Masukan nama pengguna
"Jag älskar dig, Kinara . Sekarang, nanti, selamanya ...."
Ucapan Vasa Andersson meliuk di antara nyala lilin, lalu terpantul melukis siluet yang menari pada dinding bata merah cerah khas Nordik. Jejak rasanya melanglang buana dalam memori Kinara. Rasa dari sepasang insan yang telah bertaut dalam tambatan hati. Malam itu di Nygatan, Kota Tua Gamla Stan, Stockholm, Swedia.
"Jag älskar dig också, Vasa."
***
"Badai paling dahsyat justru lahir di atas permukaan laut yang paling tenang."
Mimpi tiga tahun lalu itu bungkam di balik kelima jemari padat milik Kinara. Ia melenguh setengah mengantuk seraya menepuk bantal di sebelahnya. Rasanya dingin tanpa hangat jejak bekas ditiduri.
Bukan hal mengejutkan kalau ia terbangun di pagi hari sendirian. Andai ini Juli atau Agustus, ia pasti akan berpikir kalau Vasa pergi bersama Linus, sang ayah mertua untuk berburu rusa besar di hutan bersama kelompok perburuan mereka. Suami dan ayah mertuanya akan membawa pulang belasan kilo daging sebagai oleh-oleh. Atau skenario kedua: ayah dan putra itu pergi pagi-pagi buta ke sebuah kabin pemancingan yang letaknya sungguh terpencil.
Jika itu adalah skenarionya, tetapi ini adalah musim dingin di bulan Januari. Tidur di mana pria setengah Svensk dan Jawa itu? Bantal dan pembaringan di sebelahnya jelas-jelas berbicara kalau Vasa tidak ada di apartemen semalaman. Ini Stockholm dan cuaca di luar sedang ekstrem tidak bersahabat. Namun, Kinara tidak ingin berprasangka macam-macam seperti Vasa sengaja membekukan dirinya di area "peti es". Suaminya itu penduduk lokal, pasti tidak susah bagi Vasa untuk menemukan kehangatan di apartemen lain yang bersedia menampungnya.
Vasa tidak bodoh, tetapi pria itu kadang lupa kalau dirinya telah menikah dan masih berperilaku layaknya bujang. Mungkin Kinaralah yang terlampau naïf mengharapkan sebuah hubungan yang hangat di kota yang dingin ini, kendati salju sedang tidak turun dan memutihkan pemandangan atau membekukan perairan Danau Mälaren yang mengaliri pulau-pulau di kota Stockholm.
Kota yang "dingin" dan ia menemuinya di sini, di apartemennya sendiri setiap hari dalam setahun. Jadi, setelah bangun dengan siku tertekuk dan bertumpu selama beberapa menit dengan rambut terjuntai, Kinara memilih untuk turun dari ranjang alih-alih menanyai Vasa dengan melakukan sebuah panggilan. Ia tidak ingin mendapati sambutan sedingin balkon yang kadang beralih fungsi sebagai kulkas, tempat dirinya menyimpan stok buah dan sayuran selama musim ini.
Ah, Kinara sedang malas memasak rasanya pagi ini. Puncaknya, ia enggan keluar demi berbelanja bahan makanan ke supermarket. Dia ingin memesan layanan antar saja, kendati cukup mahal sekitar 120 SEK atau dua ratus ribuan dalam rupiah untuk seporsi burger standar, kentang goreng, juga soda. Hanya sesekali ia berminat menguras isi dompet demi hidangan berbau restoran yang lebih “wah”. Penghasilannya sebagai asisten animator lepas di sebuah studio digital yang berbasis di Hollywood pas-pasan, meskipun bisa dibilang mapan kalau gaji sembilan digit tahunannya itu dibawa pulang ke kota asalnya, Malang.
Untunglah tidak sulit untuk mencari pekerjaan sambilan di kota terbesar Nordik ini. Kadang ia memperoleh kupon makan sebagai imbalan menjadi studentkaninen alias kelinci percobaan penelitian di sebuah universitas riset. Ya, Kinara masih seperti mahasiswa saja yang senang berburu imbalan tiket menonton, kupon makan, atau seribu krona.
Hidup di Stockholm yang menganut paham egaliter, wanita memang tidak boleh bermanja-manja. Setidaknya, ia masih bisa membagi sewa apartemen jangka panjang berdua dengan Vasa. Berkat Vasa, Kinara kini tak perlu lagi waswas memikirkan kemungkinan tinggal di mana setiap bulan. Ia bisa pindah dari apartemen koridor yang harus berbagi dapur dan kamar mandi bersama. Ia pun terbebas dari rasa cemas dipingpong dari satu apartemen berbagi ke aparteman lainnya karena tidak kebagian antrean hunian tetap. Masa tunggu untuk memperolehnya rata-rata belasan tahun!
Omong-omong, sekarang ia jadi punya alasan untuk menelepon Vasa selagi menyeduh kopi di coffee maker.
"Halo." Sebuah suara bass menyahut dingin. Kinara lantas menyesap kopi yang sudah masuk cangkir dan berharap kafein dapat mengusir rasa dingin itu keluar dari dalam dirinya sekarang.
"Aku ingin memesan burger. Apakah kau mau kupesankan juga?"
"Aku akan sarapan sendiri dan mengopi di T-Centralen nanti. Cuma itu saja kau meneleponku?"
Sial, kafein kali ini rupanya gagal mencairkan otak Kinara yang membeku. Sebagian dirinya pun ingin kembali ke dalam selimut.
"Oke. Itu saja." Telepon di seberangnya segera ditutup sehingga Kinara mengubur keinginannya untuk mengucapkan salam perpisahan. Apalagi jika mengharap itu keluar dari mulut Vasa. Langka. Hubungan mereka bagai terisolasi secara emosi. Perkumpulan mereka ibarat formalitas di atas kertas, dibingkai oleh kotak berukuran sebuah studio standar 5 x 10 meter persegi dengan satu kamar tidur dan dapur. Selebihnya, seolah ada dinding takkasatmata yang membentang di antara mereka.
Sebabnya, kota ini mendinginkan mereka dalam individualisme masing-masing. Beginilah tradisi turun-temurun yang berlaku di Stockholm. Melanjutkan hubungan sampai ke tahap pernikahan saja adalah sebuah keajaiban. Beruntung Vasa masih punya keterikatan darah dengan setengah tanah airnya yang bahkan tidak pernah dikunjungi oleh pria itu seumur-umur. Maka, ada ketertarikan alamiah tatkala pria ini pertama kali jatuh cinta kepadanya.
Tiga tahun tampaknya tidak cukup lama untuk membuat Vasa kembali dingin membeku ke titik mutlak. Entah apa artinya kata-kata romantis yang pernah diucapkan Vasa dulu saat melamarnya dalam sebuah makan malam penuh lilin dengan menu köttbullar (bakso daging rusa) di sebuah restoran bernuansa kental Nordik. Alhasil, sebuah jalan pintas tercetus di benaknya. Apakah Kinara harus membujuk Vasa dengan berendam air hangat di apartemen? Ia sudah terlalu sering melakukannya dan Vasa sudah hafal dengan taktik ini. Untuk seorang seniman, Kinara merasa dirinya memang monoton dan tidak kreatif sama sekali. Lagi pula, mendengar kata "T-Centralen" tadi saja sudah membuat dia hilang akal. Pria itu sekarang ada di terminal pusat; jangan bilang kalau Vasa pergi diam-diam mengunjungi orang tuanya di Göteborg tanpa berbicara pada Kinara bahkan mengajak istrinya serta.
***
"With Miss Kinara?"
Seorang pemuda berwajah oriental berlesung pipit dengan tinggi badan sedang, mencoba tersenyum ramah nan canggung kepadanya. Pemuda itu segera mengeluarkan kotak pesanan dari dalam carrier bag berwarna hijau senada dengan jaket yang ia kenakan bersablon "Foodora".
"Terima kasih. Dan saya Mrs. Kinara, bukan 'nona'." Kinara mengoreksi dengan geli.
"Oh my bad. Maafkan saya, Mrs. Kinara." Kotak pesanan tertahan di tangan sang pengantar.
"Tidak apa."
"Anda kelihatannya bukan penduduk lokal."
Kinara tersenyum menanggapi keramahan khas Asia itu. Kinara pun tidak keberatan ketika sang pemuda menanyakan asal usul kulitnya yang berwarna sawo matang-nyaris dua tipe di bawah kulit Vasa yang mendekati putih kemerahan khas bule.
"Saya gagal kuliah ke Amerika Serikat, lalu terdampar di KTH (Royal Institute of Technology), bertemu dengan orang lokal, dan begitulah ceritanya."
"Luar biasa, Nyonya. Jujur, memperoleh kencan di sini rasanya susah. Saya merasa seperti bermigrasi ke ujung dunia saja."
Kinara tertawa hambar. Obrolan ringan dan sedikit dark humor ini lebih manjur dari secangkir kopi decaf (nonkafein). Meskipun Stockholm telah membuat hatinya dingin, ia tetaplah arek Malang penuh gairah yang mengalir dalam darahnya.
"Tunggulah sampai musim panas dan midsummer tiba di bulan Juli. Akan ada perayaan di mana-mana dan orang-orang bergembira. Yang pasti, banyak turis juga." Kinara seolah berusaha menghibur pemuda malang itu.
"Apakah suami Anda juga ikut vasaloppet (perlombaan ski) tahun ini, Nyonya?"
Pemuda itu tampak penasaran dan merasa ini kesempatan baik untuk menggali informasi menarik dari seorang keluarga lokal yang bersahabat.
"Of course. Dia adalah pria kelebihan hormon yang hanya bisa dipuaskan dengan kegiatan di alam liar."
Dengan tambalan di sana sini, Kinara bercerita soal awal Maret yang Vasa habiskan untuk menempuh jarak 90 kilometer dari Sälen ke Mora dalam sebuah perlombaan ski yang jumlah pesertanya bombastis. Kinara memang tidak menunggu di garis finish, ia lebih memilih untuk menghangatkan diri di penginapan lokal dan hanya menonton dari rekaman head camera, seraya mendengarkan cerita dari Vasa yang menggebu-gebu dengan kurang antusias.
Mungkin Vasa kecewa. Kinara kurang tertarik dengan kesibukan di musim dingin yang justru sangat dicintai oleh sang suami. Vasa kemudian tidak pernah lagi mengajaknya keluar untuk menikmati salju, sehingga Kinara praktis berada di apartemen yang hangat sepanjang musim. Meskipun ia berasal dari Kota Batu Malang yang dingin, Kinara tetap perempuan tropis biasa. Tidak kuat dirinya menahan risiko frostbite (radang beku) di luar sana.
Ah, ia sampai lupa waktu, hingga lebih dari sepuluh menit habis untuk mengobrol seru di depan pintu. Kinara baru tersadar setelah tatapannya tertumbuk pada kotak pesanan yang masih ada di tangan si pemuda. Perutnya keroncongan seketika.
"Terima kasih atas obrolannya." Kinara senang hati walaupun ini hanyalah obrolan biasa seumpama menyapa tetangga dari balik pagar di Göteborg, orang-orang selatan yang lebih ramah. Di sana terdapat rumah mertuanya yang sering ia kunjungi bersama Vasa saat liburan musim panas.
"Sama-sama, Nyonya. Semoga Anda menikmati layanan kami." Pemuda itu memberi hormat dengan sopan. Mereka mempekerjakan orang yang tepat dan beruntungnya, bertemu dengan pelanggan yang tepat.
"Oh, omong-omong," Kinara teringat sesuatu dan segera bertanya dengan telunjuk teracung, "apakah Anda mengantarkan pesanan lagi setelah ini?"
"Nope." Pemuda itu mengedikkan bahu dengan bibir bawah melekuk ke atas.
"Baiklah. Kalau Anda bersedia, saya punya sesuatu ... anggap saja ini sebuah permintaan tolong ... kalau tidak keberatan ...." Pemuda itu mengernyit ketika Kinara tampak merasa sungkan saat berusaha mengatakan sesuatu. Wanita itu bahkan mengepal tangan di depan dada dan memberikan tatapan memohon padanya. Mungkin terdengar aneh, tetapi pemuda itu lantas mengiakan, "Oh, ya? Apa itu?"
"Benarkah?" Binar berlebihan terpancar dari mata Kinara. Senyumnya mengembang lebar.
"Tunggulah sebentar, saya ambilkan dulu," ujar Kinara mundur tergesa-gesa ke dalam ruangan seakan takut sang pemuda akan berubah pikiran. Terdengar berisik bunyi keresek dan kelontang sebentar, lalu beberapa menit kemudian Kinara muncul dengan dua plastik besar di tangan penuh botol PET dan kaleng bekas, juga senyum penuh kelegaan.
"Ha." Kebingungan sang pemuda terjawab seketika.
"Ya, begitulah." Kinara tertawa kecil. "Saya terlalu malas ke supermarket hanya untuk memasukkan ini ke pantamera. Mungkin Anda bersedia? Anggap saja ini krona ekstra—suami saya sedang pulang ke rumah orang tuanya." Kalimat terakhir yang diucapkan setengah berbisik tadi adalah sebuah kebohongan untuk menampik prasangka dari pemuda di hadapannya. Akan sangat memalukan untuk menceritakan perihal jadwal kepulangan Vasa yang tidak menentu bagaikan kemunculan superhero dalam film-film. Vasalah yang Kinara andalkan untuk menyingkirkan benda-benda bekas pakai ini selama musim dingin. Di hari biasa, ia melakukannya sendiri.
Untunglah pemuda dari Foodora sama sekali tidak keberatan. Ia menerima kantung dari tangan Kinara dengan ringan hati.
"Tentu saja, Nyonya. Anggap saja ini bagian kerja sama yang menguntungkan."
"Terima kasih banyak." Kesungguhan terpancar dari rona wajah Kinara. Dirinya merasa sangat terbantu.
***
Pria itu akhirnya pulang menjelang malam. Kinara berusaha menyembunyikan hela napas berat saat Vasa menggantungkan mantel tebal di lemari dinding dekat pintu kamar, berikut topi dan syalnya. Sementara, sarung tangannya lebih dahulu masuk ke dalam saku. Setelah melepas sweter, tinggal sehelai Longjohn yang mencetak jelas tubuh padat berisinya.
"Mau sesuatu, Sayang?" Kinara mengusap lengan sang suami untuk menjalin kehangatan, tetapi Vasa tidak menghiraukan. Pria dingin itu hanya menggeleng dan menyugar rambut dengan ekspresi lelah.
"Aku ingin tidur," jawab Vasa dengan nada pantang diganggu. Kinara yang perutnya telah kenyang makan tidur seharian pun seolah kembali terpanggil untuk mengikuti jejak sang suami. Ia lekas mengekor Vasa seperti kucing yang sedang butuh perhatian tuannya ke kamar satu-satunya di apartemen sempit.
"Jangan sekarang, Kinara." Lengan Kinara yang berniat merengkuh punggung Vasa ditepis kasar oleh pria itu. Kinara menggigit bibir sejenak meredakan rasa dingin yang mendadak menyergap. Snowman bahkan lebih hangat untuk dipeluk daripada pria ini!
"Oke. Tolong jelaskan sebentar kau dari mana saja dan setelah itu aku akan diam." Akhirnya, Kinara tidak tahan juga menyimpan teka teki yang belum terjawab di kepalanya.
"Hopping islands (tur pulau)."
Jawaban singkat Vasa justru membuat teka teki sebelumnya menjadi labirin yang terpintal kusut. Menyusuri sungai beku dan menyeberang ke pulau-pulau Danau Mälaren di tengah musim dingin? Vasa memang senang melakukan hal di luar rasionalitas Kinara.
"Kemarin malam?"
"Ke Göteborg Nation di Uppsala bertemu kawan-kawan lama. Ada masalah?" sungut Vasa. Mungkin pria itu merasa Kinara mulai bersikap terlalu posesif yang ujung-ujungnya hanya akan berakhir dengan sebuah perdebatan. Vasa sepertinya sedang malas dan Kirana cukup tahu diri untuk tidak lagi mengganggu pria yang sedang berbaring memunggunginya itu. Jika seseorang di Stockholm menolak untuk berbicara, kita tidak boleh memaksa. Itu adalah aturan baku.
Baiklah, Vasa sebelumnya memang pernah berkuliah di Uppsala sebelum memutuskan pindah melanjutkan magister ke KTH. Alasannya, lebih dekat Stockholm, juga tempat kerja suaminya. Mereka bertemu di sana dalam usia yang sudah matang untuk sebuah hubungan serius. Namun setelah tiga tahun berlalu, ada sebuah pertanyaan menggantung di benak Kinara. Keinginan untuk membicarakannya semakin memuncak, tetapi sikap Vasa kembali membuatnya ragu.
Kinara berbaring terlentang menatap langit-langit untuk menetralisir pikirannya. Haruskah ia tanyakan sekarang? Tanpa mengindahkan keberatan Vasa dan apakah sang suami mendengarkannya, Kinara bergumam, "Kau tahu? Ini sudah tiga tahun. Kau dan aku sudah lebih tiga puluh, Vasa .... Apa kau ingin punya anak?"
Tidak ada jawaban, tetapi Kinara tahu saja Vasa belum terlelap karena tidak ada suara dengkurannya yang biasa. Setiap kali membicarakan tentang anak, komunikasi mereka galat. Tidak ada sinyal yang bisa Kinara kirimkan untuk mencapai pemikiran sang suami. Ia anggap saja Vasa tidak menginginkannya dan selalu abai.
Uh, Kinara memutar punggung kesal, sengaja mengguncang tempat tidur dengan keras. Di negara yang ramah terhadap anak dan dipermudah untuk punya anak, ia justru kesulitan membujuk suaminya sendiri untuk mengakhiri masa soliter mereka dan mulai hidup secara utuh sebagai keluarga. Vasa sungguh dingin, sedingin Swedia dan musim dinginnya. Seharusnya dulu ia terima saja tawaran orang tuanya untuk pulang cepat-cepat setelah lulus magister, lalu menikah dengan pemuda satu kampung, tetapi Kinara lebih memilih Vasa. Namun kini, ia jadi ragu dengan pilihannya.
***
"Tidak ada cuaca yang buruk, yang ada hanyalah pilihan pakaian yang buruk."
"Kenapa mendadak sekali? Kinara, ini musim dingin." Anita sang ibu mertua mencoba mengingatkan ketika Kinara menceritakan maksud hatinya di telepon. Sang menantu ingin pulang ke kota asal di tanah air barang sebentar.
"Harga tiket sedang murah-murahnya, Anita." Ibu mertuanya tergelak mendengar alasannya.
"Dua bulan lagi vasaloppet. Apa kau akan pulang sebelum itu?"
"Entahlah."
"Ck. Sudah kuduga, kau berusaha melarikan diri dari musim dingin dan vasaloppet. Ayolah, kau harus punya alasan yang lebih bagus dari ini, Sayang. Vasa tidak akan senang jika kau melewatkan yang satu ini. Dia mungkin akan membutuhkan sedikit pijatan yang menyenangkan selepas kompetisi."
"Karena itulah aku butuh bantuan darimu, Anita. Untuk sekali ini saja, bantulah aku membujuk Vasa. Sudah tiga tahun aku tidak menginjakkan kaki ke Indonesia."
Anita di seberang sana terdiam. Mungkin wanita itu bersimpati dan sedang menimbang-nimbang apakah ia bersedia terlibat dalam rencana memuluskan mudik Kinara atau tidak.
"Anita? Tolong aku."
"Yo wis, Nok." Suara itu terkekeh. Ah, Anita selalu saja mengerjainya. Namun, keinginannya untuk pulang sudah tidak tertahankan lagi.
"Anita, kau bisa ikut pergi bersamaku," ajak Kinara. Tidak rindukah wanita itu pada Indonesia dan Pulau Jawa?
"Ah, Cirebon." Lidah sang ibu mertua pun terpeleset menyebut kota kelahirannya. "tetapi sudah tidak ada siapa-siapa di sana. Kuburan nenek moyangku saja aku tidak tahu, Sayang." Anita mengelak halus.
"Ikutlah denganku ke Batu Malang. Di sana sejuk dan nyaman, tidak kalah dengan Göteborg, Nyonya."
"Hush. Linus dan aku belum membicarakannya, Sayang. Ayah mertuamu ingin keluarga kecil ini berkumpul saat valborg (perayaan musim semi) nanti. Sudah tradisi. Dengan rencana super-dadakanmu ini, berarti tugasku bertambah satu untuk membujuk Linus. Berdoalah semoga pria malang itu tidak tersedak köttbullar atau tertelan tulang rainbow trout saat mendengarnya. Atau lebih buruk lagi, dia akan menyembunyikan travelcards milikku."
Mendengar ancaman Anita, Kinara lantas termenung. Kalau ayah mertuanya bakal sekecewa itu, bagaimana halnya dengan sang putra?
"Anita ... menurutmu, apakah Vasa akan menyita travelcards milikku juga, atau ... meninggalkanku?"
Anita tergelak hebat sehingga Kinara otomatis menjauhkan gawai dari telinganya. Wanita itu terdengar kesulitan menghentikan kepak kupu-kupu dalam perutnya.
"O dear .... Vasa memang dingin seperti patung, tetapi putraku tulus mencintaimu hingga tidak mungkin akan terpikir melakukan hal itu." Hati Kinara sempat mencelus mendengarnya. Vasa?
"Menurutmu, Vasa akan semarah apa?"
"Dia tidak akan berbuat apa-apa. Putraku itu sangat demokratis, percayalah. Hanya saja, aku tidak bisa membayangkan jika dia akan melewati vasaloppet tahun ini sendirian."
Untunglah Anita tidak melanjutkan godaannya dan hanya meminta Kinara membawakan oleh-oleh tempe serta terasi jawa. Ibu mertuanya itu mengaku sering mengidam tempe dan kesulitan menemukannya di Swedia. Itu pun diimpor dari Belanda. Soal terasi, tak perlu ditanya. Lidah orang Indonesia di mana-mana pasti menyukai bumbu masakan yang satu ini. Baiklah, itu sogokan yang setimpal.
***
Lagi-lagi Kinara kehilangan jejak Vasa hari ini. Pria itu selalu bangun pagi meskipun di musim dingin. Berbanding terbalik dengan musim panas, matahari di musim dingin baru terbit pukul sembilan dan terbenam awal sekitar pukul tiga sore. Kinara menyebutnya rumus 9-3 dan 3-9. Vasa bangun sebelum pukul sembilan tentunya! Akan tetapi, hari ini Kinara tidak mau bermalas-malasan atau bergelung sepanjang hari dalam selimut sambil mengerjakan proyek animasinya di tempat tidur seperti biasa.
Euforia akan pulang ke Indonesia bagai suntikan adrenalin yang manjur untuk mendorongnya memasang perlengkapan musim dingin, lalu menapak salju di trotoar Distrik Johanneshov. Ia menggigil selagi berjalan kaki dari apartemennya menuju tunnelbana (stasiun) di Globen yang jaraknya lebih dekat, lalu menunggu subway (kereta api bawah tanah) yang akan membawanya ke stasiun di Gamla Stan. Namun, perjuangannya setelah itu belum usai. Dari sana, ia harus berjalan kaki lagi ke Kota Tua. Oh. Ini adalah musim dingin di Stockholm, bukannya jalan-jalan santai di musim panas. Kabar baiknya, ini tidak akan secapek saat Kinara harus mengelilingi seluruh wahana di Jatim Park 2 Batu Malang.
Namun, Kinara sedang tidak ingin berjalan-jalan di jalur antik berbatu, melewati gang berliku dan sempit di antara gedung-gedung kuno abad delapan belas bercat dinding warna-warni. Tujuannya hanya satu: Västerlånggatan, jalan perbelanjaan utama di Gamla Stan yang penuh toko pernak-pernik khas Swedia. Tidak butuh oleh-oleh mahal, cukup gantungan kunci murah meriah seharga belasan krona dan kaus bergambar bangunan-bangunan ikonik Swedia untuk dibagikan pada keluarga besarnya nanti.
Entah kenapa tiba-tiba dari Royal Palace di Gamla Stan, kakinya terpacu melangkah ke jembatan Strömbron di atas kanal Stockholm. Ia bermaksud menuju Kungsträdgården (Taman Raja) di seberang. Kurang kerjaan memang. Begitu banyak kafe di Gamla Stan, tetapi ia malah ingin fika (mengopi) ke Norrmalm di utara, di kafe sekitar taman. Ada desakan aneh yang mendorongnya untuk merekam pemandangan musim dingin di taman penuh cherry blossom. Kini, pohon-pohon itu hanya menyisakan ranting kering. Selama musim semi, sakura berwarna pink yang hanya mekar beberapa minggu di bulan April, akan menyapa wajah kota Stockholm. Ia tidak bisa menerka apakah akan kembali ke sini sebelum masa itu tiba.
Namun kini, taman itu sedang bersalju dan ada gelanggang es gratis di sana. Akan tetapi, ia tidak membawa sepatu seluncur, juga tidak berminat untuk menyewa. Kinara tidak pandai berseluncur atau bermain ski. Keahliannya hanyalah menggulung bola salju raksasa dan menumpuknya sebanyak-banyaknya dalam piramida. Sesuatu yang Vasa ibaratkan seperti dirinya yang senang menumpuk masalah.
Baiklah, itu tidak ada hubungannya dengan apa yang sedang ia lakukan sekarang. Kinara berjalan cepat menyusuri trotoar pejalan kaki di sisi jembatan di atas sungai yang permukaannya penuh retakan es yang hancur di sepanjang jalur yang dilalui oleh kapal. Ah, Stockholm pasti sudah di bawah nol derajat Celsius. Andai ini bukan musim dingin, Kinara pasti akan bersepeda sambil menikmati keindahan pemandangan Danau Mälaren dan Laut Baltik dari atas jembatan-jembatan yang menjadi penghubung antarpulau di pusat kota Stockholm.
Area jembatan yang terbuka memberi kesempatan pada angin dingin menampar bagian wajah Kinara yang gagal dilindungi oleh topi kupluk dan syal. Kinara memindahkan semua tas yang ia bawa ke satu sisi, lalu mencoba menutupi wajahnya dengan tangan, dan lantas menyesal. Suhu sarung tangannya membeku bagaikan es. Kinara kini berjalan lebih cepat sambil memeluk tas belanjaan untuk menghalau rasa dingin menggigit. Satu-satunya cara hanyalah bergerak lebih banyak dan cepat. Ia pernah mengalami yang lebih parah seperti kepalanya terasa mau meledak. Karena itulah, sebisa mungkin Kinara tidak ingin mengalaminya lagi. Ia benci musim dingin, satu-satunya hal yang ia masih belum bisa beradaptasi dengan baik.
Ini masih belum puncaknya di Februari. Suhu bisa mencapai lima derajat lebih dingin. Inilah kenapa warga Stockholm senang beraktivitas di luar selama musim dingin karena diam di rumah hanya akan membuat mereka malas. Banyak sebetulnya kegiatan yang bisa dilakukan. Bermain salju, ski, berseluncur, lalu duduk dengan keranjang piknik di taman atau tepi hutan. Swedia adalah surganya. Pemerintah membebaskan siapa saja untuk beraktivitas di alam liar tanpa perlu meminta izin terlebih dahulu. Bahkan, melintas di lahan orang lain pun diperbolehkan. Mereka menyebutnya allemansrätten.
Kemudian, tubuhnya mulai terasa hangat terbakar oleh adrenalin ketika melihat keramaian pengunjung di kejauhan. Banyak keluarga mengajak serta anak-anak mereka hari ini ke taman. Andai ada langkah kaki kecil di antara dirinya dan Vasa sekarang .... Kinara langsung berusaha menepis angan-angan semu itu. Sebaliknya, ia bergidik. Ekspresi dingin Vasa saat ia suguhi topik tersebut sungguh menakutkan.
Sial, jantungnya jadi berdebar sungguhan ketika seseorang menabraknya di tepi gelanggang es yang ia lewati. Tas besar di tangannya nyaris terjatuh berikut pula isinya. Namun, siapa pun yang menabraknya tadi, kini memeluk dirinya erat sekaligus menjadikannya tiang sandaran. Kinara bersiap-siap memprotes pelaku kurang ajar tersebut, tetapi keburu terpotong oleh sapaan hangat.
"Kinara, sedang apa kau di luar sini?" Vasa kelihatan terkejut sekaligus takjub.
"Jalan-jalan .…" Kinara terjengkit mundur. Oh, bagus. Suaminya memergoki, meskipun ia sedang terbenam di balik mantel dan syal tebal.
***
"Oh, Kinara. Kau seperti tidak mengenali Vasa saja. Diam di rumah hanya akan membunuh dirinya," kata Anita ketika Kinara curhat soal dirinya yang sering merasa kesepian di apartemen. Ia pun membenarkan perkataan Anita. Waktu terkungkung di ruang kotak, raut wajah Vasa membeku seperti ikan dalam kulkas. Vasa jauh lebih hidup di antara salju dan pekikan bahagia anak-anak yang bermain di taman serta obrolan riuh yang membelah langit Kota Stockholm. Kinara tidak berusaha menutup mata atas setiap keinginan Vasa untuk menghabiskan waktu bersamanya di luar, tetapi tubuhnya rontok duluan. Bahkan, sebelum salju longsor menimpa kepalanya.
"Kau terlalu memaksakan diri, Kinara."
"Vasa, kita sudah sering membicarakan ini," keluh Kinara sambil menyeruput mocha coffee untuk menenangkan dirinya. Akhirnya, ia tidak jadi minum sendiri dan itu membawa efek samping yang tidak bisa dihindari-berseberangan pendapat. Mereka harusnya membicarakan soal mudik Kinara dengan santai di tengah suasana kafe yang nyaman dan hangat. Namun, malah menyerempet ke hal-hal lain.
"Ya. Kau tinggal dan lulus di sini, tetapi hatimu masih ada di USA."
"Vasa, itu impianku dari dulu."
"Dan kau melupakan keberadaanmu di sini? Oh, aku lupa kalau Stockholm hanya tempatmu terdampar." Vasa menambah komentar sinis.
"Tolong ...." Kinara menggeleng putus asa.
"Jadi, karena itukah sekarang kau ingin pulang ke Indonesia? Melarikan diri dari Stockholm agar lebih leluasa dengan pekerjaanmu, begitu?"
"Vasa, kau berlebihan."
"Tidak. Aku benar, bukan?"
Kinara kehilangan kesabaran lantas menepuk lututnya sendiri tanpa sadar.
"Baiklah, Tuan Tahu Segalanya. Kau mungkin lupa siapa yang selama ini tinggal di mana. Aku mengurus sendiri perizinan pernikahan kita di Indonesia dan orang tuakulah yang datang ke sini untuk bertemu dengan keluargamu. Keluarga besarku bahkan tidak bisa datang merayakan pernikahanku di sini. Tiga tahun ...," mata Kinara berapi-api, "tiga tahun aku menjadi putri keluarga yang hilang dan keponakanku mungkin sudah lupa bagaimana wajah tantenya. Oh, aku sudah rindu sambal goreng petai, asal kau tahu saja. Selama musim dingin, aku hanya bisa memesan burger dan berat badanku sudah di atas rata-rata. Apa itu masih belum cukup juga bagimu hingga aku harus melepaskan pekerjaanku yang sekarang? Aku ingin menjadi animator film, bukan ilustrator buku anak-anak! Dan apa kau tahu? Pekerjaan tetap apa yang bisa kuperoleh dengan mudah di kota ini berkat status Residence Permit-ku? Upahku bahkan tidak sampai separuh gajimu!"
Vasa terdiam. Untunglah Kinara berhasil menahan gejolak suaranya yang bergetar akibat emosi agar tidak menarik perhatian pengunjung lain. Pria di hadapannya bersedekap, tetapi tidak melepaskan tatapan darinya. Berada dalam situasi ini dan bertengkar di luar, mereka bagai kembali dalam masa pacaran saja. Mungkin selama ini Vasa juga menganggap masa pernikahan mereka tidak ada bedanya dengan masa itu. Yang membedakan hanyalah status mereka di atas kertas dan tinggal seatap bersama. Kinara jadi ragu apakah Vasa benar-benar mencintainya. Pria ini masih pria dingin yang sama.
Ketika Vasa menerawang menghabiskan kopi kentalnya, perasaan Kinara kembali rusuh. Ia jadi ketakutan sendiri. Kinara berharap Vasa membujuknya, memprotes, atau apa pun untuk sekadar menunjukkan sedikit kehilangan, tetapi pria itu diam saja.
"Jangan khawatir, aku akan pulang sebelum valborg—"
"Tidak perlu buru-buru, bersantailah selama sisa akhir tahun. Kau pun tidak perlu mendengarkan Ring Out Wild Bells tahun depan."
Entah Kinara harus merasa senang atau justru bimbang. Vasa seolah-olah sungguh tidak peduli. Bel peringatan di otaknya pun berbunyi keras.
"Apa yang terjadi selama itu?" desahnya samar.
"Jalani hidup masing-masing seperti biasa. Kita sama-sama mandiri, idtak ada yang dirugikan sama sekali di sini."
"Oh."
"Tetapi kau tahu sendiri, bukan, apa yang akan terjadi jika dalam dua tahun tidak kembali?"
Peluang perceraian dalam hukum Swedia. Jika mereka hidup terpisah selama dua tahun, perceraian akan segera dikabulkan oleh pengadilan jika ada salah satu pihak yang mengajukan. Apakah Vasa sedang mengancamnya?
Di saat serius seperti ini, Ring Out Wild Bells malah menggema di dalam kepala Kinara.
"Bunyikan yang lama, cincin di baru.
Ring, lonceng bahagia, melintas salju.
Tahun ini berjalan, biarkan dia pergi.
Keluarkan yang salah dan masukkan yang benar."
Bagi Kinara, mendengarkan puisi itu disiarkan secara nasional sambil bergelung di depan TV pada malam tahun baru yang dingin sudah cukup, tetapi Vasa selalu memaksanya naik ke bukit Skansen untuk menonton langsung. Vasa juga kadang memaksanya pergi ke jembatan Vasterbron dan dermaga Skeppsbron menyaksikan kembang api. Lalu kini Vasa mengancamnya karena berniat mudik? Kinara bahkan tidak memaksa Vasa untuk ikut bersamanya! Helaan napas memanaskan riak sedih di hati Kinara. Namun, ia memilih untuk segera memadamkan dan tidak memikirkannya.
"Aku ... pulang."
Hanya itu yang Kinara katakan kemudian. Ia mengambil dompet dan meletakkan beberapa lembar 20 krona di atas meja sejumlah tagihan minumannya. Ia berharap Vasa akan mengejarnya ketika ia melangkah menuju pintu keluar kafe, tetapi tidak terjadi. Sungguh kekanak-kanakan memang sikapnya dan ia tidak bisa menyalahkan Vasa. Andai ia berbalik sekarang ke meja dan meminta maaf, apakah itu cukup? Ah, tidak. Kinara sedang marah dan juga kecewa. Sudah cukup ia mengalah.
Kinara berjalan hingga Stasiun Hamngatan, lalu masuk ke dalam trem yang menuju Djurgården, salah satu pulau berikutnya di pusat kota Stockholm. Rencananya, ia akan turun di stasiun depan jembatan Djurgårdsbron, lalu jalan kaki dari sana menuju Junibacken, museum anak-anak. Ia berniat membawa pulang buku-buku edukasi bergambar untuk keponakan kecilnya di tanah air. Anak-anak sekarang cukup senang jika diberi buku bacaan dengan ilustrasi yang bagus walaupun tidak paham bahasanya. Siapa tahu nanti suatu saat mereka tertarik untuk belajar Svenska (bahasa Swedia). Setidaknya, ia bisa melupakan kekesalan pada Vasa sejenak sembari berbelanja.
Oh, jangan lupa, waktunya tidak banyak sebelum matahari terbenam jam tiga atau udara akan semakin membeku.
***
Gerimis tiada henti-hentinya tercurah dari langit beberapa hari ini seolah sedang bersedih. Muram tidak cukup untuk mewakilinya. Ini adalah berkabung sejagat raya, menandai minggu-minggu kelabu sejak pandemi menyebar ke seluruh dunia.
Kinara tertahan di Malang. Bukan karena pembatasan penerbangan ke Swedia atau masuk ke negara itu. Tidak ada larangan bagi keluarga warga negara untuk kembali ke sana. Namun, masalahnya lebih pelik dari itu. Dirinya dan Vasa.
Seharusnya, hari itu ia berbalik saja dan bicara pada Vasa. Kirana menyesal kenapa egonya melambung tinggi dan kini jalan untuk melaluinya seolah diblokade dari segala arah. Ia menemui kebuntuan.
"Kamunya juga yang keras kepala pulang tanpa seizin suami, Kinara."
Kinara mengalihkan perhatian dari berita televisi yang menayangan info terkini mengenai strategi pembatasan penyebaran wabah. Fokusnya buyar sudah. Sang ayah menceramahinya karena ia tidak tahu menahu saat ditanya kabar tentang Vasa. Mereka putus hubungan total sejak dua minggu yang lalu, baik di percakapan pribadi, surel, bahkan media sosial. Instagram milik Vasa yang biasanya diperbarui setiap hari juga tidak lagi aktif. Vasa seakan lenyap ditelan bumi.
"Vasa sudah kasih izin, Yah. Satu tahun malah," sahut Kinara sengit.
"Ya, di hati siapa tahu. Mungkin suamimu masih belum sepenuhnya rida.
"Apa hubungannya dengan kondisi sekarang, Yah?"
"Kamu jadi sulit mencari kabarnya dalam situasi ini, 'kan?"
"Iya, Yah, tapi …."
Ayahnya mendengkus tanda tidak mau didebat. Kinara lantas menoleh pada sang ibu yang turut menyaksikan perdebatan itu di depan mata. Meminta bantuan.
"Pak, situasi ini bukan salah Kinara. Siapa yang bisa menduga ada musibah seperti ini?"
Kinara menatap ibunya penuh terima kasih atas pembelaan beliau, walaupun dalam hatinya ada sedikit pembenaran atas teguran ayahnya barusan. Mungkin saja Vasa marah karena ia memutuskan untuk mengundurkan jadwal pulang dan melewatkan festival valborg di akhir April. Ah, mungkin saja ketidakpedulian Vasa itu hanya di mulut, sedangkan hatinya tidak rela. Kinara merasa Vasa kini seolah sedang menghukumnya dengan mengisolasi komunikasi mereka.
"Kinara, sebenarnya apa, sih, masalah kalian sebenarnya?" sela ibunya turut khawatir. Sebaris cerita pun mengalir dari Kinara yang sedang gundah.
"Vasa itu tidak mau memahamiku, Bu. Aku diminta mengikuti semua aktivitasnya, sementara ia tahu aku gak kuat lama-lama di salju. Beruang saja berhibernasi selama musim dingin!"
Ibunya geleng-geleng kepala, tampaknya tidak setuju dengan dalih yang diajukan oleh Kinara. Sang ayahlah yang kembali mendebat sang putri.
"Jangan samakan dirimu dengan beruang, Kinara. Kamu itu manusia, makhluk sosial dan beradab! Ayah saja tidak pernah marah pada Vasa walau kamu tidak pulang tiga tahun."
Ibu mendesah. Wanita itu mengusap lengan Kinara.
"Betul, Nduk. Ayah sering curhat sama Ibu kalau rindu kamu. tetapi semua itu kami simpan sendiri karena kamu sekarang sudah punya suami yang lebih berhak atas dirimu."
"Jadi, Ayah dan Ibu tidak senang aku pulang ke rumah?"
"Tentu saja senang. tetapi kami prihatin. Sekarang di mana-mana kondisinya buruk. Apa kamu gak khawatir dengan Vasa dan keluargamu di sana?"
Kirana tersadar akan inti pembicaraan kali ini. Tentu saja ia khawatir. Berbagai prasangka buruk mulai merajai pikirannya. Bagaimana kalau Vasa sekarang sedang sakit hingga tidak bisa membalas pesannya? Bagaimana kalau keadaan Vasa di sana tidak baik-baik saja? Dadanya mulai terasa sesak oleh berbagai kemungkinan yang menyesatkan harapan. Lebih-lebih tatkala Anita atau pun Linus juga sama-sama tidak bisa dihubungi. Pasti terjadi sesuatu. Andai boleh jujur, ingin sekali rasanya ia terbang kembali ke Stockholm sekarang juga.
Paham akan betapa seriusnya situasi yang dihadapi Kinara, sang ayah sendiri mengusulkan sebuah solusi. "Coba hubungi teman-temannya Vasa." Lelaki itu lantas mengernyit karena Kinara justru menggeleng.
"Tidak ada temannya yang aku kenal."
"Kinara?"
"Tolong, jangan salahkan aku. Mereka semua dingin terhadap pendatang dan orang asing. Jangan bayangkan Stockholm itu seperti Malang, Yah. Di sana, semua orang terbiasa sendiri dan tidak mau tahu urusan orang lain."
"Baiklah, Ibu paham." Ibu berusaha menenangkan emosi Kinara yang mulai naik. "Tapi itulah risikonya pernikahan beda budaya. Pasti ada sandungan seperti ini, Kinara. Siap tidak siap, kamu harus terima itu. Mungkin, bukan kamu saja mengalami, tetapi juga Vasa."
Kinara menangkup wajah dan merenung sejenak. Ia lalu bertanya dengan serak. "Apa Ayah dan Ibu gak kepikiran selama aku jauh dari sini?" Ayah membuang muka menghindari tatapannya seolah menyembunyikan sesuatu. Ibu hanya tersenyum seraya menjawab, "Sudah risiko yang harus kami terima sejak ayahmu merestui pernikahan kalian berdua. Selama dia seiman dan berperilaku baik, kami ikhlas kamu diboyong ke mana saja oleh suamimu, Kinara."
"Sekalipun pesawatku jatuh di Samudra Hindia atau menabrak Himalaya, Bu?"
Kali ini, ibunya tidak menjawab. Wanita itu hanya mengangguk berat.
Kinara pamit masuk kamar dengan perasaan terguncang. Jika orang tuanya sudah siap dengan segala kemungkinan terburuk terkait nasib dirinya setelah menikah dengan Vasa, kenapa dia tidak bisa menerima semua risiko itu? Ah, Kinara harus mulai belajar mengubah cara pandangnya selama ini. Ia bukan lajang lagi, tetapi seorang istri. Stockholm memang egaliter, tetapi ia tetap wanita timur yang menghargai hak suami, sekalipun sang suami bukan penganut paham ketimuran.
Tepat pada saat itu, sebuah pesan masuk ke dalam percakapan pribadinya. Vasa.
Maaf baru membaca pesanmu, Kinara. Sesuatu telah terjadi.
***
"Kebahagiaan bukan sesuatu yang instan, tetapi berasal dari usahamu sendiri."
Kinara tidak percaya ia bisa kembali ke Stockholm setelah perdebatan yang alot dengan suaminya. Vasa menyarankannya untuk kembali setelah lebaran di bulan Juni, awal musim panas, tetapi isak tangis kecemasan Kinara berhasil meluluhkan hati pria itu. Vasa pun setuju jika ia kembali secepatnya. Dengan berbagai kondisi, tentu saja. Meskipun harus melakukan karantina mandiri di sebuah hostel dekat Bandara Internasional Arlanda di pinggiran Stockholm, Kinara tetap bersyukur. Itu artinya ia harus rela menjalani hidup terisolasi selama dua minggu sebagai kebijakan Swedia dalam suasana pandemi.
Dari Vasa, ia kemudian tahu kalau kedua mertuanya yang malang terjangkit wabah. Anita dan Linus positif terinfeksi walau tidak menunjukkan gejala berarti. Singkat cerita, kedua suami istri paruh baya itu harus melakukan isolasi mandiri di rumah. Pada hari kesekian, Linus mengalami sesak, tetapi pria itu memaksa untuk tetap dirawat mandiri di rumah bersama istrinya dengan alat pendukung pernapasan.
Itulah penyebab Vasa menghilang. Suaminya terlalu sibuk untuk khawatir dan mengurus kedua mertuanya. Tahun ini juga tidak ada valborg yang dilewatkan oleh Kinara. Perayaan melepas musim dingin dengan membakar api unggun besar di hari terakhir April itu ditiadakan. Skansen sebagai pusat perayaan, sepi.
Hei, rasanya sepi tidak ada yang menungguku di apartemen. Bagaimana keadaanmu?
Oh, Vasa. Tidak enak rasanya terisolasi dua minggu.
Setelah ini kau harus sering keluar menikmati Stockholm, Kinara. Sekali-kali bawalah pekerjaanmu ke taman.
Kau benar ... kenapa tidak terpikirkan dari dulu? Ah, aku merasa bersalah padamu, juga Anita dan Linus.
Semua sudah berlalu.
Mereka marah padaku?
Kau bercanda? Mereka berdua mencintaimu, Kinara.
Aku juga. Jag älskar dig.
Jag älskar dig, Vasa.
Kinara menutup mulutnya dengan rasa haru. Mimpi ini ternyata bukanlah bunga tidur semata yang ia pikir akan lelap dalam keabadian musim dingin. Setiap keping salju pasti akan meleleh, begitu pula kebekuan yang kini mencair antara dirinya dan Vasa. Masing-masing telah memperoleh ganjaran dari keterasingan yang mereka pelihara bertahun-tahun lamanya.
Ia pun memutuskan untuk tidur lebih cepat dan menunda pekerjaan karena matahari akan terbit lebih awal besok. Kinara sudah tidak sabar untuk naik subway ke Johanneshov, lalu menunggu Vasa pulang ke apartemen mereka. Pelukan Vasa, ia sungguh merindukannya. Lebih-lebih senyum pria itu.
Kau tahu? Aku berencana melihat-lihat rumah di Tungelsta dengan dua atau tiga kamar. Cukup untuk anak-anak. Aku pikir, aku ingin dikelilingi oleh anak-anak saat tua nanti.
Halo? Kinara?
Baiklah, selamat tidur. Sampai jumpa di apartemen.
Kali ini, Kinara gagal mengulum senyum, sengaja tidak membalas. Yah, ini Stockholm. Ia tidak bisa meminta banyak seperti Vasa akan menjemputnya di hotel dan membawakannya sebuket bunga. Wanita harus mandiri, bukan? Lalu kabar mengenai rumah di Tungelsta adalah hal terbaik yang ia dengar sepanjang tahun.
Vintern Rasat!
Selamat tinggal, musim dingin.
SELESAI