Cerpen
Disukai
1
Dilihat
7,878
Gerobak Ujung Alun-Alun
Drama

Hawa panas terasa akrab dengan rakyat Surabaya. Lihatlah, orang-orang itu tidak pernah mengeluh kepada matahari. Hanya para pedatang yang baru bergabung di kota ini—yang langsung berkeluh kesah bersamaan dengan tujuan di bawanya dari rumah. Bu Risna salah satunya, pendatang dari desa yang sengaja datang ke kota pahlawan ini hanya untuk berdagang sekaligus merawat Budhe Irma. Hati wanita janda mati suami-anak itu sangat sakit mendengar permintaan Rika: sepupunya yang enggan merawat ibunya.

“Padahal Ibumu sangat sayang dan memenuhi keinginanmu!” ucap Bu Risna.

“Ah sudahlah Budhe datang saja ke rumah, nanti Rika beritahu!” jawab Rika tidak mau tahu kemudian memutus sambungan telepon secara sepihak tanpa salam. tentu saja Bu Risna merasa bimbang yang saat ini sedang sibuk dengan usahanya di desa, tetapi esok harinya Rika kembali menghubungi dan memaksa Bu Risna untuk datang ke Surabaya dan esok hari serta seterusnya Rika terus memaksa. Dengan berat hati wanita itu terpaksa memenuhi keinginan Rika dan menutup toko sekaligus rumahnya kemudian berangkat ke Surabaya.

Bu Risna menarik napas dalam-dalam ketika kembali teringat kejadian yang berhasil melubangi hatinya, ia tidak akan penah lupa atas perbuatan Rika yang dengan kurang ajarnya menjual rumahnya dengan atas nama Rika untuk mendapatkan uang buat beli rumah baru di kota lain sementara dirinya terpaksa tinggal di rumah Budhe Irma yang sakit-sakitan tanpa di beri biaya pengobatan untuk Budhe Irma. Kembali mengipas wajahnya dengan topi yang sayangnya tidak dapat mengusir hawa panas di sekitarnya walau sudah berteduh di tempat yang banyak pohon bersama para pedagang lainnya.

“Apa sebaiknya aku jualan di rumah saja, nggak tega ninggalin Budhe sendirian walau dia ngotot bisa jaga diri!”batin Bu Risna.

Tetapi perasaan itu langsung sirna setelah melihat kedatangan empat gadis muda mengendong tas di punggung, sontak wanita itu berdiri dari duduknya lalu menanyakan pesanan. Dalam lubuk hatinya dapat mengambil tindakan dengan membeli gerobak dari tetangga dan membuka usaha baru sebagai penjual es doger dan kue kering yang sengaja ia siapkan untuk berjaga-jaga. Punggungnya berkeringat deras di sela kegiatannya membungkus pesanan ke dalam plastik hitam lalu memberikannya kepada salah satu dari mereka dan satunya membayar saat Bu Risna menyebutkan harga pesanan. Setelah tiga gadis itu pergi wanita itu kembali ke tempat duduknya dan kembali mengobrol dengan pedagang lainya sampai tidak sadar azan ashar telah berkumandang.

****

“Bagaimana kondisi tubuh Budhe?” tanya Bu Risna sembari menyodorkan sepiring nasi dan soto ayam yang sengaja di masaknya untuk Budhe Irma dan dirinya.

“Alhamdulillah Cuma batuk dan sesak saja?” jawab Budhe Irma seraya menerima piring itu lalu mulai memakannya. Raut wajahnya terlihat jelas menikmati soto ayam tersebut, Bu Risn mengikutinya sambil menonton televisi yang menyiarkan drama. Tidak ada percakapan apapun selain suara televisi yang mengudara mengisi suasana sepi di rumah sederhana di antara pemukiman warga. Selesai makan Bu Risna segera kembali ke dapur sambil membawa piring dan gelas kotor, tapi langkahnya terhenti saat Budhe Iram memanggilnya membuat wanita itu menoleh ke arah wanita yang menjelang tua itu.

“Sotomu sangat enak, kenapa kau tidak jual soto ayam selain jualan es dan kue?" tanya Budhe Irma.

Bu Risna terdiam. Ia berpikir sejenak saran yang Budhe Irma katakan barusan tapi segera di tepis olehnya,”Butuh modal lebih buat jual soto ayam, Budhe. Selain itu jualan es doger sudah cukup memenuhi kebutuhan kita!” timpal Bu Risna yang setelah itu beranjak pergi ke dapur.

Malam sudah mulai larut, sebelum tidur Bu Risna mengingatkan kembali kepada Budhe Irma untuk minum obat nyeri dan batuk setelah itu pergi tidur dengan membiarkan kipas angin menyala guna mengusir nyamuk dan hawa panas yang rupanya tidak kenal waktu. Namun setengah jam kemudian wanita itu terbangun dari tidurnya ketika mendengar suara notifikasi dari ponselnya, masih keadaan mengantuk ia bangun dan mengintip pesan dari orang yang berhasil menganggu tidurnya. Mata Bu Risna terbuka sempurna saat mengetahui Rika minta transfer uang untuk membayar utang, raut wajah Bu Risna seketika berubah dingin dan tanpa pikir panjang meletakkan kembali ponsel itu kemudian lanjut tidur.

Ketika pagi tiba wanita setengah baya itu melakukan rutinitas seperti biasanya dan setelah itu berangkat ke tempat biasanya. Saat pertama kali ia tiba di kota besar ini pemandangan jalan raya dan banyak bangunan sekitar yang tampak saling berdesakan lahan, tetapi sekarang wanita itu merasa ketakutan setiap kali ingin pergi ke seberang jalan yang tampak sangat jauh akibat lebarnya jalan serta kendaraan yang berlalu-lalang sangat kencang seperti di kejar segala urusan. Di dorong gerobak tua itu menuju alun-alun—tapi kata orang-orang sekitar kota ini tidak punya alun-alun sebab terlalu banyak hiburan dan fasilitas yang memadai sebagai alat menjadi alun-alun. Namun Bu Risna tidak mempercayai itu dan menjadikan sekitar museum kapal selam sebagai alun-alun sekaligus tempat untuknya berdagang, seperti biasa pintu masuk menuju museum tampak ramai orang yang ingin berwisata. Setelah memarkirkan gerobaknya dekat trotoar wanita itu lantas duduk dan menunggu pembeli datang, jam segini biasanya banyak yang mencari kue kering. Dan benar saja seorang pria datang dengan motornya memarkirkan di dekat gerobak dan bertanya harga kue yang Bu Risna jual, dengan senang wanita itu menjawab. Pria itu yang memakai helm dan masker segera turun dari atas motor lalu berjalan mendekati Bu Risna sambil menyebutkan jumlah kue yang di beli, dengan cekatan wanita itu mengeluarkan kantung plastik hitam lalu memasukkan kue yang di sebutkan tadi beserta jumlahnya ke dalam kantung plastik. Akan tetapi saat menyerahkan bungkusan tersebut pria itu bukannya menerima melainkan memegang dan meremas salah satu gunung milik Bu Risna. Mata Bu Risna seketika terbelalak terkejut dan langsung menampar pria tersebut sambil berteriak minta tolong. Pria itu panik dan berniat meninju wajah Bu Risna tapi gagal karena salah seorang pria berhasil menahan pergelangan pria mesum kemudian melayangan tinju ke wajah pria itu, banyak orang yang datang menghampiri—para pria langsung mengkeroyok pria mesum itu sedangkan para wanita menyeret Bu Risna menjauh sekaligus memberi perlindungan kepada wanita itu yang masih syok dan tanpa sadar memeluk tubuhnya sendiri.

“BAKAR MOTORNYA!”seru salah satu dari mereka.

Tentu saja seruan itu langsung di terima oleh orang-orang di sekitar, dua orang menahan pria mesum sedangkan yang lain berbondong-bondong menyiram motor sang pelaku dengan bensin kemudian membakarnya. Bu Risna yang baru sadar dari perasaan syoknya langsung menghampiri gerobaknya lalu memindahkannya agar tidak ikut terbakar, tidak berselang lama terdengar suara sirine mobil polisi dan pemadam kebakaran yang segera tiba di lokasi kejadian.

****

Esokkan harinya Bu Risna memutuskan tidak berjualan akibat rasa lelah dan takut atas kejadian yang menimpahnya, ia masih bisa merasakan salah satu gunung berharganya berdenyut nyeri seperti habis di remas. Hatinya bergejolak marah serta tidak puas menghajar pria kemarin saat mengingat kejadian itu meski sudah di tangani oleh pihak berwajib.

“Kenapa wajahmu seperti itu?” tanya Budhe Irma, baru saja kembali dari kamar kecil.

Yang ditanya langsung menoleh dan membiarkan Budhe Irma duduk di sebelahnya bergabung di ruang tamu dengan luas dan lebar yang tidak seberapa. Bu Risna tidak menjawab, ia terlalu takut untuk bercerita tentang kejadian kemarin. Ia pernah mendengar kabar sebelumnya soal kasus serupa, rata-rata korban seperti dirinya jelas akan di pandang sebagai aib bagi keluarga serta masyarakat sebab mengira sengaja memakai pakaian seksi atau terlalu centil sehingga mengundang pria hidung belang berbuat tidak senonoh. Lantas wanita itu tersenyum sambil menggeleng kepala kemudian menjawab.

“Lagi banyak pikiran?”

Budhe Irma beroh panjang,”Lalu kenapa kau pulang lebih awal? Padahal daganganmu belum habis terjual?” tanya Budhe Irma lagi.

“Ingin jualan di rumah saja? Jujur saya takut lihat jalan-jalan di kota ini. nggak bisa nyeberang karena terlalu banyak kendaraan yang berlalu-lalang apalagi lihat pengendara bawa kendaraan ugal-ugalan!” gerutu Bu Risna. Budhe Irma seketika tertawa terbahak-bahak sementara Bu Risna yang melihatnya jadi salah tingkah sebab mengira jawabannya terlalu polos.

“Namanya juga kota besar, Beda dengan di desa. Budhe jadi ingin tinggal di desa dan mati di sana!” timpal Budhe Irma. seketika Bu Risna melotot lalu menegur wanita tua itu. Dalam hati Bu Rinsa mengeluh mendengar permintaan terakhir Budhenya itu, dia tidak tahu jika putri kandungnya telah menjual rumah sekaligus usahanya dimana banyak kenangan indah di sana saat bersama mendiang suami dan anaknya. Ia memutuskan untuk beranjak dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri meski itu percuma saja karena hawa panas yang tidak kenal waktu. Dan esok harinya lagi Bu Risna kembali berjualan namun di depan rumah, tentu saja ia mendapat banyak pertanyaan dari tetangga yang sudah terbiasa melihat Bu Risna berangkat kerja bersama gerobaknya saat baru seminggu tiba di sini.

“Lho Bu,kok tumben nggak berangkat?” tanya Bu Endah, salah satu tetangga yang tidak sengaja lewat dan melihat Bu Risna jualan di depan rumah.

“Ingin jualan di rumah saja, Bu. Nggak tega ninggalin Ibu Irma sendirian di rumah, takut dia butuh sesuatu?” jawab Bu Risna sembari memasukkan plastik transparan berisi es doger ke dalam plastik hitam setelah itu memberikannya kepada Bu Endah.

Bu Endah beroh panjang sambil manggut-manggut paham dan setelah itu pergi, setelah Bu Endah pergi wanita itu menghela napas lega—setidaknya berhasil menyembuyikan masalah kemarin. Ia kembali duduk di bangku panjang lalu mengambil kipas dan membuat angin kecil guna mengusir hawa panas di wajahnya yang mulai berkeringat, padahal saat ini masih jam sembilan pagi tapi hawa panas sudah muncul. Tetapi tidak selang lama ponsel dalam saku bajunya berdering, ia dengan cepat merogoh sakunya lalu segera mengangkat telepon tersebut yang rupanya dari Bu Rina.

“Assalammualaikum, Bu Rina!”

“Waalaikumsalam Bu gawat,bu” dari seberang sana Bu Rina terdengar panik membuat raut wajah Bu Risna berubah jadi penasaran.

“Ada apa, Bu? Kok nadanya kayak panik gitu?” tanya Bu Risna curiga.

“Rumah ibu terbakar?” jawab Bu Rina.

Mata Bu Risna terbelalak kaget juga jantungnya mendadak berhentik berdetak mendengar kabar musibah dari Bu Rina.

“A-Apa! Bagaimana bisa?” tanya Bu Risna.

Bu Rina lantas menceritakan semuanya kepada Bu Risna, akan tetapi hatinya langsung terisi amarah ketika mengetahui jika penghuni baru rumahnya meminta dirinya untuk menanggung biaya renovasi rumah.

“Saya tidak mau nanggung biaya renovasi yang sudah bukan milik saya! Siapa yang menyuruh saya buat nanggung biaya renovasi rumah itu?” tanya Bu Risna emosi.

Bu Rina yang mendengar nada amarah dari Bu Risna menjawab,”Dari Rika, Bu?”

Dada wanita itu benar-benar termakan amarah mendengarnya. Rika! Berani menjual rumahnya tanpa sepengetahuan serta persetujuannya juga tega meninggalkan Ibunya, sekarang gadis itu dengan kurang ajarnya melempar masalah kepadanya dan menyuruhnya untuk membiayai renovasi. Padahal untuk biaya kebutuhan sehari-hari ia sangat bergantung kepada hasil dagangannya, belum lagi biaya pengobatan Budhe Irma.

“Katakan kepada penghuni baru itu jika saya tidak ada sangkut paut dengan yang ada dalam transaksi jual-beli oleh orang yang bernama Rika. Rumah itu sudah bukan rumah saya!” serang Bu Risna yang setelah itu memutus sambungan secara sepihak. Wanita itu sangat frustasi mendapat dua musibah sekaligus, namun ia langsung menyembuyikan masalahnya saat ada pembeli yang datang dan memesan es doger dengan jumlah banyak. Masalah barusan biarkan berlalu, sekarang melajut kisah baru di kota besar ini.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)