Masukan nama pengguna
Namaku Livia.
Mahasiswi semester lima, jurusan Sastra. Tiga bulan lalu aku pindah ke rumah kos kecil di pinggiran kota. Letaknya agak terpencil, jauh dari kebisingan jalan raya atau hiruk pikuk pusat kota. Hanya ada deretan pohon sengon dan beberapa rumah warga yang tak terlalu dekat. Rumah kos ini milik pasangan tua yang ramah, yakni Pak Harto dan Bu Lastri.
Waktu awal datang ke sini, aku merasa beruntung. Selain murah dan tenang, suasananya adem banget, cocok buatku yang gampang cemas dan nggak suka keramaian. Tapi malam ini......semua terasa ganjil.
Jam menunjukkan pukul 23.12. Aku duduk bersila di lantai kamar sambil menatap layar laptop. Tugas makalah yang deadline-nya tinggal beberapa jam lagi belum selesai. Di sampingku ada mug kopi yang sudah dingin, lupa kuminum karena aku ketiduran barusan. Lagu mellow dari earphone masih mengalun pelan. Mungkin suara vokalis yang mendayu itu yang bikin aku mimpi aneh barusan, tentang lorong panjang dan suara langkah tanpa tubuh.
Lalu terdengar suara.
“Dek….”
Awalnya kupikir itu bagian dari lagu. Tapi saat kuangkat salah satu earphone dari telinga, suara itu terdengar lebih jelas.
“Dek... bukain pintunya, ya….”
Suara lelaki. Pelan. Datar.
Degh...
Itu... Suara Pak Harto.
Aku hafal betul suara beliau. Pria tua yang kalem, sering terlihat duduk di bangku teras setiap pagi sambil merokok kretek. Malam-malam biasanya sudah tidur sebelum pukul sembilan, pakai sarung dan kaus putih. Tapi sekarang, nadanya aneh. Bukan suara yang biasanya aku dengar. Ada sesuatu yang salah.
Suara itu seperti suara orang sedang mengigau. Atau lebih menyeramkan seperti suara dari kaset tua yang diputar terlalu lambat.
Aku menelan ludah. Berdiri perlahan. Kamar kosku cukup sempit, sekitar tiga kali empat meter. Satu ranjang single, meja belajar kecil, dan lemari plastik di sudut. Pintu kamarku langsung menghadap lorong tengah, yang biasanya sunyi setelah pukul sepuluh malam. Langkahku pelan mendekati pintu. Tanganku hampir menyentuh gagangnya, saat HP-ku bergetar keras.
Bu Lastri.
Dengan jantung berdegup kencang, aku menekan tombol hijau.
“Dek, jangan keluar!” katanya buru-buru. Napasnya terdengar ngos-ngosan, seolah habis lari.
Aku langsung diam membeku.
“Kamu... kamu denger suara itu juga, ya?” tanya Bu Lastri lagi.
“Iya, Bu… Itu Pak Harto, kan?” bisikku," Dia manggil dari luar.”
Hening sebentar. Lalu suara Bu Lastri turun nadanya jadi pelan. Lebih seperti bisikan,“Iya. Tapi bukan.”
Aku nyaris tak bisa bicara. Otakku memproses informasi itu perlahan, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.
“Bapak dari tadi pagi ke rumah kakaknya di Wlingi,” katanya lagi. “Belum pulang. Harusnya nginep sana. Aku udah telepon barusan. Dia baru tidur katanya.”
Aku menoleh ke arah pintu. Suara itu kini berhenti. Tapi keteganganku belum mengendur.
“Bu… jadi yang di luar itu siapa?”
Lama sekali tak ada jawaban. Sampai akhirnya terdengar suara yang nyaris tak terdengar,“Yang itu… Bukan manusia.”
Jantungku seolah berhenti berdetak. Tanganku gemetar. HP hampir jatuh dari genggaman. Tapi yang membuatku benar-benar lemas adalah saat tirai jendela kamar bergerak perlahan. Aku menatapnya dengan ngeri. Semua jendela sudah kututup sejak sore, bahkan kukunci. Tapi tirainya kini bergerak seperti ada yang mengintip dari luar.
“Dek... Tolongin aku….”
Suaranya kembali terdengar. Kali ini lebih dekat. Tapi nadanya berubah. Lebih serak. Parau. Seperti pita suaranya rusak. Dan ada suara lain yang menyertainya seperti gesekan seperti kuku panjang di atas lantai kayu.
Pelan. Menyeret.
Bulu kudukku berdiri. Aku mundur, punggungku menempel ke tembok. Lampu kamar kumatikan. Gelap. Hanya cahaya dari layar laptop yang redup menyinari ruangan.
Tok. Tok. Tok.
Tiga ketukan. Tepat di pintu. Lalu hening.
Aku menahan napas.
Tangan kugenggam kuat-kuat. HP masih dalam genggaman. Lalu tiba-tiba layar menyala.
Pesan masuk dari Bu Lastri ; Dek, kamu di kamar mana? Aku denger suara Bapak ketuk pintu dari depan... Tapi dia juga ketuk pintu kamar aku barusan.
Aku terdiam.
Kubaca ulang pesan itu. Perlahan, pikiranku mulai menolak untuk percaya.
Kalau “Pak Harto” sedang berdiri di depan kamarku dan juga mengetuk kamar Bu Lastri. Berarti... ada dua suara. Dua sosok.
Atau lebih?
Pesan masuk lagi ; Dek… Barusan kamu yang ketuk pintu kamarku ya?
Aku ternganga. Jari-jariku dingin.
Ini bukan lagi soal suara aneh. Bukan soal mimpi buruk atau kesambet. Ini nyata. Ada sesuatu atau beberapa sesuatu yang menyamar, meniru suara orang yang kami kenal. Dan sekarang... mereka mengetuk pintu.
Perlahan, seperti di film horor, suara seretan kuku di lantai terdengar lagi.
Kemudian,
Kreeeettt....
Terdengar suara gagang pintu kamar sebelah diputar. Bukan pintuku. Mungkin kamar Mira, anak jurusan hukum di ujung lorong. Atau Santi, mahasiswa farmasi. Tapi aku tahu, pintu itu terbuka perlahan.
“Maaf ya, Pak… Saya gak tahu kalau....”
Braak!
Suara Mira.
Jeritannya menembus malam. Panik. Tercekik. Lalu diam.
Aku menutup mulut dengan tangan. Air mataku mulai turun. HP-ku mulai dipenuhi notifikasi dari grup kos putri mendadak ramai. Semua panik. Beberapa bilang dengar suara di dapur. Yang lain bilang listrik sempat mati. Tapi tak ada yang berani keluar kamar.
Kurasakan kakiku melemas.
Di luar pintu, suara itu kembali terdengar.
“Dek... Bukain. Aku kedinginan....”
Kini lebih lirih. Dan lebih dari satu. Suara-suara itu saling timpa, seperti kaset yang diputar bersamaan. Beberapa terdengar seperti suara Pak Harto. Tapi ada juga yang mirip suara laki-laki muda. Bahkan... Suara anak kecil.
Aku menunduk. Air mataku jatuh ke lantai. Otakku menjerit, ingin berlari, ingin menjerit. Tapi tubuhku hanya bisa gemetar.
Tiba-tiba HP-ku bergetar lagi. Kali ini bukan pesan. Tapi telepon video.
Nama di layar tertulis nama MIRA.
Tanganku langsung menolak. Tapi sebelum bisa kutekan tombol merah, layar terbuka sendiri.
Gambarnya gelap. Tapi samar-samar terlihat seseorang berdiri membelakangi kamera.
Rambut panjang. Tubuh bergoyang pelan.Lalu wajah itu menoleh.
Bukan wajah Mira. Bukan juga berwajah manusia.
Matanya bolong. Kulitnya seperti dibakar. Mulutnya bergerak perlahan.
“Bukaaa... pintunya...”
Aku menjerit dan melempar HP ke kasur. Tanganku menutup telinga. Aku ingin ini semua berakhir. Ingin pagi datang secepatnya. Tapi waktu seakan berhenti.
Saat itulah aku sadar... dari cermin kecil di pojok ruangan, ada sesuatu berdiri di belakangku.
Aku berbalik cepat. Tapi tak ada siapa pun.Dan di sana, samar-samar kulihat bayangan diriku sendiri, berdiri dengan senyum aneh. Tapi itu bukan aku. Wajahnya pucat. Bibirnya bergerak tanpa suara.
“Aku udah di dalem.”
Tok. Tok. Tok.
Kali ini ketukan terdengar dari dalam lemari.
Aku mulai paham.Malam ini, aku bukan satu-satunya yang dikunjungi. Dan suara itu... Bukan cuma satu.
Dret...
HP-ku bergetar lagi. Tapi kali ini bukan dari Bu Lastri. Nomor tak dikenal.
“Dek Livia, jangan takut. Aku di kamar paling pojok. Kita harus keluar dari sini sekarang.”
Aku terdiam. Siapa ini?
“Cepat! Sebelum dia berubah bentuk lagi.”
Berubah bentuk?
Kutatap jendela. Tirainya masih bergoyang. Lalu, dari bawahnya, aku lihat... bayangan kaki. Tapi bukan kaki Pak Harto. Ini... Terlalu panjang. Terlalu kurus. Dan hanya tiga jari.
Aku beringsut ke belakang, panik. Tapi saat aku hendak menelepon balik nomor itu, pesan lain masuk.
Dari Bu Lastri, “Dek, maaf... Aku bohong. Pak Harto memang nggak ke Wlingi. Dia sudah meninggal dua minggu lalu. Tapi... Tiap malam... Dia pulang.”
Tanganku gemetar. Apa maksudnya... “pulang”?
Tiba-tiba... semua lampu mati.
Gelap gulita.
Aku menjerit tertahan. Di luar kamar, suara langkah kaki terdengar berat dan menyeret. Tapi anehnya... Bukan cuma satu pasang. Ada dua. Tiga. Lalu suara napas... Saling tumpang tindih. Ada yang terengah-engah. Ada yang menggeram.
Lalu... Ketukan ganda itu serempak di semua pintu rumah kos.
Tok. Tok. Tok.
Semua bersamaan.
Satu pesan terakhir masuk dari nomor tak dikenal tadi, “Livia... namamu bukan Livia. Kamu anak yang hilang 12 tahun lalu. Rumah ini pernah jadi rumah keluargamu. Dan mereka semua datang mencarimu.”
Kubekap mulutku sendiri.
Di luar sana, suara yang mirip Pak Harto atau siapa pun itu memanggil lagi. Tapi sekarang... Pakai nama kecilku yang tak pernah aku beritahu siapa-siapa.
“Devi…."
****