Masukan nama pengguna
Hening dijam malam, tidak hening amat sebenarnya karena suara berisik keyboard yang ditekan oleh seorang gadis muda. Jari lentiknya bergerak pindah-pindah secara cepat sedangkan matanya menatap layar laptop yang memperlihatkan aplikasi kata berisi banyak paragraf serta rumus, mengabaikan secangkir kopi disamping laptop gadis itu terus menekan keyboard itu. Ia berhenti sejenak ketika rasa kantuk datang bersamaan dengan kedua tangannya yang terasa pegal, merenggangkan sejenak setelah itu meneguk kopinya yang mulai dingin akibat terlalu lama diabaikan lalu kembali lanjutkan pekerjaan. Setengah jam kemudian ia membuang napas panjang lega lalu segera menyimpan tugas skripsinya sebelum akhirnya pergi tidur, keluarga maupun para tetangga tidak tahu perjuangannya saat dimalam hari namun selalu dianggap pemalas sambil menulis naskah disamping rumah dengan tabletnya, sudah berulang kali ia jelaskan kepada keluarganya juga tetangga rumahnya.
“Jadi penulis itu tidak ada untungnya, lebih baik fokus saja dengan skripsimu supaya lulus nanti kau bisa daftar ke PNS!” cibir Ibu.
“Kenapa kau tidak cari pacar saja supaya kau bisa semangat ngerjain skripsi, nanti kamu nggak laku-laku.” Ujar Bu Indah, salah satu tetangga.
“Memang aku dijual ya? Sampai dicap nggak laku-laku!” balas Wirfa, nama gadis tersebut saat belanja di warung klontong jadul.
“Orang tua itu didengerin dan dijalanin, bukan dibantah!” sembur Bu Indah. Menahan rasa marah dan muak Wirfa tersenyum kecut mengiyakan lalu bergegas pergi fsri sana sebelum jadi target bulan-bulanan emak mulut nganggur. Sejak masuk kuliah Wirfa sudah jenuh mendengar menjengkelkan dari sekitarnya, punya rencana untuk tinggal di kost atau tinggal diapaertemen justru mendapat pertentangan dan guyonan yang menyakitkan, mau tidak mau Wirfa berusaha bersabar menghadapi omongan mereka, mengumpulkan lomba menulis maupun menggambar sebagai perlarian perasaannya. Hasilnya ia mendapat uang dengan jumlah yang cukup banyak namun sengaja tidak ia beritahu setelah melihat keluarganya khususnya Ibu yang belanja barang bermerk dan mahal, bahkan Wirfa tidak sengaja mendengar percakapan Ibu dengan para tetangga yang adu pamer perhiasan. Mencibir didalam hati melihat Ibu yang pilih kasih dan pelit, tetapi ngotot suruh daftar PNS atau menikah dengan TNI berjabat laksamana agar tidak bikin malu keluarga dan membandingkan dengan adik perempuannya yang berhasil ambil hati pemuda profesi polisi dan sekarang sudah bertunangan, Wirfa justru merasa jijik. Padahal adiknya suka pamer aurat disosial media bahkan pacaran banyak laki-laki di aplikasi kencan dan mirisnya Ibu serta keluarga lainnya malah mendukung. Tidak sengaja teringat bagian itu Wirfa jadi khawatir keamanan dirinya, usai makan malam dan cuci piring ia bergegas masuk ke kamarnya.
“Begitulah kalau tidak punya teman, dikamar terus!” sindir Ibu setelah tidak melihat punggung Wirfa,”Kau jangan sperti kakamu, Siti.”
Yang dipanggil tersenyum bangga,”Tenang saja, Bu. Siti gadis yang baik, buktinya aku sebentar lagi nikah!” sahutnya. Wirfa masih mendengar jawaban itu semakin jijik namun tidak selang lama ponselnya berdeting bertanda notif masuk, perasaan senang muncul setelah membaca pesan sampai terlintas ide. Keesokan siangnya Wirfa berangkat ke kampus untuk bimbingan skripsi dan secara tidak sengaja berpapasan dengan Siti bersama pria lain yang maskulin serta berpakaian keren. Meski sekilas Siti memandangnya penuh ejekan sebelum akhirnya pergi.
“Sampai kapan dia buat drama percintaan?” batinnya khawatir. Setibanya di kampus dan bertemu dosen pembimbing menyelesaikan bimbingannya, lantas kembali mengambil motornya lalu pergi ke suatu tempat. Ia teringat sebuah rumah peninggalan Jepang yang juga tidak jauh dari stasiun, pernah mendengar desas-desus tentang tanah itu yang tidak kunjung dibeli selama tiga puluh tahun. Meski tua dan menyeramkan karena ditumbuhi rumput ilalang namun baginya rumah itu sangan menawan dan aestatik, setengah jam kemudian ia sampai di tempat yang dimaksud. Spanduk bertulis huruf besar serta nomor ponsel dibawah tulisan pemilik rumah tersebut, bayangan kehidupan yang tenang dari omongan keluarganya juga tetangga. Tapi baru saja merogoh tasnya mengambil ponsel tiba-tiba dering telepon dari Ibu membatalkan niatnya, enggan mengangkat namun akan perpanjang masalah lantas dengan berat hati ia menekan tombol hijau. Dari seberang sana Ibu menyuruhnya untuk membeli banyak makanan di salah satu restoran mahal.
“Pakai uang siapa untuk beli sebanyak itu?” tanya Wirfa.
“Pakai uangmu lah, pake nanya!” ketus Ibu setelah itu memutus sambungan secara sepihak membuat gadis itu ingin memukul wajah Ibunya jika saja tidak ada hukum yang melarang aksinya. Dengan sangat terpaksa ia pergi menuju salah satu restoran yang menurut Ibu sangat mahal, setelah sampai dan memesan sesuai permintaan dari Ibu ia segera pulang membawa pesanan itu. Dengan hati-hati ia menelusuri jalan yang padat sebab bersamaan dengan jam pulang sekolah, tetapi ditengah perjalanan ia sengaja memelankan motornya ketika dari kejauhan seorang pria tua duduk ditrotoar sementara disebelahnya terparkir sepeda tua dengn keranjang anyaman yang didalamnya sapu lidi dan peralatan pembersih lantai lainnya, merasa iba meliaht pria tersebut Wirfa menepikan motornya lalu turun sembari mengambil salah satu kotak pesanan dari Ibu.
“Pak!” panggil Wirfa lembut seraya menepuk bahu pria tua itu. Tubuhn renta itu perlahan bergerak bersamaan matanya terbuka lalu tersenyum kearah Wirfa.
“Pak, saya beli sapu punya bapak. Berapa harganya?” tanya Wirfa.
“Oh, Cuma 25 ribu, Mbak?” jawab pria itu. Tanpa pikir panjang Wirfa mengeluarkan dompetnya mengambil uang yang sesuai nominal lalu memberikannya kepada pria tua tersebut. Raut lelahnya berubah menjadi cerah menerima uang tersebut sedangkan Wirfa mengambil salah satu sapu, sebelum pergi gadis itu menyodorkan kantung plastik berisi kotak makanan kepada pria itu kemudian pergi ke rumah. Dengan kecepatan lumayan tinggi gadis itu akhirnya sampai bersamaan dua mobil berhenti tidak jauh dari rumahnya, langsung masuk ke dalam garasi memarkirkan motornya lalu bergegas masuk membawa barang-barang itu ke dalam. Ibu muncul begitu Wirfa masuk dan berniat melayangkan amarah namun Wirfa dengan cepat memberitahu kalau keluarga tunangan Siti sudah datang, sontak wanita paruh baya itu seketika berubah sikap menjadi lembut dan menyuruh Wirfa untuk ganti baju. Siti senang bukan main bahkan melempar tatapan ejekan kepada Wirfa saat berkumpul di ruang tamu, tapi Wirfa tidak memperdulikannya sebab ia merasa ada sesuatu yang buruk datang. Para orang tua sibuk saling lempar terkait proses akad nikah termasuk tentang status Siti, dengan sengaja Siti berbohong kepada tunangannya sendiri. wirfa benar-benar merasa kasihan dengan pemuda itu, ditengah suasana yang hangat dan romantis tiba-tiba terhenti ketika mendengar suara motor berhenti di depan rumah. Raut wajah Siti seketika berubah pucat, begitu juga dengan Ibu dan Ayah namun tidak ada dari mereka yang beranjak.
“Assalammualaikum,” Wirfa segera mengenali pemuda itu sementara keluarga tunangan Siti mengucap salam dengan raut tanda tanya bahkan Ibu calon mertua Siti melayangkan pertanyaan kepada Ibu.
“Oh dia salah satu tetangga kami!” balas Ibu. Siti buru-buru mengangguk lalu memandang tajam ke arah pemuda yang berdiri didepan pintu, dia terkejut lalu berniat membantah tetapi Siti keburu menyuruh pemuda itu untuk pulang. Merasa curiga namun tidak ingin menganggu pemuda itu lantas pergi meninggalkan rumah tersebut, sepeninggal pemuda tadi tanpa rasa bersalah Ibu melanjutkan pembahasannya serta memberi saran untuk mengadakan acara akad di hari sabtu.
****
“Aku nggak boleh terlalu lama disini!” batin Wirfa khawatir. Setelah selesai mengerjakan skripsi bab empat ia istirahat sebentar sembari berbaring diatas namun panggilan alam menyuruhnya untuk pergi ke kamar mandi, terpaksa beranjak keluar menuju kamar mandi. Baru masuk ke ruang makan sekaligus dapur ia melihat kegaduhan adik dan orang tuanya namun dengan cuek melenggang begitu saja kemudian masuk ke dalam kamar mandi, tidak sampai tiga menit Wirfa keluar dengan perasaan lega dan kembali ke kamar.
“Hei Wirfa!” Ayah tiba-tiba memanggil, gadis itu langsung balik badan dan menghampiri mereka.
“Apa,” ketus Wirfa.
“Sebagai kakak kau jangan memberitahu pacar Siti kalau adikmu mau menikah, dan jangan sampai kau merebut suami adikmu,” ancam Ayah. dengan santai mengangguk saja,”Tenang saja Ayah, aku bukan wanita pelacur. Lagipula buang-buang waktu saja bikin drama nggak jelas seperti yang dilakukan Siti, aku balik ke kamar!” tanpa pikir panjang Wirfa pergi dari sana.
“Benar ya, awas saja kalau kau sampai rebut suamiku!” sahut Siti, tanpa berpaling dan dengan kesadaran penuh ia mengacungkan jari tengah membuat Siti maupun Ayah dan Ibu kaget. Di dalam kamar Wirfa kembali merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur, sambil menarik napas dalam-dalam lalu kembali bangun ketika teringat naskah cerpennya yang harus ia kirim ke salah satu lomba. Beberapa menit kemudian setelah mengirim naskah cerpen ia segera pergi tidur agar besok bisa pergi ke rumah itu dan segera pindah. Keesokan paginya Wirfa sengaja pergi tanpa pamit, menahan dingin yang menusuk kulit ia menelusuri jalan. Sesampainya di tujuan Wirfa membuka jaketnya lalu mengambil ponsel dari balik jaket setelah itu menghubungi pemilik rumah, setelah bicara sebentar lalu memutup telepon ia lantas menunggu sang pemilik rumah datang setelah mengetahui sang pemilik tersebut berada di luar kota dan sedang menuju kemari. Sambil menunggu gadis itu menonton video di youtube secara random, perasaan tenang dan nyaman ditambah suasana masih pagi membuatnya terasa bebas lalu perhatiannya pindah memandang rumah di hadapannya seolah tengah memerhatikannya juga. Tidak selang lama suara klakson mobil berhasil mengalihkan perhatiannya dan menyaksikan kendaraan itu parkir tidak jauh darinya, mata Wirfa melebar ketika melihat sosok pemilik rumah yang baru saja turun dari mobilnya dan menghampiri.
“Aku pikir pemilik rumah ini sudah tua, ternyata dugaanku salah ya!” batinnya. Gadis itu turun dari motornya,”Assalammualaikum!” sapanya.
“Waalaikumsalam, apakah kau bernama Wirfa?” tanya pria muda tersebut.
Wirfa mengangguk,”Saya ingin membeli rumah bapak!” sahutnya mantap.
“Kalau begitu mari ikut saya untuk melihat-lihat,” ajaknya seraya jalan lebih dulu. Wirfa mengekor dengan pandangan tidak sabar, saat pintu dibuka aroma khas rumah tua langsung tercium bersamaan dengan debu yang bertebaran. Banyak sarang laba-laba di langit-langit rumah serta cat tembok banyak terkelupas, pria itu menuntun Wirfa ketiap ruangan dan berakhir berada di halaman belakang rumah yang luasnya setengah lapangan futsal.
“Bagaimana?” tanya pria tersebut.
“Sangat menarik. Berapa harga rumah ini?”
“Khusus untukmu, saya hargai sebelas juta?” jawab pria tersebut, matanya menatap Wirfa tanpa berkedip sementara yang di tatap kaget.
“Bukankah itu terlalu murah? Wirfa bertanya tidak percaya. Pria itu menggeleng kepala lalu menyodorkan kunci yang sejak tadi dia bawa kepada Wirfa,”Kau pasti butuh rumah ini untuk lari dari keluargamu.” Wirfa tertegun. Perasaannya tertebak.
“Bagaimana? Apa kau mau membeli rumah ini?” tanyanya. Wirfa berpikir sejenak, baginya terasa janggal jika ada harga rumah semurah itu sementara ia butuh tempat untuknya seorang agar terhindar sesuatu yang bakal membuatnya repot. Merasa tidak punya pilihan akhirnya gadis itu mengangguk setelah itu mengikuti pria tersebut untuk mengurus sertifikat rumah sekaligus pindah nama pemilik, tiga jam kemudian proses tersebut berhasil rumah itu akhirnya milik Wirfa dan setelah pemilik lama pergi dengan lega sekaligus senang. Lantas ia segera pulang untuk mengambil barang-barangnya.
“Sekarang aku bisa fokus dengan diri sendiri dan skripsi!” batinnya seraya membawa motornya penuh percaya diri. Namun sesampai dirumah ia mendapati rumahnya dalam keadaan tertutup dan pagar pun sudah dalam posisi digembok,”Sepertinya mereka pergi!” gumamnya. Merasa tidak perlu menunggu Wirfa lantas mutar motornya dan pergi membeli peralatan bersih-bersih juga mengaktifkan listrik yang sudah lama mati, menghabiskan seharian mengurus rumah barunya akhirnya menjelang magrib gadis itu kembali pulang. Setibanya dirumah dan melihat mobil sudah terparkir di garasi. Tanpa buang waktu ia memakirkan motornya ke garasi lalu bergegas masuk menuju kamarnya.
“Nah ini dia sudah pulang, perawan tua kok keluyuran magrib begini!” cibir Ayah tiba-tiba ketika melihat Wirfa melewatir ruang tamu. malas membalas gadis itu mengabaikannya dan masuk ke kamar.