Cerpen
Disukai
1
Dilihat
5,770
Pewaris Rumah Kakek Setelah Di Buang
Horor

Gefan memandang rumah bergaya kolonial dengan seksama, curiga salah alamat pemuda itu mengeluarkan foto dari saku jaket rompinya lalu membandingkannya dalam foto. Sama, tapi berbeda kondisi. Selain itu ia juga mencocokannya dengan alamat di balik foto, merasa benar-benar di alamat yang benar Gefan segera turun dari motornya seraya memasukkan foto tersebut ke dalam saku lalu menukarnya dengan kunci. Setelah gembok itu sudah di buka pemuda itu langsung mendorong pagar tersebut, matanya menatap ke sekitar halaman yang berserakan daun kering serta rumput liar dan kemudian tiba di depan pintu utama. Seperti tadi Gefan memasukkan kunci satunya ke dalam saku jaket lalu memutar kenop pintu tanpa ragu kemudian membukanya, aroma debu dan pengap langsung menyerbu indra penciumannya. Tanpa pikir panjang pemuda itu berbalik dan berjalan cepat menuju mobil pick up yang sejak tadi menunggunya lalu menyuruh dua orang tetangganya untuk membantu membawa barang miliknya, sibuk mengangkut barang mereka tidak menyadari seseorang memerhatikan mereka dari jendela lantai dua sebelum akhirnya menghilang saat Gefan mendongakkan wajahnya kearah jendela.

“Perasaan tadi ada yang lihatin deh!” batin Gefan.

“Barangmu hanya ini, Gefan?” tanya Pak Doni, pria itu baru saja masuk dan meletakkan kardus di dekat kaki Gefan.

Gefan mengangguk,”Iya, pak? Terima kasih sudah bantu saya. Maaf sudah merepotkan!” ucapnya merasa tidak enak hati.

“Sama-sama! Tapi… rumah ini klasik tapi kelihatan seram,” kata Pak Iwan saat menatap rumah mendiang Mbah Irwan. Mendengar ucapan Pak Iwan barusan Gefan segera membantahnya, setelah dua orang itu pergi pemuda itu memutuskan untuk masuk dan menjelajah rumah tersebut. Rumah mendiang Mbah Irwan memiliki dua lantai yang saat ini hampir di tutupi debu dan sarang laba-laba di banyak tempat, Gefan sejak tadi tidak menyadari kehadiran banyak pasang mata di langit-langit rumah yang mengikuti pemuda itu melangkah naiki anak tangga menuju lantai dua. Pemuda itu di sambut dengan lorong kotor dan tiga pintu, satu persatu ia buka dan melihat kondisi yang sama. Sudah menemukan kamarnya Gefan segera balik badan menuju teras untuk mengambil sapu, hampir tiga jam pemuda itu membersihkan sekaligus mengurus listrik dan air akhirnya ia bisa duduk di lantai dengan lega walau lelah sehingga tidak sadar memejamkan matanya dan tertidur.

****

Suara tetesan air terdengar sangat dekat di telinga Gefan membuat pemuda itu perlahan membuka kedua matanya dan seketika terbelalak melihat langit ruangan yang gelap namun samar-sama ada cahaya, pemuda itu langsung bangkit dan mendapati dirinya tidak berada di ruang tamu terlebih ia terbaring diatas dipan bambu. Dalam ruangan itu hanya ada empat cahaya lilin tapi tampak akan segera padam, bingung sekaligus takut ia bangkit lalu segera mencari pintu keluar, akan tetapi ruangan itu tidak memiliki pintu dan cahaya lilin mulai semakin redup. Dalam situasi yang membingungkan tubuh Gefan seketika membeku ketika aroma anyir darah disertai aroma minyak kayu putih masuk ke dalam indra penciumannya.

“Kenapa…”

Suara parau yang terdengar sangat pilu berhasil membuat bulu kuduk tubuh Gefan berdiri. Suara yang Gefan kenal. Reflek pemuda itu langsung memutar tubuhnya ke belakang dan terkejut melihat sebuah kepala tanpa badan melayang di atas dipan kayu dimana ia tidur tadi dan wajah itu… Mbah Irwan! Mengeluarkan darah hitam dari kelopak matanya yang hitam legam serta wajahnya yang pucat, jangan lupa tetesan darah dari bawah kepalanya.

“Gefan… tolong Mbah… tolong,” rintih Mbah Irwan yang kemudian terbang cepat kearah Gefan. Pemuda itu dengan reflek menundukkan kepalanya ke bawah dan secara bersamaan cahaya lilin padam kemudian tersadar dari tidurnya, degup jantungnya berdebar kencang sementara matanya mengedar ke sekelilingnya yang sudah berada di tempat semula. Akan tetapi kepala Mbah Irwan masih tertinggal dalam kepalanya termasuk suara minta tolong.

“Kenapa Mbah Irwan minta tolong seperti itu? Sebenarnya apa yang terjadi padanya,”gumamnya penuh tanya tanda. Namun pemuda itu cepat-cepat mengusir bayangan mengerikan tersebut dan segera membawa masuk barang miliknya sebelum malam tiba.

Seolah waktu terasa sangat lambat Gefan kembali mengistirahatkan diri di atas tempat tidurnya setelah memasukkan pakaian terakhirnya ke dalam lemari yang sudah ia pasang, pemuda itu menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan lega tidak mendengar suara penuh diskriminasi dari para kakaknya. Baru saja pemuda itu merasa lega tiba-tiba ia kembali kaget saat tercium aroma anyir di sertai minyak kayu putih, tubuh Gefan terperanjat dan reflek menoleh ke belakang ketika mendengar suara ketukan di jendela kamarnya. Suara ketukan itu masih terdengar nyaring terus terdengar.

“Gefan…Gefan…tolong Mbah,”

Gefan yang mendengarnya enggan beranjak, suara Mbah Irwan terus memanggilnya disertai suara ketukan dan setelah itu berhenti. Takut tapi penasaran Gefan berniat beranjak dari atas tempat tidurnya, akan tetapi sebuah tetesan air jatuh dan mengenai hidungnya. Napas Gefan seketika tertahan dan gerakan tangannya patah-patah saat membersihkan atas hidungnya, cairan air berwarna merah kehitaman dan air itu terus jatuh dari atas. Seolah menyuruh Gefan untuk mendongak keatas, namun saat kepalanya mendongak ke langit kamar ia langsung di kejutkan dengan sosok perempuan merayap dengan kepala yang terbelah dua dan di pelintir ke belakang dan sosok itu menyeringai tapi menangis tersedu-sedu.

“Mas Gefan…Mas Gefan…tolong Icha…,”

Suara Icha terdengar sangat pilu. Gefan masih terpaku di tempatnya, tidak sampai di situ ia kembali mendengar suara ketukan—kali ini pintu kamarnya di ketuk dengan keras dan suara Mbah Irwan kembali memanggil namanya.

“Gefan… bantu Mbah… temukan tubuh Mbah! Mbah kedinginan,”

Setelah di ujung kalimat tersebut tiba-tiba lampu mati dan aroma anyir serta minyak kayu putih menguar sangat kuat membuat Gefan menjepit hidungnya tapi gagal saking kuat dan tajamnya aroma itu membuat pemuda itu tidak kuat dan akhirnya jatuh pingsan. Sejam kemudian mata Gefan terbuka kemudian bangun sambil menahan pusing di kepalanya lalu pergi keluar menuju dapur, akan tetapi ia terkejut melihat kehadiran Mas Farhan dan Mbak Ina di dapur dengan raut wajah serius.

“Mas Farhan apa kau yakin rencana ini akan berhasil?” Tanya Mbak Ina.

Sebelum menjawab pemuda berkacamata itu mengambil air dari dalam kulkas lalu meneguknya hingga tinggal setengah dan setelah itu menjawab,” Tentu saja ini akan berhasil asal rencana kita tidak di ketahui oleh Gefan? Pria tua itu terlalu sayang kepada Gefan dan Icha, lagipula kemarin kita sudah membunuh Icha dan membuangnya ke gunung lalu sekarang giliran Kakek tua itu?”

Mbak Ina tidak berkomentar sedangkan Gefan yang mendengarnya sangat terkejut sekaligus tidak percaya apa yang barusan di dengarnya, tiba-tiba rasa marah bergejolak hebat dalam hati Gefan dan tanpa pikir panjang menerjang tubuh Mas Farhan. Akan tetapi tubuhnya malah menembus tubuh Mas Farhan membuat pemuda itu membelalakan matanya, seolah tidak percaya ia kembali mencobanya—hanya ingin menepuk bahu Mas Farhan.

“Mas sudah menaruh obat tidur dosis tinggi kepada Mbah Irwan, sebaiknya kita lakukan cepat agar tidak ketahun kemudian lakukan aksi dramatis!” ajak Mas Farhan.

Gefan berniat mencegahnya namun dirinya tidak bisa menghentikan tubuhnya yang ikut bersama dua kakaknya menuju kamar Mbah Irwan yang berada di lantai atas, setibanya di sana Gefan masih berdiri di belakang dua kakaknya sedangkan Mas Farhan dan Mbak Ina sudah membuka pintu kayu jati itu lalu masuk. Gefan yang hendak menyusul dua kakaknya tiba-tiba sebuah hembusan angin keluar dari kamar Mbah Irwan membuat Gefan tidak bisa menyimbangkan tubuhnya kemudian terhempas ke belakang.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)