Masukan nama pengguna
Aku memutuskan mencari tahu tentang sebuah kisah horor yang ramaikan dibicarakan di tempat kerjaku. Tentang desa yang ada di penghujung pulau. Dimana sebuah desa yang warganya tampak pucat dan berkelakuan aneh.
"Biar aku sendiri yang ke sana," ujarku.
"Terserah," jawab kompak team kerja ku. Mereka malah merelakan aku pergi.
Mereka bilang desa itu sudah mati sejak dua puluh tahun lalu. Tapi bagaimana menjelaskan tangisan anak-anak di tengah malam? Atau aroma dupa yang tercium dari rumah-rumah kosong, seakan masih ada doa yang belum selesai? Dan tentang bisikan itu… selalu sama, lirih namun menusuk.
Itu saksi beberapa warga yang melintas desa tersebut mereka sering mendengar bisikan-bisikan aneh seperti,“Dosa kalian… Kuampuni.”
****
Namaku Aline.
Aku seorang jurnalis lepas, hidup dari cerita-cerita yang tak dianggap nyata. Hantu penunggu sumur tua, anak kecil di lorong sekolah, wanita yang menangis di bawah jembatan. Tapi semua itu cuma kisah sampai aku menginjakkan kaki di Desa Bukit Sebalang. Desa angker katanya.
Peta digital bahkan tak mengenal namanya. Tapi surat misterius yang kuterima sebulan lalu membuatku penasaran, “Jika kau ingin tahu apa yang membuatmu lupa, datanglah ke tempat yang telah menghapus namamu.”
Tanda tangan tak ada. Tapi di pojok kertas itu, tercetak samar sebuah lambang salib patah terbakar.
Hari aku datang, langit tak hanya menangis,ia meraung. Hujan mengguyur deras seperti mencoba menghapus jejak siapa pun yang berani datang.
Gerbang desa itu hanyalah sepotong papan tua,
“SELAMAT DATANG DI SEBALANG – KEMBALI DENGAN SELAMAT.”
Ironi.
Rumah-rumah berdiri dengan sikap janggal, seperti barisan nisan menatapku. Beberapa tampak baru ditinggalkan, tapi tak ada manusia. Tak ada suara. Tak ada sinyal. Bahkan burung pun enggan berkicau.
Satu-satunya kehidupan kutemukan di sebuah pondok tua, ketika seorang nenek bongkok muncul dari balik pintu. Kulitnya seperti kertas usang, dan matanya seperti kaca retak yang menyimpan banyak sekali pantulan luka.
“Cari dosa?” tanyanya, seolah sudah tahu maksud kedatanganku.
Di pondoknya, Mbah Ratmi menyuguhkan teh yang terlalu pahit, dan diam yang terlalu panjang.
Kemudian ia memberiku sebuah buku. Kulitnya keras, terikat dengan tali dan bercak hitam seperti bekas terbakar. Di dalamnya ada daftar nama. Puluhan. Masing-masing dengan catatan singkat.
Agus – menggugurkan anak dari istrinya.
Bima – membakar rumah tetangga karena iri.
Yanti – racuni suaminya agar bisa kawin lari.
Pak Lurah – menutup mata pada semuanya.
Di bagian bawah halaman, kalimat itu muncul dengan tinta merah,
“Semuanya sudah Kuampuni.”
Aku gemetar.
“Ini semacam… pengakuan dosa?” tanyaku.
“Bukan. Ini daftar utang yang sudah dibayar,” ucap Mbah Ratmi, datar. “Setelah nama mereka tertulis, mereka akan diberi maaf. Lalu mati...,”
Nafasku memburu. “Siapa yang menulis ini?"
“Dia yang kamu lihat nanti. Saat malam turun.”
Malamnya, aku bermimpi tentang gereja tua yang nyaris runtuh. Lilin-lilin menyala sendiri, meskipun tak ada angin, nyalanya menari-nari seperti napas orang sekarat.
Di altar berdiri seorang perempuan berjubah hitam, membelakangiku. Rambut panjangnya menjuntai, menutupi wajahnya. Ia tak bergerak. Tapi suaranya menggema,
“Dosa kalian… Kuampuni.”
Aku ingin lari, tapi tubuhku tertahan, seolah diikat rantai tak kasatmata. Ketika perempuan itu menoleh, wajahnya seperti patung rusak, putih, retak, dan tak bermata. Dari lubang hitam di wajahnya, darah menetes seperti air mata.
Aku terbangun sambil berteriak.
Dan dari kejauhan, suara lonceng berdentang padahal tak ada gereja di desa itu.
Esoknya, Mbah Ratmi bicara lagi. “Dia sudah melihatmu. Kau akan mimpi lagi. Lalu namamu muncul di buku.”
Aku marah, bingung, takut. Mencoba menyambangi rumah-rumah lain. Tapi yang kutemui hanya pintu tertutup, jendela berderit, dan langkah-langkah di balik tembok yang tak pernah terlihat siapa pemiliknya.
Ketika aku kembali ke pondok, Mbah Ratmi sudah meninggal.
Tubuhnya kaku dalam senyum kecil. Tangannya menggenggam kertas kecil,“Namaku yang terakhir. Sudah saatnya.”
Buku itu masih di meja. Dan di halaman terakhir, nama baruku tertulis:
Aline – Penonton yang berpura-pura lupa.
Apa maksudnya?
Di ruang belakang pondok, aku menemukan koper tua. Isinya hanya ada potongan koran berdebu, foto-foto terbakar sebagian, dan... satu berita yang mengubah segalanya.
“TRAGEDI PEMBAKARAN GEREJA SEBALANG: 17 ANAK PANTI HANGUS TERJEBAK.”
Tahun: 2003
Foto panti itu, aku mengenalnya. Dan satu gadis kecil di pojok foto, dengan mata besar dan rambut ikal-Itu aku.
Malam harinya, warga membakar panti karena desas-desus bahwa pengasuh kami pengikut sekte. Mereka ingin "membersihkan dosa." Mereka tak tahu atau pura-pura tak tahu, bahwa kami masih di dalam.
Semua mati. Semua, kecuali aku.
Aku selamat. Tapi ingatanku dihapus. Namaku diganti. Hidupku disusun ulang.
Kini aku ingat segalanya.
Malam berikutnya, mimpi itu datang lagi. Kali ini aku tidak takut. Aku berdiri di altar. Menatap perempuan berjubah hitam yang kini membuka kerudungnya.
Wajahnya adalah aku.
Sosok yang lain. Yang seharusnya mati dua puluh tahun lalu.
“Kenapa kamu datang?” tanyanya.
“Aku hanya ingin tahu semuanya.”ujarku dengan berani.
“Kamu sudah tahu.”
“Aku minta maaf.”
Ia tersenyum. “Bukan maaf yang kamu cari. Tapi pengakuan.”
“Siapa kamu sebenarnya?” tanyaku.
“Aku adalah kamu. Yang dibakar. Yang dilupakan. Yang menunggu kamu kembali agar aku bisa hidup kembali.”
Dan kemudian ia berkata pelan, seperti doa yang diludahkan,"Bukan aku, bukan aku...,"
Keesokan harinya, desa Sebalang berubah.Semua rumah terbuka. Warga berdiri di depan pintu masing-masing, seperti patung. Mata mereka putih. Wajah mereka kosong. Secara bersamaan mereka melangkah.
"Ka-mu, ka-mu..."
Mereka kompak menunjuk.Ketika aku melangkah ke tengah jalan utama, mereka semua berlutut, bersamaan.
“PengampunanMu telah datang.”
Aku panik. “Jangan! Aku bukan siapa-siapa!”
Tapi di tanganku, buku itu kini terbuka.
Tertulis, nama terakhir adalah DIRIKU SENDIRI.
Aku mencoba melihat ke cermin tua. Tapi tak ada pantulan. Hanya ruang kosong di balik kaca. Seolah aku bukan lagi manusia.
Aku telah menjadi dia. Perempuan berjubah hitam.
Tiga bulan kemudian, seorang petani di luar kota melapor menemukan desa mati yang tidak pernah mereka ketahui sebelumnya.
Desa Sebalang.
Tak ada satu pun manusia.
Tapi di tengah gereja tua yang entah muncul dari mana, terdapat altar dengan satu benda ada sebuah buku.Dan di halaman terakhir,
“Dosa kalian, Kuampuni.
Tapi dosa yang kalian kuburkan dalam diriku…
Kini bangkit.
________
Note;
Dan kau, ya, kau, yang membaca ini.
Apakah kau pernah menyakiti seseorang, lalu pura-pura lupa?
Apakah kau pernah membenarkan kesalahan, lalu menghapus wajah korbanmu dari ingatan?
Hati-hati.
Jika malam ini kau bermimpi tentang gereja tua,
Jangan jawab suara itu.
Jangan balas bisikannya.
Karena jika kau menjawab,
“Terima kasih...,”
Maka namamu akan tertulis.
Dan dosa yang kau kubur… akan mengetuk dari balik mimpi.
_____