Cerpen
Disukai
1
Dilihat
12,065
Janji Sang Pemanah Pemula
Drama

“Jadi bagaimana? Kamu bisa mengantikan Kak Rama?” Tanya Ibu kepada Nabila, matanya tampak memohon.

Nabila yang sedang melukis kaligrafi di atas kanvas dan berada di teras halaman belakang rumah langsung berhenti, di letakkan kuas dan wajah berisi cat air kemudian menatap wajah Ibunya dengan tatapan tidak suka lalu menjawab.

“Kenapa harus aku, Bu? Kenapa nggak Kak Sri saja yang melakukannya. Bukankah selama ini Ibu selalu membanggakan Kak Rama dan Kak Sri sementara aku sendiri tidak pernah mendengar Ayah maupun Ibu bangga dengan hasil lukisan kaligrafiku kepada semua orang!” Sindir Nabila seraya mengambil kembali kuas dan wadah cat airnya kemudian kembali melukis.

Kesabaran Ibu sudah habis dan siap untuk menasihati putri bungsunya namun suara dering ponsel dari dalam saku dasternya berhasil mengalihkan perhatiannya, lantas wanita setengah baya itu segera mengangkat telepon tersebut seraya berbalik dan pergi. Mendengar suara langkah Ibu yang perlahan menjauh Nabila menghela napas panjang setelah itu menyelesaikan lukisannya yang akan ia berikan kepada Pak Irwan. 30 menit kemudian gadis berhijab biru safir itu sudah menyelesaikan lukisannya, menatap takjub serta bangga Nabila segera membersihkan peralatan lukisnya setelah itu masuk ke dalam sembari membawa kanvas itu menuju kamarnya, namun langkahnya terhenti ketika melihat rak di ruang tengah yang berisi banyak piala juga medali serta lima bingkai foto Kak Rama dan Kak Sri yang tersenyum bangga seraya memamerkan medali yang melingkar di leher. Sayangnya di antara medali dan piala itu tidak ada satu pun foto atau piala yang Nabila pajang, ia hanya memiliki banyak sertifikat, itu pun sembunyi dalam rak meja belajarnya sebab merasa percuma jika Ayah dan Ibu masih menutup mata hasil kerja kerasnya. Hanya mendengus gadis itu melanjutkan langkahnya menjauh dari rak tersebut.

****

“Bagaimana keadaan Kak Rama, Ibu…Ayah?” Tanya Kak Sri kepada Ibu dan Ayah, Nabila juga hadir di sana namun sengaja tidak menyimak dan memilih untuk fokus ke makanannya. Di tengah makan malam Raut wajah Ibu dan Ayah seketika berubah menjadi sedih setelah itu Ayah menjawab.

“Kondisi Kak Rama semakin buruk, dokter bilang dua tumor di dalam tubuh Kak Rama semakin besar dan harus segera di operasi! Akan tetapi biayanya terlalu besar untuk keuangan keluarga kita?” Jawab Ayah gusar. Begitu juga dengan Ibu, Kak Sri yang mendengarnya jadi ikut sedih. Tiga orang itu tidak sadar kalau Nabila sudah selesai makan kemudian segera merapikan peralatan makannya lau membawanya ke bak cuci piring. Barulah tiga orang itu berpaling ketika Nabila hendak meninggalkan ruangan itu.

“Nabila, kau mau kemana? Kita belum selesai membahas kakak sulungmu!” Celetuk Ayah yang merasa tidak suka melihat putri bungsunya pergi dari ruangan ini. Menoleh sekilas kemudian Nabila menjawab,”Mau kembali ke kamar, lagipula ada atau tidaknya aku Cuma jadi patung pancoran buat kalian. Jadi buat apa aku di sini, kalian tidak pernah tanya apa saja kegiatanku di sekolah, pendapatku dan isi hatiku selama ini. Sudah ah, buang waktuku saja!” Nabila langsung pergi begitu saja usai mengeluarkan isi hatinya. Terkejut sekaligus marah Ayah sontak berdiri dari kursinya namun langsung di cegah oleh Ibu.

“Ayah sudah, biarkan saja!” Ucap Ibu sementara Kak Sri yang melihat adiknya itu hanya diam saja.

Setibanya di kamar Nabila menghampiri lalu duduk di kursi meja belajarnya kemudian segera menyiapkan buku untuk pelajaran besok setelah itu pergi tidur. Keesokan harinya Nabila sengaja berangkat pagi-pagi sekali dia mempercepat laju sepedanya menuju ke rumah Pak Irwan untuk mengantar kanvas. Sepuluh menit kemudian Nabila sudah tiba di depan rumah Pak Irwan, usai mengucap salam pria yang gadis itu cari segera ke luar dan langsung menyambut kedatangan Nabila.

“Terima kasih ya, kamu sampai repot-repot datang ke sini!” Ucap Pak Irwan merasa tidak enak setelah menerima lukisan itu. “Ini uangnya, sekali lagi terima kasih ya!”

“Tidak apa-apa, Pak, saya dari dulu memang suka berangkat lebih pagi!” Timpal Nabila seraya menerima uang tersebut, “Saya pamit berangkat dulu, Assalammualaikum!”

“Waalaikumsalam, iya hati-hati!”

****

Sejak kelas satu SMP Nabila sering ikut lomba kaligrafi yang terkadang kalah namun kadang juga menang, tetapi di sisi lain dia juga pernah ikut lomba tari tradisional dan mendapat uang yang kemudian di tabung untuk biaya masuk ke perguruan tinggi yang Nabila impikan. Namun mendengar Kak Rama membutuhkan biaya untuk pengobatan Nabila mau tidak mau harus mengorbankan tabungannya dan harus mencari uang tambahan, tidak berselang lama gadis itu sudah tiba di sekolah. Selama empat jam mengikuti pelajaran akhirnya bel istirahat berbunyi, setelah guru bahasa arab ke luar kelas yang langsung di ikuti oleh teman sekelasnya dan juga Nabila bersama Lia menuju kantin. Akan tetapi ketika berjalan melewati ruang guru pandangannya tidak sengaja melihat poster lomba yang terpajang di papan mading di samping pintu ruang guru, penasaran Nabila menghampiri papan tersebut lalu membaca poster itu. Lia yang sadar temannya tidak ada di sebelahnya sontak berhenti lalu langsung menoleh ke belakang dan melihat Nabila berdiri di depan mading sekolah Lia lantas mendekati lalu bertanya.

“Ada apa, Nabila? Kok wajahmu serius kayak gitu?” Tanya Lia sebelum akhirnya ia ikut melihat apa yang Nabila lihat.

“Lihat poster lomba? Sepertinya lomba ini sangat menarik!” Sahut Nabila tanpa mengalihkan pandangannya, namun tangannya bergerak untuk merogoh saku roknya lalu mengeluarkan ponselnya dan segera membuka kamera kemudian memotretnya.

“Kamu mau ikut?” Tanya Lia lagi.

“Sepertinya begitu, tapi aku harus cek dulu apakah di rumah kamera nganggur! Sudah yuk, kita ke kantin!” Ajak Nabila seraya memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku roknya setelah itu pergi dari sana yang di ikuti oleh Lia. Siang beranjak sore bel pulang segera berbunyi, setelah berpisah dengan Lia gadis itu segera mengayuhkan sepedanya menuju ke rumah, akan tetapi di tengah perjalanan suara dering ponselnya tiba-tiba berbunyi dalam tasnya membuat Nabila segera menepikan sepedanya lalu segera membuka tasnya setelah itu mnegambil ponsel tersebut dan mengangkatnya.

“Assalamualaikum, Halo!”

Dari seberang sana terdengar suara Ibu yang menangis kemudian segera memberitahu kalau tadi siang Kak Rama sudah di nyatakan meninggal dunia karena terlambat melakukan penanganan dan menyuruhnya untuk pulang ke rumah, seketika jantung Nabila mematung nyeri bahkan setelah sambungan dari Ibu terputus Nabila langsung memasukan kembali ponselnya ke dalam tas kemudian bergegas mengayuh sepedanya sambil menahan bulir air yang siap jatuh. usai pemakaman Kak Rama Nabila termenung di teras belakang sebelum akhirnya ia beranjak dari sana menemui Ayah dan Ibu di kamar, setelah menemukan mereka dan melihat Ibu masih menangis Nabila segera menghampiri lalu berkata.

"Ibu...Ayah, aku sudah memutuskan untuk meneruskan perjuangan Kak Raa sebagai seorang pemanah!" Ucap Nabila.

Ibu yang sibuk mengeluarkan kesedihan dalam hatinya segera menghapur bulir air di mata juga pipinya kemudian bertanya," Apa kau yakin?"

Nabilla mengangguk, "Tapi dengan syarat aku di izinkan untuk tetap melanjutkan hobiku sebagai pelukis kaligrafi!". sejenak Ayah dan Ibu terkejut mendengar pengajuan yang Nabila lontarkan kepada mereka, sejenak dua orang dewasa tersebut berpikir dan kemudian mengangguk tanda setuju.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)