Masukan nama pengguna
Anakku yang kedua, perempuan, ulang tahun pada ujung tahun. Tepatnya, empat hari setelah Natal. Rencananya, dia akan merayakan hari jadinya dengan pergi bersama teman-teman. Empat hari tiga malam, mulai tanggal 30 Desember pagi hingga dua Januari malam. Mereka akan menikmati air panas di Lau Sidebukdebuk, di kaki Gunung Sibayak, terlebih dahulu. Lalu, malamnya baru ke Berastagi untuk menginap. Paginya mereka akan ke Siosar, perkampungan baru bagi warga korban erupsi Gunung Sinabung. Jelang sore, mereka akan kembali ke Kabanjahe dan langsung menuju ke Samosir melalui Merek. Di Pulau Samosir mereka akan menginap semalam sekaligus menikmati pergantian tahun. Setelah itu mereka akan menyeberang ke Ajibata, sasarannya untuk menginap di Parapat. Di kota wisata ini mereka akan menginap semalam. Sesudah itu mereka akan kembali ke Medan via Tebingtinggi.
Katanya, mereka empat orang. Pergi dari Medan dengan mobil milik temannya. Katanya lagi, semua perempuan. Aku tak percaya, mana mungkin semua perempuan, itu kan perjalanan yang lumayan jauh, pasti ada laki-laki. Bisa saja, pacarnya, tidak mungkin teman.
“Nanti aku bawakan Roti Ganda dari Siantar untuk Papa,” begitu katanya.
Anakku yang pertama, laki-laki, mau menghabiskan tahun baru di Tangkahan. Rencananya dia mau pergi sendiri dan tidak lama, hanya dua malam. Artinya, pergi 31 Desember dan sudah kembali ke rumah pada dua Januari. Dia mau pergi dengan sepeda motor, jadi dia akan mengendarai kendaraan roda dua itu dari Medan melewati Binjai dan Stabat ,lalu belok kiri ke Jalan Sawit Seberang. Sendirian. Aku tak percaya, mana mungkin mengarungi jarak kurang lebih 70 kilometer itu sendirian, apalagi naik sepeda motor, pasti ada teman-temannya. Paling tidak, pacarnya.
Di Tangkahan, rencananya dia akan menginap di semacam hotel milik artis, tepatnya di perbatasan dekat pintu masuk ke Taman Nasional Gunung Leuser. Tak akan ada terompet, bakar-bakaran ikan atau ayam, minuman keras, apalagi kembang api. Dia hanya akan kembali ke alam, menikmati sungai pun bermain-main dengan gajah jinak.
“Nanti aku ceritakan pengalamanku ke Papa,” begitu katanya.
Istriku memilih ikut rombongan kantornya ke Pantai Cermin. Rencananya mereka akan menginap di penginapan yang ada di pantai itu. Artinya, berangkat pada 31 Desember dan sudah kembali pada 1 Januari. Mereka berjumlah 20-an orang, naik bus rombongan dari Medan. Mereka akan pesta, makan-makan, dan bernyanyi dengan iringan organ tunggal yang mereka bawa langsung dari Medan. Tentu aku tak berkomentar, pasalnya acara itu diselenggarakan perusahaan sebagai cara agar pegawai lebih bersemangat pada tahun kerja berikutnya. Jadi, yang boleh ikut benar-benar karyawan, keluarga tidak boleh. Aku, maupun keluarga karyawan lainnya, harus rela karena kegiatan itu jarang-jarang dibuat perusahaan, pun apalah arti semalam saja.
“Nanti aku tunjukkan foto dan videonya, ya, Bang,” begitu katanya.
Pembantuku pulang ke Belawan. Rencananya dia akan menghabiskan waktu pergantian tahun di rumah orangtuanya yang berada di Kampung Nelayan. Orangtuanya sakit, jadi selagi rumah kosong, inilah kesempatannya untuk ke sana. Dia akan meninggalkan rumah pada 30 Desember petang dan baru akan kembali pada 1 Januari malam.
“Kan tidak mungkin saya hanya berdua dengan, Bapak,” begitu katanya.
Pembantuku ini berusia tigapuluhan tahun. Janda beranak satu. Tubuhnya masih bagus. Pun senyumnya kadang-kadang sering menggoda. Dia memang tak pernah pakai baju minim, tapi gerak tubuhnya sering seperti memanggil. Setidaknya, itu menurutku.
Istriku berumur 46 tahun, dua tahun di bawahku. Cantik. Tapi karena sudah dua puluh tahun menikah, aku lihat dia biasa saja. Kami menikah ketika dia berusia 26 tahun. Dia pegawai di sebuah swalayan, berhenti kerja karena langsung punya anak. Baru setelah anak kedua berusia 2 tahun, dia kerja lagi. Tapi, bukan d swalayan. Ada perusahaan besar yang menampungnya, bekerja di bagian personalia. Jabatannya lumayan, sudah wakil manajer.
Anakku yang pertama berusia 19 tahun, kuliah di sebuah perguruan tinggi, mengambil jurusan manajemen. Tapi, dia sangat akrab dengan kawan-kawannya semasa SMA. Bahkan, beberapa kawan SMA-nya itu jadi kawan sekampus. Dia memang sering bermain, praktis di rumah hanya malam. Jadwal kuliah yang padat adalah alasannya.
Anakku yang kedua berusia 17 tahun lebih. Dia bergabung dengan siswa pecinta alam. Kegemarannya naik gunung. Gunung Sibayak sudah bolak-balik dia daki, dua kali ke puncak Gunung Sibuatan, tapi tak pernah naik Gunung Sinabung. Selain itu, dia juga suka olahraga. Dia pemain bola untuk usia dini, sejak kelas lima SD dia memang kumasukan ke sekolah sepakbola. Kemudian dia berhenti ketika SMP dan pindah ke basket, tidak klub, hanya bermain di sekolahnya saja.
Rencanaku tidak akan melarang kegiatan mereka semua. Aku akan tetap di rumah, sama sekali tidak keluar. Kalau lapar, aku tinggal pesan makanan via aplikasi. Pun, aku tak perlu mandi. Kerjaku di ujung tahun akan habis dengan tidur. Mungkin, nonton film di gawai atau menikmati siaran televisi tentang kegembiraan orang-orang menyambut kalender baru.
Masalah yang terjadi pada istri, anak, dan pembantu tidak harus masuk dalam pikirianku. Ya, aku tak peduli kalau ternyata anak pertamaku pergi dengan pacarnya, anak keduaku mabuk-mabukan, pembantuku tidak menjaga orangtuanya, atau istriku selingkuh. Aku tak mau tidak stres. Kurasa, rencana itu sudah bagus.
Atau, kususun rencana lain. Aku eksekutif muda yang tak mau menikah. Umurku nyaris tiga puluh tahun, tapi sudah kaya. Aku tinggal di apartemen, di lantai 30-an yang berada di gedung bertingkat 50. Letak gedung itu strategis, tepat di segitiga emas Kota Medan. Ya, di pusat kota, dekat dengan titik nol kilometer. Dari apartemenku itu, aku bisa melihat Medan dari langit. Jadi, kembang api yang bertebaran di angkasa saat pergantian tahun akan terlihat lebih indah dan dekat. Pun, aku tak perlu keluar. Jalanan kota tentu akan sangat macet, tempat hiburan akan penuh, dan ruang makan kehabisan tempat.
Pada rencana itu aku memang menjadi laki-laki yang tidak suka keramaian, tapi bukan seperti bapak rumah tangga yang tak punya kuasa terhadap isinya. Aku adalah orang yang mapan, bukan lelaki yang bergantung pada pendapatan istri hingga tak bisa bersuara lantang. Aku orang yang aktif, bukan pria yang menikmati tidur karena tidak tahu harus berbuat apa. Jadi, menetap di apartemen adalah pilihan dan bukan karena keadaan.
Kalau kurang menantang, rencanaku jadi sopir taksi daring saja. Umur 27 tahun, tapi sudah punya tiga anak. Anak yang paling besar berusia lima tahun, kedua tiga tahun, dan ketiga setahun. Aku punya istri tamatan SMA dan tidak bekerja. Kami tinggal di komplek perumahan pinggir kota Medan, rumah subsidi yang berkuran 6x6 meter dengan luas lahan 72 meter persegi. Punya dua kamar dan satu kamar mandi, serta satu dapur mungil di bagian belakang. Ruang televisi, ruang tamu, dan ruang makan menjadi satu. Di bagian depan rumah, kupasang kanopi, berfungsi sebagai garasi terbuka. Mobil minibus yang kubeli dengan cara mencicil, yang harganya kurang lebih 200 juta, parkir di sana dengan aman. Artinya, tidak ada masalah.
Namun, rencanaku akan menghabiskan waktu pergantian tahun di jalanan. Aku akan menampung pelanggan yang mau menyewa semalam penuh. Alasannya jelas, harga bisa tinggi dan aku mendapat uang yang pasti. Tentu ini jauh menguntungkan dibanding aku berkeliling tak tentu arah sembari menunggu order dari aplikasi. Bagaimana jika tidak dapat? Bagaimana jika terjebak macet? Bagaimana kalau kehabisan bensin? Bagaimana kalau yang kudapat lebih rendah dari pengeluaran?
Rencana ini tentu akan didukung oleh istri. Anak-anak? Tenang, meski mereka sempat mengatakan ingin jalan-jalan menikmati pergantian tahun, ibunya pasti bisa menenangkan. Atas nama uang, siapa yang bisa melawan? Istriku pasti paham bahwa di awal tahun kami sudah ditunggu sekian cician, mulai dari uang listrik dan air, kredit mobil, hingga untuk biaya hidup sehari-hari. Satu lagi, awal bulan kami sudah ditunggu setoran KPR!
Kalau mau bersantai, aku berencana jadi pengemudi becak motor. Rencananya aku akan mangkal di warung tuak, bernyanyi sambil main gitar, sembari menunggu penumpang kalau ada. Akan kubiarkan istriku dan anak-anak yang sudah duduk di bangu SMP berjualan terompet di pinggir jalan, di seputaran Jalan Sisingamangaraja. Mereka pasti bahagia karena pada malam pergantian tahun biasanya banyak orang yang belanja sesuatu yang tak perlu. Dan terompet, sesuatu yang tak perlu, adalah benda yang cukup menggoda saat momen itu. Pun mereka akan menikmati jalanan padat, orang-orang gembira, dan pemandangan kembang api di angkasa.
Setelah subuh, aku baru menjemput mereka. Tentunya dengan mataku yang merah dan mulut yang tidak banyak bicara. Lalu, istri dan seorang anakku akan duduk di kursi penumpang. Sementara anak yang satu lagi duduk di belakangku, di jok yang sedikit koyak. Mereka akan bernyanyi-nyanyi hingga kami tiba di rumah warisan bapakku, di sebuah gang kawasan padat.
Pada rencana itu, tentu aku jadi orang yang sangat bahagia, lebih lepas dibanding laki-laki yang kejar setoran. Aku adalah orang yang tahu bersikap, bukan lelaki yang buta hingga tak mengerti cara bahagia. Aku orang yang bermarwah, bukan pria yang masih mencicil rumah. Jadi, bersantai di warung tuak dan membiarkan anak-istri bekerja di malam Tahun Baru itu kelebihan, bukan penindasan.
Sudahlah, itu rencanaku untuk pergantian tahun. Mana yang akan terjadi? Bisa saja bukan keempatnya. Pasalnya, hingga saat ini aku masih terus berencana menyusun rencana.