Masukan nama pengguna
Kabar warung kopi akan direnovasi telah membuat para tukang cerita resah. Terbayang oleh mereka, kayu-kayu dinding yang tak rapat akan lenyap: tak bisa lagi menjadi tempat menyelipkan puntung rokok atau celah angin kala panas sedemikian hebat. Suasana pasti akan lebih kaku, tembok-tembok mementalkan cerita hingga harus bersaing dengan dentuman musik yang kabarnya juga akan disediakan di warung itu. Tapi, dari semua keresahan tersebut, ada satu hal yang membuat mereka bergidik yakni, jam malam!
“Kurasa ...,” bunyi suara seorang pencerita yang bernama Drajat, “semua ini berlebihan. Kurasa cuma terjadi di kota kita ini kalau waktu kopi dibatasi seperti itu. Bayangkan, kita hanya boleh minum kopi di warung ini hanya sampai pukul 10 malam!”
Saat berbicara, Drajat dikelilingi rekan-rekannya yang juga resah, dia menjadi sentral, persis dengan tungku tempat memasak kopi yang diletakkan di tengah warung itu. Tungku yang selalu menyala setiap waktu. Yang kayu bakarnya selalu dijaga dengan benar oleh penjaga warung. Yang orang-orang bebas mengambil sendiri kopi mendidih dari wadah hitam legam, bergelas-gelas tanpa terikat waktu atau sabar mengantre ketika kopi belum masak saat gelas-gelas mereka telah kosong. Yang keberadaannya sangat menghangatkan ketika malam semakin malam.
Dan, itu wajar. Drajat adalah tukang cerita yang telah melanglang buana ke berbagai warung kopi di negeri ini, bahkan sampai ke negeri orang. Namanya sudah begitu terkenal hingga ketika dia hadir selalu ada kopi gratis untuknya.
“Tapi kurasa, sesuatu yang lebih mengerikan dari kebijakan itu adalah ketidakberpihakan pemilik warung yang sekarang ini pada sejarah. Ketika warung ini dibangun pertama kali kan memang untuk orang ngopi tanpa terikat waktu. Kita bisa minum dulu baru bayar dan itu sebuah pilihan bisnis yang luar biasa. Terbukti, warung ini terus ramai hingga subuh, menjadi tujuan orang-orang dari kota lain, pun telah lahir cukup banyak tukang cerita dari sini,” sambung Drajat yang membuat semua rekannya mengangguk-angguk.
Drajat berdiri, berjalan perlahan dan mulai menyentuh satu per satu papan dekat jendela di seberang tempat duduknya tadi. Gerakannya perlahan, tampak menjiwai sentuhan kulit dan kayu dinding dengan rasa yang dalam. Rekan-rekannya pun tak berkedip melihat aksi Drajat tersebut.
Sesaat Drajat sadar, ternyata sudah cukup lama dia tak menyentuh papan-papan tersebut. Ya, kesibukannya sebagai tukang cerita untuk berbagai warung kopi telah menyita waktu. Belum lagi, warung kopi ini sudah tidak begitu menggoda, kopinya standar dan kurang varian. Kopi yang disediakan tetap sama dari waktu ke waktu. Kopi kampung yang dimasak langsung dengan air dan gula di atas tungku kayu yang diletakkan di tengah-tengah warung. Asapnya menyebar ke mana suka hingga terkadang mengganggu isapan rokok. Pun, aroma kayu bakar itu, menghilangkan parfum pengunjung dalam hitungan menit saja.
Sementara warung lain, kopi-kopi telah keluar dari mesin, bersih dan memiliki rasa yang beragam. Drajat pernah menceritakan hal ini pada pemilik warung sebelumnya dan berharap agar dia yang diberikan tanggung jawab untuk mengubah. Tapi, tak ada respon. Sang pemilik warung hanya mengangguk-angguk sembari menjawab hal itu bisa dilakukan kalau dia sudah punya modal lebih. Tapi, kisah itu sudah cukup lama dan hal itu pula yang membuatnya semakin jarang ke warung tersebut.
Lalu, teringat olehnya sebuah warung kopi di negeri lain yang berdinding batu dan berlantai marmer: warung kopi yang tutup beroperasi ketika pukul sebelas malam. Teratur. Bersih. Modern. Mahal. Para pencerita di warung itu wangi-wangi, rapi-rapi, dan yang penting, kaya-kaya. Tapi, kurang menyenangkan, di sana dia bukan sentral. Kehadirannya di warung modern itu hanya undangan dan dijadikan contoh bagi mereka yang ingin tahu tentang cerita warung kopi unik yang masih bertahan meski telah ketinggalan zaman.
Drajat berbalik, memandangi rekan-rekannya. Dia tersenyum, tak lama kemudian dia kembali berjalan dan duduk di antara mereka. “Kurasa kita harus melawan. Ini zalim. Ini kesewenang-wenangan. Komersialisasi boleh, tapi jangan untuk warung kopi ini!” katanya.
Rekan-rekannya langsung bereaksi, terbakar, dan mengepalkan tangan. Tagar #selamatkanwarungkopi langsung didengungkan. Kabar perjuangan itupun langsung disebar ke berbagai komunitas, pers, dan siapa saja yang bisa dihubungi.
“Kurasa, kita perlu menjadikan ini isu nasional. Kampanyekan terus #selamatkanwarungkopi ke seluruh negeri,” kata Drajat yang sama sekali tak mendapatkan bantahan.
Nyata. Gerakan itu mewabah. Bahkan, di belahan negeri lainnya, gerakan tersebut tak kalah ramai. Mereka turun ke jalan untuk memperjuangkan warung kopi tersebut agar tidak direnovasi. Orang-orang lain yang pernah singgah di warung itu ternyata punya rasa memiliki lebih besar dari warga di kota tempat warung kopi itu berada. Isu jam malam bagi peminum kopi telah melebar ke mana suka. Drajat pun laris diundang berbicara ke ragam tempat.
Pemilik warung bergeming. Seng penutup lahan telah dia pasang menutupi sebagian warung kopi yang masih beroperasi. Para tukang cerita mulai resah, pandangan mereka yang biasanya bisa jauh ke luar sana kini terhalang dengan seng bekas. Mereka semakin berontak. Pemilik warung semakin semangat. Bahkan dia menelurkan isu lain, tidak hanya mengganti papan dengan dinding beton serta jam malam, warung kopi itu nantinya akan dilengkapi dengan live music serta kopi beragam rasa dari berbagai jenis yang diolah dengan mesin. Satu lagi, untuk melayani pengunjung dari luar kota, warung kopi itu akan dibikin dua lantai. Lantai satu untuk warung kopi dan lantai dua untuk penginapan.
“Bisa Anda bayangkan, Om Drajat, pengunjung dari luar kota bisa langsung minum kopi kita saat pagi tanpa harus melewati jalan yang jauh,” itu alasan pemilik warung saat Drajat langsung menemuinya ketika isu tersebut semakin liar.
“Seperti yang Om cerita pada bapak saya, warung kopi ini jangan sampai ketinggalan zaman bukan? Ketika warung kopi ini semakin modern, maka para tukang cerita juga akan naik kelas, semakin mahal. Dengan kata lain, majunya warung ini akan membuat para tukang cerita juga maju kan?”
Drajat terdiam sesaat. Dia harus akui, rencana itu sebagian besar memang idenya beberapa tahun silam. Tapi saat ini, ceritanya sudah berubah, tak ada dia dalam rencana tersebut. “Bukan seperti ini yang kumaksud ....”
“Santai saja, Om, begitu warung kopi ini selesai, Om pasti bangga. Ya, persis dengan tukang cerita lain saat pertama kali kakek membuat warung kopi ini. Mereka di jalanan, tak punya tempat untuk mengasah cerita. Dan ketika kakek membuat warung ini, mereka jadi naik kelas kan?”
Drajat tertawa karena mengakui kalau cucu pendiri warung kopi ini ternyata pintar. Drajat pun mulai berpikir kata yang tepat agar bisa memenangi perbincangan, setidaknya bernegoisasi hingga tak kalah telak.
“Baiklah, silakan renovasi semodern apapun, tapi jangan ada jam malam! Anda harus ingat, meski yang mengelola warung ini adalah Anda, tapi dia telah milik umum. Sudah cukup banyak sejarah indah yang dimiliki orang-orang pada warung ini, jadi jangan semena-mena. Kalau tak ada orang-orang itu, warung ini tak akan bertahan sampai sekarang. Jam malam adalah keputusan yang bodoh karena kopi semakin nikmat ketika sampai pada dini hari saat cerita semakin liar dan membara!”
“Ya, ketika kopi masih dimasak di tungku, Om. Tapi kita tak lagi memakai itu, sudah ada mesin yang kita beli. Mesin-mesin itu memang tidak akan bisa membuat suasana menjadi hangat, tapi dia bisa membuat kopi dengan cepat.”
Drajat mati kamus. Dia berdiri dan berbalik. “Perjuangan tak akan selesai sampai di sini!” ancamnya.
“Perjuangan apa, Om? Perjuangan melawan kemajuan zaman?”
Drajat tak mendengar kalimat itu. Dia langsung menemui para tukang cerita yang telah menunggunya di luar kediaman pemilik warung yang megah. “Kapitalis!” makinya begitu tiba di kerumunan para tukang cerita.
“Jangan berhenti, dia sudah dirasuki iblis, kita harus terus berjuang!” sambungnya.
“Selamatkan warung kopi!” teriak rekannya.
“Tolak jam malam!” sambung lainnya.
medan, 2020