Masukan nama pengguna
Apakah Raja pernah memilih untuk menjadi orang terakhir dari keturunan Sipanggaron? Sama sekali tidak. Malah, dia ingin sekali melepas marga itu. Dia ingin seperti mereka, teman-temannya, yang mempunyai persekutuan marga. Masalahnya Sipanggaron adalah tunggal. Persis dengan dirinya, tunggal; terakhir hingga akhir zaman. Kecuali, ya, kecuali dia bisa menghasilkan anak.
Tapi, soal anak nanti dululah. Sebelum usia 30 tahun, Raja adalah sosok suka-suka. Sebagai anak tunggal dan keturunan marga Sipanggaron satu-satunya, dia memiliki segalanya. Tidak perlu bicara soal tanah karena seluruh sawah maupun ladang di Hutalaen, kampungnya, adalah milik dia. Bahkan, kalau dia mau berperkara, seluruh tanah di Kecamatan Aekbeda juga miliknya. Kecamatan yang berada di seberang kabupaten sana itu dulunya adalah tanah leluhur Raja. Tapi, karena kesilapan dalam bertindak, tanah itu telah dirampas oleh pihak istri leluluhurnya. Atas nama iba pada ipar, leluhurnya memijamkan tanah. Tapi seiring waktu, keluarga pihak istri itu makin banyak. Artinya, makin banyak pula tanah yang dipinjamkan.
Sementara, keturunan Sipanggaron yang laki-laki minim. Dari satu generasi, hanya satu yang bertahan. Lainnya meninggal sebelum punya anak. Sedangkan anak perempuan menumpuk. Dan, anak-anak perempuan itu tentu punya suami. Maka atas nama tidak tega pada menantu, tanah pun kembali dipinjamkan bahkan diberikan. Maka, Aekbeda hanya bisa dikuasai leluluhur Raja dalam empat generasi saja. Pada generasi kelima, leluhur Raja malah diusir oleh mereka yang meminjam tanah.
Sipanggaron generasi kelima itulah yang membuka hutan yang kemudian dia beri nama Hutalaen, kampung Raja kini. Di kampung ini, Sipanggaron masih bertahan menjadi penguasa tunggal hingga generasi kelima belas, generasi Raja.
Perjuangan mempertahankan kampung ini sejatinya tak beda dengan Aekbeda. Sipanggaron memang memiliki keturunan yang minim. Setiap generasi hanya bisa menurunkan seorang anak laki-laki. Seperti kutukan, ketika ada lebih dari satu Sipanggaron, maka ada musibah yang mengakibatkan hilang nyawa. Seperti generasi ketujuh yang memiliki tujuh anak lelaki tanpa anak perempuan. Artinya, pada generasi kedelapan ada tujuh Sipanggaron tanpa ada Boru Sipanggaron.
Kekhawatiran anak-anak itu meninggal saat beranjak besar cukup mengemuka. Tapi, kenyataan itu tidak terjadi. Ketujuh anak yang masing-masing jarak usianya 1,5 tahun itu bertahan hingga besar.
Kenyataan itu benar-benar membahagiakan hingga dibuat pesta besar-besaran dengan memotong 49 kerbau atau tujuh kerbau untuk tiap satu anak. Dan, pesta dibuat selama tujuh hari.
Tapi, pesta yang digelar ketika anak tertua berusia 25 tahun, itulah kutukannya. Kebakaran hebat terjadi hanya karena pemasak salah tiup api. Dari dapur umum, api menjalar hingga seluruh rumah. Saat itu, tepat malam ketujuh dari pesta yang dijadwalkan. Seisi rumah tertidur, pemasak yang tidak boleh istirahat terus bekerja keras. Mereka memasak segala hal yang bisa dimasak.
Dan, ketika dini hari pada hari pesta ketujuh, api mengamuk, menghanguskan seisi rumah. Sipanggaron generasi ketujuh beserta enam anaknya tewas terpanggang. Yang tersisa hanya satu Sipanggaron, yakni anak ketiga yang saat itu berusia 22 tahun.
Generasi kedelapan Sipanggaron pun tinggal satu. Sebatang kara.
Dan kini, Raja hanya bisa membaca ulang sejarah itu. Pohon silsilah yang harus dia jaga utuh. Ya, harus dilanjutkan atau sejarah Sipanggaron di Tanah Batak berakhir.
Kalau saja Raja bisa memilih, mungkin dia akan menjadi anak dari marga lain atau malah anak dari suku lain. Tapi, dia sama sekali tak bisa menolak benih yang kemudian menjadi dirinya itu berasal dari Ompu Datu Doli Sipanggaron.
Maka, beginilah dia sekarang. Menatap kota, memilah perempuan mana yang bisa memberikannya anak lelaki.
Lalu, setelah waktu menyadarkannya kalau perempuan kota tak bisa dibaca, dia mulai berpikir untuk kembali ke sejarah.
"Sudah kubilang kan Raja, berbaris pariban yang kau punya, ambil saja satu. Kalau tak bisa dia punya anak, ambil pariban yang lain. Tak harus dari garis kami, bisa kau ambil pariban dari garis ompung atau dari garis yang jauh di atas lagi," kata Saurma, kakak bapaknya Raja.
"Itu juga yang kupikirkan, Bowu. Tapi, sampai kapan Sipanggaron hanya satu setiap zaman? Sejarah mencatat Bowu, leluhur kita kawin dengan paribannya semua, hasilnya? Lihatlah aku sekarang."
"Itu pula yang namanya garis kita, Raja."
"Kutukan."
"Apapun itu, yang jelas tak mungkin kau tutup marga ini hanya karena kau tak mau kawin!"
"Maunya aku, Bowu, sabarlah dulu."
Sabar. Kata ini mungkin menjadi kata yang menjijikkan bagi bowunya Raja. Bayangkan saja, perbincangan tadi adalah dialog yang tercipta dua tahun lalu. Kini, Raja tetap saja belum menemukan istri. Tak ada satupun pariban yang memikatnya. Begitupun, tak ada perempuan lain yang menjeratnya.
Seiring itu, kabar tak sedap atau ketakutan tak beralasan muncul ke permukaan. Raja dituding tak suka perempuan!
“Kalaupun kau tak suka, kawin sajalah. Jangan egois. Nanti habis margamu di muka bumi ini. Tak harus dengan anakku, anak siapapun boleh. Kalau memang parah kali, janda pun jadi,” kali ini tulang-nya Raja yang berujar. Adik dari ibunya Raja ini memang terkenal paling bijak.
“Apanya maksud TulangToga?” balas Raja.
Toga, sang tulang, membenarkan kacamatanya. “Kudengar kau tidak suka dengan perempuan ….”
Mata Raja mendelik.
“Tapi itu yang kudengar, Raja. Makanya aku kemari, menanyakan langsung soal itu,” tambah Toga.
“Siapa yang percaya?”
“Banyak!”
“Termasuk TulangToga?”
“Gak juga, tapi bisa percaya juga ….”
Raja memandang jendela, tepatnya pemandangan Bukit Barisan yang membentang. Perbincangan mereka memang dilakukan di ruang tamu bagian depan rumah. Ruangan itu penuh dengan jendela yang besar-besar ala arsitektur kolonial. Ya, sebagai margaraja di Hutalaen, leluluhur Raja memang mendapat posisi hebat ketika Belanda menjajah. Dia menjadi perwakilan pemerintah. Selain mendapat fasilitas seperti menyekolahkan anak hingga ke Jawa dan Belanda, leluhur Raja juga dibangunkan rumah yang saat itu sangat modern. Berjendela kaca. Bertembok putih dengan kusen cokelat terang. Rumahnya memang rumah panggung, tapi lantainya dari semen yang dibalut dengan marmer. Pun, tangganya indah dengan bentuk setengah lingkaran berhias susunan batu gunung. Sementara rumah lain hanya berwarna papan.
Tidak itu saja, rumah itu merupakan satu-satunya rumah yang memiliki kamar mandi di dalam rumah. Tidak satu, ada tiga kamar mandi. Satu di dalam kamar tidur utama, sedangkan satu di dekat dapur dan satu lagi dekat tiga kamar tidur lainnya. Sementara warga lain, ketika ingin membuang air besar, harus lari ke pancuran dekat masjid. Di sanalah kakus berjejer, hanya dibatasi dinding tembok setengah badan.
“Terserah sajalah, kalau mau percayakan silakan. Tapi, memang aku belum jumpa perempuan yang pas, TulangToga,” terdengar suara Raja, pelan dan lirih.
“Jadi betul itu?”
“Apanya?”
“Ya, kau tak suka perempuan!”
“Kan kubilang belum jumpa yang pas, ada kubilang tak suka?”
Toga tersenyum-senyum sendiri. Isu tentang keponakannya itu memang begitu mengganggu kepalanya. Dia jadi tidak bisa berpikir jernih. Apalagi, ketika dia berpikir marga Sipanggaron akan punah. Bisa hancur semua rencana yang ada. Ayolah, sebagai hula-hula, kaum pemberi istri, dia dan kaumnya sudah cukup dimanjakan oleh marga Sipanggaron. Dan, itu sudah sekian generasi. Tidak bisa dibayangkan jika Raja tak kawin hingga tak punya anak laki-laki, wasiat dari Sipanggaron kelima atau pendiri Hutalaen akan dibuka. Ya, wasiat yang akan membuat semua harta Sipanggaron hilang tak berbekas.
“Kalau begitu, cepatlah kau kawin Raja. Belum tahu kita apa rencana Tuhan, tapi sebaiknya kita bersiap,” kata Toga.
“Tenanglah TulangToga, tak mati aku sebelum punya penerus,” balas Raja. Kali ini dia berdiri, mendekat ke jendela. “Kupikirkan juga harta warisan semua ini, tak akan kubiarkan dia diambil seluruh marga di Tanah Batak ini. Tenang saja, Tulang Toga,” sambungnya.
“Iyalah kalau memang sudah kau bilang seperti itu, percaya aku.”
Toga permisi pulang. Raja tetap memandang jendela. “Di mana perempuan itu? Perempuan yang masih memakan sirih untuk pembersih dan penguat gigi?”
Tunggu dulu, apakah keinginan Raja memperistri perempuan pemakan sirih di zaman nenek-nenek pakai rok mini sebagai sesuatu yang berlebihan? Tidak juga. Dulu, ketika Raja mengalami mimpi basah pertama, perempuan pemakan sirih yang menjadi pasangannya. Dalam mimpi itu, Raja begitu terpesona dengan gigi kemerahan perempuan berambut panjang yang mendadak menciumnya di kaki Doloksatu. Ya, suasana dingin di kaki bukit yang diberi nama Doloksatu itu membuat kemesraan begitu terjaga. Mimpi itu tak pernah Raja lupakan. Perempuan itu tak pernah Raja hilangkan dari pikiran.
Itulah sebab, Raja memilih untuk bertahan menjadi perjaka hingga kini. Tak ada satu orang perempuan pun yang pernah menyentuhnya. Apalagi, setelah mimpi itu dia ceritakan pada sang bapak saat masa hidup, bapaknya malah memberikan jawaban yang mencengangkan. “Mungkin, itulah jawaban dari kutukan yang kita terima, Raja.”
Raja yang saat itu berusia enam belas tahun – setelah menahan mimpi itu sendirian selama empat tahun – terdiam. Dalam otaknya bergejolak semangat tercatat dalam sejarah. Jika memang seperti yang dikatakan bapaknya itu, maka Raja adalah Sipanggaron penghapus kutuk. Dan, namanya akan terjaga hingga akhir zaman. Sejak saat itulah Raja menyimpan tekad: memutus kutukan dan mengekalkan namanya.
Tapi, perempuan pemakan sirih memang makin sulit. Perempuan Batak yang pernah Raja temui, baik di kampungnya maupun di mana saja berada, sudah lebih memilih memakai pasta untuk membersihkan gigi. Tak ada lagi gigi kemerahan.
“Pergilah kau ke kaki Doloksatu itu, mungkin di sana ada perempuan yang kau maksud,” sebut bapaknya sesaat sebelum napas berhenti, sepuluh tahun lalu.
“Jangan pernah berhenti melanjutkan marga ini, carilah perempuan itu meski bukan dia ya … ng a … da di mim… pi … mu,” sambung bapaknya.
Kalimat putus-putus tanda nyawa mulai melayang itu masih terekam dalam otak Raja. Dia simpan rapat. Begitupun hasrat untuk menyentuh perempuan, dia tahan rapat demi perempuan pemakan sirih. Dan, ketika usia sudah 36, dia makin khawatir. Masih adakah perempuan itu?
Besoknya, ketika azan Subuh selesai mengisi angkasa Hutalaen, Raja terbangun. Tak ada mimpi. Malas dia angkat badan menuju kamar mandi yang pintunya berada di dekat lemari kayu tiga pintu.
Dari kejauhan terdengar suara pancuran. Nadanya tetap. Iramanya stabil. Raja tersenyum. Ada semacam semangat yang mendadak muncul begitu musik pancuran itu menelusup ke otaknya.
“Aku harus kawin. Mau pemakan sirih atau tidak, aku harus kawin. Kalaupun bukan aku pemutus kutuk, setidaknya aku kawin! Ah, entah di mana sembunyi perempuan itu!” ucap Raja sambil memandangi wajahnya di cermin. “Apapun jadinya, perempuan yang pertama kali kutemui hari ini di luar kampung ini akan kukawini. Aku tak peduli!” tambahnya sembari mulai menyentuh bagian sensitif di tubuhnya dan mencari kesenangan yang selama ini jadi obat baginya.
Setelah itu, ketika hari mulai terang, Raja pergi ke luar kampung. Aneh, jalanan sepi. Sawah pun sepi. Bahkan, hingga 5 kilometer luar kampung, belum ada satu pun perempuan yang dia temui.
Raja kembali pulang. Kecewa. Untuk menuntaskan tekad nekat pun dia tak mampu. Begitu parahkah kutukan yang harus dia tanggung, pikir Raja. “Masih lumayan leluhurku, dikutuk hanya punya satu anak laki-laki. Tapi aku, jangankan punya anak laki-laki, punya istri saja sulit minta ampun,” ocehnya.
Memasuki kampungnya, Raja terkesima. Seorang perempuan berdiri di dekat jembatan, tidak jauh dari perumahan warga. Perempuan itu sama sekali tak pernah dia jumpai. Dia berambut sebahu dan berkulit putih. Matanya sedikit sipit, persis warga keturunan etnis Tionghoa. “Inikah perempuan yang akan kujadikan istri itu?” tanya Raja dalam hati.
Maka, begitu berada di depan perempuan itu, Raja menghentikan langkah. Dia begitu ingin berbincang, namun tak ada suara yang bisa dikeluarkan. Begitupun ketika perempuan itu tersenyum dan mendadak pergi. Hilang. Perempuan itu lenyap setelah berlari kecil menuju perumahan warga. Raja tak bisa bergerak. Semakin dia berusaha, tanah semakin kuat mencengkeram kakinya. Raja akhirnya terduduk, tepat di dekat perempuan itu tadi berdiri. Dia merasa sangat letih.
“Ah, bukan dia. Tekadku kan perempuan pertama yang kujumpai di luar kampung ini,” ucapnya perlahan.
Mendadak dia pun kembali bisa berjalan.
Medan, 2014