Masukan nama pengguna
Api membara ditengah malam yang larut. Para penduduk berhamburan ketakutan mencari tempat yang aman maupun menyelamatkan orang terkasih, suara dengungan di langit menyiksa indra pendengaran seolah menambah suasana menjadi mencekam. Salah satu dari mereka bersuaha menjauh dari sekitarnya yang terasa panas menyakitkan, dieratkan tas dalam dekapnya sementara pandangannya buram akibat air matanya yang sengaja ditahan. Sampai di perbatasan kota langkahnya terhenti saat putar badan melihat kota semangka berselimut api di susul ledakan di ujung kota.
“Ibu.” Gumamnya gemetar kemudian terduduk dan terisak seraya memeluk erat tas peninggalan Ibu berisi pakaian dan kantung kain berisi benih tapi tidak lama ia memandang tajam ke arah kota itu, ia hanyalah seorang bocah petani sekaligus pedagang semangka yang sudah lama merasakan penderitaan korban penjajahan Rael. “Aku pasti akan kembali.” Ia bangkit kemudian berbalik pergi memasuki hutan yang gelap.
20 tahun kemudian.
Batu informasi memberi kabar jika kota Semangka sebagian sudah diambil alih oleh penjajah Rael. Melihat layar hologram itu ia melihat wajah para penjajah yang tanpa dosa memamerkan senyum memakai pakaian warga kota Semangka seolah mengejek, selain itu di gambar lain para penjajah itu mengiring warga sipil termasuk anak-anak dalam kondisi mata di tutup kain. “Sudah waktunya aku kembali ke kota itu,” batinnya mantap. Diketuk dua kali pada samping batu membuat layar hologram itu padam setelah itu ia beranjak dari duduknya menghampiri lemari lalu membukanya. tas peninggalan Ibu di bagian atas pakaiannya yang tidak seberapa, memandang sendu pemuda itu segera menutup lemari itu kemudian keluar. Menyelusuri koridor lalu belok kiri dan lurus sampai melihat teras halaman belakang rumah yang terlihat jelas seorang pria tua sedang latihan bela diri menggunakan tongkat kayu, pria tua itu berpaling saat menyadari kedatangan Fandha, nama pemuda itu.
“Dari wajahmu kau dapat kabar dari kota kelahiranmu ya.” Kata Guru Darna seraya mengakhiri latihannya lalu menghampiri cucu angkatnya.
Fandha yang baru berusia dua puluh tahun mengangguk,”Aku sudah membulatkan tekad untuk pulang.”
Pria tua itu menarik napas sesaat lalu menyuruh Fandha untuk duduk, Fandha dengan nurut duduk disebelah gurunya yang sudah merawatnya selama dua puluh tahun setelah mengalami luka dan lapar.
“Guru sejujurnya tidak rela kau pergi ke medan perang mengingat kau masih terlalu muda, namun melihat kau sudah sangat siap mau tidak mau guru terpaksa mengizinkanmu untuk pergi. tapi sebelum itu ikut guru sebentar.” Pria tua itu lantas beranjak diikuti Fandha masuk ke dalam yang luasnya tidak terlalu besar. Tiba di kamar guru Darna dia menghampiri lemari pakaiannya kemudian menarik tuas di bawah lemari, Fandha tertegun melihat lemari itu bergeser dan melihat busur serta pedang yang tidak pernah ia lihat selama ini. Guru Darna mengambil busur dan pedang itu lalumemberikannya kepada Fandha.
“Ini adalah senjata pusaka keluarga guru. Kau adalah anak satu-satunya yang guru miliki walau kau anak angkat, bawa dan gunakan senjata ini sebaik mungkin untuk kebebasan tanah kelahiranmu.” Ucap Guru Darna.
Fandha memandang dua senjata itu dengan takjub tapi setelah itu menggeleng kepala,”Maafkan saya, guru, saya tidak bisa menerima senjata itu sebab belum pantas untuk membawanya. Selain itu saya sudah terbiasa menggunakan senjata yang guru berikan selama latihan disini.” Sahut Fandha.
Raut wajah guru Darna tampak tersinggung tapi setelah itu mengangguk, kemudian mengembalikan dua senjata itu ke tempatnya dan mengajak pemuda itu makan bersama untuk terakhir kalinya. Di depan rumah Guru Darna memandang sendu pemuda di hadapannya sudah siap berangkat.
“Apa kau sudah bawa benih itu?” tanya Guru Darna.
Fandha mengangguk,” Saya berangkat.”
“Hati-hati di jalan. Dimanapun kau berada guru selalu berdoa untuk kemenangan dan keselamatanmu,” kata Guru Darna.
Pemuda itu lantas meninggalkan tempat itu, meninggalkan pria tua sendirian di rumah itu. Melihat punggung Fandha yang sudah hampir tidak terlihat dalam pandangannya pria tua itu berbalik dan masuk ke dalam seraya terbatuk sesaat.
****
Menjelang malam Fandha sudah mendirikan tenda dan api di dekat sungai, sembari istirahat ia membuka isi tasnya mengambil bahan untuk membuat ikan bakar hasil tangkapannya. Akan tetapi Fandha tiba-tiba berdiri lalu memandang sekitarnya dengan waspada saat mendengar suara, suara itu kembali terdengar berasal dari balik semak. Diambil senjata belati dari dalam tas lalu melangkah waspada menghampiri semak tersebut, hampir saja Fandha menarik belatinya dari sarung jika saja sosok itu langsung muncul dan terkapar dalam kondisi terluka.
“Elf.” Terkejut pemuda itu memasukan kembali belatinya ke sarung dan menyelipkannya ke sabuk setelah itu menolong anak Elf itu dan mengobatinya. Selesai mengobati dan membaringkannya ke dalam tendanya Fandha kembali melanjutkan pekerjaannya membuat makan malam, setelah menyiapkan piring dan makanan pendukung tidak lama suara anak itu seperti meringis membuat Fandha berpaling dan melihat anak itu sudah bangun lalu menghampiri.
“Jangan kau bangun dulu. Lukamu belum kering.” Kata Fandha.
“Siapa kau?” tanya anak itu, meski lemah namun tatapannya penuh waspada.
“Namaku Fandha?” jawabnya,” Kau sendiri siapa?”
Anak itu terdiam tapi setelah itu menjawab,”Farkas?” usai menjawab pandangannya langsung berpaling saat mencium aroma enak di dekatnya dan melihat empat tusuk ikan bakar serta makanan lain di dekat api unggun, pemuda itu segera tahu saat mengikuti pandangan anak itu lantas menawarkan salah satu ikan bakar buatannya kepada Farkas. Sayangnya dia menolaknya tetapi perutnya merespon sebaliknya, tanpa pikir panjang Fandha membantu anak itu mengambil posisi duduk lalu memberikan salah satu ikan bakar kepada Farkas.
“Apa kau seorang pengelana?” tanya Farkas setelah terdiam beberapa saat.
Fandha mengeleng kepala seraya memakan ikan bakar miliknya,” Kau menuju kemana?” tanya Farkas lagi.
“Ke kota Semangka?” jawab Fandha.
Farkas berhenti makan setelah Fandha menyebut nama kota itu.”Kota Semangka? Bukankah kota itu sudah lama dikuasai oleh pemerintah Rael?”
Fandha mengangguk,”Memang. Maka dari itu aku pergi ke sana untuk merebut dan membebaskan kota Semangka dari penjajah itu.”
Anak itu terdiam. Dihabiskan ikan bakar itu lalu membuangnya di api unggun,”Apakah aku boleh ikut!” pintanya.
“Apa?” Fandha terkejut.
Farkas lantas menceritakan semuanya kepada Fandha jika tempat tinggalnya di serang oleh penjajah Rael serta menangkap warga sipil yang tidak bersalah. Mendengar cerita Farkas barusan membuat Fandha terkejut dan dengan seksama mendengarkan hingga anak itu selesai bicara. “Aku memprediksi jika para penjajah itu menyerang wilayah lain malam ini,” ujar Farkas. “Kau tidak bisa pergi ke sana sendirian, terlalu berbahaya.”
“Aku tahu!” sahut Fandha.”Tapi aku sudah bertekad.”
Farkas terdiam. dia ingin melarang namun melihat sorot mata Fandha anak itu mengehla napas panjang,"Ya sudah kalau itu yang kau inginkan. tapi aku sarankan untuk menemukan pasukan baru untuk pergi ke sana, meski kau memaksa untuk melakukannya sendiri namun ada saatnya kau harus minta bantuan!" ucap Farkas