Cerpen
Disukai
0
Dilihat
4,182
Transkrip
Slice of Life

Pejabat desa menjadi pemegang saham usaha air minum dan berbagai usaha lainnya. Ditengarai dia memiliki saham-saham itu tanpa modal. Warga heboh. Sang pejabat disebut-sebut salah dalam menggunakan jabatan demi keuntungan pribadi.

Adalah Drs Sidik pejabat yang dimaksud. Dan, koran ini berhasil mewawancarainya belum lama ini di rumahnya yang megah setelah sekian lama tidak pernah berhasil. 

Bagaimana kabar Bapak?

Baik.

Sulit juga menjumpai Bapak.

Tidak juga (garuk-garuk kepala sambil tersenyum), gampang kan?

Butuh dua pekan juga kita baru bertemu. Jadi bagaimana Pak?

Apanya?

Tentang desa kita?

Oh, bagus. Seperti yang Anda lihat, sawah-sawah menguning dan air irigasi tak pernah berhenti.

Artinya panen kita akan melimpah?

Iya jelas itu.

Semua berkat Bapak.

Tidak juga. Ini berkat semangat semua warga untuk mendapatkan hidup yang lebih layak. Saya hanya memotivasi saja.

Tetap berkat Bapak.

Tidak juga. Saya kan hanya pejabat desa (terhenti sesaat, membakar rokok), itu memang tugas saya. Sebagai pejabat, saya memang wajib membangkitkan semangat masyarakat. Memang tugas saya ....

Termasuk soal peraturan desa?

Jelas. Intinya, semua kemajuan desa ini, ya jadi tugas saya.

Soal kenyamanan warga ...?

Apalagi itu, paling penting. Seperti yang Anda tahu, desa ini cukup kaya. Lengkap. Ada gunung. Ada pantai. Sungai berair. Tanah subur. Jadi, warga wajib nyaman. Dengan itu, mereka akan menjaga dan menggunakan anugerah Tuhan ini sebaik-baiknya.

Itu sebabnya Bapak membuat peraturan yang ketat bagi warga luar yang mau berusaha di desa ini?

Oh, tidak. Peraturan itu kan urusan kepala desa. Tapi yang jelas, ketika aturan itu hidup dan dihormati, maka kenyamanan akan hadir. Bisa Anda bayangkan kalau tak ada aturan, orang luar bisa bebas sesuka hati hanya karena menggandeng satu dua warga, bisa kacau kan? (Mematikan rokok) Jadi, semuanya satu pintu. Bukan untuk menghalangi warga bekerja sama dengan pihak luar, tapi agar semuanya teratur.

Semua warga puas?

Kalaupun ada yang tak puas itu karena mereka merasa rugi. Namanya rasa kan tidak objektif, dia subjektif. Maksud saya, bisa saja dia tak merasa bersalah padahal jelas-jelas melanggar aturan.

Contohnya?

Misalnya ada warga yang menggandeng pihak luar untuk menjual hasil panennya dan tidak melapor ke saya, nah, itu tidak benar karena peraturannya memang harus melapor saya. Lalu, mereka mengatakan saya ini dan itu, lho, peraturannya kan memang seperti itu. Ya, lapor sajalah. Saya tidak minta ini dan itu. Saya hanya menjalankan peraturan. Dalam peraturan itu, saya memang wajib tahu apapun yang terjadi di desa. Ini penting agar tak ada tumpang tindih.

Tapi, peraturan itu Bapak yang buat?

Tidak. Kepala desa yang buat. Saya yang ditunjuk mengurusnya. Nantinya, pengganti saya juga akan seperti itu. Kepala desa jadi tak repot, cukup bertanya pada saya atau orang yang jadi pengganti saya.

Kabarnya Bapak yang buat peraturan itu?

(Tertawa) Mana bisa saya buat peraturan, dari mana rumusnya?

Bapak yang menginginkan posisi sebagai pejabat yang mengurusi segala usaha desa.

(Tertawa) Saya ditunjuk. Saya ulangi, saya ditunjuk kepala desa. Pertanyaannya, kenapa saya yang ditunjuk? Ya, saya mana tahu, itu kan urusan kepala desa. Ya, mungkin kepala desa suka kerja saya, percaya dengan saya.

Tapi masih banyak warga lain yang mampu, kenapa semuanya Bapak yang urus? Kan, bisa diurus ramai-ramai. Misalnya, untuk urusan sawah diurus orang lain. Begitu juga hasil hutan. Atau, toko kelontong?

Siapa? Coba sebut nama. Apakah ada yang lebih berbakti kepada desa ini selain saya? Jadi begini, Anda bisa menilai sendiri. Sejak saya pegang urusan usaha di desa ini, banyak penanam modal yang masuk kan? Saya itu berkerja untuk desa ini dan kepala desa puas dengan kerja saya, jadi apa lagi?

Bagaimana dengan usaha air itu, air minum kemasan itu? Kabarnya Bapak punya saham di sana?

Begini, yang jelas desa ini punya mata air yang unggul. Air alam. Pemodal melihat itu dan ingin memanfaatkannya. Artinya, akan ada keuntungan bagi desa ini. Tidak hanya pemasukan uang, tapi warga desa juga bisa bekerja di sana. Nah, selama ini kan mubazir, terbiarkan begitu saja.

Berapa banyak saham Bapak?

Kepala desa melihat ini peluang bagus, selain dua hal di atas, masyarakat juga bisa berjualan di sekitar proyek itu. Jadi akan banyak uang yang berputar di desa ini karena pengelolohan mata air yang selama ini terbiarkan. Dan, itu sangat menguntungkan.

Bagaimana dengan saham?

Ini menariknya, desa kita berhasil mendapat 30 persen.

Bapak?

Desa ini dapat 30 persen.

Saya rasa Bapak mengerti pertanyaan tadi. Bapak dapat berapa persen, kepala desa dapat berapa, kas desa dapat berapa? Ya, pembagiannya seperti apa? (Drs Sidik meminta rekaman dimatikan, wawancara off the record) ....

Seberapa banyak warga setuju dengan proyek itu?

Sebagian besar setuju, ini kan demi kemajuan desa. Kalaupun ada yang tak setuju hanya segelintir orang dan orang-orang itu memang tak mau desa ini maju. Saya tak perlu menyebut nama, Anda pasti tahu. Mereka itu hanya memikirkan perutnya sendiri. Tidak melihat ke depan itu seperti apa, padahal desa ini kan sejatinya titipan untuk anak dan cucu kita kan?

Tapi, ketika mata air terus disedot, bukankah akan menghancurkan alam? Bagaimana dengan sawah dan ladang?

Pertama, hal ini berbeda. Aliran ke sawah dan ladang tidak dari mata air itu, dari sumber yang lain. Kedua, mata air itu ada di bagian gunung, jadi cadangan airnya banyak. Menurut pemodal, bisa bertahan hingga puluhan tahun. Jadi, bisa bayangkan keuntungannya.

Bagaimana dengan kemungkinan kerusakan alam?

Pemodal jamin akan aman. Kita percaya karena mereka menginvestasikan dana tak sedikit. Dan, supaya semua tahu, harusnya kita bersyukur karena desa kita yang dipilih pemodal.

Syukur?

Iya! Banyak desa lain yang merayu-rayu, tapi kita yang dipilih.

Itu kan karena kita punya mata air?

Tidak hanya air kemasan, pemodal lain juga sudah merapat ke kita. Hasil sawah dan ladang, misalnya, akan ada pemodal yang menampungnya. Toko kelontong, ada pemodal yang akan memasukan barang. Ada pemodal yang mau bantu warga membangun usaha kecil menengah, misalnya buat tikar atau keripik atau apa saja yang bisa menghasilkan uang. Ada juga pemodal yang mau jadikan desa kita sebagai tempat wisata. Jadi, desa kita nantinya tidak hanya menghasilkan barang, tapi juga jasa.

Bukankah desa ini sudah kaya, kekayaan alamnya luar biasa?

Benar itu, makanya harus dimanfaatkan.

Kalau salah memanfaatkan, bisa rusak kan?

Itu dia cara pandang yang kuno. Sampai kapan kekayaan alam itu bisa diandalkan? Desa ini butuh inovasi?

Kembali soal saham ....

Kan sudah off the record! (Membakar rokok)

Maksud saya soal peraturannya. Apakah ada aturan soal pembagiannya?

Segera selesai, lagi dibahas.

Artinya belum ada aturan yang jelas soal pembagian saham untuk kas desa, pejabat desa, atau warga lainnya kan? Aturan yang ada hanya masih soal wewenang Bapak saja kan? (Drs Sidik meminta rekaman dimatikan, wawancara off the record) ....

Baiklah, kita tidak akan bicara soal saham, bagaimana dengan keuntungan warga dan kas desa?

Sudah jelas kan? Kalau masuk pemodal maka kita semua di desa ini akan untung!

Pemodal?

Ya jelas untung, kalau tidak untung, ngapai mereka tanam modal! (Drs Sidik meminta rekaman dimatikan, wawancara off the record) ....

Baiklah, kita tidak akan bicara soal saham dan keuntungan. Bagaimana dengan keresahan warga?

Tidak ada yang resah, semua menyambut baik. Kalau masih ada yang resah, itu pengkhianat!

Bagaimana ceritanya orang yang resah bisa dianggap pengkhianat? (Drs Sidik meminta rekaman dimatikan, wawancara off the record) ....

Baiklah, kita tidak akan bicara soal saham dan keuntungan atau resah dan pengkhianat. Bagaimana dengan potensi amarah warga? (Drs Sidik meminta rekaman dimatikan, wawancara off the record) ....

Baiklah, kita tidak akan bicara soal saham dan keuntungan atau resah dan pengkhianat juga soal amarah. Bagaimana dengan potensi warga menggulingkan kepala desa?

Drs Sidik menyudahi wawancara tanpa menjawab, baik secara on the record maupun off the record. Drs Sidik meminta koran ini pulang sembari mengatakan agar wawancara tersebut jangan ditayangkan.

 

 

 

2022-2023


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)