Masukan nama pengguna
Mata Lia terbinar-binar melihat pemandangan yang ada didepannya. Di kiri dan kanan jalan dekat pintu masuk dia langsung disuguhi aneka macam makanan dan minuman yang dijual.
“Jangan lama-lama lihatnya! Nanti mereka kabur,” ledek Kak Hendra.
Lia langsung merengut tidak terima mendengarnya dan tanpa pikir panjang langsung mencubit pinggang kakak sulungnya membuat pemuda tiga tahun dari usia Lia meringis kesakitan lalu merengek kepada adiknya untuk melepaskan cubitan, setelah Lia melepaskan jarinya dari pinggang Kak Hendra pemuda itu segera mengajak adiknya untuk masuk. Banyak orang yang berlalu-lalang disekitar penjual, selain penjual makanan juga minuman Lia melihat beberapa penjual yang menjajakan aneka macam gelang dan kalung sementara penjual lainnya menjual balon karakter kartun, jangan lupa lampu kelap=kelip menambah suasana riang ceria dimalam pertama yang tidak berawan. Selama dua minggu bergelut dengan buku serta kertas untuk tugas skripsi melihat makanan disekitarnya sangat mengoda dimata Lia, tanpa pikir panjang Lia langsung menghampiri stand yang menjual sosis bakar berukuran besar sedangkan Kak Hendra hanya mengikuti dibelakang dengan langkah santai. Pria yang sebaya dengan Kak Hendra menyambut mereka dan menyebut harga saat Lia bertanya.
“Beli lima bang!” ucap Lia semangat.
Pria penjual sosis itu mengangguk lalu segra mengambil sosis yang baru saja matang ke dalam plastik persegi panjang lalu mengambil sosis lain setelah itu memberi saus diatas sosis itu lalu menutup plastik atas dan merapatnya dengan steples kemudian memberikannya kepada Lia.
“Nggak ada kantung plastik,Bang?” tanya Lia heran.
“Maaf kak kantung plastiknya habis?” jawab pria itu.
Lia tidak berkomentar, dia segera pergi ke tempat lain bersama Kak Hendra. Belum puas beli Lia mengajak kakaknya beli minuman Popice, Kak Hendra yang kebetulan merasa haus juga ikut beli setelah itu pergi ke tempat selanjutnya.
“Kak naik itu yuk!” ajak Lia seraya nunjuk ke arah biang lala yang berputar. Kak Hendra memandang permainan itu tak berminat kemudian menoleh ke sebelah kananya melihat permainan komidi putar, tapi ia menoleh ke arah lain melihat permainan lempar bola.
“Bagaimana kalau main yang itu? Lebih aman,” saran Kak Hendra.
Berpikir sesaat gadis itu mengangguk setelah itu pergi ke tempat yang kakaknya tunjuk, setelah berhasil memenangkan permainan itu kemudian pergi ke permainan selanjutnya sampai akhirnya Lia merasa lelah lalu mengajak Kak Hendra untuk istirahat. Teringat dengan banyak kantung plastik ditangannya Lia bergegas membuka plastik sosis bakar dan langsung memakannya, tidak ada percakapan diantara mereka selain sibuk menghabiskan makanan masing-masing sambil memandang orang-orang yang masih berlalu-lalang di sekitar mereka maupun di sekitar stand makanan dan permainan.
“Lia kau tunggu disini, kakak mau beli makanan lagi,” ujar Kak Hendra, baru saja menghabiskan minumannya.
“Titip jajan lagi,Kak!” sahut Lia dengan wajah polos dan tanpa dosa.
“Kau kan udah makan banyak, masa ingin makan lagi!” kata Kak Hendra kaget.
Sambil tertawa cengesan Lia menjawab,” Masih lapar Kak. Tolong beliin ya, yang banyak tapi!” pintanya.
“Beli satu saja. Uang kakak agak nipis.”
Berseru kecewa gadis itu menghela napas dan kemudian berkata,”Iya deh,satu. Belikan aku sosis kayak ini sepuluh!”
Kak Hendra tidak suka permintaan Lia barusan namun pada akhirnya ia pergi meninggalkan Lia sambil mengomel, sepeninggal Kak Hendra Lia kembali kembali gigit sosis yang tersisa sembari memandang suasana di sekitarnya. Akan tetapi di luar dugaan tanah yang Lia pijak tiba-tiba bergoyang hebat membuat Lia yang baru saja nelan makanan terkejut bukan main, orang-orang juga bersikap sama yang kemudian lari tunggang langgang menyelamatkan diri.
“KAK HENDRA…” teriak Lia panik, susah payah dia bangkit dan berjalan. Banyaknya orang di sekitarnya yang tengah panik membuat tubuh Lia berulang kali ditabrak oleh orang lain namun tidak lama kemudian tanah yang bergoyang segera berhenti. Lega sesaat Lia langsung berlari mencari keberadaan Kak Hendra.
“KAK HENDRA…” Lia berteriak lega sekaligus takut saat berhasil melihat sosok kakaknya diantara kerumunan. Seperti yang Lia rasakan Kak Hendra langsung menghampiri lalu memeluk Lia erat-erat.
“Ayo cari tempat yang aman!” ajak Kak Hendra.
Lia mengangguk cepat setelah itu bergegas peri meninggalkan pasar malam, baru saja lega ketika sudah aman tiba-tiba sebuah teriakan peringatan terdengar diantara orang-orang yang bergeming di tempat.
“TSUNAMI…TSUNAMI…”
Kak Hendra yang menyadarinya sontak menarik pergelangan tangan Lia dengan erat bersamaan dengan orang-orang yang langsung lari menyelamatkan diri, suara gemuruh terdengar menyeramkan di belekang mereka bersamaan dengan semua lampu di sekitar taman pasar malam padam menambah suasana mencekam dan horor. Suara teriakan dan jeritan mengiringi kaki kakak beradik itu yang mencoba menyelamatkan diri—mencari tempat yang tinggi di tengah kegelapan, tangan kanan menjinjing kantung plastik sememtara tangan satunya menggengam erat tangan Lia sampai tidak sadar terasa basah karena teringat.
“Kak, Ibu….Kak, kita harus jemput Ibu!” teriak Lia disela ketakutannya.
“Kakak tahu?! Tapi kita tidak akan sampai ke rumah. Ibu pasti sudah berada di tempat yang aman!” hibur Kak Hendra.
Sayangnya pasukan air membawa yang membawa banyak material berhasil merangkul kakak beradik itu, bersatu dengan orang-orang yang sudah lebuh dulu dirangkul. Pandangan gelap serta napas yang terperangkap dalam rongga dada memaksa Lia untuk berenang ke permukaan tetapi dihalangi dengan material, kedua tangannya yang bebas—terpisah dari Kak Hendra akibat terjangan air tadi Lia berusaha sekuat tenaga ketika merasakan udara dalam dadanya yang mulai menipis. Ketika berhasil menyingkirkan material ringan—menurut Lia, dia berhasil menyembulkan kepalanya akan tetapi berhasil mencium lantai dingin berwarna putih gading. Rasa sakit yang Lia rasakan tidak sebanding dengan perasaan syok serta takut, seolah disadarkan matanya menatap ke sekitar dengan saksama.
“Mi-Mimpi!” seru Lia, menyadari dirinya berada di dalam kamarnya. Dia berpaling ke arah jendela dekat tempat tidurnya yang memperlihatkan langit biru, merasa tidak percaya Lia menghampiri lalu membuka lebar jendela kamarnya yang langsung diserbu angin pagi kemudian mendongak ke bawah melihat Ibu tengah menyiram tanaman. Dada Lia perlahan mulai naik turun dengan cepat lalu berpaling menjauh dari jendela menuju pintu, akan tetapi sudut matanya tidak sengaja melihat lingkaran merah di kalender dinding.
Sabtu, 12 Oktober 20xx. Pasar malam dekat balai desa.
Membaca tulisan itu Lia seketika teringat dengan tagedi dalam mimpinya yang terjadi pada hari sabtu malam minggu tanggal dua belas oktober. Apakah mimpi itu…! Lia sontak menggeleng kepala menghenyakan pikiran seram itu namun mimpinya yang terlalu jelas seolah memberi sinyal bahaya untuk Lia.
"Itu pasti hanya mimpi! pasti hanya mimpi," batin Lia menyakinkan diri.
segera keluar lalu turun ke bawah menuju kamar mandi untuk cuci muka dan mandi setelah itu menemui Ibu di depan rumah.
"Kuharap itu hanya mimpi."