Masukan nama pengguna
Aku adalah sosok di balik kesuksesan ahli nujum terkenal bernama Tuan Sidik. Tapi, siapa yang tahu? Aku hanya lelaki yang kebetulan kaya meski tidak ada yang mencari tahu dari mana kekayaanku itu. Ada yang bilang karena warisan, walau mereka tidak tahu siapa orang tuaku. Ada yang bilang karena menang judi, tanpa ada yang tahu di mana arenaku. Ada pula yang bilang karena keberuntungan, menemukan segepok uang dan kemudian menjadi modal usaha, tapi tak ada yang tahu lapakku. Aku kaya dan hanya itu yang mereka tahu.
Nasibku ini mirip dengan Belalang, cerita rakyat itu. Apalah arti Pak Belalang jika tidak punya anak yang bernama Belalang? Ya, namaku Sidik dan Tuan Sidik adalah majikanku. Artinya, dia adalah tuannya si Sidik. Persis Pak Belalang, dia adalah bapaknya si Belalang. Usaha Belalang menjadikan bapaknya sebagai ahli nujum kerajaan adalah yang terpenting. Begitu juga dengan aku, peran menjadikan Tuan Sidik sebagai ahli nujum terkenal sangat menentukan.
Diberi nama Sidik bukan karena untuk mengikuti Abu Bakar Ash Shiddiq, sahabat Nabi Muhammad. Sidik namaku ini mengarah pada kerja polisi, yakni menyidik atau setidaknya berarti tanda seperti sidik jari. Kasarnya, bapak memang ingin aku jadi polisi. Tapi, karena dia mati sebelum aku sekolah menengah atas dan ibu lari dua tahun sebelumnya, cita-cita itu langsung mengawang. Pun, aku harus berhenti sekolah. Merantau ke ibukota dengan nasib yang tak jelas. Hingga kemudian aku ditemukan Pak Ramli, seorang pengusaha yang lumayan sukses, berusia empat puluhan dan tidak punya anak. Aku jadi pembantu di rumahnya, tugasku membersihkan halaman dan merawat taman. Aku memanggilnya, Tuan. Dia memanggilku, Didik.
Seharusnya semua berjalan wajar hingga datang krisis moneter dan juga pergantian kepemimpinan nasional. Usaha Tuan Ramli goyang, tapi tidak bangkrut. Yang jelas, dia lebih sering di rumah sementara istrinya masih sering belanja. Bisa dibilang, dia mengandalkan tabungan saja. Setiap petang dia duduk di beranda, minum kopi sambil berbicara tentang negara yang tak benar. Katanya, bisnis hancur karena negara tak jelas. Katanya, dia begitu karena ulah pemimpin. Kata-katanya itu membanjir di kepala dan aku senang karena seperti mendapat perhatian lebih darinya. Tahun keempat istrinya lari dengan laki-laki lain dan uangnya pun mulai menipis. Pembantu dan sopir yang sebelumnya berjumlah enam susut menjadi tiga orang saja. Dua yang mengurusi bagian dalam rumah dan satu bagian luar. Aku tetap dipertahankan. Katanya, karena aku anak rantau dan masih muda.
Sadar karena terpuruk, dia mencari usaha lain yang lebih menjanjikan. Nah, saat itulah peranku dimulai. Dengan kata lain, jika tidak ada aku maka dia akan jadi orang yang biasa-biasa saja. Mungkin, bangkrut. Mungkin, stres ditinggal istri pun tak punya anak. Mungkin, kesepian. Dan, mungkin-mungkin lainnya yang berarti kesengsaraan.
Hingga, dia merasa kota tempat tinggal kami sudah tidak menjanjikan, apa pun yang dia lakukan pasti berujung sial. Jadi, pindah daerah adalah solusi terbaik. Artinya, dia akan memulai bisnis baru di daerah yang baru. Rumah besar dan tiga mobilnya dijual sebagai modal. Pun, para pembantu dia pulangkan dengan pesangon yang sesuai. Intinya, aku juga akan dipecatnya. Karena sudah tidak punya bapak dan ibu pun tak jelas di mana serta keluarga lain yang tak peduli, aku merasa gamang. Apalagi, saat itu usiaku dua puluh tahun. Atas dasar itulah aku katakan akan ikut ke mana dia pergi. Kalau perlu, tidak usah digaji. Dia tertawa dan senang.
Aku katakan padanya untuk pindah ke ibukota provinsi, jangan ke daerah tingkat dua apalagi sampai ke kecamatan atau desa, peluang bisnis lebih terbuka. Dia sempat mengerutkan dahi, pasalnya dia berencana mau membuka toko kelontong sebagai awal di kota kecil. Pun aku katakan bisnis terbaik adalah bisnis politik. Tentu, pikiranku ini berdasar pada ceritanya setiap petang itu. Mendengar ideku itu, kerutan di dahinya semakin jelas. Lalu, pertanyaan bisnis seperti apa yang kumaksud langsung mengemuka. Kukatakan saja soal jual beli suara, bukankah marak pemilihan kepala daerah secara langsung?
Dia tertawa dan melihatku dengan bangga. Katanya, pikiranku tidak sesuai dengan umur dan nama. “Kau kupanggil Didik bukan karena aku tidak tahu nama aslimu, tapi karena didik itu dalam bahasa Bengkulu artinya bodoh. Ternyata, kau pintar juga,” katanya.
“Berkat pendidikan yang Tuan berikan,” balasku.
Dia semakin tertawa dan senang. “Ya sudah, kukembalikan namamu, Sidik!”
“Dan, Tuan adalah majikan si Sidik ini,” kataku lagi.
Dia diam. Berpikir. Lalu tanpa minta izin, dia pun menyebut namanya menjadi Tuan Sidik, bukan Ramli lagi. Katanya, dia ingin serba baru, termasuk soal nama. Dan, Tuan Sidik adalah nama yang keren, terdengar religius dan artinya sarat makna.
Masalahnya, bisnis jual beli suara tentu berhubungan dengan massa. Bagaimana caranya bisa dapat massa jika di tempat baru?
Nah, di sinilah kepintaran seorang pria yang bernama Ramli alias Tuan Sidik itu. Dia bercerita soal kisah Pak Belalang dengan anaknya yang bernama Belalang. Pura-pura pandai nujum padahal berawal dari rekayasa. Pun dia katakan, dunia nujum atau dunia gaib adalah sesuatu yang tidak bisa lepas dari masyarakat. Jadi, gunakan itu saja untuk mencari keuntungan.
Aku tertawa. Khususnya karena di tempat baru nanti aku harus menjadi Belalang, menjadi kaki tangan untuk membuat rekayasa. “Tapi, kita jangan tinggal bersama. Kau kukontrakan rumah, jauh dari tempatku. Komunikasi kita hanya pakai telepon genggam, nanti kubelikan,” katanya.
Aku setuju, pasalnya aku tetap digaji. Pun, aku bisa mengadu apa saja, syaratnya melalui telepon genggam. Artinya, aku tidak sendirian meski hidup terpisah.
Kami pindah ke lain pulau, ke sebuah ibukota provinsi yang terdiri dari 21 kecamatan. Aku dikontrakan rumah di sebuah komplek pinggir kota. Tuan Sidik membeli rumah di sebuah permukiman agar lebih membaur. Tentu, dia memakai dua pembantu baru yang berasal dari daerah itu. Jarak rumah kami terpisah enam kecamatan dan aku diberikan satu sepeda motor untuk operasional.
Tugas pertamaku adalah mengondisikan tiga pemilihan kepala desa, di kabupaten yang berbatasan dengan kota kami. Ini penting dan bisa jadi modal awal, kata Tuan Sidik dalam perbincangan via telepon. Katanya, dia sudah meramalkan ada tiga nama yang menang dalam tiga pemilihan itu. Dan, tiga nama itu adalah saudara dari beberapa warga di daerah tempat dia tinggal. Dia memberikan nama tersebut dalam perbincangan beberapa kali di warung kopi, kemudian berlanjut di rumahnya sembari memperlihatkan ritualnya dalam meramal. Ya, Tuan Sidik telah menyiapkan sebuah buku tebal kosong. Dia meraba-raba buku itu sambil komat-kamit. Katanya pada warga, hanya dia yang bisa membaca isi pesan dari buku tebal itu. Para warga kurang percaya dengan ramalan itu, pasalnya tiga nama yang disebut Tuan Sidik bukanlah calon kuat. Ketiganya tidak memiliki sejarah keluarga kepala desa, tidak begitu kaya, dan tidak pula dekat dengan pemimpin organisasi masyarakat atau pemuda. Dengan kata lain, ketiganya muncul sebagai calon hanya untuk peruntungan saja.
Tuan Sidik kemudian mengirim uang melalui rekening, lumayan banyak. Katanya, dana itu untuk dibagikan ke warga tiga desa agar memilih nama yang dia sebut. Aku tak perlu kenal tiga nama itu. Pun, tidak perlu menyebut nama Tuan Sidik. Aku lakukan tugas itu dengan baik. Ayolah, siapa yang tak mau memberikan suaranya dengan harga dua ratus ribu, apalagi hanya di tingkat pemilihan kepala desa?
Dan, ketiga nama itu menang. Banyak yang tercengang, termasuk warga yang menjadi saudara ketiga calon itu. Mereka mulai memandang Tuan Sidik dengan sinar mata yang berbeda.
Selang beberapa pekan, Tuan Sidik kembali menelepon. Dia men-transfer sejumlah uang. Katanya, berikan pada peserta musyawarah wilayah sebuah organisasi masyarakat untuk memilih salah satu calon. Seperti tiga kepala desa sebelumnya, calon ini juga kurang diperhitungkan. Tuan Sidik memilih memenangkan dia karena itu. Pun, sang calon sempat berbincang langsung dengannya di warung kopi. Kalau ada yang curiga, cukup senyum saja. Tentunya mereka akan mengira aku adalah tim sukses sang calon. Lagi-lagi, nama yang disodorkan Tuan Sidik menang.
Nama Tuan Sidik semakin berkibar, kata-katanya dianggap sebagai kebenaran. Posisinya sebagai ahli nujum politik mulai terdengar. “Sidik, kita mulai didengar. Siap-siap panen. Kau sudah kerja dengan bagus, pertahankan itu. Sebentar lagi pemilihan beberapa kepala daerah,” katanya via telepon.
Dan benar, beberapa waktu kemudian, Tuan Sidik men-transfer dana yang lebih banyak. Katanya, untuk warga dua kabupaten plus biaya operasionalku. Di sini aku mulai berhitung, dana yang banyak itu pasti bukan dana pribadi Tuan Sidik lagi. “Ketua organisasi itu jadi agen yang paten, dia dekat dengan orang partai dan pengusaha,” kata Tuan Sidik.
Aku maklum dan mulai tersenyum. Berarti usaha yang kami rintis mulai menghasilkan. Ya sudah, aku bekerja seperti biasa. Seperti biasa pula, dua calon itu menang. Tuan Sidik pun semakin terkenal.
Sejak itu, beberapa pemilihan berlangsung dan kalimat Tuan Sidik dianggap bertuah. Pilihannya selalu menang. Bahkan, untuk beberapa kasus yang menang, aku tak perlu kerja tapi mendapat dana transferan yang lumayan. “Kita sudah panen, kita bisa mengutip tanpa harus bekerja. Aku cukup memberi nama yang sudah populer dan mereka bayar tanpa berpikir calonnya memang sudah kuat,” jelas Tuan Sidik.
Imbasnya, aku semakin kaya, berhasil beli rumah dan mobil. Sementara Tuan Sidik tampak biasa saja, dia sengaja tak berubah, tapi aku tahu rekeningnya semakin gendut. Terbilang sudah cukup banyak penghasilan kami. Pilihan Tuan Sidik di pemilihan kepala daerah, ketua organisasi, ketua partai di tingkat kabupaten/kota dan provinsi, hingga rektor atau kepala sekolah adalah kebun bagi kami.
Belakangan Tuan Sidik mengubah cara meramalnya, tidak lagi pakai buku. Pun, dia tidak lagi mengatakan siapa yang akan menang. Dia memakai cara semacam survei, tentu ini hanya akal-akalan, tapi ternyata hasilnya luar biasa. Dia bisa meraih nyaris setiap calon yang ada. Cukup menyampaikan kemungkinan. Dengan cara ini, Tuan Sidik pun mulai bisa memberikan pilihan bagi calon untuk melakukan politik mundur. Dia bekerja sama dengan beberapa calon, membuatnya besar, lalu mundur ketika pendaftaran akan dimulai. Sang calon tentunya akan dibayar oleh pihak yang ingin menang. Artinya, Tuan Sidik juga panen.
Sejak itulah aku mulai resah, tidak punya kerja. Tuan Sidik seperti sudah tidak perlu aku lagi. Ya, aku memang kaya, tapi apalah arti itu ketika aku hanya bermain-main saja. “Namamu sudah kukembalikan, Sidik, bukan Didik lagi. Tapi, kenapa kau malah jadi bodoh! Pergi kau ke kota kecil, buka toko kelontong, kawin!” katanya ketika aku mulai protes soal pilihannya itu.
Aku merasa marah dengan kalimatnya. Tak terpikir olehku pindah ke kota kecil, membangun toko kelontong, seperti rencana awalnya itu. Apalagi, aku merasa sudah pintar.
“Nujum itu berarti kemungkinan dari sebuah kebenaran dan zaman sekarang bukan soal baskom berisi air dan mantra lagi, sudah berubah ke arah yang katanya ilmiah!” sambungnya.
“Ya, Tuan, saya mengerti,” balasku sembari menguatkan diri kalau aku adalah Belalang, bukan anak Pak Belalang. Dan, aku siap melawan.
Tapi, ya itu tadi, aku dipanggil Didik. Artinya bukan didik untuk pendidikan atau bermakna ajar, aku bodoh. Niatku untuk melawan Tuan Sidik malah kacau. Aku memilih tetap di kota itu dan menjauhi usaha toko kelontong. Aku menjadi Tuan Sidik yang lama, yang jadi tukang nujum dengan buku kosong dan yang menggunakan orang lain sebagai kaki kanan. Dan, aku gagal. Nyaris bangkrut. Tak ada yang percaya padaku walau kupakai nama Sidik untuk itu.
Kata orang-orang, aku Sidik dan bukan Tuan Sidik yang terkenal itu. Aku dianggap sebagai orang yang sekadar memanfaat kebesaran orang lain. Dengan kata lain, aku hanya pendompleng. Kurang ajar!
Itulah sebab kutulis cerita ini. Aku memang didik seperti kata orang Bengkulu, tapi Tuan Sidik itu memakai namaku! Jadi, jangan percaya dengan dia! Dia itu tukang nujum gadungan! Kalau bukan karena aku, dia pasti sedang di kota kecil melayani pembeli beras di toko kelontongnya yang juga kecil.
Paham kalian?