Masukan nama pengguna
Berada di tengah sawah seperti menutup diri namun toko itu justru memiliki fansnya sendiri. Bulan ramadhan ini masyarakat desa berbondong-bondong datang ke toko kue itu guna menemui sang pemilik yang telah berusia renta. Bangunan sederhana tampak nyaman dan terawat menyambut kedatangan masyarakat desa dan mempersilakan mereka untuk mampir, tapi sang pemilik justru berbanding terbalik dengan rumah yang sudah lama di diaminya—memasang wajah masam. Biasanya wanita tua itu selalu memajang wajah ramah cerah tapi hari ini tidak dan para warga yang terlalu jatuh hati serta terburu-buru menyambut hari idul fitri mengabaikan wajah masam Mbah Nisra.
“Mbah kami mohon maaf telah menyita waktu luangmu, kami datang kemari memintamu untuk membuka kembali toko kuemu sebab tidak lama lagi idul fitri tiba!” ucap Pak Wawan selaku kepala desa yang selalu memakai peci sebagai tanda dia adalah pemimpin di tambah warna peci itu yang mulai berubah warna—sama dengan rambutnya kini yang enggan nampakkan diri.
Mbah Nisra tidak berkomentar tapi tidak lama kemudian menghela napas patah-patah menandakan ada masalah dalam pernapasannya dan bola matanya yang terpejam sesaat sebelum akhirnya wanita tua itu menjawab.
“Saya mohon maaf kepada anda semua bahwa tahun ini tidak ada kue lebaran karena saya sudah pensiun dari pekerjaan juga masalah keluarga saat ini!” balas Mbah Nisra.
Paka Wawan serta orang-orang di belakangnya berseru kecewa bahkan di antara mereka ada yang bersedih lebaran mengetahui tahun ini tidak ada kue kering buatan Mbah Nisra yang berhasil mencuri hati anak dan kerabat jauh mereka.
“Mbah sakit apa? Nanti kami bantu bayar biaya pengobatannya, untuk masalah keluarga saya bisa bantu sebagai kepala desa di sini,"rayu Pak Wawan.
Untuk usia senja rayuan itu sangat jelas menguntungkan bagi Mbah Nisra yang sekali lagi bernapas patah-patah, sayangnya wanita tua berkebaya cokelat susu yang memperlihatkan leher jenjangnya yang berkeriput tidak termakan rayuan tersebut melainkan wajahnya semakin masam dan keruh seperti air sungai beberapa bulan ini beraroma bau tidak sedap.
“Sekarang kalian boleh pulang, biarkan saya menyendiri untuk memulihkan tenaga yang terbuang paksa menghadapi kalian," kata Mbah Nisra. Di hirupnya udara banyak-banyak mengisi dadanya yang tipis dan lusuh lalu memandang Pak Wawan serta para warga yang enggan untuk pulang. Tidak berselang lama akhirnya Pak Wawan mengajak semua warga di sana untuk pulang. Toko kue sekaligus rumah Mbah Nisra menatap kasihan orang-orang itu, tetapi dia lebih kasihan dengan Mbah Nisra yang berusaha mengatur napasnya akibat penyakit di deritanya.
****
“Bagaimana ini Pak? kita seperti tidak bisa hidup tanpa kue buatan Mbah Nisra?” tanya Bu Indah, istri Pak Wawan. Wajah cantik karena selalu bermakeup itu tampak sangat gelisah karena sudah terlanjur mempromosikan kue buatan Mbah Nisra dengan harga yang sangat tinggi kepada kerabat keluarga dan teman arisannya. Yang di tanya hanya diam saja, memiliki pemikiran yang sama dengan istrinya,”Pak Ibu sudah terlanjur siapkan uang buat borong kue itu, juga para Ibu-Ibu yang tidak sabar makan kue buatan Mbah itu yang hanya sekali setahun!” desaknya.
Pak Wawan menghela napas panjang, bingung harus menjawab apa bahkan saat perjalanan pulang beberapa warga mengeluarkan keluhan yang sama, namun di hela napas selanjutnya terlintas ide dalam kepala pria itu, segera di keluarkan ponsel yang enggan keluar melihat langit kini di utak-atik mencari nomor ponsel seseorang.
“Cari nomor Mas Irwan ya?” tanya Bu Indah setelah melihat gelagat suaminya itu seolah menemukan harapan lailatul qadar.
Pak Wawan mengangguk sambil terus mencari banyaknya nomor dalam ponselnnya—beruntung ia tidak menyimpan kekasih gelapnya. Setelah berhasil menemukan lalu menghubungi nomor tersebut sampai terdengar suara nada sambung bertanda untuk menunggu sesaat kemudian di seberang sana terdengar suara menyapa.
“Waalaikumsalam Mas Irwan bisa kau bantu saya!” Pak Wawan langsung ke inti tujuan.
“Ada apa?” dari seberang sana Mas Irwan bertanya.
“Apakah kau bisa bujuk Ibumu untuk buka toko kue itu? banyak warga sini yang datang untuk membeli kue lebaran buatan Ibumu, tetapi Ibumu menolaknya. Idul fitri tidak lama lagi!” balas Pak Wawan.
Dari seberang sana Mas Irwan malah tertawa membuat Pak Wawan mendengarnya seketika bingung,”Apakah ada yang lucu dalam perkataanku tadi!” batin pria itu, masih menempelkan ponsel itu di daun telinganya.
“Masa bapak lupa kalau toko Ibuku hanya buka di hari lebaran saja!” timpal Mas Irwan kemudian kembali tertawa di seberang sana.
“Tapi bukankah lebih baik buka sebelum lebaran? Kau pasti tahukan omsetnya naik tajam seperti toko lain terlebih kue buatan Ibumu sangat banyak peminatnya. Ayolah! Kaukan anaknya Mbah Nisra tentu kau dapat bujuk Ibumu untuk buka toko lebih awal di banding tahun sebelumnya. Istriku terlanjur mempromosikan kue buatan Ibumu kepada kerabat keluarga istriku!” Pak Wawan kembali mendesak dan memohon. Mas Irwan di seberang telepon menghela napas kemudian diam seolah mmeberi jeda untuk berpikir sementara Pak Wawan di seberang lagi ikut diam bisu bersama Bu Indah penasaran dan menunggu hasilnya.
“Baik aku akan mencobanya, tapi jangan harap hasilnya sesuai bapak inginkan!” balas Mas Irwan sebelum akhirnya memutus sambungan telepon secara sepihak. Setelah nada sambung itu terputus pria itu kembali menghela napas panjang sembari memasukkan ponsel itu ke dalam saku bajunya bersamaan dengan Bu Indah yang sudah tidak sabar lantas bertanya,”Bagaimana Pak?”
“Kata Mas Irwan dia akan mencobanya tapi untuk hasilnya kita jangan berharap banyak!” sahut Pak Wawan gusar. Bu Indah tampak kecewa mendengarnya setelah itu giliran dia yang mengambil ponselnya dan segera memberitahu kepada para Ibu-Ibu terdekatnya melalui pesan grup.
****
Azan magrib berkumandang mengundang rakus untuk menyantap banyak makanan di tiap rumah atau di pinggir jalan yang penuh sesak orang-orang, namun seperti halilintar menyambar di tengah suasana itu ketika mendengar kabar jika rumah sekaligus toko kue Mbah Nisra terbakar hebat. Sontak banyak warga yang panik berbondong-bondong datang ke lokasi membawa banyak ember lain untuk memadamkan api hingga suara sirine mengelegar menyuruh para warga memberi jalan—mobil damkar tiba di lokasi bersamaan dengan kehadiran mobil lain di belakangnya yang kebetulan menuju ke arah yang sama dengan mobil di depannya. Memarkirkan mobil dengan jarak jauh karena di halangi oleh para warga yang memilih menonton Mas Irwan—putra sulung Mbah Nisra keluar lalu bergegas menerobos kerumuman itu menuju rumah Ibu. Tubuh pria berusia 33 tahun itu membeku melihat kobaran api menyelimuti rumah Ibunya seperti lentera, dengan panik Irwan langsung menerobos kerumunan itu agar bisa tiba di depan. setelah berhasil menerobos rumah itu perlahan mulai ambruk sementara terdapat petugas kepolisian yang berusaha menyuruh para warga untuk mundur ke belakang sedangkan petugas kebakaran sibuk memadamkan api yang sulit di tangani.