Cerpen
Disukai
0
Dilihat
3,337
Sejakartanya Jakarta
Slice of Life

Aku nyinyir. Maka, kuceritakan padamu Tuan Yang Dipertuankan Kota Besar tentang negara kita yang terbiasa dinilai dari satu titik: Jakarta. Tidak, tidak akan kutulis ini di media sosial atau manapun. Ini aman. Ini hanya melalui kertas sekadarnya yang kau baca dan bisa langsung kau buang, tanpa banyak komentar dari warga dunia maya hingga membuatmu membanting gawai. Pun, kau boleh mencibir dan anggap ini semua hanya rasa iri yang berlebihan. Terserah. Aku memang nyinyir.

Tuan Yang Dipertuankan Kota Besar, kakekku seorang penyair. Tiba di Jakarta ketika kata masih sedemikian mahal. Bekalnya banyak. Ribuan kosakata dia kuasai, baik Melayu rendah maupun bahasa bangsawan. Dia dari pesisir, tepi Selat Malaka. Bukan, bukan pantai yang berpasir indah meski air sedikit keruh. Kampungnya berada di balik rawa bakau: tertutup rimbun dedaunannya. Tapi, meski pandang mata tak bisa langsung ke laut, dia hapal riak gelombang. Suara selat telah dia hapal betul. Itulah sebab, dalam syairnya tak pernah lepas dari aroma garam dan panasnya pasir. Namun, tiba di Jakarta, dia gagal. Kata mereka di Jakarta, kakek terlalu laut sementara Indonesia tak hanya itu. Dan, Jakarta membuatnya pulang. Dia kembali dan membiarkan semangatnya tertinggal.

Ah sudahlah, kurasa kalimatku belum begitu nyinyir. Tapi tak mengapa, ini masih permulaan. Dan, seperti orang yang tahu adat, aku memang tak pernah bisa lepas dari kisah leluhur. Ya, kali ini tentang kakek yang gagal jadi penyair. Cukup. Kurasa cukup.

Baiklah Tuan Yang Dipertuankan Kota Besar, bapakku bukan penyair. Dia hanya nelayan yang sering suntuk ketika mendapati cerita tentang Jakarta. Ya, ketika barisan penyuluh datang ke kampungnya, memberi pengetahuan tentang cara menangkap ikan yang benar, dia muntah. Dia kotori tanah nenek moyangnya dengan makanan yang belum jadi tahi di dalam perut. Ayolah, menahun dia jadi nelayan. Matanya pun sudah biasa menangkap arah bintang, tentang lubuk ikan, tentang calon badai. Eh, anak ingusan menyalahkan dia yang hanya menangkap ikan sekadarnya dan tak mengatur pendapatan dengan benar.

Itulah awal, hanya peristiwa biasa. Namun, gara-gara itu, dia benci Jakarta. Sok tahu, katanya. Sok Indonesia, tambahnya. Sok segalanya, jijiknya.

Tuan, bapakku ini keras hati dan kepala. Persis dengan kaki dan tangannya yang mirip dengan kayu bakau. Para penyuluh itu, pegawai baru yang sedang cari nama usai tamat sekolah itu, dia musuhi. Bapak berhasil. Dia mampu mengajak warga lain untuk berontak pada sesuatu yang berbau Jakarta. Dan, warga yang kebanyakan tidak tahu letak Jakarta pun setuju, mengusir pemuda-pemuda yang datang atas nama pembangunan itu dari kampung mereka. Praktis, penyuluh hanya bertahan satu minggu. Hilang. Tak ada lagi yang datang.

Sayang, itu tak selesai. Bapak tak bisa mengelak di depan televisi hitam putihnya. Terlalu banyak Jakarta di sana. Harga beras Jakarta. Harga cabai Jakarta. Harga segala harga lainnya adalah harga Jakarta. Bapak kembali berontak. Tapi dia bisa apa, di pasar harga pun mengikuti yang ada di televisi. Bapak meminta ibu tak belanja: tanam yang mau dimakan, cari yang mau dimakan, pelihara yang mau dimakan.   

Berganti ibu yang marah. Di manalah padi bisa ditanam di tanah payau? Tak mungkin pula mengganti beras dengan lainnya, mulut sudah terbiasa. Bapak tak menyerah. Dia menukar ikannya dengan beras, sama sekali tak belanja ke pasar atau kedai dekat rumah. Ibu sedikit tenang, tapi bapak mulai gamang. Nilai tukar ikan dengan beras juga mengikuti harga dari Jakarta. Beruntung, seorang tetangga merantau ke Malaysia. Sesaat bapak memilih ikut harga dari negara tetangga. Tapi, itu sekejap saja. Bapak kembali sadar, rokok yang belakangan dia hisap juga bukan lagi buatan Pematangsiantar. Dia merasa lebih cocok dengan rokok yang diiklankan oleh majalah bekas terbitan Jakarta.

“Sudahlah, Bang. Jangan lawan Jakarta, dia ibukota. Ibu! Melawan dia, berarti melawan emak kita ...,” itu kata ibu ketika bapak sudah mendekati gila.

“Jakarta tak menghargai bapakku! Jakarta mengirimi orang-orang sombong ke kampung kita! Jakarta telah mengatur hidup kita!”

“Ya, memang itu pula tugasnya.”

“Bapakku?”

“Dia tidak bisa memandang dari Jakarta, padahal memang cara pandang itu yang dianggap.”

“Bapakku tak dianggap!”

“Memang!”

Ibu, Tuan Yang Dipertuankan Kota Besar, dia bukan sembarang perempuan. Dia anak saudagar. Cara berpikirnya benar, tidak melulu melihat masa lalu jaya. Ada hitungannya. Ada untung ruginya. Bapak tidak, dia masih keturunan pendiri kampung. Bangsawan, kata orang-orang. Orang-orang yang terlalu bangga tentang masa silam, tentang upaya membuka hutan atau menemukan jalur sungai yang terhubung ke laut: puncak peradaban. Dan, kakek adalah orang yang meninggalkan itu semua. Pergi ke Jakarta demi entah. Kualat, kata orang-orang. Hingga bapak mengembalikan itu semua, kembali menjadi tetua kampung yang semakin ringkih melawan zaman.

Aku? Nanti Tuan Yang Dipertuankan Kota Besar, kau akan tahu siapa aku. Kuceritakan dulu padamu tentang bapak yang akhirnya mengalah karena kalah. Dia merokok lebih kencang dari sebelumnya, sama sekali tidak menyentuh hasil produksi Pematangsiantar, rokok Jawa yang diiklankan koran atau majalah Jakarta dia lahap semuanya. Dia pun sudah tenang ketika ibu pulang dari pasar sambil membawa sekarung beras yang harganya ditentukan Jakarta.

Puncaknya, ketika serombongan pengusaha dari Jakarta berniat membeli tanahnya yang sangat dekat dengan pantai, dia rela. Malah, dia bangga ketika bakau-bakau itu ditebang untuk dijadikan arang dan lahannya berubah menjadi tempat hiburan. Bapak berubah. Bapak memilih pindah lebih ke tengah sekian waktu kemudian, mendekati dataran tinggi yang tergabung dalam Bukit Barisan. Dia menjadi petani, berternak ikan mas di sawah ketika masa tanam lewat. Hingga, kampung kami yang di tepi Selat Malaka hilang, bapak diam. Dia sudah menikmati ragam Jakarta di televisi berwarnanya.

Sesekali dia memang pernah teriak, terkhusus saat Ramadan. Ketika petang, ketika makanan dan minuman telah dihidang, suara azan terdengar. Dia terburu, meminum air manis.

“Itu azan Jakarta, Bang,” kata ibu sambil tertawa.

Ya, saat itulah dia teriak keras hingga pahala puasanya tiada. Tapi setelah itu, dia punya pemecahan. Dia pilih siaran Medan ketika petang. Tak mengapa lebih terlambat buka puasa, daripada mendahului, pikirnya.

Lucu? Tidak, Tuan Yang Dipertuankan Kota Besar, ini menyedihkan. Bapak sudah tidak lagi bapak. Dia jadi terbiasa. Dia malah menjadi duta. Dia ceritakan pada siapa saja soal kehebatan Jakarta. Ya, tentang kota yang memiliki monumen berbalut emas, tentang wilayah yang tak mengenal siang dan malam, dan tentang daerah yang penuh uang. Lebih dramatis lagi, dia kisahkan tentang Jakarta yang menjadi lambang perjuangan negara: menguasai Jakarta berarti menguasai Indonesia. Kadang, dia romantis dengan menceritakan soal cita-cita bapaknya yang ingin menjadi penyair ternama di Jakarta. Tentu, tidak ada kisah gagal. Bapaknya, katanya, memilih pulang karena cinta yang karam di Sunda Kelapa, itu saja.

“Dari Jakarta, lihatlah Indonesia, maka semua indah,” itu kalimat kuncinya.

Kenapa? Ya, Tuan, meski kalimat itu tampak bermakna ganda, bapak jelas tak bermaksud itu. Dia sudah berubah, seperti kukatakan tadi, dan itu menyedihkan. Tapi sudahlah, kini dia telah tiada. Namun, berkat dialah kini kampung baru kami pun kehilangan pemuda-pemudanya. Semuanya berangkat ke Jakarta. Mencari hidup, kata mereka. Satu dua memang selalu pulang ketika Lebaran, membawa kisah yang indah. Cerita yang kemudian masuk ke dalam otak anak-anak kecil untuk segera besar dan secepatnya merantau ke sana. Salah siapa? Ini salahmu, Tuan Yang Dipertuankan Kota Besar!

Sekali lagi kukatakan padamu Tuan, aku nyinyir! Aku benci. Karenamu, aku pun kini di Jakarta. Menulis kata-kata ini sambil menikmati pemandangan kota saat malam dari ketinggian. Lampu-lampu kota ini begitu melenakan, aku terhanyut! Aku merasa di lereng barisan Bukit Barisan, kampung yang lama sudah kutinggalkan.

Kadang, aku pun tak luput ke bagian Utara, ke Muara Angke. Menikmati aroma laut lengkap dengan segala hal yang bisa dimakan di sana. Aku duduk lama di warung-warung milik orang Bugis itu. Melihat mereka membakar ikan dan kemudian tak sabar menyantapnya. Kubayangkan, kampung kakek dan bapakku di tepi Selat Malaka sana, tempat yang tak pernah kukunjungi.

Ya, aku nyinyir Tuan Yang Dipertuankan Kota Besar. Aku tak rela kalau yang kurasa saat ini akan hilang. Aku pun sudah terbiasa. Semuanya sudah terbiasa. Ah, tak bisa kubayangkan ketika ada suara azan Magrib tanda berbuka puasa saat azan Ashar baru saja selesai di masjid yang ada di ujung Sumatera hanya karena ibukota pindah ke seberang pulau sana!

Kau mengerti kan Tuan Yang Dipertuankan Kota Besar, kenapa aku jadi nyinyir!

 

2019-2024


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)