Cerpen
Disukai
3
Dilihat
16,170
Tengkorak Kakek di Makam Pahlawan
Drama

Ayah hanya melirik ketika ibu mengatakan agar jasad kakek di makam pahlawan dipindahkan. Tak ada kata pun tak ada ekspresi berarti. Usai lirik, dia bangkit. Diraihnya gelas dan dia lemparkan ke samping kanan ibu. Gelas duralex cokelat itu langsung lebur setelah menabrak dinding, tepat di sisi kepala ibu. Beling-beling seperti pasir, berserak di lantai dan selebihnya menempel di rambut ibu, pun bajunya, serta sofa tempat duduknya. Ibu memekik. Ayah pergi, bukan lari, dia jalan dengan tenang keluar rumah.

"Ini semua untuk kita! Jangan egois!"

Ayah sepertinya tak peduli dengan suara lantang ibu. Dia sudah membuka pagar. Berbelok kanan, dan seperti biasanya, menuju warung Mang Maman. Setelah itu, seperti biasanya, malam jelang subuh dia baru pulang. Napasnya berat dan berbau alkohol yang hebat.

"Dia bapakku. Dia pahlawan. Kau pindahkan saja tengkorak bapakmu dari perkuburan wakaf sana! Jangan ganggu jasad bapakku, negara telah memberikan tempat yang layak untuk dia!"

Biasanya, ketika ayah pulang dengan kondisi seperti itu, ibu tidak akan menjawab. Dia menunduk sambil berusaha secepatnya agar ayah tertidur. Tapi malam itu, ibu menentang. Dia biarkan ayah tersungkur akibat badan yang goyah.

"Makam bapakku tidak laku. Makam bapakmu mahal, sudah ada yang mau beli. Apalagi yang mau ditahan, perut kita semua butuh makanan."

"Dia pahlawan!"

"Iya! Pahlawan negara, tapi bukan pahlawan keluarga! Mana warisannya yang kau banggakan itu!"

"Dia pahlawan. Dia patut dikenang!"

"Tanpa uang, sama saja!"

Ibu terlihat sangat berbeda. Dia lebih beringas. Kalau ada yang mendengar perbincangan penuh amarah itu, pasti menganggap ibu adalah menantu durhaka. Sebenarnya, tidak begitu. Ibu adalah orang yang paling luar biasa. Sejak menikah dua puluh sembilan tahun yang lalu dengan ayah, dialah yang mencari nafkah. Dia bekerja apa saja, mulai dari jaga toko orang sampai menjual sayur masak. Sedang ayah, dia hanya menambah utang dari hari ke hari di warung Mang Maman. Sesekali dia mendapat honor dari pekerjaannya yang entah, tapi itu selalu habis untuk menutup utang. Begitu terus berulang.

Hingga akhirnya datang seorang utusan jenderal yang meminta agar keluarga mengajukan pemindahan jasad kakek dari makam pahlawan. Sebagai balas jasanya, ayah dan ibu akan mendapatkan uang yang sangat banyak. Siapa yang tak tergoda?

Apalagi, kakek telah lama mati. Bahkan, sebelum ayah dan ibu menikah. Namanya pun sudah dilupakan. Dia bukanlah tentara kenamaan hingga setiap hari kemerdekaan atau hari pahlawan kuburannya ramai diziarahi. Kakek hanya seorang lelaki yang kebetulan jadi pahlawan. Dia tentara biasa, tidak ikut dalam perang kemerdekaan maupun perang mempertahankan kemerdekaan. Dia hanya ajudan dari sekian jenderal. Satu-satunya jasa kakek adalah menyelamatkan sang jenderal saat disergap pemberontak di negara bagian Utara. Kakek tewas dan jenderal selamat. Itu saja. Dan karena jenderal yang selamat ini adalah jenderal keempat yang kakek layani, maka banyak yang setuju agar kakek dikuburkan di makam pahlawan. Itu saja. Itulah kenapa jasad kakek ada di sana.

Masalahnya, entah salah tunjuk tempat atau tidak, kuburan kakek terletak di tempat yang strategis. Tidak paling depan, tapi paling pinggir sebelah kanan dari pintu gerbang makam. Di sebelahnya ada pula pohon kamboja yang sudah sangat tua, yang batangnya telah berurat dan bunganya seperti tiada henti. Dulu, kuburan itu terkesan terpisah, tapi setelah sekian kematian mendatangi orang-orang yang disebut pahlawan, kuburan itu malah merapat. Tepat di sisi makam kakek adalah kuburan mantan pimpinan dewan. Di belakangnya, makam pejabat tinggi pemerintahan. Dan di depannya, makam pimpinan partai politik yang merupakan anak pejuang kemerdekaan.

"Jadi, kami mohon pindahkan jasad ayah kalian. Belilah tanah yang layak, kami biayai. Makam pahlawan telah penuh, tak ada tempat untuk yang baru. Sementara, seperti yang kalian tahu, jenderal telah tua dan dia adalah pahlawan bagi negara ini," begitu kata utusan jenderal tempo hari.

Tidak, ini bukan jenderal yang kakek selamatkan atau tiga jenderal sebelumnya yang menjadi atasan kakek. Ini jenderal lain. Saat kakek bertugas, mungkin dia masih berpangkat kapten. Tapi, kariernya hebat. Ini tak lain karena kenekatannya di daerah konflik. Dia berprestasi dengan dua peluru yang sempat hinggap di badannya. 

"Berarti status mertua saya sebagai pahlawan dicabut?" balas ibu saat itu.

"Tidak, tidak. Bapak tetap pahlawan dan tetap dihormati. Tapi, kalau keluarga meminta pemindahan jasad, kan, negara tidak melarang. Status pahlawannya, ya, tetap."

"Negara kan punya kuasa ...."

"Untuk pahlawan, sepertinya tidak bisa sembarangan, Bu. Makanya, ketika keluarga meminta, negara pun tak bisa menahan. Jadi, kami akan biayai semuanya. Termasuk dana lebih untuk kalian sekeluarga."

Bapak diam, dia hanya melirik utusan jenderal itu. Ibu jelas tertarik dengan tawaran tersebut.

"Kami tunggu kabarnya ya Pak-Bu. Ini nomor telepon kami. Semakin cepat semakin baik," permisi utusan itu sambil meletakkan kartu nama beserta amplop putih panjang di meja.

Usai utusan itu datang, ayah semakin sering ke warung Mang Maman. Sementara ibu, dia mulai sibuk bertanya tentang pemakaman umum di kampung. Tak puas, dia ke kampung sebelah. Tak puas juga, ke kampung sebelahnya lagi. Singkatnya, ibu tampak begitu sibuk mengurus pemindahan tengkorak kakek.

“Belum ada yang cocok, Nak, tidak mungkin tengkorak kakek di pindahkan ke tempat yang biasa saja. Bagaimanapun, kakekmu itu pahlawan. Jadi, tidak pas kalau dimakamkan di dekat atau sederet dengan sembarang orang.”

Aku yang mendengar kalimat itu berusaha mencerna dengan baik. Ada yang kurang bisa kutangkap. Kakek digusur dari makam pahlawan demi jenderal yang akan mati, artinya dia kalah. Lalu, kakek tidak cocok dipindahkan ke makam kampung karena dia pahlawan, berarti dia unggul.

“Kita beli tanah saja, Mak. Kan kata utusan jenderal itu, mereka siap belikan tanah untuk makam kakek,” kataku tanpa berpikir panjang. Keluar begitu saja. Sepertinya kalimat itu tak mau berlama-lama di dalam kepala karena melihat ibu yang mulai panik memikirkan calon tempat untuk tengkorak kakek.

Ibu tak menjawab. Tapi, matanya seperti berbinar. Gerakannya pun menjadi tak tenang. Biasanya, kalau sudah begitu, maka ada pikiran yang memang sedang dia olah dalam otaknya. Dan benar saja, malamnya ketika ayah pulang dari warung Mang Maman, ibu langsung menyambut di depan pintu. Tak peduli kondisi ayah yang sempoyongan, ibu langsung mengeluarkan kalimat-kalimat penuh semangat. Katanya, agar kakek tetap terhargai sebagai pahlawan, sebaiknya dimakamkan di tempat khusus. Dan, dia sudah menemukan tempat yang tepat. Ada sebuah tanah seukuran satu rante alias dua puluh meter kali dua puluh meter yang dijual. Letaknya di atas bukit. Tanah itu cocok untuk makam kakek. Nanti, di tanah itu dibangun semacam tugu kecil lengkap dengan taman mungil. Tidak sampai di situ, ibu juga katakan, di area makam akan dibangun semacam kios atau warung. Jadi, para peziarah bisa berbelanja di sana dan kami akan mendapat untung.

Saat menyampaikan gagasannya itu, ibu tampak sangat semangat dan bahagia. Tapi, ayah hanya melirik, dia pun langsung masuk ke dalam, ke dapur. Ibu mengejar dan terus mengoceh soal rencana-rencananya, termasuk untuk urusan parkir para peziarah akan diserahkan padaku. 

“Abang santai saja, aku yang mengatur. Makam bapak pasti akan ramai, nanti aku yang mengatur. Abang tenang-tenang saja, silakan tetap ke warung Mang Maman. Pokoknya, abang duduk manis, uang pasti datang.”

Ayah tidak melirik lagi. Cepat dia sambar gelas duralex yang tersisa. Dia lemparkan gelas itu ke dinding, tapi tidak ke arah belakang ibu, kali ini ke sisi lain. Gelas duralex cokelat itu langsung lebur, beling-beling seperti pasir, berserak di lantai, tapi tak ada yang menempel di rambut ibu.

"Dia bapakku. Dia pahlawan. Bukan untuk dijualbelikan!”

"Ini semua untuk kita! Jangan egois!"

Mata ayah semakin merah. Sinar yang sebelumnya cenderung redup kini menyala. Dia pun mulai bergerak tak tentu, mencari gelas yang lain. Tak ada yang bisa dilempar. Ayah berteriak putus asa. Ibu tak mau kalah. Menjerit meminta persetujuan. Mengancam demi gagasannya.

“Kita butuh uang!” katanya dengan nada tertinggi.

Ayah diam. Dia tidak melirik ibu melainkan ke secarik kertas di atas meja dapur: surat kepada negara perihal pemindahan jasad dari makam pahlawan. Dan, ayah menangis. “Negara yang minta bapak dimakamkan di sana. Kami sudah menolak, tapi negara memaksa. Kini atas nama negara, ada jenderal yang ingin disebut sebagai pahlawan dan menawarkan segala uang. Tidak, itu tidak sepadan!”

Ibu tidak sedih. Dia malah semakin beringas. Dia ke rak piring, mengambil sesuatu yang berwarna bening dan melemparkannya tepat ke kepala ayah. Piring kaca itu tidak pecah. Tak ada beling-beling yang berserak. Tapi, ada darah keluar dari kepala ayah, muncrat dan lengket di lantai.

Setelah itu? Tak ada apa-apa. Kami diam. Entah sampai kapan. Pun, tengkorak kakek masih di makam pahlawan. Entah sampai kapan.

 

 

medan johor


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)