Cerpen
Disukai
0
Dilihat
5,308
Pemanah Angin
Aksi

Suara klakson saling sahut-menyahut di tengah kemacetan menjadi pemandangan biasa di kota-kota besar, kota Bogor contohnya. Pagi ini seperti aktivitas di hari sebelum dan sebelumnya lagi yang selalu Nusra lakukan, selesai memakai seragam putih abu-abu serta jilbab putih segiempat ia bergegas menuju ruang makan sembari membawa tas sekolah juga tas persegi panjang berwarna hitam berisi busur dan anak panah, setibanya di ruang makan Nusra melihat Paman Narso sudah berada di sana bersama koran harian yang selalu menemaninya sarapan sedangkan Bibi Vintari meletakkan piring saji berisi Nugget ayam yang masih panas; baru keluar dari penggorengan.

“Pagi Paman…Bibi!” Sapa Nusra ramah seraya meletakkan dua tas miliknya di atas kursi lalu menarik kursi satunya setelah itu duduk di sana.

“Pagi juga sayang!” Balas Bibi Vintari ramah,”Hari ini kamu ada jadwal kegiatan Ekstrakulikuler?” Tanyanya.

Nusra mengangguk mengiyakan lalu mengambil piring dan sendok setelah itu mengambil nasi juga lauk pauk seperti Nugget, sayur sop dan telur ceplok yang kemudian memindahkannya ke atas piringnya. Tidak ketinggalan gadis itu juga mengambil gelas yang sudah di sediakan di atas meja makan lalu mengambil teko besar berisi air putih dan menuangkannya ke dalam gelas, merasa semua sudah lengkap barulah Nusra mulai sarapan dengan nikmat; begitu juga dengan Paman Narso dan Bibi Vintari, membuat suasana di ruangan tersebut menjadi hening. Tidak sampai 20 menit Nusra sudah selesai sarapan lalu merapikan piring dan gelas bekas miliknya kemudian membawanya ke bak cuci piring setelah itu mengambil dua tas miliknya dari atas kursi.

“Paman…Bibi, Nusra berangkat dulu!” Ucap Nusra langsung menghampiri Bibi Vintari lalu mencium punggung tangannya kemudian beralih ke Paman Narso, akan tetapi pria setengah baya itu malah sibuk dengan makanannya dan mengabaikan tangan keponakannya yang terulur kepadanya untuk salim.

“Sayang, Nusra mau salim kepadamu!” Bibi Vintari berseru mengingatkan. Mendengar kata istrinya itu dengan berat hati Paman Narso meletakkan sendoknya kemudian mengulurkan tangannya dan membiarkan gadis remaja berusia 16 tahun itu mencium tangan pria itu walau hanya sebentar.”Nusra ingat, jangan tunjukkan kemampuan anehmu kepada semua orang. Kau mengertikan!” Ucap Paman Narso memperingatkan. Sambil tersenyum Nusra mengangguk saja kemudian pamit kepada mereka berdua.

****

Terlahir memiliki kemampuan unik, yaitu seorang pengendali angin. Sayangnya Nusra di jauhi dan tidak memiliki teman saat masih sekolah dasar, di tambah dengan statusnya yang bersandang anak yatim piatu karena kedua orang tuanya meninggal dengan cara tidak biasa yang sayangnya Nusra tidak ketahui, bahkan Bibi Vintari tidak menjawab ketika Nusra bertanya soal kedua orang tuanya. Tetapi beruntungnya ada Bibi Vintari yang selau menghibur hatinya kala sedih walau sempat memberi saran kepada Nusra untuk berbohong tentang kemampuannya agar terhindar dari kejadian tidak menyenangkan. Setibanya di sekolah Nusra melewati lapangan basket sekaligus bendera menuju tangga kemudian menaiki satu per satu anak tangga hingga di ujungnya lalu jalan lima langkah menuju kelasnya, suasana ramai langsung menyambut kedatamgannya yang sayangnya di abaikan oleh teman-teman Nusra. Baru saja gadis itu duduk setelah meletakkan dua tasnya; satu di atas kursi yang di jepit oleh punggungnya dan satu lagi di letakkan di samping kursi yang berisi busur dan anak panah, seorang pemuda bertubuh tinggi serta memakai seragam yang sama namun tampak tidak rapi; dasi di biarkan longgar lalu ujung baju yang tidak di masukkan serta jaket abu-abu yang sengaja di ikat di pinggangnya berjalan menghampiri meja Nusra setelah itu dia bertanya.

“Nusra tugasmu sudah selesai belum?” Tanya Zavian.

Nusra memandang pemuda itu dengan datar dan jengah juga pertanyaannya yang di lontarkannya tentang tugas,”Tugas mana yang kau maksud?” Nusra balik bertanya.

“Tugas Bahasa Arab?” Jawab Zavian dingin.

Sambil menghela napas Nusra mengambil tasnya di belakang punggungnya lalu membuka tas itu dan mengaduk isinya setelah itu mengeluarkan sebuah buku bersampul cokelat cream bertulis ‘Bahasa Arab’ serta nama Nusra disana lalu meletakkannya di atas mejanya,”Sampai kapan kamu minjam bukuku terus? Yang lain kan bisa?” Tanya Nusra.

“Malas, terima kasih ya! Kukembalikan saat jam istirahat nanti!” Balas Zavian seraya mengambil buku itu lalu kembali ke mejanya saat bel masuk sudah berbunyi. Nusra mendengus bosan mendengarnya juga merasa heran melihat kelakukan Zavian yang suka lupa mengerjakan tugas, namun tidak selang lama seorang guru pria masuk ke dalam kelas seraya mengucap salam kemudian mulai melakukan pembelajaran. Dua jam kemudian bel pergantian pelajaran telah berbunyi, setelah guru keluar para siswa segera mengeluarkan keluar sambil membawa baju olahraga dari dalam tas maupun di dalam laci meja. Para gadis bergegas keluar sambil membawa baju olahraga meninggalkan para lelaki untuk berganti pakaian di kelas, Nusra sejak tadi membisu saat teman-temannya asyik mengobrol satu sama lain selah melupakan kehadiran Nusra diantara mereka ketika menuju ke kamar ganti; Toilet. Di saat para siswa sibuk ganti baju sambil ngobrol Nusra sudah selesai ganti baju kemudian kembali ke kelas.

“Eh..Eh kalian penasaran nggak kenapa Zavian selalu nyamperin Nusra?” Tanya salah satu dari mereka yang memakai kacamata setelah Nusra menghilang dari balik pintu.

“Zavian? Memang kenapa,Ra!” Kata gadis di sebelahnya yang balik bertanya, Begitu juga dengan yang lainnya.

“Melihat akhir-akhir ini Zavian suka nyamperin Nusra bisa jadi mereka…”

Sementara itu Nusra sudah berdiri di lorong depan kelas; menunggu para lelaki selesai ganti baju sambil memeluk seragam miliknya, tidak selang lama para lelaki tersebut akhirnya keluar dari kelas tersebut dengan mengenakkan baju olahraga. Gadis itu sempat mengabaikan lima pasang mata mereka yang tertuju ke arahnya yang setelah itu masuk ke dalam kelas dan berjalan menghampiri mejanya lalu memasukkan seragamnya ke dalam tas, sebelum keluar Nusra mengambil botol minuman di kantung samping tasnya kemudian segera kembali ke luar kelas. Secara bersamaan ia melihat teman-temannya sudah kembali dari Toilet dan hendak masuk ke dalam kelas, seperti sebelumnya Nusra mengabaikan mereka dan berjalan menuju lapangan.

“Ih sombong amat sih dia!” Hina salah satu dari mereka namun langsung di sikut oleh teman sebelahnya seolah memperingatkan, sayangnya Nusra bisa mendengarnya dengan jelas walau hanya sekilas.

“Bicara dengan kalian tetapi di abaikan, siapa yang sombong!” Batin Nusra mendengus sebal campur sedih. Setibanya di lapangan Nusra langsung mengambil barisan serta menjaga jarak dengan barisan para lelaki sedangkan di hadapan mereka berdiri seorang pria bertubuh tegap dan kekar serta di lehernya terlingkar peluit yang kemudian berseru memanggil teman Nusra yang sudah masuk ke area lapangan. Selama pembelajaran olahraga berlangsung Nusra duduk di pinggir lapangan setelah berhasil memasukkan bola basket ke dalam ring dan kini menyaksikan teman-temannya dalam memasukkan bola ke dalam ring, satu jam kemudian Pak Bambang; guru olahraga memberi jam bebas kepada siswa didik untuk bermain maupun istirahat di kantin. Nusra menatap bosan ketika menyaksikan para laki-laki yang asyik bermain bola basket sedangkan para gadis berseru heboh di pinggir lapangan.

“Kyaa…Zavian!”

“Zaviaan…aku padamu!”

Mendengar suara mereka yang heboh membuat Nusra semakin bosan dan memutuskan untuk beranjak dari sana kemudian pergi menuju kantin, mumpung belum ramai. Akan tetapi tanpa Nusra sadari bola basket yang di oper kesana-kemari malah terlempar terbang ke arah Nusra.

“NUSRA AWAS!!” Teriak Zavian memperingatkan.

Nusra yang mendengar suara Bassnya Zavian langsung menoleh pelan dengan sorot mata bosan yang seketika berubah setelah melihat bola basket itu yang terbang ke arahnya juga jaraknya tinggal tiga meter dari wajahnya, reflek, tanpa sadar Nusra mengumpulkan tenaga di telapak tangannya dan tercipta siuran angin biru kencang lalu mengibasnya ke arah bola tersebut, membuat benda bulat yang hampir mendekati wajahnya langsung terpental terbang ke arah mereka—lebih tepatnya ke arah Zavian. Tetapi beruntungnya pemuda itu berhasil menangkap dan menahan bola itu agar tidak mengenai dada bidangnya. Semua yang ada di sana terkejut, tidak percaya apa yang mereka lihat. Sadar apa yang sudah ia lakukan dan langgar Nusra langsung berbalik lalu berlari menjauh dari sana tanpa tahu saat ini teman-temannya mulai saling bisik lengkap nama Nusra yang terucap keluar dari bibir mereka, tetapi Zavian justru sebaliknya, ia malah menyungging senyum ke arah gadis itu pergi. Tidak selang lama bel istirahat berbunyi, berhasil mengalihkan pikiran mereka soal kejadian tadi.

****

Perasaaan was-was seolah mengambang dalam dada Nusra yang sedang berusaha bersikap biasa saja, meski mulai sedikit berkurang gara-gara ada ulangan matematika dadakan tetap saja masih ada perasaan itu hingga bel pulang berbunyi, usai Sang guru keluar kelas Nusra langsung bergegas keluar dari kelas itu menuju lapangan Panahan yang berada di belakang sekolah. Gadis itu tidak menyadari kalau Zavian membuntutinya dari belakang dengan jaga jarak agar gadis itu tidak mengetahuinya, tetapi sayangnya pemuda itu menghentikan aksinya saat seorang pemuda berkulit pucat memanggilnya seraya berjalan mendekat. Pemuda itu sempat berdecih sesaat menoleh ke arah sumber suara dan kembali menoleh ke arah Nusra yang sudah berjalan cukup jauh sebelum akhirnya dia berbalik dan pergi menghampiri temannya itu. Sebelum ke lapangan Nusra sempat ganti baju sebentar di Toilet Perempuan untuk menukar seragamnya dengan seragam olahraga, selesai ganti gadis itu keluar dan pergi menuju lapangan. Setibanya disana Nusra melihat beberapa siswa yang sudah hadir dan berkumpul di bawah pohon dengan dahan rendah sementara di tengah lapangan berdiri tujuh papan target dengan jarak yang berbeda—tapi ada juga yang memiliki jarak yang sama, selesai berdoa Nusra bersama teman-temannya segera latihan secara mandiri namun tetap di pantau. Nusra berdiri di pinggir lapangan kemudian menghadapkan tubuhnya ke arah kanan serta membentuk kuda-kuda sejajar sementara pandangannya tertuju pada papan target dengan jarak 30 meter dari tempatnya berdiri, tanpa buang waktu gadis itu mengambil salah satu anak panah dari Quiver Arrow yang terpasang melingkar di samping pinggangnya kemudian memasangnya di String dan menariknya bersamaan anak panah itu lalu melepasnya tanpa ragu.

JLEB…,anak panah berhasil menancap di lingkaran angka 8.

SREK….PLASH…JLEB, anak panah selanjutnya berhasil menancap di lingkaran angka 10 dan kemudian di susul oleh anak panah lainnya. Nusra menurunkan busurnya sambil menghembuskan napas lega melihat anak panahnya yang berhasil mengenai sasaran, namun perhatiannya segera teralihkan ketika mendengar suara serak yang memanggil namanya sehingga membuatnya menoleh ke sumber suara, melihat seorang pria yang menjadi Coachnya melambaikan tangannya mengisyaratkan Nusra untuk datang kemari—juga melihat teman-temannya yang sudah berkumpul; menyisahkan dirinya seorang, gadis itu langsung bergegas menghampiri dan mengambil barisan di belakang temannya.

“Sudah lengkap semuanya kan ?” Tanya Pak Irwan kepada semua siswanya.

“Sudah Coach !” Balas semua siswa serempak.

“Baiklah Bapak langsung saja ke intinya, saya sengaja memanggil kalian kemari untuk menyampakan bahwa tidak lama lagi akan di adakan lomba Panahan antarsekolah tingkat Provinsi! Maka mulai besok Bapak akan menyeleksi kemampuan Panahan kalian selama sebulan terakhir dan hasilnya Bapak akan mendaftarkan bagi yang lolos dalam seleksi. Paham semuanya?” Tanya Pak Irwan.

“Siap paham!” Balas semua siswa serempak.

“Baik, sampai di sini saja yang Bapak sampaikan. Silakan kalian kembali latihan!” Titah Pak Irwan. Semua siswa dengan patuh balik badan kemudian bubar menuju ke tempat mereka latihan semula, mendengar ada lomba Nusra dengan tekun kembali mengangkat busurnya lalu memusatkan konsentrasinya serta pandangannya ke arah papan target kemudian menebakkan anak panah miliknya. Terlalu asyik dalam latihannya gadis itu tidak sadar kalau langit sudah mulai gelap dan satu per satu temannya sudah siap- siap untuk pulang, barulah Nusra sadar ketika selesai mengambil anak panahnya dari badan papan target. Sontak gadis itu cepat-cepat berkemas dan menyusul temannya yang suka melupakan kehadirannya.

****

Di dalam kamar selepas shalat Isya Nusra langsung membaringkan tubuh rampingnya di atas tempat tidur yang empuk, sejenak ia membuang napas gusar setelah teringat kejadian di lapangan tadi yang membuatnya tidak sengaja mengeluarkan kekuatan anginnya di hadapan teman sekelas. Sambil menghela napas Nusra mengulurkan tangannya ke atas lalu di cobanya mengeluarkan kekuatan dengan memusatkan tenaga di telapak tangannya, selang beberapa saat semilir angin segera muncul berkumpul di sekitar tangannya dan kemudian terciptalah bola angin. Nusra terus memusatkan; mengabaikan barang-barang serta rambutnya yang bergerak tertiup angin kemudian melempar bola itu ke langit kamarnya lalu Nusra meningkatkan kekuatan dalam bola itu sehingga angin berhembus kencang di dalam kamarnya dan membuat seisi kamarnya jadi berantakan akibat tiupan angin kemudian dengan santai Nusra menjentikkan jarinya dan bola angin itu segera lenyap menyisahkan semilir angin yang perlahan-lahan hilang. Melihat bola angin buatannya lenyap Nusra kembali menghela napas dan setelah itu segera memejamkan kedua matanya kemudian tidur.

Keesokan paginya di meja makan Nusra menatap wajah Bibi Vintari sejenak yang kemudian berpindah wajah Paman Narso yang fokus ke koran yang selalu di bacanya saat jam sarapan tiba setelah itu kembali lagi menatap wajah Bibi Vintari yang asyik memakan masakan buatannya, Nusra menarik napas dalam-dalam dan setelah itu ia berkata.

“Ng…Bibi!” Panggil Nusra ragu.

Bibi Vintari mendongak,”Ya ada apa, Nusra?” Tanyanya.

“Awal pekan nanti boleh nggak Nusra pergi ke—“

“TIDAK BOLEH?!” Bentak Paman Narso tiba-tiba membuat Nusra tersentak takut.

“Sayang…jangan gitu pada keponakanmu, kasihan dia!” Ucap Bibi Vintari lembut seraya memegang tangan Paman Narso.

Sayangnya pria itu tidak menghiraukan ucapan istrinya dan menatap dingin ke arah Nusra yang duduk di seberang meja,”Mau apa kau kesana? Mau melatih kekuatanmu itu Hah?” Tanyanya.

Nusra menundukkan kepalanya, takut kemudian dengan ragu mengangguk,”Sekalian mau latihan panahan disana?”

“TETAP TIDAK BOLEH?! JANGAN KAU LATIH KEKUATANMU ITU KALAU KAU INGIN TINGGAL DI RUMAH INI!” Sergah Paman Narso. Nusra langsung terdiam. Ia merutuki keputusannya untuk bertanya, lantas segera dihabiskan sisa sarapannya dan setelah itu beranjak seraya mengendong dua tas miliknya kemudian bergegas keluar tanpa salim namun hanya mengucap salam kepada mereka berdua.

“Nusra tunggu…” Bibi Vintari langsung berdiri dan hendak mengejar, tetapi Paman Narso malah menahan pergelangan tangan istrinya itu.

“Biarkan saja dia!” Ucap Paman Narso datar.

Kesal melihat sikap suaminya kepada keponakan satu-satunya Bibi Vintari menepis tangan pria itu dan lebih memilih untuk mengejar Nusra meninggalkan Paman Narso sendirian di ruang makan. Nusra yang baru saja keluar melewati halaman rumah dan berjalan menelusuri jalan komplek terhenti ketika mendengar suara Bibi Vintari yang memanggil namanya kemudian menoleh ke belakang dan kaget melihat wanita setengah baya itu berlari kecil ke arahnya setelah itu langsung memeluk keponakannya dengan lemah lembut

“Nak, jangan ambil hati apa yang pamanmu katakan!” Ucap Bibi Vintari,”Dia menjadi begitu karena sedih Bibi tidak bisa memberinya seorang anak! Maka dari itu tolong maafkan Pamanmu!” Tambahnya seraya melepas pelukannya.

Dengan sedih Nusra hanya menganggukkan kepalanya tanpa bicara dan setelah itu meraih tangan Bibi Vintari lalu salim,”Assalammualaikum!” Salam Nusra seraya berbalik dan pergi menuju ke sekolah.

“Waalaikumsalam!” Balas Bibi Vintari.

****

Suasana di lapangan Panahan tampak ramai dengan para siswa yang sedang latihan panahan. Hari ini masa seleksi yang di awasi langsung oleh Pak Irwan guna menilai kemampuan siswa didiknya yang nantinya akan ikut sertakan dalam lomba Panahan antarsekolah tingkat Provinsi, bahkan pria itu sampai-sampai menghampiri beberapa siswa untuk memberi arahan. Akan tetapi Pak Irwan tampak kagum dengan latihan yang Nusra lakukan; mengambil, menarik kemudian menebakkan anak panah ke arah papan target dengan hasil yang sangat memuaskan.

“Bagus, pertahankan Nusra!” Puji Pak Irwan sambil menepuk bahu gadis itu. Nusra hanya mengangguk lalu segera papan target untuk mengambil kembali anak panah miliknya, melihat Nusra di puji membuat salah satu dari siswa tersebut ada yang menyimpan iri. Dua jam kemudian Pak Irwan segera memberi intuksi kepada siswa didiknya untuk berkemas pulang sebab sudah terlalu sore, akan tetapi saat Nusra bersama yang lainnya keluar dari lapangan menuju lorong yang terhubung dengan sekolah melihat Zavian yang berdiri bersandar di pintu lorong kemudian melambaikan tangan ke arah gerombolan siswi Panahan—lebih tepatnya kearah Nusra. Sayangnya banyak para gadis yang menjerit kesenangan seolah lambaian tangan dari seorang pemuda tampan dan kemudian membalas lambaian tersebut.

“Hai Zavian, sendirian aja! Nungguin aku ya?” Tanya Rara geer dan langsung menghampiri pemuda itu.

“Dih curang nyapa duluan!” Sembur Riska, ikut menghampiri. Begitu juga dengan yang lainnya yang suka dengan Zavian. Di sisi lain Nusra sedikit kesulitan melewati jalan tersebut karena terhalang oleh teman-temannya yang mengerubungi Zavian, ketika hendak menerobos salah satu dari mereka meraung marah dan tidak memperbolehkan Nusra lewat. Tanpa pikir panjang gadis itu lantas berbalik lalu pergi ke gerbang lapangan, Zavian yang melihat Nusra pergi berniat mengejar gadis itu tetapi malah di halangi oleh Rara yang minta nomor ponselnya dan di susul oleh yang lain membuat Zavian kewalahan dan hanya menatap punggung Nusra yang sudah semakin jauh.

“Sial…” Batin Zavian kesal.

“Ah enak ya di kagumi dan di sukai oleh semua orang!” Batin Nusra sedih ketika berhasil melewati gerbang lapangan setelah melihat sosok pemuda paling populer di sekolah; Zavian. Tetapi tidak selang lama ia kembali teringat kemarin membuat perasaannya kembali khawatir juga was-was, namun ia juga teringat pesan Paman Narso kepadanya soal kekuatan angin miliknya, gadis itu membuang napas sesaat kemudian mempercepat langkahnya agar tiba di rumah.

“NUSRA TUNGGU…”

Jantung Nusra terasa berhenti berdetak mendengar suara Bass yang barusan di dengarnya, membuat gadis itu reflek menoleh ke belakang dan kaget melihat Zavian berlari kecil ke arahnya. Tadi pagi Bibi Vintari sekarang?...Zavian.

“Ada apa? Sampai-sampai kau lari begitu?” Tanya Nusra dingin kepada Zavian yang sudah berdiri di hadapannya dengan napas terengah-engah.

Sejenak pemuda itu mengatur napasnya lalu berkata,”Tolong hembuskan angin ke arahku? Kau cepat sekali jalannya!” Pinta Zavian.

Mata Nusra seketika melotot setelah mendengar permintaan pemuda itu. Hembusan angin katanya? Kekhawatirannya akhirnya terjadi.

“Apa yang kau katakan? Aku tidak punya yang begituan. Sudah sana pulang!” Usir Nusra dingin dan berlalu pergi. Akan tetapi Zavian mencekal pergelangan tangan Nusra membuat gadis itu berpaling lalu menarik tangannya dari cengkeraman tangan Zavian yang besar dari tangannya.

“Yakin? Terus yang kemarin itu apa?” Tanya Zavian penasaran.

Nusra tidak menjawab. Ia langsung menarik tangannya—yang kali ini berhasil dari cengkeraman tangan Zavian,”Lupakan saja dan jangan ganggu aku!” Sungut Nusra yang setelah itu bergegas pergi menjauh dari pemuda itu. Menatap punggung Nusra yang berjalan semakin menjauh membuat Zavian berniat mengikutinya sampai rumah namun melihat langit mulai gelap akhirnya pemuda itu memutuskan untuk pulang dan melanjutkan urusannya dengan Nusra esok hari.

Setibanya di rumah, setelah melepas sepatu Nusra mengucap salam dengan lesu yang langsung di sambut oleh Bibi Vintari serta ajakan untuk makan yang sudah dia masak. Tetapi gadis itu dengan halus menolaknya kemudian segera menaiki anak tangga menuju kamarnya, di sana gadis itu langsung meletakkan dua tas miliknya yang sejak tadi bertengger di bahu di samping bawah meja belajarnya sementara dirinya langsung duduk di lantai sembari menyenderkan punggungnya di samping tempat tidurnya. Tampak jelas raut wajahnya yang lelah juga khawatir—sangat khawatir malahan, merasa panah tanpa pikir panjang gadis itu mengeluarkan kekuatan anginnya lalu menghembuskannya ke sekeliling kamar. Nusra memejamkan kedua matanya ketika merasakan hawa sejuk membuat rasa lelah serta keringat di sekujur tubuhnya terasa seperti lenyap, merasa sudah segar gadis itu segera mengambil pakaiannya lalu membawanya masuk ke dalam kamar mandi yang kebetulan berada dalam kamarnya. Beberapa menit kemudian Nusra keluar dari dalam kamar mandi dalam keadaan bersih lalu membawa seragam serta baju dalaman yang kotor ke lantai bawah agar segera di cuci oleh Bibi Vintari, akan tetapi gadis itu malah tidak sengaja berpapasan dengan Paman Narso yang kebetulan berada di dapur sedang mengambil botol air mineral dalam kulkas. Dengan perasaan takut Nusra cepat-cepat melewati area dapur menuju keranjang baju kotor di belakang dekat kamar mandir utama serta ada mesin cuci disana. Sejujurnya Nusra ingin sekali berbincang kepada pria itu walau hanya basa-basi semata, akan tetapi pria itu tampak tidak suka terlebih ia memiliki kekuatan angin yang bagi semua orang tidak lebih hanyalah tukang khayal. Setelah memasukkan pakaian kotornya ke dalam keranjang Nusra bergegas kembali ke kamarnya untuk istirahat dan…menghindar dari perasaan tidak nyaman dari Paman Narso.

****

Hari kamis ini, sepulang sekolah Nusra yang baru saja menebakkan anak panah terakhir ke papan target segera berpaling ketika mendengar suara peluit dari Pak Irwan yang menandakan semua siswa untuk meninggalkan latihan dan berkumpul. Seperti biasa Nusra berdiri paling belakang, padahal ia memiliki postur tubuh yang sedikit pendek—Cuma 149 cm sedangkan gadis sebayanya di sini memiliki tubuh yang tinggi, walau masih di katakan pendek oleh siswa laki-laki, dengan serius Nusra mendengarkan suara Pak Irwan yang sedang memberikan ceramah soal latihan sore ini dan langsung di tutup dengan doa yang kemudian bubar, lega bisa pulang lebih cepat gadis itu segera mendekati papan target untuk mengambil anak panah yang sempat belum ia ambil karena keburu berbaris. Namun ketika berbalik usai mengambil anak panahnya Nusra kaget melihat Zavian berada di bawah pohon dimana dua tas miliknya berada yang kembali di kelilingi oleh teman-teman Nusra, dengan santai pemuda itu melambaikan tangannya ke arah Nusra ketika melihat gadis itu berjalan ke arahnya.

“Sebenarnya dia mau apa sih?” Batin Nusra bertanya-tanya. Melihat kerumunan itu alhasil Nusra tidak bisa mengambil barang miliknya yang berada persis Zavian berdiri, malas namun terpaksa Nusra menerobos kerumunan itu seraya mengucap ‘Permisi’ kepada teman-temannya dan mengabaikan sapaan Zavian. Tanpa berkemas gadis itu langsung membawa dua tas miliknya keluar dari kerumunan tersebut dan mencari tempat yang menurutnya aman buat memasukkan busur serta anak panahnya juga Quiver ke dalam tas, tanpa Nusra sadari Zavian langsung berjalan mendekatinya kemudian menepuk bahu gadis itu.

“Hai Nusra!” Sapa Zavian ramah.

Otomatis Nusra menoleh dengan raut wajah terkejut lalu berpaling ke arah teman-temannya yang menatap dengan raut wajah tidak suka serta merasa iri membuat gadis itu merasa tidak enak juga risih dengan tatapan itu. Setelah semua sudah di masukkan ke dalam tas Nusra lantas menggendong dua tasnya kemudian menatap wajah Zavian dengan marah juga dingin dan setelah itu ia berkata.

“Bukankah kemarin aku sudah bilang jangan ganggu aku! Kau tuli ya, pulang sana!” Sembur Nusra yang setelah itu pergi begitu saja meninggalkan lapangan. Zavian terkejut untuk pertama kalinya melihat Nusra marah seperti itu sedangkan teman-teman Nusra yang melihat kejadian barusan saling bisik-bisik mengkritik sikap Nusra kepada Zavian, tetapi Zavian jutsru merasa tertantang dan penasaran semenjak melihat Nusra mengeluarkan angin di tangannya ketika mengembalikan boleh basket ke arahnya—walau Cuma reflek. Bibirnya menyungging senyum menghias wajah tampannya setelah itu segera pergi meninggalkan tempat itu; mengabaikan panggilan dari teman-teman Nusra menuju kelas Nusra. Di sisi lain Nusra yang baru saja tiba di rumah langsung melepas sepatu dan meletakkannya di rak sepatu setelah itu masuk ke dalam dan segera di sambut hangat oleh Bibi Vintari yang langsung Nusra salim kepada wanita yang sudah merawatnya selama ini, sejenak Nusra menatap wajah Bibi Vintari yang mulai keriput di banyak tempat namun tidak menyurutkan sifat keibuan serta keramahan di wajah itu sementara Bibi Vintari yang di tatap oleh keponakannya tersenyum kemudian bertanya.

“Ada apa, Nusra? Wajahmu kok kayak lagi mikir?” Tanya Bibi Vintari seraya mengelus pucuk kepala Nusra. Gadis itu diam seraya menundukkan wajahnya,”Bukan apa-apa?” Jawabnya yang setelah itu pergi menuju kamarnya meninggalkan Bibi Vintari sendirian di ruang keluarga.

****

Malam sudah tiba dan semua orang sudah tidur, kecuali Nusra. Ia sama sekali tidak bisa tidur, lelah setelah melakukan banyak cara agar bisa tidur akhirnya gadis itu lantas bangun lalu melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 12 malam setelah itu ia turun dari kemudian keluar menuju dapur. Mungkin makan camilan bisa, pikir Nusra ketika menuruni anak tangga dengan langkah pelan agar tidak membangunkan Paman dan Bibinya. Akan tetapi langkahnya terhenti ketika indra pendengarannya mendengar suara seseorang di dalam dapur meski seperti berbisik-bisik, sedikit takut namun penasaran gadis itu menuruni anak tangga dengan pelan-pelan dan berjalan berjinjit lalu sembunyi di balik tembok.

“Apa kau yakin orang yang kau katakan ada di rumah ini?”

“Sangat yakin, aku bisa merasakan kekuatan angin itu di sini?”

Kening Nusra berkerut tidak mengerti apa yang orang asing itu bicarakan serta bahasa asing yang mereka gunakan, dengan penasaran gadis itu mengintip dari balik tembok namun tidak tahu jika secara bersamaan pria yang menjawab tadi sudah berada di balik tembok satunya dan melihat balik tembok satunya membuat mata mereka berdua saling bertemu.

“WAA…”

“KYAA…”

Tanpa sadar Nusra berteriak serta reflek berjalan mundur kemudian melepaskan angin miliknya ke arah pria barusan dengan sekuat tenaga dan berhasil mengenai tubuh pria tersebut membuat orang itu langsung terpental ke belakang dan menabrak tembok dapur membuat suasana hening menjadi sangat ramai dan pria itu langsung pingsan. Teman pria itu terkejut bukan main setelah melihat tubuh temannya kehempas begitu saja, baru saja dia menoleh ke arah asal serangan Nusra kembali melancarkan serangan kedua dan berhasil mengenai tubuhnya dengan telak serta menyusul temannya.

“SIAPA KALIAN?” Tanya Nusra yang dengan berani mendekati dua pria sembari menodongkan Roling Pin ke arah mereka.

DRAP…DRAP…DRAP…

Suara langkah kaki langsung terdengar dari arah ruang keluarga, panik pria itu langsung memeggang tangan teman satunya yang sudah pingsan kemudian secepat kilat menghilang dari hadapan Nusra dan membuat gadis itu terkejut. Bersamaan dengan menghilangnya dua pria asing tersebut Paman Narso dan Bibi Vintari tiba di dapur melihat Nusra sendirian di ruangan itu.

“Ada apa, Nusra?” Tanya Bibi Vintari.

Nusra menoleh dengan raut wajah masih terkejut tanpa pikir panjang menjawab,” Ada orang asing masuk dapur?”

“Dimana?” kali ini Paman Narso yang bertanya kepada Nusra.

“Tadi mereka berdua ada di sini dan tidak sengaja aku mengeluarkan kekuatanku buat mengusir mereka setelah itu mereka langsung menghilang begitu saja tanpa jejak?” Jawab Nusra jujur.

Mendengar jawaban Nusra barusan raut wajah Paman Narso berubah menjadi merah padam, pria itu langsung mendekati keponakannya kemudian menamparnya. Nusra yang tidak siap menerima tamparan itu seketika syok di tambah rasa perih di pipi kanannya yang terkena tamparan dari Paman Narso. Begitu juga dengan Bibi Vintari yang langsung memeluk keponakannya kemudian memandang wajah suaminya dengan wajah tidak percaya.

“Sayang, apa-apaan kamu ini? Kenapa kamu menampar Nusra?” Tanya Bibi Vintari marah.

“KAU TULI HAH?! SUDAH PAMAN KATAKAN JANGAN GUNAKAN KEKUATAN ANGINMU!” Raung Paman Narso sambil menuding Nusra,”DAN KAU JANGAN BELA DIA!! KESAL AKU MELIHATNYA!” Sambungnya juga menuding Bibi Vintari yang masih memeluk Nusra, bahkan semakin erat pelukannya seolah memberitahu kalau dia tidak perlu takut.

“Sayang kecilkan suaramu, nanti tetangga bisa dengar!” Tegur Bibi Vintari,”Seharusnya kita bersyukur orang asing itu sudah pergi tanpa mengambil barang apapun di rumah ini!”

“Akh aku nggak peduli?! Pokoknya jangan sampai aku melihat atau mendengar kau memakai kekuatanmu di rumah ini, jika kau langgar maka terpaksa aku harus mengusirmu dari rumah ini!” Ancam Paman Narso dan kemudian berbalik pergi meninggalkan dua wanita di dapur.

Nusra dan Bibi Vintari terkejut serta tidak percaya mendengar ancaman yang meluncur langsung dari mulut Paman Narso dan hanya menatap bisu punggung pria itu hingga menghilang dari hadapannya, lantas Bibi Vintari melepas pelukannya lalu memeriksa tubuh keponakannya itu.

“Kau tidak apa-apa kan,Nusra? Mereka tidak melakukan hal yang buruk padamu kan?” Tanya Bibi Vintari masih sibuk memeriksa.

Tetapi Nusra tidak menjawab. Dengan raut murung ia menggeleng kepalanya lemah,”Aku…tidak ingin terlahir dengan kekuatan ini!” Gumam Nusra lirih.

Sstt…jangan bicara begitu, tidak baik Nak!” Tegur Bibi Vintari kembali memeluk keponakannya.

“Bibi…”

“Iya !”

“Besok boleh aku pergi ke rumah Kakek? Aku ingin sendirian!”

Bibi Vintari mengetahui suasana hati Nusra malam ini lantas mengizinkan keponakannya itu kemudian menyuruhnya untuk kembali ke kamar dan tidur sebab malam masih terlalu panjang. Ketika di dalam kamar Nusra langsung membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur setelah itu menangis dalam diam. Keesokan paginya Nusra sudah berada di meja makan, dengan membisu Nusra menghabiskan sarapannya yang begitu juga dengan Paman Narso yang memilih makan sambil membaca koran, selang beberapa saat Paman Narso sudah selesai menghabiskan sarapan dan kemudian pamit untuk berangkat ke kantor bagian adminsistrasi. Sepeninggal Paman Narso Nusra sudah selesai makan lalu segera pergi ke kamarnya, melihat dua orang itu Bibi Vintari merasa sedih namun tidak bisa berbuat banyak untuk membuat mereka bisa berdua akur—terutama suaminya itu. Lantas wanita itu segera menghabiskan sarapannya kemudian membereskan meja makan dari piring yang habis di gunakan lalu membawanya ke bak cuci piring setelah itu kembali ke kamar guna mengambil beberapa uang saku untuk Nusra yang akan berangkat ke Trawas siang ini dan Paman Narso tidak tahu. Menjelang siang Nusra sudah siap berangkat, hanya bawa tas kecil, koper juga tas busur yang biasa ia bawa ke sekolah. Tinggal menunggu taksi langganan datang

“Nusra apa kau yakin tidak mau Bibi antar sampai ke stasiun?” Tanya Bibi Vintari khawatir.

Nusra menghela napas panjang mendengar pertanyaan kelima dari Bibinya itu kepadanya, tetapi Nusra merasa lega dan senang sebab ada yang memihaknya. Ia kembali menggeleng kepalanya,”Tidak, Bi. Nusra bisa sendiri kok! Tolong bilang ke Paman Narso kalau aku sudah pergi ke Trawas, itu pun kalau dia bertanya soal keberadaanku?” Jawab Nusra terkekeh pelan. Bersamaan dengan itu mobil Taksi sudah datang dan segera menepi lalu berhenti di depan rumah, Nusra lantas beranjak seraya mengendong tas busur dan tas kecilnya juga menarik koper menuju ke Taksi. Bibi Vintari segera membantu keponakannya memasukan barang ke dalam mobil, setelah semua sudah masuk sebelum naik Nusra mencium punggung tangan Bibi Vintari yang kemudian masuk ke dalam mobil dan pergi dari sana.

****

Malam sudah mulai larut namun Nusra baru saja tiba di rumah Kakeknya yang sudah lama di tinggalkan, beruntungnya Bibi Vintari memberinya kunci rumah itu kepadanya sebelum pergi yang mengatakan kalau kunci itu adalah pemberian Alm Kakek Nusra agar cucu kesayangannya itu dapat liburan. Setelah meletakkan barang-barangnya di sudut kamar gadis itu langsung menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur tua dengan perasaan sangat lelah tapi juga lega, gadis itu lantas mengulurkan tangannya ke atas lalu bibirnya berseru.

“Keluarlah, bola angin!”

Frowwsss…

Semilir angin segera muncul kemudian tercipta bola angin yang berputar-putar di atas telapak tangannya lalu Nusra melemparkan bola itu ke langit kamar bebas plafon membuat dalam kamar tersebut berangin layaknya kipas angin, ia memejamkan kedua matanya sejenak sembari menikmati angin yang ia ciptakan sendiri.

“Alhammdulilah, akhirnya aku bisa latihan panahan dan latihan kekuatan anginku tanpa ada gangguan!” Gumam Nusra lega.

Sebelum tidur Nusra segera bangkit kemudian pergi ke ruang tamu guna mengunci pintu depan setelah itu memeriksa pintu dan jendela rumah demi keamanan dari pencuri agar kejadian di rumah tidak terulang kembali. Setelah merasa aman barulah gadis itu segera tidur di kamarnya. Tetapi di tempat lain dua pria berjubah hitam duduk di bawah pohon yang di selimuti cahaya hijau di tubuh mereka, ketika cahaya itu redup dan hilang salah satu dari mereka angkat suara.

“Bagaimana kondisi tubuhmu, Zaskio?” Tanya pria itu.

Pria yang di panggil Zaskio itu segera berdiri kemudian menjawab,”Aku tidak apa-apa? Aku sudah mengobati lukanya dengan kemampuan penyembuhku, tidak kusangka akan mendapat serangan dadakan dan berhasil membuat luka dalam di tubuhku?” Keluhnya.

“Kau benar, kita sudah menemukan pemilik kekuatan angin walau sayangnya hanya sebentar karena kita berhasil memacing perhatian orang lain di rumah itu. Seharusnya kau langsung menuju hawa kekuatan itu berada kalau begini jadinya!” Omel Kasro.

“Jangan mengomeliku, aku juga tidak tahu kalau gadis itu ada di balik tembok itu! Tapi sekarang aku masih bisa merasakan hawa kekuatannya walau samar-samar!” Ucap Zaskio.

“Itu tidak penting! Sekarang kita harus melaporkan ini pada tuan Haydu!” Ujar Kasro seraya menjentikkan jarinya, tidak selang lama sebuah portal berwarna ungu terang muncul di dekatnya setelah itu masuk ke dalam dan di susul oleh Zaskio. Setelah dua orang itu masuk portal tersebut segera mengecil kemudian lenyap begitu saja.

Keesokan paginya selesai salat subuh Nusra segera mengawali harinya di rumah Kakek dengan bersih-bersih dan terakhir sarapan, suasana tenang dan sejuk di tambah dengan lokasi rumah Kakeknya yang berada di dekat kaki gunung juga sedikit jauh dari rumah warga membuat suasana di rumah itu terasa sepi namun tenang bagi Nusra. Setelah sarapan dan cuci piring gadis itu segera menyelusuri rumah itu termasuk hutan yang berada di dekat rumah untuk mencari tempat latihan buat panahan juga latihan untuk meningkatkan kekuatan angin miliknya, beruntungnya ia menemukan lokasi yang seusai dengan keinginannya meski banyak rumput ilalang yang tingginya di bawah lututnya.

“Aku harus kembali dan mengambil peralatan kebun, kira-kira Kakek masih menyimpan alat itu nggak ya!” Seru Nusra senang seraya berbalik kembali ke rumah.

Matahari perlahan-lahan merangkak sampai di atas langit sambil menutup tubuhnya dengan helai dua awan namun hawa panas yang terpancar darinya, Nusra menarik napas dalam-dalam setelah memotong rumput sebagian dan tidak selang lama terdengar sayup-sayup suara azan dhuhur berkumandang dari masjid yang jaraknya cukup jauh dari tempatnya berada. Merasa lelah gadis itu segera merapikan peralatan kebun milik kakeknya lalu pulang ke rumah untuk istirahat dan salat dhuhur, akan tetapi langkahnya langsung terhenti ketika melihat seorang pemuda yang duduk santai di teras rumah Kakeknya. Zavian.

“Apa yang kau lakukan di sini, Zavian?” Tanya Nusra kesal. Ketika menghampiri pemuda itu.

Dengan santai Zavian bangkit dari duduknya kemudian berkata,”Kok kamu kesal gitu kalau bertemu denganku? Kamu membenciku ya?” Kata Zavian balik bertanya.

“Jawab saja pertanyaanku tadi, Zavian!” Sembur Nusra berusaha menahan diri untuk tidak mengusir pemuda itu.

“Cuma ingin menemuimu doang kok?” Jawab Zavian.

“Kamu sudah bertemu denganku, sekarang pulang lah. Aku ingin sendiri!” Usir Nusra seraya pergi ke samping rumah untuk mengembalikan peralatan kebun.

“Huhu…kau jahat sekali padaku, padahal aku jauh-jauh datang kemari buat melihat kekuatan anginmu itu!” Ucap Zavian jujur.

Tubuh Nusra menegang bersamaan dengan langkahnya yang berhenti kemudian berputar ke belakang dengan raut wajah kaget. Zavian berjalan santai mendekati Nusra lalu mencodongkan tubuhnya ke depan membuat jarak wajah tampannya dengan wajah Nusra yang manis sedikit lebih dekat dan sukses membuat Nusra reflek melangkah mundur.

“Aku sebenarnya tahu kalau kau sengaja menyembuyikan kekuatan anehmu itu kan, iya kan?” Desak Zavian yang kemudian menegakkan lagi tubuhnya,”Kau tenang saja, aku akan merahasiakan ini pada orang lain!” Tambahnya menyakinkan.

Sayangnya gadis itu tidak percaya apa yang Zavian katakan barusan, tanpa menjawab kembali berbalik dan pergi menuju gudang yang berada di samping rumah dan Zavian justru mengikuti gadis itu, setelah meletakkan peralatan sesuai di tempatnya di gudang itu Nusra langsung mengunci pintu itu dan segera masuk ke dalam; mengabaikan keberadaan Zavian yang sejak tadi mengikutinya. Sayangnya Nusra tidak bisa lama mengabaikan pemuda itu walau tadi sekilas pemuda itu langsung duduk di sofa kayu ruang tamu dan tidak mengikutinya sampai masuk lebih dalam, gadis itu kembali ke ruang tamu untuk menyuruh pemuda itu pulang. Tetapi di sana Nusra malah melihat pemuda itu tertidur pulas di sofa dalam posisi duduk sambil melipat tangan di dada, melihat pemandangan itu Nusra menghela napas sesaat sebelum akhirnya dia kembali masuk dan segera melaksanakan salat dhuhur. Selesai salat gadis itu pergi ke dapur dan segera memasak untuk makan siang, sesaat ia menghela napas panjang dan dengan telaten memasak makanan sederhana yang menurutnya mudah. Setelah masakannya jadi dan memindahkannya ke meja makan Nusra segera menuju ruang tamu untuk membangunkan dan mengajak Zavian makan bersama, sejujurnya ia tidak berani makan berdua dengan laki-laki selain Pamannya namun kali ini ia mencoba untuk mengajak Zavian makan bersama.

“Zavian… bangun!” Seru Nusra seraya menepuk bahu Zavian sedikit kasar. Takut pemuda itu tidak bisa bangun.

Tubuh Zavian tersentak kaget bersamaan dengan terbukanya mata itu membuat Nusra ikut tersentak melihatnya yang kemudian berkata,”Ayo makan, kamu lapar kan!” Ajak Nusra.

Zavian menguap sebentar lalu menyungging senyum manis,”Ululu…manisnya dirimu sampai-sampai ajak aku makan bersamamu!” Godanya. Mendengar kalimat itu Nusra tanpa pikir panjang langsung meninju dada bidang milik Zavian membuat pemuda itu langsung meringis kesakitan.

“Jangan bercanda, setelah makan kau harus pulang!” Timpal Nusra seraya berbalik dan pergi ke ruang makan sekaligus dapur. Sambil meringis Zavian segera bangkit lalu menyusul mengikuti Nusra masuk ke dalam.

****

“Ah lelahnya!” Kata Nusra yang baru saja merebahkan tubuh di atas tempat tidur setelah usai menunaikan salat magrib dan makan. Ia menarik napas dalam-dalam yang sebagian hari ini meladeni rengekan Zavian untuk menginap di rumahnya dengan alasan khawatir gadis itu kena masalah karena tinggal sendirian, tetapi Nusra tetap ngotot dan terus menyuruh pemuda itu untuk pulang. Untungnya Zavian mau mendengarkan walau pulang sambil gerutu, merasa suasana di terlalu hening Nusra bangkit lalu meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas dan juga Headset yang sengaja ia letakkan di samping ponselnya agar tidak repot mengambilnya. Setelah memasang colokan ke ponselnya ia langsung mengusap layar kemudian menekan aplikasi radio, suara penyiar radio segera terdengar dari benda itu yang kemudian berganti dengan lagu. Bukannya lega karena sudah tidak merasa keheningan Nusra mulai merasakan sesuatu yang ganjil dan tidak pernah ia rasakan sebelumnya, akan tetapi gadis itu menapik perasaan itu lalu di bawanya ponsel itu ke dapur untuk membuat camilan di temani suara penyiar radio yang berbincang hangat disana. Tidak terasa malam sudah merangkak naik, usai salat Isya Nusra memutuskan untuk menutup semua pintu dan jendela; kecuali jendela kamarnya kemudian pergi tidur untuk melanjutkan pekerjaannya besok pagi. Ketika Nusra sudah terlelap dalam tidurnya tanpa gadis itu sadari dari luar jendela, lebih tepatnya di atas dahan pohon Zaskio dan Kasro berdiri disana dengan pandangan tertuju pada jendela kamar yang terbuka lebar dan tampak jelas Nusra yang sedang terlelap.

“Apa ini sudah saatnya?”Tanya Zaskio kepada Kasro.

“Masih belum? Lebih baik kita terus amati guna memastikan kalau gadis itu yang kita cari. Dan akan lebih baik kalau kita menguji kekuatan yang di miliki gadis itu?” Jawab Kasro.

“Menguji? Kau yakin? Kita harus membawa gadis itu ke dunia kita untuk menjadi sekutu sebelum ‘bencana’ itu terjadi?” Tanya Zaskio tidak yakin.

“Sudah tidak ada pilihan lain, sebaiknya kita harus pergi sebe—“

BOOM…CRINGK..

Mereka berdua reflek lompat ke dahan di belakang saat merasakan hawa dingin yang menusuk ke arah mereka dan terkejut melihat bongkahan es yang muncul di tempat mereka berpijak tadi, sontak mereka berdua langsung melihat ke sekitar guna mencari pemilik kekuatan itu.

“Aduh…sayang sekali tembakanku meleset!” Seru seorang pemuda tiba-tiba yang muncul dengan santai jalan sambil menenteng sebuah meriam berlapis es di tangan kananya, pandangannya yang dingin tertuju tajam pada Zaskio dan Kasro, dan dengan cepat pemuda itu melompat tinggi ke atas dahan pohon dimana tempat dua orang itu tadi.

“Sepertinya kalian bukan warga sekitar sini. Siapa kalian?” Tanyanya.

Zaskio dan Kasro tidak menjawab, mereka berdua merogohkan sesuatu di saku celananya lalu mengeluarkan benda bulat berwarna perak kemudian memakannya. Selang beberapa saat Zaskio lantas membuka suara.

“Kami datang secara damai!” Seru Zaskio menggunakan bahasa yang di gunakan pemuda itu; Bahasa Indonesia. “Perkenalkan dirimu!”

Pemuda itu mengulum senyum samar,”Namaku Zavian, kalian barusan makan permen bahasa kan?” Tanya Zavian. Pertanyaan Zavian barusan sukses membuat Zaskio dan Kasro kaget.

“Bagaimana kau bisa tahu apa yang kami makan barusan!” Tanya Kasro penasaran, pandangannya menatap Zavian dengan serius seolah mencari jawaban dari pemuda itu.

“Itu jawaban tidak penting dan sebaiknya kalian cepat pergi dari sini sebelum aku membuat kalian membeku!” Ancam Zavian seraya mengangkat meriam es di tangannya dan mengarahkan senjatanya kepada mereka berdua.

Dalam hati Zaskio mengeram mendengar ancaman dari Zavian sementara Kasro mengalikan pandangannya ke arah jendela kamar di mana tubuh Nusra masih lelap dalam tidurnya seolah tidak mengetahui ada keributan di luar.

“Oke baik, kami akan pergi!” Ucap Kasro tiba-tiba. Zaskio terkejut mendengarnya.”Tetapi sebelum itu kita bisa bicara sebentar di tempat lain, kau tidak mau kan gadis di kamar itu tahu dan melihatmu seperti ini. Bagaimana?” Tanyanya.

Kali ini Zavian tidak menjawab, pemuda itu sejenak berpaling ke arah jendela kamar dimana Nusra berada kemudian kembali menatap dua orang itu dengan pandangan sama, tanpa pikir panjang Zavian mengangguk yang kemudian menghilang dari sana di ikuti oleh Zaskio dan Kasro. Bersamaan dengan menghilangnya tiga orang pria di dalam kamar Nusra bangun dari tidurnya ketika merasakan hawa dingin yang menusuk, masih mengantuk gadis itu turun dari atas tempat tidur lalu menghampiri jendela itu berniat untuk menutupnya, akan tetapi tangannya tertahan ketika ia mendengar suara gemuruh serta suara benda yang saling bertabrakan dari kejauhan. Merasa penasaran di tambah insting waspadanya muncul Nusra langsung berbalik lalu menyambar jaket tipis yang tergantung di samping pintu juga mengambil ponsel untuk berjaga-jaga jika di butuhkan, setelah semua siap Nusra langsung ke luar rumah. Langkahnya semakin cepat tanpa tujuan dan hanya mengikuti hawa yang Nusra rasakan sejak tadi, suara itu semakin jelas dan secara bersamaan siluet tubuh terbang ke arahnya membuat Nusra reflek menghindar dan tidak sengaja kakinya tersandung ranting pohon yang berhasil membuatnya terjatuh ke tanah.

BRUAK…

“Kyaa…” Jerit Nusra. Namun tidak selang lama matanya terbelalak kaget ketika melihat sosok yang hampir menabraknya tadi.

“Za…Zavian!” Cicit Nusra ketika mengenali sosok itu, sementara itu Zavian berusaha untuk bangkit sambil menahan sakit di tubuhnya dan terkejut melihat Nusra yang duduk tidak jauh dari tempatnya berada. Tanpa pikir panjang gadis itu bangkit lalu berlari mendekati pemuda itu lalu membantunya untuk bangkit.

“A…Apa yang kau lakukan di sini, cepat lari!” Titah Zavian yang setelah itu terbatuk-batuk.

“Justru aku yang tanya, kau sedang apa dan kamu kenapa sampai seperti ini!” Nusra balik bertanya. Baru saja gadis itu menyelesaikan kalimatnya detik kemudian Zaskio dan Kasro muncul di hadapan mereka dan terkejut melihat kehadiran Nusra di sana di samping Zavian. Melihat dua orang itu muncul Zavian langsung memeluk tubuh Nusra dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya yang bebas segera mengumpulkan kekuatan esnya membentuk meriam kemudian menebakkan ke arah dua orang itu membuat Zaskio dan Kasro segera menghindar dari serangan itu dan mulai melancarkan serangan balasan, tidak mau Nusra terluka dengan cepat pemuda itu melenyapkan meriam miliknya lalu meletakkan tangan kananya di tanah.

“KUBAH ES!” Seru Zavian, tidak selang lama dari dalam tanah muncul lingkaran kemudian langsung menutup berbentuk kubah guna melindungi dirinya dan Nusra. Bersamaan dengan itu Zavian langsung mengendong tubuh Nusra ala Bridal Style lalu secepat kilat bertelepotasi ke tempat lain yang aman sementara kubah itu langsung hancur akibat serangan dari Zaskio dan Kasro dan menciptakan embun tebal di sekitar tempat itu. Tidak mau menunggu lama dua pria tersebut langsung berlari menghampiri seraya menyibak embun tersebut, sayangnya mereka tidak menemukan Zavian dan Nusra di sana, hanya ada bongkahan es kubah yang hancur berserakan di tanah.

“Sial mereka kabur!” Umpat Zaskio.

“Kita harus menangkap dan membawa gadis itu segera!” Ucap Kasro dingin, merasa tidak terima melihat sasarannya lolos. Baru saja Kasro menyelesaikan kalimat itu tiba-tiba jam tangannya berkedip-kedip, ada pesan masuk. Pria itu berdecih sesaat sebelum akhirnya dia menekan layar jam itu yang kemudian muncul sebuah hologram menampilkan sebuah pesan singkat kepada Kasro, iris sirver milik Kasro bergerak membaca tulisan itu kemudian membuang napas gusar. Setelah hologram itu lenyap Kasro berseru.

“Sial, kita harus kembali ke markas. Ada panggilan darurat untuk kita!” Geram Kasro yang setelah itu segera menjetikkan jarinya lalu muncul sebuah portal dan kemudian langsung masuk ke dalam sana yang di susul oleh Zaskio.

****

Sementara itu Zavian mendaratkan kakinya di halaman belakang rumah Kakek Nusra sedangkan kedua tangannya masih dalam posisi mengendong Nusra yang setelah itu menurunkan gadis itu. Nusra yang terkejut melihat apa yang pemuda itu lakukan barusan seketika dadanya terasa berdebar-debar juga kedua pipinya yang bersemu merah.

“Siapa mereka dan apa mereka mengejar kita?” Tanya Nusra akhirnya buka suara.

“Tidak, kita aman sekarang…Ugh!” Tiba-tiba Zavian terduduk di tanah ketika kembali merasakan sakit di tubuhnya yang sengaja di abaikan karena memikirkan keselamatan Nusra sedangkan Nusra yang melihatnya reflek memeluk tubuh kekar Zavian lalu memapahnya ke kursi teras belakang.

“Kau tidak apa-apa Zavian? Kuambilkan obat ya!” Cicit Nusra khawatir setelah berhasil mendudukkan pemuda itu dan kemudian hendak masuk ke dalam, namun pemuda itu dengan cepat meraih pergelangan tangan gadis itu. “Tidak perlu, Nusra! Aku bisa mengobati lukaku sendiri!” Ucap Zavian.

“Tapi—“

“Tidak apa-apa, aku baik-baik saja! Percayalah!” Hibur Zavian.

Awalnya Nusra tidak percaya, namun melihat tatapan Zavian yang seolah menyakinkan dirinya akhirnya gadis itu pasrah,”Tapi sebaiknya aku bawakan minum agar kamu merasa lebih baik!” Ujar Nusra seraya menarik pergelangan dari tangan Zavian yang setelah itu melenggang masuk untuk mengambil minuman. Tidak sampai 10 menit Nusra kembali membawa segelas air putih lalu menyodorkan kepada pemuda itu.

“Terima kasih!” Ucap Zavian yang setelah itu cepat-cepat meminumnya hingga tandas setelah itu memejamkan kedua matanya sembari menegakkan posisi duduk. Nusra yang melihatnya sedikit bingung kemudian berubah menjadi terkejut melihat sebuah cahaya biru menyelimuti tubuh Zavian, Nusra bisa merasakan hawa hangat dan nyaman dari cahaya. Setelah menunggu beberapa saat cahaya itu segera redup bersamaan dengan helaan napas panjang yang keluar dari mulut Zavian. Tidak bisa menutupi rasa kejut namun penasaran Nusra lantas bertanya.

“Tadi itu apa Zavian? Terus sejak kapan kau punya kemampuan itu?” Tanya Nusra bertubi-tubi.

Mendengar rentetan pertanyaan dari Nusra kepadanya membuat Zavian tertawa kecil, entah kenapa di depan matanya Nusra tampak lucu. Lantas pemuda itu menjawab,”Sudah lama, selain itu tadi adalah teknik penyembuhan dan sekarang aku sudah baik-baik saja?”

“Lalu yang jadi pertanyaan adalah siapa dua orang itu dan kenapa mereka menyerangmu?” Tanya Nusra.

Raut wajah Zavian seketika berubah menjadi serius, dia bangkit dari duduknya lalu mengedarkan pandangan ke penjuru seolah mencari keberadaan dua orang yang di maksud. Merasa di sekitar mereka aman barulah pemuda itu menjawab,”Aku tidak tahu, tapi tampaknya mereka mau membawamu ke suatu tempat?” Jawab Zavian serius.

Nusra terkejut mendengarnya,”Membawaku? Kemana?” Tanyanya.

Zavian mengendikkan bahunnya,”Entahlah, tetapi yang pasti mereka mau kekuatan yang kau miliki! Biar aku tebak kekuatanmu adalah angin bukan!”

Nusra tidak menjawab. Ia masih ragu untuk menjawab atau menunjukkan kemampuannya pada orang lain, tetapi setelah melihat kemampuan yang Zavian miliki serta tidak pernah ia lihat saat di sekolah membuat gadis itu merasa yakin setelah itu menjawab.

“Benar, kekuatanku adalah angin! Tapi meskipun begitu aku berharap kalau kekuatan ini tidak pernah ada untukku miliki?” Jawab Nusra sendu. Tubuh Nusra tersentak ketika pucuk kepalanya di pegang lalu di elus oleh Zavian.

“Jangan berkata seperti itu, kekuatan yang ada dalam dirimu adalah anugerah!” Timpal Zavian.

Nusra tertegun mendengarnya dan mencoba memahami perkataan Zavian barusan, sadar kalau malam sudah sangat larut gadis itu lantas mengajak Zavian untuk masuk ke rumah dan menyuruhnya tidur di kamar milik Kakeknya.”Subuh nanti kamu harus pulang biar nggak di curigai oleh warga sini!” Ujar Nusra tegas. Pasalnya ia teringat pesan Bibi Vintari untuk tidak berduaan dengan laki-laki di tempat sepi dan rumah Kakek hanya ada dirinya juga Zavian.

“Pfft…iya, iya!” Balas Zavian menahan tawa ketika tahu maksud dari perkataan Nusra barusan seolah tahu apa yang di pikirkan gadis itu kepadanya.

Ketika tiba di kamarnya Nusra langsung mengunci pintu kamarnya dari dalam juga mengunci jendela agar tidak terjadi sesuatu, setelah semua sudah aman barulah Nusra segera pergi tidur. Empat jam kemudian sayup-sayup azan subuh berkumandang namun Nusra masih tidur hingga suara ketukan pintu berhasil membuat gadis itu terbangun.

“Nusra bangun, salat yuk!” Ajak Zavian dari luar pintu kamar. Selang beberapa saat pintu itu langsung di buka memperlihatkan Nusra yang masih mengantuk dan melihat Zavian sudah berdiri di depan.

“Kamu salat dulu saja, aku belakangan!” Seru Nusra seraya menguap.

“Aku baru saja selesai salat, cepat salat sebelum waktunya habis. Terus buatin aku sarapan!” Titah Zavian yang setelah itu pergi begitu saja.

Mata Nusra mengerjap sebentar, “dia barusan kasih perintah kepadaku”, pikir Nusra tidak percaya dan melihat punggung tegap Zavian yang semakin menjauh lalu menghilang dari kelokan lorong. Tanpa buang waktu gadis itu segera pergi ke kamar kecil untuk mengambil air wudhu lalu menunaikan salat subuh, selesai salat ia bergegas menuju dapur untuk memasak sarapan. Tetapi sayangnya gadis itu hanya menemukan dua bungkus mie instan kuah di dalam lemari makanan.

“Aku masakin mie saja ya, aku belum belanja soalnya!” Ucap Nusra sedikit tidak enak.

“Iya nggak apa-apa!” Sahut Zavian sambil menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.

Dengan nurut Nusra langsung memasaka dua mie instan—satu untuk Zavian dan satunya lagi untuk dirinya, tidak perlu waktu lama dua mie tersebut sudah siap dan Nusra segera memberikan mangkuk tersebut kepada Zavian yang di terima oleh pemuda itu setelah itu segera memakannya. Nusra segera menyusul menikmati sarapan pagi buta, selesai sarapan sesuai yang Nusra suruh Zavian pamit pulang dan meninggalkan Nusra sendirian di rumah itu. Sepeninggal Zavian gadis itu segera pergi ke samping rumah untuk mengambil peralatan kebun lalu pergi ke tempat kemarin guna melanjutkan pekerjaan membuat lapangan panahan, untungnya sebelum matahari semakin naik Nusra sudah selesai membersihkan rumput juga memasang papan target dengan jarak 30 meter. Puas dengan hasilnya Nusra segera merapikan peralatan kebun dan kembali ke rumah untuk mengambil tas busur juga bekal, namun langkahnya terhenti ketika merasa ada seseorang yang memerhatikannya sejak tadi. Di toleh dan perhatikan di sekitarnya tetapi ia tidak menemukan siapapun di sana,”Mungkin hanya perasaanku saja!” Pikir Nusra sebelum akhirnya berpaling dan bergegas pulang. Selang beberapa saat bayangan hitam mengikuti Nusra dari belakang.

Setibanya di rumah dengan semangat Nusra mengembalikan peralatan tersebut ke dalam gudang lalu masuk ke dalam menuju kamarnya untuk mengambil tas busur miliknya, perasaan senang serta tidak sabar membuat Nusra sangat bersemangat.

TOK…TOK…TOK…

Nusra reflek berpaling ketika mendengar suara ketukan dari arah ruang tamu, tanpa pikir panjang Nusra meletakkan tas busurnya di samping pintu kamarnya kemudian pergi menuju ruang tamu dengan penasaran di saat perasaannya senangnya sedang mengebu-ngebu untuk latihan panahan. Ketika tiba di ruang tamu Nusra langsung membuka pintu itu ia mendadak malas saat mengetahui yang datang ke rumahnya adalah Zavian.

“Ku pikir kamu sudah pulang ke Jakarta, kok kamu masih di sini?” Tanya Nusra ketus.

“Kau benar-benar membenciku ya, padahal semalam aku sudah menyelamatkanmu dari dua orang yang mau menculikmu! Nggak boleh ya aku mampir ke rumah teman!” Sahut Zavian sedih juga kecewa.

“Teman!” Beo Nusra tidak mengerti,”Sejak kapan?”

“Sejak di lapangan basket waktu itu!” Balas Zavian singkat dan jelas.

Sesaat Nusra terpaku mendengar jawaban Zavian, entah kenapa hatinya yang sudah lama kesepian sebab tidak memiliki teman mulai merasa hangat. Akan tetapi gadis itu tidak boleh terlalu senang dulu, pasti ada alasan mengapa pemuda itu menganggapnya teman. Gadis itu lantas membuang napas panjang lalu berkata.

“Kau datang ke sini hanya mau mengatakan itu? Kalau begitu hari ini sudah cukup bertamunya, aku mau latihan panahan buat lomba nanti. Kamu nggak keberatankan?” Tanya Nusra.

“Mau aku temani nggak!” Tawar Zavian.

Nusra langsung menggeleng kepalanya,”Tidak terima kasih, aku ingin fokus ke latihanku tanpa ada yang memerhatikanku!” Tolak Nusra,” Sudah ya, aku mau latihan dulu!” Tanpa menunggu reaksi Zavian gadis itu langsung menutup pintu itu lalu kembali ke kamar untuk mengambil tas busur, tetapi saat kembali membuka pintu ruang tamu Nusra kaget melihat Zavian masih berdiri di samping pagar rumah sambil bersandar di tembok seolah sedang menunggu di luar.

“Kok kamu masih di sini?” Tanya Nusra mulai kesal melihat pemuda itu masih berada di sana seolah mengabaikan perintahnya

“Menunggumu? Apa lagi, aku khawatir dua orang itu akan datang lagi menemuimu dan membawamu jauh dari sini!” Balas Zavian menegakkan tubuhnya.

Tidak mengerti jalan pikiran pemuda itu Nusra membuang napas kasar menutup pintu lalu menguncinya dan setelah itu pergi begitu saja mengabaikan kehadiran Zavian, ketika gadis itu melangkah lebih dulu ke depan Zavian mengikuti gadis itu dari belakang namun dengan jarak tiga langkah. Sekali lagi Nusra membuang napas panjang ketika merasakan kalau pemuda itu seperti seorang pengawal, tetapi pikiran itu berubah sesaat ketika sepatu kets yang di pakai Nusra tiba di lapangan panahan hasil buatannya sendiri.

“Aku duduk di sana ya!” Ucap Zavian.

“Terserah kau saja!” Timpal Nusra tanpa memandang Zavian dan memilih untuk menurunkan tas busur yang bertengger di punggungnya di tanah lalu segera mengeluarkan busur dan memesangkan String dari ujung busur ke ujung lainnya, setelah busur itu tampak sempuran dalam matanya gadis itu meraih Quiver dan memasangnya di pinggangnya juga mengambil lima anak panah dari dalam tabung berwarna hitam pekat lalu memasukkan anak panah tersebut ke dalam Quiver, sementara itu Zavian duduk di atas rumput pendek di bawah pohon hanya menonton kegiatan latihan yang Nusra lakukan. Sejenak pemuda itu mengedarkan pandangan ke sekitarnya lalu mengubah posisi duduknya menjadi bersipuh lalu menempelkan kedua tangannya ke permukaan tanah.

Barrier ice area!” Gumam Zavian. Sedetik kemudian hawa dingin menusuk membela hawa hangat yang berasal dari matahari dan dengan cepat melebar luas membuat Nusra yang sejak tadi fokus dalam latihannya tersentak kaget ketika merasakan sesuatu yang melewati tanah di pijaknya.

“Apa itu barusan?” Batin Nusra bertanya-tanya yang setelah kembali fokus ke latihannya dalam membidik anak panah ke papan target di depan sana.

Tidak terasa sekitar jam 12 siang dan sayup-sayup azan dhuhur berkumandang seolah memberi isyarat kepada Nusra untuk menghentikan latihannya, di hampirinya Zavian yang masih setia berada di sana sambil memejamkan kedua matanya seraya membawa tas busur dan tas berukuran sedang yang sejak tadi menempel di tas busur kemudian duduk di sebelahnya seraya menselonjorkan kakinya agar tidak kram.

“Kamu beneran nggak pulang?” Tanya Nusra setelah diam beberapa saat.

“Kamu benar-benar mengusirku ya!” Timpa Zavian tanpa ada niat untuk membuka matanya dan kemudian menghela napas pendek.

“Nggak…Cuma heran saja kenapa kau sampai segitunya menemaniku hingga detik ini!” Sahut Nusra. Gadis itu segera meraih tas kecil berisi roti dan makanan ringan juga botol air mineral, di ambilnya sebuah roti lalu menyodorkannya kepada Zavian—ia tidak mau makan sendirian sementara pemuda di sampingnya tidak makan. Zavian tersenyum tipis menerima roti itu lalu membuka bungkusan tersebut dan memakannya, begitu juga dengan Nusra yang memakan roti satunya dengan lahap guna mengisi tenaga yang ia gunakan untuk latihan tadi dan membuat suasana di antara mereka hening, hanya suara gesekan daun dan dahan akibat tiupan angin. Di dalam hatinya Nusra sedikit merutuki sebab waktu yang berjalan sangat cepat dan tidak terasa besok ia harus berangkat ke sekolah, padahal ia masih ingin di sini untuk menyendiri dan latihan dengan panahan juga kekuatan anginnya tanpa di lihat siapapun—kecuali Zavian.

“Sebenarnya aku sangat lega bisa bertemu denganmu!” Ucap Zavian.

“Apa?” Nusra terkejut mendengar tuturan Zavian barusan. Zavian menoleh ke arah Nusra, jarak duduk mereka yang dekat membuat Nusra dapat dengan jelas wajah tampan Zavian lengkap dengan pandangan dingin menusuk seperti es meski terkadang pemuda itu sempat bercanda kepadanya.

“Aku merasa tidak sendiri menjadi orang yang paling berbeda dari remaja lainnya, tidak enak rasanya harus memasang topeng demi menutupi sosokku yang sebenarnya!” Celoteh Zavian.

Nusra tidak berkomentar. Ia kembali di buat terkejut mendengar pemuda itu baru saja mencurahkan isi hatinya kepadanya, tetapi gadis itu segera memakluminya sebab posisi mereka yang bernasib sama. Lahir dan besar berbeda dari yang lain bahkan rela menjadi bukan diri sendiri agar bisa berbaur dan di terima dalam lingkungan, setelah menghabiskan makanan Nusra lantas berdiri dan mengajak pemuda itu untuk kembali ke rumah dan bersiap-siap kembali ke Jakarta. Entah kenapa Nusra merasa enggan untuk meninggalkan tempat itu juga rumah mendiang Kakeknya namun ia harus pulang, ada lomba yang harus ia hadapi guna mengalihkan perhatian orang di sekolah tentang kejadian di lapangan basket.

Setibanya di rumah Zavian langsung pamit untuk menyiapkan barang-barangnya di hotel yang sukses membuat Nusra sekali lagi terkejut, setelah pemuda itu pergi Nusra langsung membuka pintu itu dengan kunci lalu masuk ke dalam untuk istirahat dan salat dhuhur setelah itu keluar sejenak untuk belanja yang hanya untuk siang ini juga camilan saat di perjalanan nanti. Ketika semua barang sudah siap dan memastikan tidak ada yang ketinggalan lalu meletakkan barangnya di ruang tamu Nusra juga memeriksa ke penjuru rumah guna memastikan tidak ada yang dapat menyebabkan kebakaran atau semacamnya, di liriknya arloji yang melingkar di pergelangan tangannya telah menunjukkan pukul 2 siang sementara dirinya berangkat pukul 4 sore nanti naik kereta api.

TOK…TOK..TOK..

Nusra langsung menoleh lalu meninggalkan dapur menuju ke sumber suara yang berasal dari ruang tamu, ketika pintu itu terbuka Zavian sudah berdiri di depan pintu dengan membawa tas di punggungnya dan jangan lupa tatapan matanya yang menatap lurus ke arah Nusra yang berdiri sambil memegang handle pintu dengan pandangan juga luruh ke arahnya.

“Sudah siap?” Tanya Zavian.

“Sudah, tapi aku akan berangkat jam 3!” Balas Nusra.

“Kenapa nggak sekarang saja, biar tidak terlambat naik kereta!” Ujar Zavian.

Nusra berpikir sejenak, yang di katakan Zavian ada benarnya terlebih jarak dari rumah Kakek ke stasiun sangatlah jauh. Lantas gadis itu menyuruh pemuda itu untuk menunggunya sebentar lalu kembali masuk memastikan kembali sebelum berangkat, setelah di rasa aman barulah Nusra mengambil barang-barangnya yang tergeletak di sofa ruang tamu lalu mengunci pintu tersebut setelah itu pergi bersama Zavian ke stasiun naik becak.

****

 

Hari senin sudah tiba yang langsung di sambut dengan suara obrolan para siswa di sekitar lorong maupun di lapangan basket, Nusra baru saja tiba dan segera melenggang masuk ke dalam kelas kemudian duduk di kursinya yang berada di belakang. Dengan raut wajah lelah karena tiba di rumah saat malam hari membuatnya merasa mengantuk,

“Ah padahal hari ini ada upacara bendera!” Gerutunya dalam hati. Namun tidak berselang lama dari arah pintu kelas Zavian segera muncul dan langsung di sapa oleh teman-teman, tapi ketika pandangan pemuda itu jatuh ke arah Nusra dia dengan santai langsung berjalan menghampiri Nusra yang seketika menjadi pusat perhatian oleh teman-teman sekelas.

“Bagaimana tidurmu tadi, apa semalam tidurmu nyenyak?” Tanya Zavian.

Dengan kikuk juga merasa risih di tatap oleh teman sekelasnya Nusra lantas menjawab,”Tidak! Semalam aku tidak bisa tidur nyenyak karena ada tugas yang lupa aku kerjakan?” Jawab Nusra.

Raut wajah Zavian serta teman sekelas seketika berubah, salah satu dari mereka langsung menghampiri meja Nusra kemudian bertanya.

“Tugas?! Tugas yang mana, Nusra?” Tanya Riski penasaran.

“Tugas Matematika sama Bahasa Arab? Lalu katanya hari ini ada ulangan Matematika di Bab 3?” Jawab Nusra. Bersamaan dengan itu bel masuk berbunyi nyaring membuat teman sekelas Nusra langsung panik lalu bergerutu sembari keluar menuju lapangan upacara sesuai rutinitas hari Senin. Meski merasa lelah setidaknya Nusra masih bisa bernapas lega sebab menyempatkan untuk mengerjakan dua tugas tersebut, melewati serangkaian aktivitas di sekolah akhirnya bel jam terakhir berbunyi nyaring. Setelah guru keluar kelas Nusra bergegas pergi menuju lapangan panahan untuk latihan seleksi, setibanya di sana gadis itu mendekati pohon rindang untuk meletakkan dua tas miliknya disana yang sudah di tempati oleh teman-temannya—hendak bersiap-siap untuk latihan lalu mengikuti teman-temannya. Ketika semua sudah siap Nusra mengambil posisi di pinggir lapangan seperti kemarin lalu meraih salah satu anak panah dan memasangnya di String dan Handle kemudian menarik anak panah itu, dengan pandangan membidik ke arah papan target di depan sana Nusra tanpa ragu melepas anak panah yang terpasang di String tersebut dan terbang meleseat dengan cepat.

 

CLAP..., anak panah itu langsung menancap tepat di angka 11—tepat sasaran.

tidak selang lama Nusra kembali

mengambil anak panah kemudian menembakannya kembali sampai anak panah terakhir,

menarik napas panjang gadis itu segera menghampiri papan itu lalu meletakkan

busur miliknya ke atas rumput setelah itu merogoh saku celana Triningnya mengambil sebuah Booknote serta pensil pendek kemudian menulis

angka yang terkena anak panah miliknya. Setelah menulis Nusra memasukkan

kembali dua benda itu ke dalam saku lalu mencabut satu per satu anak panah itu

dan memasukkan kembali ke tas quiver lalu

kembali kepinggir lapangan kemudian kembali menembakkan anak panah seperti tadi

sampai menjelang sore. Tidak selang Pak Irwan segera memanggil siswa didiknya untuk berkumpul guna persiapan pulang, selesai berdoa seperti bisanya Pak Irwan memberi semangat serta mengingatkan siswanya untuk jaga kesehatan selama latihan dan setelah itu bubar. Setelah mengemasi barang-barangnya dan memastikan tidak ada yang ketinggalan Nusra lantas meninggalkan lapangan itu menuju gerbang utama sekolah, Nusra langsung menoleh ketika ada yang memanggil namanya; Zavian rupanya. Pemuda itu datang dari arah samping yang disana ada ruang guru, Tata Usaha dan ruang kepala sekolah berjalan mendekati Nusra.

“Habis dari mana? Kok belum pulang?” Tanya Nusra heran.

“Habis dari ruang Tata Usaha bayar SPP, sekalian ingin pulang bareng denganmu?” Jawab Zavian santai.

Alis sebelah Nusra terangkat setelah mendengar jawaban dari pemuda itu,”Pulang bareng denganku? Kenapa nggak sama yang lain saja dari pada nunggu lama!” Timpal Nusra heran.

“Bosan, ayo pulang! Akan kuantar!” Tawar Zavian seraya jalan lebih dulu.

Mendengar ajakan itu Nusra tidak menjawab sebelum akhirnya mengikuti pemuda itu menuju gerbang utama sekolah, seketika Nusra menjadi pusat perhatian beberapa siswa di sepanjang lorong ketika mereka berdua berjalan beriringan membuat Nusra merasa tidak nyaman.

“Pasti bakal ada drama besok!” Batin Nusra menebak. Banyak gadis yang suka dengan Zavian dan berharap bisa jalan di samping pemuda tampan itu—dan sekarang malah dirinya yang berjalan di samping pemuda itu, merasa sudah merebut keinginan mereka.

“Zavian!” Panggil.

“Hm!”

“Sampai gerbang saja ya, aku ingin pulang sendiri saja! Nggak enak di lihat fansmu!” Cicit Nusra ketika mereka hampir sampai di gerbang utama.

Mengerti dengan perasaan gadis di sampingnya Zavian menyanggupinya dan setelah itu berpisah dengan Nusra yang sebetulnya berlawan arah, merasa lega Nusra bergegas mempercepat langkahnya agar tiba di rumah untuk makan dan istirahat. Sesuai apa yang Nusra takutkan pada keesokan harinya banyak gadis yang mengerubungi Nusra dengan tatapan tidak suka serta sinis dan berniat untuk menganggu Nusra, untungnya Zavian segera menolong gadis malang itu dan melindunginya dengan mengatakan jika Nusra kebetulan ada urusan dengannya dan memberi peringatan untuk tidak menganggu Nusra. Gadis itu menatap Zavian dengan kagum serta merasa berutang budi kepada pemuda itu, walau menurut tetap saja mereka menaruh tidak suka terhadap Nusra dan dia menerimanya dengan lapang dada. Tidak terasa waktu berjalan sangat cepat dan lomba panahan antarsekolah tingkat provinsi sudah tiba, Nusra yang terpilih bersama lima anak lainnya segera menuju tempat masing-masing ketika sudah berada lapangan sementara Pak Irwan berdiri di pinggir lapangan menyaksikan siswanya bertanding melawan siswa dari sekolah lain. Di saksikan oleh banyak orang membuat jantung Nusra berdetak gugup namun masih bisa di kendalikan, ketika lomba di mulai gadis itu langsung mengambil anak panahnya dari tas quiver persis yang sudah di lakukan selama latihan lalu menembaknnya ke arah papan target dan menancap pada angka 10—angkah tinggi yang kemudian di susul oleh peserta lain namun dengan angka di bawah milik Nusra. Tidak sampai di situ Nusra nembakkan kembali anak panahnya dan menancap di angka 9 dan 11, ketika anak panah terakhir telah di tembakkan para panitia segera memberi aba-aba kepada para peserta untuk maju guna mengambil anak panah kembali. Raut wajah Nusra berseri setelah menulis skor miliknya yang mendapat hasil yang sangat memuaskan ketika melihat papan peserta di pinggir lapangan, lantas setelah mengambil anak panah Nusra dan peserta lainnya segera kembali ke posisi dan melanjutkan ke sesi kedua.


 



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)