Masukan nama pengguna
Di sebuah desa terpencil yang berselimut embun dan bisikan pepohonan tua, hiduplah seorang wanita renta bernama Bu Ningsih. Rumahnya kecil, berdinding kayu lapuk yang berderak setiap kali angin lewat, seakan ikut mengeluh bersama penghuninya yang sepi. Di beranda tua itu, setiap pagi dan senja, Bu Ningsih duduk di bangku reyot peninggalan almarhum suaminya, menatap jalan tanah yang membelah hamparan sawah. Jalan itu yang dulu dilalui dua putranya dengan tawa dan debu di kaki mereka. Kini, jalan itu hanya dilalui bayangan kenangan.
Bu Ningsih pernah menjadi wanita yang kuat. Suaminya meninggal muda, dan ia mengangkat dua anak lelakinya, Arman dan Budi, seorang diri. Ia menyulam siang dan malam dengan kerja keras, ia menjadi buruh tani di pagi hari, mencuci baju tetangga di siang yang terik, dan menjual pisang hasil kebunnya di pasar pada akhir pekan. Dia tidak pernah mengeluh. Mimpinya sederhana hanya ingin kedua putranya, Arman dan Budi kelak hidup lebih baik dari dirinya.
Dan mereka pun tumbuh dengan harapan di mata dan buku di tangan. Arman, si sulung, dikenal cerdas dan tekun. Ia mendapat beasiswa ke universitas di kota besar. Budi menyusul beberapa tahun kemudian, mengambil jurusan teknik sipil. Setiap kali Bu Ningsih mengantar mereka ke halte bus, ia menyelipkan doa ke dalam bekal nasi bungkus mereka. Ia tidak pernah menahan mereka, meski hatinya perih. “Pergilah, Nak. Bangunlah hidupmu. Ibu tidak apa-apa sendiri,” katanya, meski malam-malamnya selalu berpeluk sunyi.
Awalnya, surat dan telepon datang rutin. Arman mengabarkan lulus cum laude dan bekerja di perusahaan asing. Budi, dengan bangga, mengirim foto mengenakan helm proyek di bangunan pencakar langit. Uang bulanan tak pernah telat. Tapi kabar mulai berkurang. Telepon berubah menjadi pesan singkat, lalu menjadi sunyi total. Uang masih terkirim, tapi tanpa salam. Dan Bu Ningsih, yang tak pandai membaca tulisan kecil di layar ponsel bututnya, hanya bisa menunggu.
Tetangganya sering bertanya, "Bu Ningsih, kapan anak-anak Ibu pulang?"
Dengan senyum lembut yang menyembunyikan retak di hatinya, ia menjawab, “Mereka sibuk. Tapi mereka baik-baik saja.”
Tapi malam tahu segalanya. Ia sering menangis dalam diam, memeluk foto lama Arman dan Budi saat mereka masih berseragam SD, menggambar hati di tanah halaman, tertawa tanpa beban. Ia memutar kenangan seperti kaset usang, berulang-ulang, seolah takut kenangan itu akan pudar jika tak sering dipanggil.
Sampai suatu pagi, ketika rindu menjelma keberanian, Bu Ningsih memutuskan pergi ke kota. Ia menjual beberapa ayam peliharaannya, memanen pisang yang tersisa, dan mengumpulkan sedikit tabungan yang disimpan di celah lemari tua. Ia naik bus tua yang berderak seperti tulangnya sendiri, menempuh perjalanan berjam-jam dengan tubuh renta, demi satu harapan: melihat anak-anaknya lagi.
Rumah Arman berdiri megah di kompleks elit, dengan pagar otomatis dan taman yang dirawat tukang kebun. Bu Ningsih berdiri lama di depan gerbang, menggenggam tas kain lusuhnya. Ia merasa kecil di hadapan pintu besar itu. Setelah menekan bel, seorang wanita muda keluar. Riasannya tebal, ekspresinya kaku.
"Ibu siapa, ya?" tanyanya dengan nada curiga.
“Saya... ibunya Arman. Saya dari desa,” jawab Bu Ningsih pelan.
Wanita itu menatap dari atas ke bawah. Sebelum bisa menolak, Arman muncul. Wajahnya tak menyembunyikan keterkejutan dan kegelisahan.
"Bu, kenapa ke sini? Kenapa nggak bilang dulu? Saya lagi ada meeting penting, tamu-tamu sudah di dalam."
“Ibu cuma kangen. Mau lihat kamu sebentar saja.”
Arman menarik napas. Ia menyelipkan segepok uang ke tas Bu Ningsih. “Ini, Bu. Buat keperluan Ibu, ya. Nanti saya pulang. Janji.”
Tapi janji itu hanyalah asap yang terbawa angin.
Dengan langkah gontai, Bu Ningsih berjalan ke rumah Budi. Harapannya belum sepenuhnya mati. Tapi sambutan Budi serupa. Ia tampak lebih tua, lebih kurus, lebih sibuk dari yang Bu Ningsih bayangkan.
"Bu, saya lagi banyak deadline. Kenapa nggak kasih tahu dulu? Kita atur waktu lain, ya," ucapnya sambil menutup pintu perlahan.
Di bus pulang, Bu Ningsih duduk di pojok, menatap kota yang menjulang dingin. Matanya kosong. Tangannya meraba kantong kain tempat uang yang tadi diberikan Arman, tapi wajahnya tak menunjukkan rasa bahagia. Yang ia bawa pulang bukan kehangatan, melainkan kesadaran bahwa ia telah menjadi tamu di hati anak-anaknya sendiri.
Hari-hari berikutnya berjalan perlahan. Angin di desa seakan turut berduka. Bu Ningsih makin sering sakit, tapi menolak berobat. Ia hanya berkata pada tetangga, “Nggak apa-apa. Nanti juga sembuh.”
Sampai suatu pagi yang dingin dan berkabut, burung-burung tak lagi berkicau di halaman rumah kayu itu. Tetangga yang biasa lewat untuk mengantar sayur merasa heran karena pintu masih tertutup rapat. Ia mengetuk, tak ada sahutan. Ia memanggil, tak ada jawaban. Akhirnya, dibukalah pintu yang tidak pernah dikunci itu dan di dalam, di kursi reyot kesayangannya, Bu Ningsih tertidur dalam keabadian. Ia sendirian saat nafas terakhir Bu Ningsih hembuskan
Tangannya masih menggenggam foto lama si Arman dan Budi kecil, tersenyum lebar di depan ladang, dengan tanah di pipi dan sinar matahari menyentuh rambut mereka. Senyum tipis masih mengembang di wajah keriputnya, seolah ia telah bermimpi bertemu mereka kembali, bukan sebagai orang asing, melainkan sebagai anak-anaknya yang dulu, yang belum tahu cara melupakan.
Berita kepergiannya sampai ke kota beberapa hari kemudian. Arman dan Budi pulang ke desa, berpakaian hitam dan wajah tertunduk. Mereka berdiri di depan nisan baru yang sederhana, memandangi tanah basah yang belum kering. Warga desa menyambut mereka dengan diam. Tak ada kemarahan, hanya keheningan yang menyayat. Mereka menyadari, mungkin untuk pertama kalinya, bahwa cinta seorang ibu tak pernah meminta balasan, tapi luka karena dilupakan bisa abadi.
Di rumah itu, kini kosong, hanya tinggal bayang-bayang. Di meja kecil, masih ada toples berisi rengginang kesukaan Arman, dan segelas air yang tak pernah diminum. Di dinding, tertempel secarik kertas berdebu, tulisan tangan Bu Ningsih:
“Kalau Ibu tak sempat bertemu kalian lagi, ingatlah Ibu tidak pernah marah. Hanya rindu. Hanya ingin tahu, apakah kalian masih ingat rasa peluk ibu di malam hujan? Apakah kalian ingat kita makan sepiring bertiga? Apakah kalian tak menginginkan kenangan indah itu lagi?"
Keduanya terdiam, tak terasa ada bulir airmata berjatuhan, ada rasa sesak penyesalan di dada, tapi apalah daya. Semua tak ada artinya lagi saat ini.
Jalan tanah di depan rumah itu, yang dulu penuh tawa dan debu, kini hanya dilalui angin dan daun-daun gugur. Tapi bagi yang mau mendengar, mungkin masih terdengar langkah-langkah kecil dua anak lelaki dan suara lembut seorang ibu yang tak pernah berhenti menunggu.***