Masukan nama pengguna
Aroma lilin yang menyengat tapi sudah lama terbiasa bagi wanita muda; Rani namanya yang sedang melukis motif di atas kain menggunakan cating, suasana yang sangat tenang, damai juga hening di tambah dengan kedua matanya yang menatap serius seolah takut ada yang wanita itu lewatkan. Namun konsentrasinya bubar jalan ketika merasakan perutnya melilit minta di isi, sadar sudah lelah dan khawatir hasil karyanya rusak wanita itu lantas beranjak pergi menuju dapur yang bersebelahan dengan teras halaman belakang dimana Rani bekerja dan segera mengisi perutnya sebelum semakin parah. Beberapa menit kemudian Rani sudah selesai makan dan berniat kembali ke teras belakang untuk melanjutkan pekerjaannya sampai suara bel rumahnya di tekan oleh seseorang, dengan langkah terburu-buru Rani segera menuju ke teras rumah depan dan melihat seorang wanita separuh baya berdiri di luar pagar rumahnya.
“Eh Bu Intan, mari masuk!” Ajak Rani setelah membuka pintu pagar dan mempersilakan wanita itu masuk ke dalam sementara Rani segera menutup pintu itu lalu menyusul gurunya yang sudah terlebih dulu masuk seraya mengucap salam kemudian duduk di sofa. Setelah menjawab salam Rani segera pergi ke dapur untuk membuat teh kesukaan Bu Intan, 10 menit kemudian Rani kembali membawa nampan berisi teko dan dua cangkir lalu meletakkannya di atas meja kemudian segera menuangkan teh tersebut dan memberikannya kepada Bu Intan. Wanita itu dengan senang hati menerima lalu meniup sebentar sebelum akhirnya di teguknya pelan setelah itu dia bertanya,”Bagaimana keadaan pekerjaanmu? Ada perkembangan?” Tanyanya.
Rani mengangguk,”Alhammdulilah ada, Bu. Hanya saja kemarin saya sempat mengalami kesulitan dalam mencari lilin dan bahan lainnya tapi untungnya saya berhasil menemukannya tadi pagi dan baru siang ini saya hampir dapat menyelesaikannya?” Jawabnya panjang lebar.
Dengan santai Bu Intan kembali meneguk teh tersebut kemudian balik bertanya,”Bukankah dua minggu yang lalu saya sudah memberimu bahan yang kamu butuhkan?” keningnya saling bertaut, merasa penasaran.
“Tapi seminggu yang lalu saya mendadak dapat banyak pesanan dari orang-orang sekitar juga di luar kota sehingga bahan yang Ibu berikan langsung habis, bahkan saya sampai harus beli bahan baru di kota dan hampir saja kehabisan. Apakah bulan lalu Ibu sempat mempromosikan batik buatan saya?” Tanya Rani. Bu Intan tertawa kecil memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan putih kemudian mengangguk tanda mengiyakan, Rani menarik napas panjang, dugaannya selama dua minggu ini akhirnyan terjawab.
“Tapi syukurlah Ibu sangat senang mendengarnya, tidak sia-sia saya mengajarimu cara membatik sebab di luar sana masih banyak para wanita muda yang kurang berminat menjadi pengrajin batik sepertimu dan teman sekelasmu, Ibu sangat berharap karya batikmu juga teman-temanmu dapat menarik para kalangan gadis mudah untuk menjaga harta leluhur kita!” Ucap Bu Intan berharap.
Rani menunduk prihatin mendengarnya. Yang di katakan Bu Intan memang benar adanya, susah payah ia mencoba mempromosikan pekerjannya kepada kalangan gadis muda maupun siswi sekolahan, sayangnya yang berminat hanya bisa di hitung jari. Di tuangkan lagi teh ke dalam cangkirnya juga cangkir Bu Intan setelah itu melanjutkan pembicaraan cara memperkenalkan batik kepada generasi muda di zaman serba modern ini.
****
Usai menyelesaikan pekerjaan rumah Rani segera kembali bekerja, hari ini wanita itu bertekad akan menyelesaikan pekerjaannya yang kemarin sempat tertunda. Akan tetapi baru saja Rani duduk di kursinya tiba-tiba terdengar suara sepeda jatuh yang di susul dengan suara tangis anak kecil, terkejut, wanita itu sontak berdiri dan segera pergi menuju sumber suara yang berasal dari balik pagar teras rumahnya beruntung ada pintu sehingga Rani dengan mudah keluar dan melihat seorang anak perempuan berusia lima tahun jatuh ke dalam selokan air dan tertimpah sepedanya, dan beruntungnya selokan itu sudah kering. Melihat anak itu tidak bisa bangun Rani dengan sigap mengangkat sepeda yang menimpah anak itu kemudian mengendong anak tersebut yang masih menangis lalu membawanya masuk ke teras belakang untuk di obati ketika melihat ada luka di lutut dan siku anak perempuan itu.
“Adek nggak apa-apa?” Tanya Rani setelah kembali sambil membawa kotak P3K dan segera mengobati.
Masih menangis anak itu mengangguk. Tidak suka mendengar suara tangisan itu selesai mengobati Rani segera menenangkan anak itu, tetapi anak itu masih terus menangis membuat Rani harus memutar otak agar anak itu bisa diam. Tiba-tiba sebuah ide langsung muncul dalam kepalanya, lantas wanita itu langsung beranjak dari sana dan pergi ke dapur, tiga puluh menit kemudian Rani kembali lagi membawa nampan berisi segelas susu cokelat dan kue kering rasa cokelat dan keju setelah itu meletakannya di samping anak itu yang duduk secara lesehan.
“Cup…Cup jangan nangis, ini ada susu cokelat dan kue kering untukmu!” Ucap Rani, sekali lagi menenangkan anak itu. “Ayo silakan di ambil!”
Melihat ada kue kering buatan Rani yang sangat mengiurkan anak perempuan itu mulai berhenti menangis lalu dengan ragu mengambil salah satu kue kering rasa cokelat kemudian memakannya sampai habis setelah itu mengambil gelas berisi susu cokelat dan meneguknya hingga tersisa setengah. Merasa lega usahanya berhasil wanita itu lantas bertanya.
“Adek namanya siapa?” Tanya Rani lembut.
“Lia?” Jawab Lia, nama anak itu. Namun pandangan anak itu segera teralihkan dengan sebuah kain yang tergantung di atas penyangah kayu. Penasaran apa yang anak itu lihat Rani otomatis mengikuti arah pandangan anak itu dan melihat batik miliknya, seolah tahu isi pikiran Lia wanita itu kembali bertanya.
“Apa Lia mau lihat-lihat batik buatan saya?” Tanya Rani.
Dengan malu-mau Lia mengangguk, tanpa pikir panjang Rani mengajak anak itu melihat-lihat barang-barang miliknya dan memberitahu nama batik buatannya. Lia selalu melontarkan pertanyaan kepada Rani membuat wanita itu sedikit kewalahan dalam menjawab sampai mereka berdua berdua di kejutkan dengan suara wanita yang memanggil lia.
“Mama…”Lia langsung berlari kecil menghampiri wanita muda yang di duga Ibunya dan langsung di peluk dengan erat.
“Lia sayang kemana saja kamu ini, Ibu cariin kemana-mana rupanya di sini!” Ucap Ibu Lia khawatir.
“Maaf, Bu. Tadi anak Ibu terjatuh dari atas sepeda dan masuk ke selokan, untungnya dia hanya mengalami cedera ringan dan sudah saya obati!” Timpal Rani menengahi.
Wanita itu terkejut dan langsung memeriksa tubuh anak perempuannya yang memang terlihat ada luka yang sudah di plester di bagian lutut dan sikut, merasa berhutang budi wanita itu mengucap terima kasih kepada Rani kemudian pamit untuk pulang dan setelah itu pergi sambil mengandeng tangan Lia. Setelah Ibu dan anak itu pergi Rani langsung mneghela napas panjang setelah itu membawa kembali nampan tersebut ke dalam kemudian kembali bekerja.
Namun pada keesokan paginya usai sarapan Rani yang hendak melanjutkan pekerjaan selanjutnya tiba-tiba segera di kejutkan dengan suara bel yang di tekan dari luar, penasaran wanita itu segera menuju ke teras halaman depan dan terkejut sekaligus heran melihat beberapa Ibu-Ibu yang datang ke rumahnya sambil membawa anak perempuan masing-masing yang memandang ke arahnya dengan tatapan polos dan lugu. Dan salah satu dari mereka ada Lia dan juga Ibunya.
“Maaf, ini ada apa ya? Kok rame-rame gini?” Tanya Rani ketika menghampiri lalu membuka pintu pagar rumahnya.
Ibu Lia lantas menjawab,”Begini Mbak, putri saya kemarin merengek ingin belajar membuat batik kepada saya kemudian putri saya menceritakan semuanya kepada teman-temannya. Jadi, teman Lia juga ingin ikut. Maaf saya datang mendadak kemari!” Jawabnya merasa tidak enak hati.
Rani tidak berkomentar, ia menatap satu per satu anak yang berdiri di samping Ibu mereka sampai tertuju pada Lia. Wanita itu mengulum senyum lalu memegang kedua lutunya dengan pandangan masih tertuju pada Lia setelah itu bertanya.
“Lia, apa benar kamu mau belajar batik?” Tanya Rani lembut dan ramah.
Lia dengan semangat mengangguk mantap kemudian menjawab,”Habisnya batik Mbak sangat cantik, Lia suka?”
Senang mendengar ada yang berminat serta menjadi kesempatan bagus untuk mewariskan ilmu yang sudah Rani pelajari dari Bu Intan kepada anak-anak wanita itu dengan senang hati mengajak mereka untuk masuk ke dalam rumahnya dan membawa mereka menuju teras halaman belakang dimana pekerjaan yang biasa ia lakukan, setibanya di teras halaman belakang para Ibu-Ibu itu tampak kagum melihat batik buatannya yang masih terpajang bisu di penyanggah kayu sementara batik yang masih basah di jemur di halaman membuat anak-anak melepas tangan dan berjalan mendekati batik yang sedang di jemur.
“Eh…Eh jangan, itu masih basah. Jangan di pegang!” Tegur Rani cepat-cepat menghadang mereka sebelum mereka menyentuh batik tersebut. Melihat aksi Rani membuat salah satu dari Ibu tersebut tampak tidak suka dan kemudian berkata.
“Aduh…jangan gitu,Mbak. Namanya juga anak-anak, mereka kan masih belum mengerti kalau batik itu basah!” Cibir wanita yang rambutnya sengaja di sanggul. Semua yang ada di sana langsung menoleh ke wanita bersanggul tersebut dengan tatapan kaget juga tidak percaya.
“Heh!? Itu mulut nggak bisa jaga ya? Mereka memang masih anak-anak, tetapi perlu kasih pemahaman dan jelaskan kepada mereka agar paham. Kau pikir membuat batik itu gampang sampai-sampai kau bisa bicara seperti itu!” Sembur Ibu yang tepat ada di sebelah wanita itu, para Ibu yang lain tampak setuju apa yang Ibu tadi ucapkan.
“Kalau merasa gampang mending buat sendiri!” Sindir Ibu yang memiliki tubuh sedikit gemuk.
Ibu bersanggul itu tampak jengah sembari memutar matanya lalu menghampiri putrinya kemudian mengajaknya pergi dari sana menuju depan rumah tanpa pamit, Rani yang menyaksikan perdebatan itu hanya bisa diam sebab akan sulit berhadapan dengan Ibu-Ibu yang katanya adalah Ras terkuat—katanya. Usai Ibu bersanggul itu pergi suasana kembali normal dan Rani segera menuntun mereka untuk memberi sosialisasi dan kemudian menunjukkan cara membatik kepada Ibu dan anak-anak tersebut, tidak terasa dua jam berlalu mereka segera pamit kepada Rani serta tidak lupa akan kembali besok untuk belajar lagi. Setelah mengantar dan menatap kepergian mereka hati Rani terasa lega sekaligus ringan sebab dapat memberikan ilmu kepada anak-anak juga memperkenalkan batik, baru saja Rani hendak berbalik tiba-tiba suara yang di kenalnya memanggilnya membuat wanita itu menoleh dan melihat Bu Intan berdiri di lua pagar. Cepat-cepat menghampiri lalu segera membukakan pagar itu untuk gurunya.
“Sepertinya barusan kamu kedatangan tamu, ada sesuatu?” Tanya Bu Intan.
Tidak bisa menutupi perasaannya Rani lantas mengajak gurunya itu masuk sejenak agar dia bisa menceritakan semuanya kepada Bu Intan, di ruang tamu setelah dua wanita itu duduk di sofa masing-masing Rani tanpa pikir panjang menceritakan semuanya kepada wanita itu sementara Bu Intan diam menyimak dengan tenang, setelah Rani selesai bicara barulah Bu Intan bicara.
“Alhamdulilh baguslah kalau begitu! Jika anak-anak sudah tertarik maka kita bisa memberi mereka pelajaran dasar yang mudah untuk di ikuti. Dengan ini kita bisa mewariskan pekerjaan pembatik kepada generasi sekarang!” Ucap Bu Intan lega yang langsung di angguki oleh Rani. Pembahasan mereka terus berlanjut tentang bahan tambahan yang mereka harus dapatkan untuk besok serta membahas materi yang akan mereka sampaikan kepada anak-anak agar dapat mudah di pahami dan mengikuti.