Cerpen
Disukai
0
Dilihat
14,995
Dilarang Berharap pada Gigi Palsu
Drama

Mari kita mulai cerita ini dengan suara putus asa yang keluar begitu saja dari mulut seorang lelaki berusia nyaris lima puluh tahun yang baru saja kehilangan gigi terakhirnya: gigi atas tepat di bagian tengah.

“Lontong! Sudah pakai gigi palsu pun masih ompong!”

Ya, itu suaranya. Makiannya. Bukan tanpa sebab, pasalnya dia sudah sangat yakin meski tidak melihat cermin, senyumnya tak akan seindah ketika gigi terakhir itu masih ada. Akan ada sebatang sungai yang membelah barisan giginya yang putih terawat, seperti lorong hitam pada siang yang terang, dan itu akan sangat memalukan. Tapi mau bagaimana lagi, sesuatu yang dijaga sekian waktu akhirnya copot juga. Hanya memakilah yang dia bisa. Lalu, setelah makian itu terasa memuaskan, dia memasukan jarinya ke dalam gelas keramik putih yang berisi air tiga perempat. Dia celupkan jarinya dan menjemput benda setengah lingkaran berbahan akrilik. Dia pejamkan mata ketika tangannya mulai mengarah ke mulut. Perlahan. Mulutnya menganga dan membiarkan benda setengah lingkaran itu memenuhi bagian dalam mulutnya bagian atas. Bless. Terpasang. Gigi palsu lepasan yang telah menemaninya dua tahun itu sudah pas di mulut. Otomatis lidahnya meraba dan nyata ada yang beda. Ruang kosong di bagian tengah terasa begitu mengganggu. Dia tahu itu. Di situlah seharusnya gigi terakhirnya berada kalau saja tidak tanggal.

“Lontonglah!” makinya lagi sambil meninggalkan kamar mandi tempat dia berada. Dia pergi ke dinding kamar yang menyediakan cermin setinggi badan. Dia buka mulut, menganga lebar lalu menutupnya perlahan sambil tersenyum laiknya bintang iklan pasta gigi. “Kan, apa kubilang, lontong!”

Seperti tadi, setelah puas memaki, dia bergerak. Kali ini ke celana panjang yang tergantung di balik pintu kamar. Dia raba saku belakang celana itu dan langsung mengambil dompet. Sebuah kertas yang terlipat rapi dalam rak-rak dompet langsung dia keluarkan. Sebuah kwitansi pembayaran untuk pembuatan satu set gigi palsu bagian atas. Tertulis di situ total harga dengan cap lunas adalah satu juta sembilan ratus lima puluh ribu. Harga satu gigi seratus lima puluh ribu rupiah, artinya untuk 13 gigi. Melihat tulisan itu, dia tersenyum. Tukang gigi yang buat kwitansi itu masih utang satu gigi karena yang dibuat masih 12. Enam di kiri dan enam di kanan. Bagian tengahnya kosong dan hanya ada kaitan kawat sebagai pengikat untuk giginya yang masih ada.

“Nanti kalau gigi Abang copot, langsung kemari. Biar kita buat satu lagi. Gak lama lagi, sudah goyang dia,” begitu kata tukang gigi saat itu.

“Jadi, tetap kubayar untuk 13 gigi?”

“Iyalah Bang, gak lama lagi itu.”

Ya, sudah. Dia pulang dengan senyum barunya. Sebuah semangat baru dan mampu menghilangkan rasa ketidakpercayaannya selama ini saat bicara. Maka, mulai saat itu juga, dia jadi lebih percaya diri. Semakin percaya diri karena ternyata satu-satunya gigi di bagian atas itu malah tak tangga-tanggal. Ikatan kawat dan himpitan dua sisi gigi palsu membuatnya kuat meski posisinya sudah turun: seandainya ada dua gigi yang tak tanggal dan posisinya sudah turun, tentu lelaki itu akan mirip kelinci.

Lelaki itu menggapai gawai dan langsung mengetik nomor yang tertera dalam kwitansi tersebut. Menelepon. Namun, tak ada nada panggilan yang bisa disambut oleh pemegang nomor di seberang. Suara yang keluar setelah tombol bersimbol gagang telepon ditekan hanya pemberitahuan kalau nomor yang dituju tak bisa dihubungi.

“Lontong!”

Dia pun langsung memakai celana panjang yang menyimpan dompet tadi. Dia bergegas keluar kamar, keluar rumah, dan keluar pagar. Cepat dia tuju tempat praktik tukang gigi yang masih berutang itu.

Dalam perjalanan yang tak sampai setengah jam, dia mulai menghitung seberapa besar efek dari gigi tengah kalau tetap ompong. Besok dia akan menjadi pembicara dalam sebuah seminar tentang kepercayaan diri di depan mahasiswa dan guru yang menggilai sertifikat. Lusa, dia akan menjadi motivator bagi sales kendaraan bermotor yang mengutamakan penjualan kredit dibanding kontan. Artinya, kedua acara itu sangat berhubungan dengan gigi. Bukan, bukan soal dia yang kemungkinan tak bisa membangkitkan kepercayaan diri mahasiswa atau guru serta membangkitkan semangat sales dalam berjualan, tapi ini soal dia yang kemungkinan tetap ompong kalau tak menemukan tukang gigi itu. Seandainya tetap ompong, bagaimana mau bicara?

Nyatanya, tempat praktik tukang gigi itu telah berubah menjadi kedai kelontong. “Lontong!”

Ya, itulah makiannya ketika pemilik kedai kelontong tak tahu kemana tukang gigi pindah. Plus, ketika pemilik kedai tersenyum riang sambil berkata, “Jangan gantungkan harapan pada tukang gigi, Bang, mereka palsu ....”

“Giginya atau orangnya?”

“Ya, giginya lah! Kalau orangnya kan asli. Tapi, kenapa yang ompong bisa pas di tengah ya Bang? Oh, yang sebelah rupanya palsu semua. Kalau gitu, semangat Bang! Temukan tukang gigi itu, kalau sudah tak ada yang asli, maka yang palsu patut diperjuangkan!”

“Giginya atau orangnya?”

“Giginya lah Bang.”

Dia tak tersenyum, malah mengerang, tapi pemilik kedai malah tersenyum.

“Kenapa kau? Ngejek!”

“Enggak Bang, Cuma lucu saja persis rambut belah tengah ....”

Ya, itulah sebab dia memaki tadi. Kalimat pemilik kedai tidak hanya menyadarkan bagaimana lucunya dia ketika buka mulut, tapi lebih seperti teror mulut tanpa gigi tengah. Pun, ketika diketahui kalau dua sisi gigi atas itu ternyata palsu, maka ompong itu akan semakin merusak mental. Nah, kalau sudah begitu, bagaimana mau jadi pembicara!

“Ya sudah, Bang, maaf. Bukan maksud mengejek, tapi kurasa ini perlu untuk Abang sebelum jumpa tukang gigi itu,” kata pemilik kedai sambil memberikan masker.

 “Ambil saja Bang, gratis,” tambahnya lagi.

Lelaki berusia nyaris lima puluhan tahun itu sigap menyambut pemberian tadi. Sigap pula dia memakai masker tersebut. Pun, dia sigap meninggalkan kedai kelontong yang sama sekali tak menjual lontong itu. Kini, dia mencari tukang gigi palsu yang lain. Biarlah rugi seratus lima puluh ribu demi kenyamanan mulut. Pun, setidaknya nilai itu tak sebanding dengan perolehan yang dia dapat dalam dua tahun sejak pakai gigi palsu. Biarlah. Biarlah. Biarlah. Tiga kali kata itu dia ucapkan dalam hati.

“Waduh, sudah ompong semua ya. Ini harus kita buat set yang baru. Tidak bisa kita tempel satu gigi saja, sudah tak seimbang gigi palsu Abang ini. Jelek dia nanti,” sambut tukang gigi yang dia datangi.

“Jadi, buat 13 gigi?”

“Iyalah Bang!”

“Berapa uang?”

“Satu gigi yang paling murah sekarang sudah tiga ratus ribu, Bang. Jadi, totalnya tiga juta sembilan ratus ribu. Sudah genapi jadi empat juta lima ratus saja, ada dua gigi Abang di bagian bawah ada yang sudah goyang itu. Nanti kalau dia copot, Abang tinggal kemari saja. Gak usah bayar lagi. Tak lama lagi itu ....”

“Lontonglah!”

Maka, mari kita akhiri cerita ini dengan suara putus asa yang keluar begitu saja dari mulut seorang lelaki berusia nyaris lima puluh tahun yang memilih tetap memakai masker karena gigi tengah bagian atas tetap ompong meski sudah pakai gigi palsu.

 

Medan Johor 2019


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)