? Bukannya ibu dapet bantuan ya dari pemerintah setiap bulan?” tanya Bu Fitri dengan hati-hati.

“Harusnya sih iya, Bu. Tapi udah tiga bulan ini, saya gak dapet. Awalnya saya gak tau kenapa padahal pas anak saya cek di internet, saya masih terdaftar. Akhirnya kemarin saya memberanikan diri buat nanya ke Bu Yosi eh katanya jatah saya di oper ke yang lain yang lebih membutuhkan. Kenapa harus jatah saya sih Bu, yang di oper? Kenapa gak yang lain aja? Ibu juga tau kan ekonomi keluarga saya pas-pasan saat di beri bantuan? Dan sekarang udah tiga bulan saya gak di kasih bantuan, saya stress Bu tiap hari mikirin gimana buat besok. Saya pinjem ke siapa kalau gak ada uang? Anak saya yang pertama dan yang kedua kerja juga buat mereka sendiri buat cicilan HP sama motor mereka sedangkan untuk biaya makan sehari-hari mereka tetep minta sama saya. Anak ketiga saya yang belum kerja sama sekali habis lulus SMA juga tetep minta uang dari saya katanya buat uang jajan sehari Rp. 10.000. Anak saya yang keempat yang masih SMA meskipun gratis tetep aja saya harus kasih buat jajan, bayar ongkos, bayar buku dan yang lainnya. Belum lagi anak saya yang bungsu, dia juga masih SMP, saya stress dan pusing Bu apalagi suami saya cuman buruh bangunan yang gajinya gak tentu tergantung masuk kerjanya aja. Kalau masuk di gaji kalau gak masuk gak di gaji,” curhat Bu Yati kepada Bu Fitri sambil menahan tangis.

“Sabar ya Bu. Kalau saya boleh nyaranin, anak ibu yang pertama sama yang kedua jangan dulu ngambil HP sama motor. Biar uang mereka sebagian buat menuhin kebutuhan sehari-hari dulu,” saran Bu Fitri sambil mengusap pundak Bu Yati untuk menenangkannya.

“Saya pernah nyoba bilang gitu Bu tapi mereka malah bilang kalau uang itu uang mereka, terserah mereka mau ngapain sama uang itu. Saya capek Bu, saya stress. Sekalinya saya minjem uang ke anak saya, minggu depannya mereka akan menagihnya. Saya sakit hati Bu, kenapa anak-anak saya perhitungan sama ibunya sendiri padahal dari kecil mereka saya urus tanpa perhitungan. Kenapa mereka malah ... hiks ... hiks ...” tangis Bu Yati pecah kala mengingat perbuatan anak-anaknya.

Bu Fitri yang melihat Bu Yati menangis pun hanya bisa memeluk Bu Yati sambil mengelus punggungnya untuk menenangkannya.

Beberapa menit kemudian, Bu Yati akhirnya tenang dan mereka berdua berbincang-bincang sejenak sebelum mereka berpisah untuk kembali ke rumah mereka masing-masing.

Bu Fitri yang sudah sampai di rumahnya langsung bergegas ke gudang untuk mengambil peralatan dan bibit bunga yang baru kemarin ia beli. Setelah mengambil peralatan berkebun dari gudangnya, ia langsung ke halaman depan rumahnya.

Fina yang melihat ibunya berkebun dari kamarnya, langsung menghampiri ibunya dan bertanya, “Mah tumben siang-siang gini berkebun?”

“Kepalang tanggung, Fin. Berhubung mamah udah pakai baju yang jelek, yaudah sekalian mamah nanam bunga,” jawab Bu Fitri yang di balas “Oh,” oleh Fina.

“Kamu mending balikin pakaian sana!” suruh Bu Fitri yang langsung di laksanakan oleh Fina.

Ketika Bu Fitri sedang asyik menanam bunga, ibu-ibu yang mengambil sembako sudah datang melewati rumah Bu Fitri sehingga mau tidak mau Bu Fitri harus melihat tetangganya yang membawa beras di atas kepala mereka, sementara di satu tangan mereka menjinjing sebuah keresek hitam besar yang isinya daging, buah dan lain-lain. Begitu pun dengan ibu-ibu yang baru mengambil uang dari bank.

Bohong rasanya jika Bu Fitri tidak iri dengan mereka, bagaimana pun Bu Fitri merasa bahwa ekonomi keluarganya sedikit lebih buruk dari tetangganya yang selalu menerima bantuan dari pemerintah.

Ketika Bu Fitri sedang memperhatikan tetangga-tetangganya yang baru pulang entah membawa sembako atau uang, tiba-tiba Bu Isih berceletuk.

“Bu Fitri! Jangan iri ya sama kita!” celetuk Bu Isih kepada Bu Fitri yang sedari tadi melamun sambil melihat ke arah tetangga yang lewat di depan rumah Bu Fitri.

Bu Fitri yang mendengar celetukan dari Bu Isih pun akhirnya tersadar dari lamunannya dan membuat Bu Fitri marah.

‘Emangnya kenapa kalau saya iri? Gak ngerugiin situ juga! Gak akan di curi juga tuh sembako!’ batin Bu Fitri dengan marah.

Ingin rasanya Bu Fitri mengatakan apa yang batinnya katakan. Tapi Bu Fitri tidak mau orang lain tahu bahwa ia iri dengan Bu Isih dan ibu-ibu lainnya yang mendapatkan bantuan dari pemerintah, gengsi!

“Siapa juga yang iri! Saya gak iri sama orang miskin!” sarkas Bu Fitri.

Alah! Saya tau kok Bu, ibu itu iri sama kita-kita pake bawa-bawa orang miskin lagi! Emangnya situ kaya apa!” sahut Bu Isih sambil dengan sengaja memamerkan sembako yang di dapatnya.

“Iya tuh, bener! Kalau iri bilang aja sih, Bu!” ledek Bu Wina yang memang menyimpang dulu bersama Bu Desi di rumah Bu Isih. Bu Isih dan Bu Desi yang mendengar ledekan Bu Wina pun tertawa terbahak-bahak sambil memegang perut mereka.

Emangnya kalau saya bilang iri, kalian bakal ngasihin sembako sama uangnya buat saya?” pertanyaan Bu Fitri membuat Bu Isih, Bu Wina dan Bu Desi terdiam. Mungkin mereka tidak menyangka kalau Bu Fitri akan membalas mereka dengan pertanyaan itu. Mereka pikir Bu Fitri akan tetap diam atau kalau pun marah, Bu Fitri akan langsung berbalik ke rumahnya.

Puas melihat respon ibu-ibu itu diam, Bu Fitri langsung melanjutkan perkataannya. “Enggak kan?! Makanya jangan sok-sokan deh! ‘Bilang aja kalau iri!’ heh emangnya apa urusannya sama kalian saya mau iri atau enggak! ” ucap Bu Fitri dengan nada mengejek.

Huh! Udah lah ibu-ibu, jangan di ladenin! Biasa, orang iri kan gengsi kalau orang yang bikin iri tau!” sahut Bu Desi yang di benar kan oleh Bu Isih dan Bu Wina.

“Bener tuh! Orang iri kan selalu bilang gak iri, gak iri padahal di hatinya mah pasti bilang iri! Hahaha ...”

Bukan Bu Fitri namanya kalau dia tidak bisa mengeles atau tidak bisa menjawab sindiran dari ibu-ibu julid itu dengan tenang.

Lah dari pada situ, di bilang miskin aja bangga!”

Heh Bu! Jaga omongannya ya!” marah Bu Wina yang terpancing emosinya. “Lah emang bener kan perkataan saya. Itu sembako sama uang kan emang buat masyarakat kurang mampu alias MISKIN! Kalau yang nerima ternyata bukan orang MISKIN ya ... gimana ya?” sahut Bu Fitri dengan menekankan kata ‘miskin’' sambil berpura-pura berpikir.

“Udah Bu, biarin aja lah tuh orang. Emangnya dasarnya iri sih, jadinya selalu nyari-nyari kesalahan orang,” ucap Bu Isih menenangkan Bu Wina yang marah karena terpancing lagi emosinya.

Bu Fitri yang sudah lelah berkebun di tambah ia juga sudah lelah beradu mulut pun berbalik ke dalam rumahnya setelah membereskan peralatan berkebunnya. Tapi sebelum Bu Fitri benar-benar masuk ke rumah, tak lupa ia menyindir tetangga yang ada di sebelah untuk yang terakhir kalinya di detik itu.

“KATANYA MISKIN BIAR DAPET SUMBANGAN DARI PEMERINTAH! TAPI DI BILANG MISKIN SAMA ORANG, GAK MAU! KATANYA MISKIN TAPI DI RUMAHNYA PUNYA MOTOR LEBIH DARI DUA! KATANYA MISKIN TAPI HANDPHONENYA IPHONE TERBARU! KATANYA MISKIN TAPI PUNYA EMAS LEBIH DARI 15 GRAM! ITU MISKIN ATAU PURA-PURA MISKIN?” sindir Bu Fitri dengan suara yang sengaja dikeraskan sambil berjalan santai dan cuek ke dalam rumahnya mengabaikan tetangga-tetangganya yang wajahnya merah entah karena marah atau karena malu akibat sindirannya.

Setelah puas menyindir tetangga-tetangganya yang menyebalkan dan julid itu, Bu Fitri langsung mandi dan mengganti pakaiannya dengan pakaian yang bersih.

Ketika suaminya pulang, Bu Fitri langsung menceritakan kembali kejadian tadi siang kepada suaminya. Meskipun Bu Fitri puas karena sudah menyindir mereka dengan telak, ketika di ungkit lagi tetap saja ia masih iri kepada tetangga-tetangganya.

Pak Farhan yang bisa mendengar nada iri dari istrinya pun berusaha untuk menenangkannya dan menghiburnya. Jangan sampai iri yang ada di hati istrinya malah berubah menjadi penyakit hati yang tidak bisa di sembuhkan.

“Udah lah Mah, jangan iri sama mereka! Rezeki udah di atur sama yang di atas. Mamah juga liat kan Bu Yati? Dia yang dapet bantuan juga kalau bukan rezekinya tetep gak di kasih kan? Harusnya kita bersyukur dengan keadaan kita sekarang. Meskipun Fani udah nikah, dia gak pernah minta sama kita lagi. Meskipun Fina belum kerja, dia gak pernah minta uang jajannya harus di jatah sehari berapa. Fattan yang masih SMA juga dia cuman di kasih Rp. 10.000 itu pun buat jajan sama ongkosnya. Terserah dia uang itu mau buat ongkos pulang pergi naik ojek terus naik angkot atau buat jajan tapi pulang perginya jalan kaki. Apalagi sih yang buat mamah iri? Siapa tau tetangga kita juga ada yang iri loh sama kita. Meskipun kita gak selalu dapet bantuan dari pemerintah, hidup kita cukup dan gak pernah sampai ngutang kemana-mana,”

Bu Fitri yang mendengar nasihat Pak Farhan pun terdiam. Ia memikirkan dan merenungkan kembali nasihat yang di katakan oleh suaminya itu. Bahkan ketika Fina dan Fattan datang pun Bu Fitri tetap mengabaikan mereka.

Ya meskipun kita cukup, apa salahnya sih mamah pengen di kasih bantuan dari pemerintah? Siapa sih yang ngerasa cukup sampai nolak buat nyari rezeki tambahan? Kan lumayan pah kalau kita di beri sembako, uang yang buat sembako itu bisa kita beliin barang-barang lain yang belum mamah punya seperti oven, mesin cuci, atau handphone buat Fina sama Fattan dan lain-lain. Kasian loh handphone mereka udah jadul, udah 4-5 taun belum beli lagi,”

Gak papa kok mah, kita masih pakai handphone yang keluaran 4-5 taun yang lalu. Yang penting handphonenya masih bisa di pakai,” sahut Fina dengan tenang.

“Bener tuh kata kak Fina. Lagian handphonenya juga gak rusak, gak perlu lah di ganti-ganti.” sahut Fattan menyetujui ucapan kakaknya, Fina.

Tuh dengerin apa kata Fina sama Fattan. Lagian kamu juga pernah loh nerima bantuan dari pemerintah,” melihat istrinya akan membantah, Pak Farhan langsung melanjutkan, “Yang dari prakerja tuh,”

Alah, prakerja apaan?! Orang di korupsi juga!” dengus Bu Fitri dengan marah. Siapa yang tidak marah coba ketika uang yang kamu nanti-nantikan ternyata di korupsi.

“Pantesan si Didit ngotot banget pengen daftarin mamah prakerja padahal udah tau gak dapet-dapet, eh ternyata ada udang di balik batu! Mamah yang harusnya dapet 2,4 juta malah cuma dapet 1,2 juta doang! Pas mamah tau, ya mamah marah lah, Pah! Yang pertama sama yang kedua menang di kasih Rp. 350.000 per bulan jadi kalau 4 bulan sekitar 1,4 juta. Lah mamah Rp. 400.000 per bulan tapi cuma 3 bulan doang!” marah Bu Fitri.

“Yang lebih parahnya lagi, pas mamah chat si Didit, dia bilangnya ngerjain pelatihannya susah. Ya kalau mintanya baik-baik dan jujur, mamah gak akan terlalu marah. Lah dia cuma bilang Rp. 400.000 per bulan selama 3 bulan. Ya mamah ngerasa ketipu dong pas mamah searching ternyata aslinya Rp. 600.000 per bulan selama 4 bulan. Pas mamah tanya lagi kenapa cuma setengahnya, dia cuma bilang gini ‘Sekarang yang daftar prakerja cuman sedikit, Bu. Lagian pelatihnya juga sulit’ udah gitu doang! Astaghfirullahalazim, mamah saat itu juga bilang dalem hati, Pah ‘Apa urusannya sama gue yang daftar prakerja cuma sedikit, gak ada hubungannya!’ Lagian ngomongnya aja pelatihannya sulit, pelatihannya sulit. Padahal mamah yakin, pas ngerjain pelatihan dia jawabannya itu-itu doang, apa yang sulit coba!” lanjut Bu Fitri dengan marah.

Melihat ibunya yang sedang marah dan tidak bisa meredakan amarahnya, Fina memberikan segelas air untuk ibunya minum. Setelah Bu Fitri minum, ia akhirnya merasa sedikit lebih tenang.

Pak Farhan yang melihat istrinya sedikit lebih tenang pun memutar otaknya untuk mengubah arah pembicaraan mereka. Ia tidak mau istrinya membahas lagi tentang masalah bantuan dari pemerintah karena takut istrinya akan menjadi lebih marah lagi.

Sayangnya belum juga Pak Farhan menemukan topik yang pas, Bu Fitri malah membahas lagi masalah bantuan dari pemerintah itu sehingga mau tidak mau Pak Farhan harus mengikutinya.

“Emangnya gak bisa apa, Pah kalau pemerintah tuh ngedata ulang tentang orang-orang yang nerima bantuan? Masa yang punya motor lebih dari dua juga dapet sumbangan terus menerus? Lalu yang lebih aneh lagi, sumbangan untuk para lansia juga padahal orangnya udah meninggal eh tetep aja terdaftar dan yang nerima anaknya. Ya kalau anaknya susah ya gak papa tapi ini ... anaknya berkecukupan, Pah. Punya motor, rumah juga bagus, kerja juga mapan dan gajinya juga tetep,” tanya Bu Fitri kepada suaminya.

Emmm ... setau papah sih dari beberapa taun yang lalu Pak RT udah bilang kalau dia udah ngasih daftar warga mana aja yang pantas menerima bantuan mana juga yang harus di cabut bantuannya. Tapi sampe sekarang belum juga di ubah, entah apa alasannya papah juga gak tau.”

“Wah kalau emang gitu, berarti yang gak beres itu orang-orang yang kerja di pemerintahannya, Pah. Mereka kayaknya males buat ngerubah lagi data-datanya, lagian yang penting itu mereka udah punya bukti kalau pemerintah udah ngasih sumbangan. Masalah tepat atau enggaknya ya mereka gak tau dan gak peduli,” kata Bu Fitri menyampaikan pendapatnya. “Wah gak bener ini! Itu artinya mereka memakan gaji buta!”

Hush! Gak boleh ngomong kayak gitu! Bahaya!” tegur Pak Farhan kepada istrinya. Ia tidak mau istrinya masuk penjara dengan tuduhan menjelekkan pemerintahan.

“Bahaya, bahaya! Emang bener kok mereka kayak gitu!” gerutu Bu Fitri dengan pelan.

“Kalau mereka gak tau tepat atau enggaknya ya udah mending gak usah ada sumbangan aja sekalian! Mendingan uangnya di pakai buat sumbangan membangun jembatan di pelosok desa, atau apa gitu dari pada di sumbangin ke masyarakat miskin, bikin iri orang lain aja! Yang namanya manusia, ekonominya juga berubah. Kadang di atas kadang di bawah. Lah bagi mereka yang selalu di kasih baik di atas maupun di bawah ya sama aja, mereka dapet sumbangan. Sementara buat yang gak pernah dapet sumbangan, saat mereka sedang di bawah mereka akan berpikir pemerintah itu gak adil. Terus-terusan orang lain di sumbangin eh yang di sumbangin malah gak ada kemajuan! Justru orang yang di sumbangin itu bukannya maju malah tambah miskin soalnya yang di sumbang itu membuat mereka jadi keenakan gak kerja. Mendingan sumbangannya buat mereka yang sedang ada di bawah biar mereka bangkit dan setelah bangkit sumbangannya bisa di oper ke warga lain lagi yang membutuhkan biar uang mereka bisa mereka kumpulkan buat modal usaha. Setelah usahanya sukses, baru di oper lagi. Kalau gitu kan bagus. Warga akan memanfaatkan sumbangan itu dengan sebaik-baiknya sambil mereka ngumpulin modal buat usaha mereka. Pemerintah juga namanya bakal harum karena sumbangan mereka tidak membuat warganya malas bekerja. Iya kan, Pah?”

“Mamah berpikir terlalu sederhana. Kalau itu mamah, apa mamah rela memberikan sumbangan itu ke orang lain hanya karena mamah itu udah kaya? Kalau pun mamah gak keberatan, belum tentu orang lain bisa seperti itu. Kadang ada orang yang ingin semua rezekinya buat mereka aja sementara orang lain gak boleh.” jawab Pak Farhan.

Emmm ... iya juga ya. Kalau gitu bantuannya jangan seumur hidup juga Pah. Mending sumbangannya di jangka gitu biar pemerintah juga bisa fokus ke pembangunan fasilitas umum terutama di daerah terpencil. Adil kan Pah?”

“Kalau emang di jangka, memangnya itu bisa menjamin kalau warga yang di sumbang bisa maju? Adil menurut kita belum tentu adil menurut mereka,”

Ya kalau gak maju-maju ya salah warganya sendiri! Terkadang pemerintah juga harus tegas sama warga pah biar gak terlalu manja. Kalau pemerintah terlalu memanjakan rakyat miskin, yang ada rakyat miskin itu malah tambah banyak, tambah males bekerja karena terus mengandalkan sumbangan dari pemerintah kayak beberapa orang yang ada di RT kita itu loh,” ucap Bu Fitri kepada suaminya sambil menyindir beberapa tetangganya yang malas bekerja.

“Udah lah mah, gak usah di perpanjang lagi. Biarin itu jadi urusan pemerintah mau mereka seperti apa. Kita cuman warga biasa jadi gak usah ikut campur urusan pemerintahan, oke? ” ucap Pak Farhan sambil mengelus kepala istrinya. Ia berharap penjelasannya akan membuat iri di hati istrinya mereda, syukur alhamdulillah kalau istrinya menghilangkan penyakit hati itu.

Sayangnya itu hanya harapan Pak Farhan. Yang namanya penyakit hati itu susah di bersihkan apalagi di hilangkan. Baru juga selesai masalah sumbangan sembako, muncul lagi masalah tentang KIP.

“Pah, kenapa sih yang dapet KIP tuh malah yang miskin sama yang gak pinter? Bukannya kepanjangan KIP itu Kartu Indonesia Pintar? Kok yang di kasih malah yang gak pinter?” tanya Bu Fitri yang membuat Pak Farhan menghela napas lelah.

“Terus?” tanya Pak Farhan sekenanya.

Ya aneh aja, Pah. Apa hubungannya pinter sama miskin? Kok yang di kasih malah yang miskin? Harusnya kan yang pinter, yang berprestasi yang di kasih biar memotivasi orang-orang biar pinter. Kalau yang di kasih malah yang miskin, bukannya itu akan membuat orang jadi termotivasi buat jadi miskin?”

Astaghfirullahalazim, Pak Farhan tidak tahu lagi apa yang di pikirkan istrinya itu. Pak Farhan hanya memijat pelan pelipisnya guna menghilangkan stress dan pusing yang ia alami dengan telinganya yang masih harus mendengarkan ocehan istrinya yang menyebutkan bahwa KIP itu lebih baik diganti jadi KIM, Kartu Indonesia Miskin. Untungnya di desa mereka tinggal, tidak ada orang yang menjadi pejabat pemerintahan, kalau ada dan mereka mendengarkan ocehan istrinya mungkin saat itu juga istrinya akan masuk penjara.

Pak Farhan melihat kedua anaknya yang sedari tadi diam saja melihat perdebatan orang tuanya sekarang sedang menahan tawa mendengar ocehan dan gerutuan ibu mereka.

“Kalau aja yang di kasih KIP itu orang yang pinter, mungkin Fina juga bisa kuliah, Pah,” lirih Bu Fitri kepada suaminya sambil menatap anak keduanya, Fina.

Pak Farhan yang mendengar lirihan istrinya pun seketika terdiam dan turut memandang Fina. Anaknya, Fina adalah anak yang membanggakan. Dari SD sampai SMA peringkatnya selalu sepuluh besar. Pas SMP, Fina selalu peringkat pertama atau kedua. Tidak pernah sekali pun ia peringkat ketiga atau pun peringkat-peringkat seterusnya. Akhirnya karena peringkat itulah, Fina berhasil masuk ke SMA terfavorit di kota mereka.

Sayangnya di SMA, prestasinya menurun meskipun ia tetap berperingkat sepuluh besar. Ia tidak lagi berperingkat lima besar apalagi tiga besar. Pak Farhan dan Bu Fitri juga tidak tahu apa yang mengubah kepribadian anaknya.

Sampai akhirnya Bu Fitri tanpa sengaja melihat buku diari Fina. Awalnya Bu Fitri tidak ingin membacanya karena bagaimana pun itu privasi anaknya. Namun ia akhirnya membacanya karena Bu Fitri sudah terlanjur penasaran dengan kata-kata “untuk apa” dan “aku tidak tahu” yang terus di ulang-ulang.

Untuk apa peringkat pertama? Jika itu dulu, aku akan menjawab peringkat besar itu untuk aku bisa masuk sekolah terfavorit di kota ini. Begitu seterusnya sampai akhirnya sekarang aku sudah masuk ke SMA terfavorit di kota.

Tapi jika sekarang aku di tanya, untuk apa peringkat pertama? Jawabanku sekarang adalah, I don’t know.

Aku tidak tahu untuk apa peringkat pertama. Aku tidak tahu.

Apa tujuanku selanjutnya? Aku tidak tahu.

Untuk apa aku belajar? Supaya aku pintar.

Untuk apa aku pintar? Jika itu dulu, aku akan menjawab aku pintar supaya bisa sekolah lebih tinggi lagi. Tapi jika aku menjawab sekarang, aku tidak tahu.

Begitu banyak yang aku tidak tahu, tapi satu hal yang aku tahu, pendidikanku hanya sampai jenjang SMA.

Bu Fitri yang membaca diari Fina pun tak kuasa menahan air matanya. Sebagai seorang ibu, ia merasa gagal mewujudkan impian anaknya. Bu Fitri menangis dengan terisak-terisak.

Pak Farhan yang mendengar suara tangisan istrinya pun bergegas menghampiri istrinya. Ketika ia bertanya ada apa, istrinya hanya menyodorkan buku diari Fina membuat Pak Farhan mau tidak mau membaca buku diari tersebut.

Perasaan Pak Farhan dan Bu Fitri pun akhirnya sama. Mereka sama-sama merasa gagal apalagi Pak Farhan, ia menyalahkan dirinya sendiri kenapa ia tidak berusaha untuk lebih keras lagi bekerja agar anaknya bisa kuliah.

Bisa saja Fina mengajukan beasiswa saat kuliah, namun Pak Farhan dan Bu Fitri tahu tidak selamanya kuliah itu gratis. Untuk daftar atau masuk, katanya bayar, belum beli buku, belum baju atau blazer yang menjadi ciri khas kampusnya, belum lagi kalau kuliahnya di luar kota, mereka harus bayar uang kos-kosan dan harus transfer uang buat makan sehari-hari. Jangankan transfer, ATM pun mereka tidak punya bagaimana mereka bisa transfer?

Gak papa Mah, Pah. Kuliah kan biar dapet kerja. Kalau dapet kerja tanpa kuliah ya alhamdulillah. Ini juga aku udah bersyukur mamah sama papah udah ngizinin aku buat jadi penulis novel padahal mungkin kalian ragu aku akan berhasil atau enggak, tapi kalian tetep ngizinin aku. Makasih Mah, Pah!”

Ucapan Fina sontak membuyarkan lamunan Bu Fitri dan Pak Farhan. Mereka tersadar dan tersenyum mendengar ucapan Fina.

“Mamah sama Papah akan dukung apa pun keinginan cita-cita kalian,” ucap Bu Fitri yang di angguki oleh Pak Farhan.

“Entah kenapa kesimpulan yang aku tangkap itu, sekarang yang di perlakukan tidak adil itu masyarakat menengah ya? ” celetuk Fattan.

“Iya lah! Jadi keluarga menengah tuh gak enak! Di bilang kaya, enggak kaya karena ada aja saat dimana uang kita kurang. Di bilang miskin, enggak miskin soalnya kita gak harus ngutang sana-sini. Tapi kebanyakan yang keluarga menengah tuh agak miskin tapi masih bisa hidup pas-pasan tanpa ngutang meskipun mereka tidak punya motor satu pun, tidak seperti kebanyakan orang miskin. Katanya miskin tapi punya motor minimal satu bahkan ada yang dua, bahkan tiga. Kadang mamah tuh suka mikir, zaman sekarang yang terdzolimi itu bukan orang miskin tapi orang yang hidupnya pas-pasan,” curhat Bu Fitri dengan mendramatis.

Pak Farhan dan Fina yang melihat Bu Fitri mendramatis pun hanya memutar bola mata mereka dengan malas dan membiarkan Bu Fitri mendramatis. Mereka tahu bagaimana sifat Bu Fitri yang sering kali mendramatis atau lebay dan mereka juga tahu ketika Bu Fitri sedang mendramatis, ia akan berhenti sendiri setelah ia puas atau tidak ada yang menanggapi perkataannya.

Berbeda dengan Pak Farhan dan Fina yang lebih memilih diam dan mendengarkan ucapan Bu Fitri, Fattan justru menanggapi ucapan Bu Fitri yang sontak membuat Pak Farhan dan Fina terkejut sampai mereka membelalakkan kedua mata mereka dan memelototi Fattan..

“Bukannya orang terdzolimi itu biasanya orang miskin ya? ” tanya Fattan dengan polos menatap Bu Fitri setelah itu ia menatap Pak Farhan dan Fina yang sedang melotot ke arahnya dan membuat Fattan bingung kenapa ia di pelototi seperti itu oleh ayah dan kakaknya.

Belum sempat Fina menegur Fattan untuk diam dan jangan menanggapi curhatan Bu Fitri, Bu Fitri justru membalas pertanyaan dari Fattan dengan penuh semangat.

“Itu zaman dulu, Fattan! Kalau sekarang mah yang terdzolimi itu orang yang hidupnya pas-pasan. Kenapa? Soalnya kalau orang miskin meskipun di hina mereka gak rugi dan gak sakit hati karena mereka dapet bantuan dari pemerintah dan mereka juga punya motor, bahkan ada yang lebih dari satu. Sedangkan orang yang hidupnya pas-pasan, mereka terdzolimi karena mereka di anggap kaya dan tidak berhak menerima sumbangan padahal kenyataannya orang yang hidupnya pas-pasan itu gak punya motor. Contohnya ya keluarga kita. Kita di anggap kaya sama orang lain hanya karena rumah kita dari luar bagus padahal lantai dua masih loteng, masih bata belum di semen apalagi di cat. Kita juga gak punya mesin cuci bahkan gak punya motor satu pun, eh malah gak di kasih bantuan. Belum lagi ...” cerocos Bu Fitri yang masih belum berhenti.

Setelah mendengarkan cerocosan Bu Fitri yang tidak kunjung berhenti akhirnya membuat Fattan menyadari bahwa ia salah dengan menanggapi curhatan ibunya. Fattan pun menatap ayah dan kakaknya dengan meringis sambil mengucapkan kata maaf tanpa suara kepada keduanya.

Pak Farhan dan Fina yang melihat Fattan akhirnya menyadari akibat Fattan yang menanggapi curhatan ibunya pun hanya mengangguk pasrah karena bagaimana pun itu sudah terjadi dan kalau pun menyalahkan Fattan, itu justru akan menambah panjang cerocosan Bu Fitri.

Akhirnya mereka bertiga dengan pasrah mendengarkan cerocosan Bu Fitri yang tidak ada habisnya itu sambil sesekali menganggukkan kepala mereka ketika Bu Fitri meminta persetujuan dari mereka tentang opininya dan ocehan Bu Fitri akhirnya selesai ketika adzan maghrib berkumandang.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)