Cerpen
Disukai
0
Dilihat
4,559
Belalang dan Ramalan yang Tak Selesai
Slice of Life

Sudah tiba saatnya warga Sei Suka memilih pemimpin. Desa itu harus segera bangkit. Dan, pemilihan pemimpin adalah salah satu cara untuk menuju kemakmuran – cara yang dianggap paling penting dan yang harus pertama dilakukan. Karena itu, ketika waktu menyisakan satu pekan, warga jadi sibuk, menyusun strategi hingga merancang muslihat agar pilihan mereka menang.

Begitupun dengan Pak Ngah. Bedanya, Pak Ngah tak peduli dengan tiga pasang pemimpin yang gambar wajahnya sudah memenuhi kampung itu. Yang dia pedulikan adalah tumpukan uang di kedai kopi. Ya, hiruk-pikuk pemilihan pemimpin telah menyeret sebagian warga untuk berjudi. Bertaruh bak pertandingan sepakbola.

Dan, Pak Ngah memilih mendatangi rumah Belalang. Tokoh yang dimaksud ini aslinya bernama Syahrul. Dia mendapat panggilan Belalang karena nasibnya persis dengan cerita Pak Belalang – cerita rakyat yang memang masih begitu hidup di Sei Suka. Dengan kata lain, Syahrul telah menjadi Pak Belalang di zaman sekarang, ahli ramal terpercaya.

“Belalang, kau pasti tahu maksudku kemari kan?” buka Pak Ngah ketika tiba di rumah Syahrul.

“Pasti karena ada yang ingin dipecahkan.”

“Ah, kau memang ahli ramal yang cerdas, Belalang. Jadi, siapa yang harus kupasang?”

Syahrul mengerutkan dahi. Apa yang dimaui Pak Ngah, pikirnya. “Memangnya ada berapa pasang?” keluar juga kata tanya dari mulutnya.

“Tiga, Belalang, tiga pasang.”

Syahrul tersenyum, dia langsung sadar dengan tiga pasang wajah yang telah memenuhi kampung. “Pak Ngah, bertaruh itu tak baik.”

“Mereka yang ingin dipilih itu juga bertaruh. Ayolah, Belalang, aku hanya ingin mencari keuntungan sedikit. Kau kan tahu, tak ada kerjaku selain harta warisan. Malu rasanya kalau hanya mengandalkan itu.”

“Ah, Pak Ngah, tak bisa aku sebut nama. Pak Ngah kan tahu, tak pernah aku menyebut nama.”

Pak Ngah tersenyum. Ya, Syahrul memang sangat terkenal dengan ramalannya yang tidak begitu jelas, tapi hasilnya cenderung pasti. Seperti ketika dia meramalkan kalau akan ada panen yang gagal, dia cukup mengatakannya dengan kalimat: besok sebaiknya kita mulai membiasakan diri memakan nasi setengah masak, minyak tanah sudah naik, begitu juga dengan bahan bakar lainnya. Atau, ketika Syahrul meramalkan anak tokoh kampung yang hamil sebelum nikah, dia cukup mengatakan dengan kalimat: memang enak makan kelapa muda walau sesungguhnya ketika tua dia jauh lebih berguna, bisa untuk santan dan minyak untuk memasak.

Pak Ngah sebenarnya tidak terlalu peduli dengan gambar yang memenuhi kampung. Yang Pak Ngah pedulikan adalah tantangan Nurdin di kedai kopi kemarin. “Kau pegang siapa Pak Ngah, aku berani bertaruh sawahku yang tinggal sepetak itu,” koar Nurdin.

Pak Ngah tercenung. Apa sebenarnya yang diyakini Nurdin hingga berani mempertaruhkan sawah warisan leluluhnya, pikir Pak Ngah. Tapi, karena darah Pak Ngah berisikan darah penjudi, langsung saja ia terima tantangan Nurdin tadi. “Besok kuberi tahu siapa yang kupilih. Rumahku yang ada di dekat sungai itu siap kutaruhkan untuk pilihanku,” kata Pak Ngah pula.

Karena itulah kini Pak Ngah sedang berhadapan dengan Syahrul. Ahli ramal tiada duanya di Sei Suka. “Siapa yang harus kupilih, Belalang! Kali ini taruhannya sawah!”

Syahrul sebagai tuan rumah hanya bisa garuk-garuk kepala. “Aku tak yakin akan mujur kali ini, Pak Ngah,” ucapnya.

“Alah! Percuma namamu Belalang.”

“Karena itulah, Pak Ngah, bagaimana jika kali ini aku tak mujur? Bisa saja julukanku itu berpindah kepala.”

“Ayolah, Belalang, bukan sekali dua kali kita seperti ini. Kau tinggal arahkan saja ke pilihanku, itu saja.”

“Itu dia sulitnya, Pak Ngah, kekuatan mereka berimbang.”

“Belalang, tak ada yang berimbang di dunia ini, pasti ada selilisihnya.”

“Berat kali ini, Pak Ngah.”

“Ah, kau butuh apa? Air sebaskom lengkap dengan bunga tujuh hutan atau air bening dari dua gunung?”

Syahrul tersenyum. Terbayang dalam otaknya, niat ingin terkenal ia tebus dengan jalan singkat. Ia tiru cerita Pak Belalang yang jadi peramal karena kemujuran. Hm, tentunya, dengan tipu muslihat di awalnya. Persis dengan Belalang yang menyembunyikan kambing di hutan, terus diikuti komat-kamit seakan-akan menjadi dukun benaran.

“Tampaknya kali ini berbeda ...,” ungkap Syahrul.

Pak Ngah tak sadar ikut-ikutan garuk kepala. “Nurdin begitu yakin dengan pasangan nomor dua ....”

“Kalau Pak Ngah?”

“Mana tahu aku, Belalang!”

“Ya, sudah, tak usah bertaruh kali ini.”

“Ai, tak bisa itu, Belalang. Mulut sudah berkata, didengar banyak orang pula, mau ditaruh di mana mukaku? Hm, mukamu juga?”

“Aku?”

“Ayolah Belalang, siapa yang tak tahu kalau kaulah yang membuat aku sering menang.”

“Tidak selalu.”

“Memang, tapi mereka tahu setiap aku kalah itu karena aku tak bertanya padamu.”

Syahrul kembali termenung. Pak Ngah memang telah begitu dikenal sebagai perpanjangan tangan Syahrul. Dan, karena Pak Ngah pulalah Syahrul semakin terkenal pandai meramal. Tantangan Nurdin mengemuka, tak mungkin tak dilawan. Ini marwah, pikir Syahrul.

Tapi, masalahnya, dia sama sekali kehilangan ide. Siapa yang bisa dia ajak bekerja sama untuk memenangi salah satu pasangan itu, tentunya selain yang nomor dua. “Beri waktu aku berpikir ...,” kata Syahrul.

“Ai, tak ada waktu pula untuk berpikir Belalang! Kau tinggal meramal saja, apa sulitnya? Buka baskom ajaibmu atau buka saja kartu andalanmu itu, seperti sebelum-sebelumnya,” balas Pak Ngah tak sabar.

Syahrul tersenyum kecut. Pak Ngah memang sudah termakan tipu muslihatnya. Persis dengan pasien Pak Belalang di cerita pelipur lara itu. Tak ada yang tahu kalau sesungguhnya dia sama sekali tak bisa meramal. Kalau mujur, mungkin iya.

Tak pelak, karena merasa terdesak, Syahrul pun berdiri. Berjalan mondar-mandir. Pak Ngah sibuk mengikuti gerakan Syahrul dengan matanya. Tak lama kemudian, Syahrul membuka baskom yang ada di samping tempat ia duduk. Ia bersila. Memejamkan mata. Dengan mata tertutup, ia tumpahkan air sebotol ke dalam baskom itu. Sebuah pertunjukan yang menarik, sayang tak ada asap yang membuat pertunjukkan itu semakin mengasyikan. Walau begitu, walau sudah sering kali Pak Ngah menghadapinya, tetap saja dia takjub. Terpesona. Seakan terhipnotis oleh aksi ahli nujum kawakan.

“Satu, dua, tiga. Tiga, dua, satu. Dua, satu, tiga. Satu, tiga, dua. Dua, tiga, satu. Tiga, satu, dua. Hm, genap di antara ganjil ...,” ucap Syahrul sambil tetap memejamkan mata.

“Hurup u ada dua, huruf t ada dua, huruf s ada satu, huruf g ada satu, huruf d ada satu, huruf i ada satu, dan huruf a ada tiga,” lanjutnya.

Pak Ngah mengerutkan dahi. Sama sekali tak mengerti apa yang diucapkan. Syahrul pun mulai membuka matanya. Cepat ia sambar air yang ada di baskom. Air itu langsung bergoyang, ombak kecil tercipta. “Hanya huruf a berjumlah tiga. A itu pertama ...,” kata Syahrul sambil menerawang air yang beriak di baskom.

“Berarti nomor tiga yang menang, Belalang?” ungkap Pak Ngah.

“A juga berarti tiga. Yang pertama bisa juga berada di urutan ketiga. Tapi, urutan ketiga juga bisa a. Ya, bisa juga menjadi yang terdepan ...,” balas Syahrul sambil memandang wajah Pak Ngah lekat-lekat.

Pak Ngah tertawa. Keras. “Kau memang Belalang, Syahrul!”

Syahrul tertawa.

“Dengan kata lain, yang menang pasti bukan pilihan si Nurdin bodoh itu! Aku juga curiga, kenapa dia pilih nomor dua, dia mau mati konyol rupanya,” kata Pak Ngah.

“Pak Ngah, ada empat huruf yang jumlahnya satu ...,” ucap Syahrul ragu.

“Tak masalah, yang penting bukan dua!” balas Pak Ngah sambil menyodorkan uang seikat. Dia pun langsung berlalu dengan semangat.

Sementara Syahrul, cepat-cepat ia sambar uang itu. Begitupun dengan tubuhnya, cepat-cepat ia gerakan menuju kamar. Ia kemasi baju, menguras habis simpanan uang, dan langsung beranjak. “Harus kutinggalkan kampung ini hingga keadaan aman. Pak Ngah pasti memasang nomor satu dan tiga. Dia bisa saja akan rugi besar, ada dua huruf yang jumlahnya dua, benar-benar genap ...,” bisiknya.

Benar saja. Kampung heboh. Nurdin menjudikan sawah lelulur, sedang Pak Ngah mempertaruhkan rumah dan ladang kelapanya. “Kutaruhkan dua-duanya, Nurdin, biar diam mulut besarmu itu!” koar Pak Ngah di kedai kopi.

“Sabar Pak Ngah, tak harus memilih dua nomor untuk mengalahkan Nurdin,” pesan pemilik kedai yang bertindak sebagai saksi utama.

Nurdin tertawa. “Kalau aku tak ada masalah, ha ha ha, satu dayung dua pulau terlalui,” ujar Nurdin.

Pak Ngah tertawa keras, mengalahkan tawa Nurdin. “Nomor dua tak akan menang! Aku siap rugi besar kalau dia menang, masalahnya aku tak akan kalah, jadi apa salahnya biar judi kita ini semakin semarak.”

“Terserahlah, Pak Ngah. Risiko tanggung sendiri,” balas pemilik kedai.

Pak Ngah tersenyum sombong. “Kalian kenal dengan Belalang kan?” ucapnya.

Pengunjung kedai terdiam seluruhnya. Mereka saling pandang. Kemudian, seakan serentak mereka memandang Nurdin. Mata mereka seakan mengisyaratkan agar Nurdin menarik tantangannya. Sosok itu sudah terlalu sering mujur. Ini berbahaya. Sawah leluhur Nurdin bisa saja berpindah tangan. Namun, seakan mengerti arti pandangan itu, Nurdin malah membalas dengan tatapan yakin. Bayangkan, bertaruh satu dapat dua, seperti itulah arti pandangan Nurdin jika diterjemahkan. Melihat hal itu Pak Ngah menambah tawanya. Seakan kemenangan sudah ada di tangan.

“Kita lihat saja pada hari penentuan nanti,” kata Nurdin sambil berlalu.

Pak Ngah semakin tertawa.

Sementara itu, di luar kampung, Syahrul garuk-garuk kepala sendiri. Dia masih bingung menentukan arah ke mana dia akan pergi. Akhirnya dia memilih duduk di sebuah batu besar. Kepalanya menengadah. “Apakah aku akan mujur kali ini? Kalau mujur, kenapa aku harus pergi?” tanyanya.

Sebatang rokok dia bakar. Dia pun menghisapnya dengan dalam. Tepat pada hisapan keempat, ia berdiri. Membuang rokoknya tadi dan langsung berjalan. Pergi menuju kota. Kendaraan miliknya memang sengaja ia tinggal di rumah, biar orang kampung tak mengira kalau ia sedang pergi sembunyi.

“Inilah sulitnya menjadi orang yang hanya bisa menjual tipu muslihat. Tak tenang tapi kadang begitu menyenangkan ...,” katanya dalam hati.

Tapi, apakah ada ruginya jika ia tak mujur kali ini, pikirnya. Kalaupun tak mujur, dia tinggal memilih untuk tak kembali. Tak ada masalah. Kendaraan dan rumah mungkin bisa jadi pertimbangan, tapi dengan apa yang telah ia terima, tabungan lebih dari cukup, dia bisa memulai hidup baru di tempat lain.

Dan, kalau mujur, dia tinggal kembali. Memetik hasil dari olahan angka yang tak sengaja keluar begitu saja dari mulutnya tadi. Dan, namanya semakin harum. Pak Ngah, bisa saja memberikan sawah milik Nurdin kepadanya. Ya, seperti rumah dan kendaraan yang dia tinggalkan itu, semuanya milik Pak Ngah. Hm, tepatnya, milik Pak Ngah dari hasil menang judi.

Begitulah Pak Ngah, judi sudah menjadi jalan hidup. Dia tidak bisa tenang jika tak berjudi dalam seminggu. Intinya, bukan hasil judi itu yang dicarinya, tapi prestise sebagai pejudi ulung. Dia cukup kaya. Dia adalah anak dari juragan tanah di Sei Suka. Kehilangan harta demi judi, mungkin tidak akan jadi masalah.

“Tapi, kenapa aku harus lari? Kalau kalah, Pak Ngah tak akan mungkin membunuhku,” ucap Syahrul kepada dirinya sendiri.

“Ah, tak apalah, kunikmati kota saja dulu. Hitung-hitung istirahat ...,” ucapnya lagi.

Ketika Syahrul mulai mendapat angkutan yang mengantarnya ke kota, Pak Ngah pun mulai beranjak ke rumahnya. Dahinya berkerut. Ini bukan masalah kalah atau menang judi, tapi pada kalimat Syahrul yang terakhir. Ya, empat huruf yang jumlahnya satu. Itu berarti, ada nomor empat yang bisa saja jadi nomor satu. “Ah, yang penting bukan nomor dua!” Pak Ngah membantah pikirannya sendiri. “Tapi, ada dua huruf yang jumlahnya dua, jumlah yang genap dan pas,” pusingnya lagi.

Tapi sudahlah, Pak Ngah menyerahkan semuanya pada waktu yang berjalan. Dan, masa yang ditunggu ternyata datang dengan cepat. Warga kampung heboh menunggu hasil. Pak Ngah melirik Nurdin yang tegang memandang hasil penghitungan suara.

“Nurdin, kenapa kau begitu yakin dengan nomor dua, siapa peramal yang kau pegang?” tanyanya.

Nurdin tersenyum. “Tak ada peramal. Aku percaya dengan pilihanku karena aku yakin dia juga dipilih oleh sebagian besar orang.”

“Kenapa?”

“Karena genap di antara ganjil.”

Pak Ngah tertawa. Pun, warga lainnya.

“Nurdin, aku suka dengan orang yang punya keyakinan seperti kau. Tapi, sayang, kau salah pilih lawan kali ini,” kata Pak Ngah sambil membakar rokok kreteknya.

“Belum ada hasil Pak Ngah, jangan merasa menang!”

“Ya, tinggal tunggu waktu saja. Ada niatmu untuk menarik taruhan kita ini? Tak masalah kalau kau mundur, lihatlah angka-angka itu, nomor dua mengkhawatirkan.”

Nurdin diam. Walau perhitungan masih babak awal, terbayang juga sawah akan berpindah tangan. Apalagi, dia merasa dikeroyok oleh Pak Ngah. “Maju terus!” teriaknya.

“Aku sudah menawarkan, jangan salahkan aku kalau leluhurmu marah-marah di alam kubur sana.”

“Jangan sebut-sebut leluhurku!” emosi Nurdin meninggi.

Pak Ngah tertawa. Bagian seperti ini yang dia suka. “Ah, salah pilih lawan rupanya aku. Masih anak-anak kau Nurdin! Berjudi jangan pakai hati, apalagi sampai menggadaikan hidup anak cucu. Ah, sudahlah!”

Mendapat jawaban seperti itu Nurdin bertambah emosi. Pasalnya, selain jawaban yang begitu menyepelekan, angka pemilih di nomor yang dia unggulkan seakan tak bergerak. Tak pelak, dia pun siap menghantam Pak Ngah.

Pak Ngah semakin tertawa. “Tak ada lawanku berjudi di kampung ini, Nurdin! Kau sudah kalah! Hasil memang belum final, tapi kau sudah kalah duluan. Sudahlah, ambil rumahku itu untukmu! Kuhadiahkan untukmu yang sudah berani menantangku,” balas Pak Ngah sambil berlalu.

Nurdin terdiam. Tak lama karena kemudian dia sadar baru saja menerima rezeki. Dia tersenyum, bahkan sampai tertawa. Pengunjung kedai garuk-garuk kepala. “Tak seru!” cetus pemilik kedai.

Di belahan bumi lain Syahrul berbaring di kamar hotel. Dia menutup mata. Tergambar dalam otaknya ketika nyawa Pak Belalang di ujung tanduk. Dia duduk di hadapan Baginda Raja. Sedangkan Baginda Raja mengepalkan tangan, menyimpan sesuatu dalam genggamannya.

“Seluruh negeri sudah tahu kau ahli ramal mahasakti. Tapi, aku mau mengujimu langsung. Tebaklah, apa yang ada dalam genggamanku ini. Jika berhasil, kenikmatan akan kau dapat. Tapi jika gagal, maka hilanglah kepercayaanku. Dan, orang yang seperti itu tak pantas hidup di negeri ini,” begitu kata Baginda Raja.

Pak Belalang hilang akal. Kalimat Baginda Raja adalah ancaman. Dan, dia sama sekali tidak tahu apa yang ada dalam genggaman tersebut.

“Jawablah!”

Pak Belalang mulai gemetar. Terbayang wajah anaknya. Semakin jelas wajah anaknya, semakin takut dia menjawab pertanyaan Baginda Raja. Pak Belalang mulai menangis. Kematian terasa sudah di depan matanya saja.

“Cepat!”

“Matilah aku, Belalang. Matilah aku. Belalang!” teriaknya sembari terus menangis dan menyebut nama anaknya.

Raja tertawa sambil mengangguk-angguk. Dia buka genggamannya dan terbanglah belalang yang sejak tadi dia genggam. “Kau memang ahli ramal mahasakti, sampai apa yang kugenggam pun kau ketahui,” kata Baginda Raja dengan nada penuh suka cita.

Pak Belalang tersadar. Dia hentikan tangis dan langsung menatap Baginda Raja.

“Ah, sudahlah. Aku Syahrul, bukan Pak Belalang ...,” kata Syahrul menyudahi gambar dalam otaknya.

Dan di Sei Suka, tak jauh dari kedai, Pak Ngah berjalan sambil memandang jalanan yang kosong. “Ah, kenapa pula kau lari Belalang,” katanya, pelan.

Tak lama setelah Pak Ngah meninggalkan kedai, Nurdin juga pergi. Terserah apa kata Pak Ngah, pikirnya, dia telah mendapatkan rumah. Dan, terserah nomor berapa yang menang pada pemilihan itu. Nomor dua tetap nomor dua, pilihannya, terserah menang atau kalah.

“Kalau tahu begini, kenapa berjudi ...,” ungkap pemilik kedai kepada pengunjung yang sedang menikmati hidangan gratis dari Nurdin.

2019


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)