Cerpen
Disukai
3
Dilihat
15,221
Pembunuh Cicak
Drama

Mayatku ditemukan dalam sebuah kamar. Kamarku. Kamar dengan pintu yang tak berkunci. Kamar dengan jendela yang terbuka. Kamar yang benderang. Ketika petang, saat sinar matahari bebas masuk dari arah barat. Sangat tidak mencurigakan. Sebuah kematian wajar. Tanpa luka atau tanda-tanda penganiayaan. Gagal jantung menjadi proses yang alami, kata orang-orang. Tapi, aku dibunuh. Aku tahu itu. Aku sadar kala napas tinggal satu-satu. Mereka menghambatnya. Cicak-cicak itu. Masuk ke lubang hidung. Memenuhi mulut. Bergelantungan di amandel. Berteriak: bunuh-bunuh!

Ya, cicak-cicak itu, mereka yang tak pernah kubiarkan menempel di dinding, melahap nyamuk-nyamuk rumah, di langit-langit maupun di balik lemari. Siapa yang percaya? Aku pun, sebenarnya, tidak. Apalah arti kumpulan cicak dibanding aku, manusia yang memiliki kemampuan luar biasa untuk mengakali. Tapi, siang itu, terjadi. Aku mati. Tak ada cicak dalam tubuh, mereka telah lari, sembunyi di balik lemari bahkan sampai ke kamar mandi.

“Gagal jantung,” kata dokter sebelah rumah.

“Kasihan sekali, tapi bukannya dia tak punya sejarah sakit jantung? Bukannya dia tidak sedang olahraga? Bukannya dia tidak selesai minum minuman pembangkit emosi, tak ada jejak botolnya kan? Kenapa?” balas tetangga yang lain, yang bukan dokter.

“Sudahlah, gagal jantung saja.”

“Iya, sudahlah, biar cepat. Semakin cepat dimakamkan, semakin cepat tenang. Dia tenang, kita juga tenang.”

Aku tidak tenang mendengar dan melihat mereka berbicara. Dokter itu, tetanggaku, kukenal sebatas kenal. Tak pernah berbincang. Tapi, aku tahu dia baik. Dia selalu memberikan pengobatan gratis pada orang tak mampu. Kenapa dia tak mau memeriksa mayatku lebih dalam? Mungkin, bisa saja, dia menemukan ekor cicak yang tertinggal di kerongkonganku. Setidaknya, aku lebih terima divonis mati karena memakan cicak dibanding gagal jantung.

Nyatanya, mayatku dimasukkan ke dalam tanah dengan cepat. Beberapa menit sebelum magrib. Tak ada tangis yang bisa menghambat prosesi. Tak ada keluarga yang pingsan. Semua tak ada. Aku memang sebatang kara. Perantau tanpa latar belakang lengkap. Maka, selesailah semua setelah aku ditimbun dalam tanah. Tutup kasus. Jangan diungkit lagi. Jangan dicerita-ceritakan. Jangan diingat-ingat. Kematianku biasa saja. Bukankah begitu?

Tidak.

Aku masih bisa merasakan dunia! Aku melihat. Aku mendengar. Aku merasakan. Jiwaku tetap ada, kenapa tak kumanfaatkan? Maka, yang kulakukan pertama kali adalah mencari cicak-cicak itu. Kau, yang bukan cicak, pinggirlah! Tak ada urusanku denganmu!

***

Tak ada lagi keriangan anak-anak bernyanyi di beranda rumah, ketika malam belum jam sembilan, sambil membawa karet gelang yang disiapkan menjadi senjata: cicak-cicak di dinding, diam-diam merayap, datang seekor nyamuk, hap, langsung ditangkap! Lalu, cicak itu kabur, meninggalkan ekornya yang menggelinjang di lantai setelah berhasil mengelak jepretan yahud anak-anak itu. Dan, anak-anak bersorak tanda kemenangan. Sedangkan cicak yang mengintip di celah sambungan tembok dan asbes, tertawa lepas: makan itu ekorku, kalian pikir aku sudah kalah!

Kemudian besoknya atau malam Jumat berikutnya, anak-anak akan kembali menyanyikan lagu yang katanya dikarang oleh NN dan kemudian disebut juga karya AT Mahmud itu. Mereka akan membawa karet gelang lebih banyak. Menembak lagi. Mendapat ekor lagi. Bersorak lagi. Dan, cicak memaki lagi.

Kini semua itu tak ada. Seorang ibu dengan bijak akan berucap, “Jangan ditembak cicak itu, Nak. Dia itukan ciptaan Tuhan juga. Dia itu menolong kita dari serangan nyamuk kan?”

Nyanyian tinggal nyanyian. Di taman kanak-kanak. Atau, di rumah kakek ketika sang ibu dengan bangga mempromosikan anaknya telah pandai bernyanyi: cicak-cicak di dinding, diam-diam merayap, datang seekor nyamuk, hap, langsung ditangkap! Itu saja. Dan sang cicak yang nyaman di plafon rumah kakek yang tua, bertepuk tangan tanpa jatuh di lantai. Sepersekian detik kemudian, dia pun menjatuhkan tahinya ke baju sang anak. Sang anak terganggu. Mengadu pada ibu. Sebuah tisu pun menjadi penenang. Tapi si kakek tersadar, dahinya berkerut menangkap tanda alam akan ada sebuah kesialan yang datang.

“Itu hanya mitos, tahayul loh, Pa,” kata anaknya yang menjadi ibu anak yang bernyanyi tadi.

Kakek tak menjawab, dia mengelus dada. Sudah itu saja.

Tapi, malamnya ketika sang cucu minta diceritakan sebuah kisah pelipur lara, dia pun bercerita tentang nabi yang bersembunyi di gua yang ditutupi oleh jaring laba-laba. Cicak itulah yang memberitahukan persembunyian itu pada musuh. Cicak itu jahat, sedangkan laba-laba itu baik.

“Tapi Kek, kalau Adek mau bunuh cicak kok dilarang Mama. Kalau laba-laba kan bahaya, jadi kata Mama, Adek boleh bunuh.”

Sang kakek hilang selera melanjutkan cerita.

“Apa karena laba-laba gak ada lagunya ya, Kek?”

Sang kakek tersenyum. Mencium kening dan langsung keluar kamar. “Ajari sesuatu yang benar pada anakmu,” katanya pada anaknya yang sedang menonton televisi.

Sang anak hanya memandang heran dan membiarkan kalimat tadi dibawa angin seiring bapaknya itu pergi ke beranda membawa karet gelang yang banyak. Cicak-cicak di dinding, diam-diam merayap, datang seekor nyamuk, hap, langsung ditangkap! Terdengar suara bapaknya bernyanyi. “Benar kata orang-orang, makin tua makin mirip anak-anak,” kata sang anak pula, dalam hatinya.

***

Telah sekian kota kutinggali. Tak ada lagi cicak yang merayap. Telur-telurnya pun sudah habis dihajar, pecah, terburai di lantai-lantai permainan. Anak-anak bangga menyebut bahkan mengoleksi bangkainya. Bahkan, mereka meletakkan dalam toples bekas gula orangtuanya. Cicak sudah tak ada tempat di sekian kota itu, begitu juga aku. Dan aku pindah ke kota terakhir ini, daerah yang tanahnya menyimpan mayatku. Kalah.

Aku jadi hantu. Merayap. Dari dinding ke dinding. Menempel di langit-langit. Persis lawanku. Jadi pembisik, yang diam-diam memantau musuh. Maka, beredarlah: telah lahir hantu baru di kota ini, hantu cicak!

Wahai orangtua, awasi anakmu jangan sampai kemasukan hantu cicak. Jangan sampai tak ada cicak di rumahmu! Peliharalah cicak karena sesungguhnya cicak yang nyata adalah musuh hantu itu. Kehadiran cicak akan membuat hantu tak berani mendekat. Ajari anakmu untuk sayang pada cicak!

Itulah kenyataan yang muncul setelah beberapa tahun usia kematianku. Tak ada yang mengungkit kenapa aku mati. Tak ada yang mengingat seperti apa aku selagi hidup memerangi cicak. Itulah sebab, tak ada tudingan untukku sebagai hantu cicak seperti yang mereka ciptakan tersebut. Aku nyaman-nyaman saja karena memang bukan hantu cicak. Aku hanya jiwa yang merayap, membisik diam-diam. Ya, sejatinya, telah kukumpulkan anak-anak seperti di sekian kota sebelumnya untuk membantai cicak. Tidak hanya malam Jumat, setiap malam adalah medan perang. Anak-anak kota ini sudah terpengaruh, setidaknya setengah dari jumlah yang ada. Di beberapa sudut kota pun mereka sudah mulai mengambil toples bekas gula orangtuanya untuk menyimpan bangkai cicak. Sayangnya, aku mati saat usaha sudah di setengah jalan. Aku dibunuh cicak. Tak ada yang tahu.

Lalu apa yang harus kulakukan ketika jiwa ini tetap tak tenang? Tak ada tempatku hinggap. Aku terus saja dibiarkan merayap kemana suka. Sedangkan cicak, semakin banyak. Kerajaan cicak telah ada di rumah-rumah. Mereka bebas pesta pora. Mereka tidak lagi diam-diam. Bahkan, ketika tak ada lagi nyamuk untuk disantap, tuan rumah menyediakannya. Orang-orang telah meniadakan racun nyamuk, baik yang bakar maupun yang elektrik. Baju-baju tak segan mereka tumpuk. Kaleng bekas yang dipenuhi jentik-jentik malah mereka perbanyak. Semua karena ingin cicak senang. Semua ingin anak-anak mereka tidak akan kemasukan roh hantu cicak. Kota ini sudah gila dan aku pun terikut!

Aku gila. Aku gila. Cicak-cicak di dinding, diam-diam merayap, datang seekor nyamuk, hap, langsung ditangkap! Ya, aku mayat yang gila. Aku roh yang gila! Kalian mengerti? Kalau tidak, ya sudah, minggirlah!

 

Medan Johor, 2019


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)