Cerpen
Disukai
0
Dilihat
9,582
Kerah Baju dan Balon Ungu
Drama

Aku tak mau menutup mata dan lalu membukanya; seperti cilukba ala balita. Terakhir seperti itu, ayah hilang. Memang tidak hilang benar, tapi dia pergi. Aku melihatnya. Dia dipaksa sekelompok lelaki yang memeganginya. Dua di kanan. Dua di kiri. Dua di belakang. Dia layaknya diseret sambil tetap memegang balon ungu untukku: hadiah yang memang dia siapkan.

Kenanganku terhadap ayah, hanya kerah bajunya di antara tubuh-tubuh tegap itu dan balon yang tak sampai ke tanganku. Itu saja.

Sejak itu, ayah tak muncul lagi. Tak kembali. Tak ada kabar. Kakek yang bertumbuh rentah dan mulut yang cukup cerewet mengganti perannya. Ya, ibu telah membawaku ke rumah itu. Rumah kakek dan nenek. Sementara ibu, pergi. Katanya, berangkat kerja. Di suatu pagi yang gerimis dia permisi. Katanya mau cari uang. Katanya untuk beli susu. Katanya mau beli balon untukku. Tapi, seperti ayah, ibu tak kembali. Memang, sesekali ada kabar. Namun, raganya tak terlihat lagi. Kenanganku terhadap ibu, hanya punggungnya di antara air-air jatuh dari langit, hujan yang tak deras, dan janji-janjinya itu.

Lalu aku apa? Aku hanya perempuan yang hilang perawan setelah dua tahun usai menstruasi pertama. Di sekolah. Di kamar mandinya. Guru olahraga itu membujuk. Memberikan nilai delapan. Ya, asal aku menurunkan celana dalam. Mengangkat rok. Membiarkan rudalnya menembak lembah hijau tak terjamah. Pecah. Pohon hidup bermatian.

Aku tak menangis. Aku teriak senang!

Sejak itu, hari-hari murung di rumah kakek malah berubah ceria. Aku semakin tak ambil pusing. Kubiarkan daun-daun mangga yang berguguran di halaman rumput yang luas. Tak ada gerakku menyapu. Melihatnya saja tidak. Beda dengan dulu. Ketika kakek duduk saat petang di halaman rumah itu, maka aku bergegas menyapu. Terburu. Tak biarkan satu helai daun kering tersisa. Aku tak mau lihat kakek kesal. Aku tak mau salah. Tepatnya, tak mau disalahkan setelah ditinggal sebatang kara di rumah pensiunan itu.

Aku tak tahu apa jabatan kakek saat bekerja. Tapi, rumah kakek tepat di samping rumah kepala wilayah Sumatera Bagian Utara. Rumah dinas Keuangan Negara. Letaknya tak menonjol. Seperti masuk gang. Komplek yang isinya tak lebih dari tujuh rumah. Besar-besar. Ya, rumah kakek rumah dinas. Belum diusir karena dia belum mati.

Rumah itu sudah seperti kakek. Ringkih. Asbesnya sudah banyak yang terkelupas. Begitu hujan, maka ember-ember telah disiapkan. Menampung air Tuhan yang jatuh dari langit. Rumah itu jelas sangat berbeda dengan sekitarnya. Tetangga sebelah adalah kepala wilayah, jadi tak perlu digambarkan seperti apa mewahnya. Di sisi lain, ditempati pejabat yang masih aktif juga. Aku tak tahu jabatannya. Lebih tepatnya tak peduli. Yang kupedulikan dari komplek itu hanyalah lokasinya yang cukup strategis. Bisa dikatakan masih pusat kota. Ibukota Sumatera Utara. Dia berada di Jalan Sunggal, tapi masuk dalam Kelurahan Sei Sikambing. Jalan yang kalau pagi hingga sore menawarkan jagung muda, sementara malam berubah durian. Selalu ramai. Apalagi, ke arah dekat SPBU, barisan truk mengantre. Mereka menanti muatan untuk dibawa ke Aceh. Tak jauh dari situ pula, ke arah yang berlawanan, terdapat warung mie Aceh yang terkenal. Warung langganan para artis; sebagai remaja, tentu hal seperti itu yang kusuka.

Ya, aku suka lokasi rumah itu. Gampang ke mana saja. Segampang aku lompati pagar rumah yang tak tinggi ketika pulang terlalu larut. “Mau jadi apa kau, mamak dan bapakmu entah di mana, dan kau masih terus pulang malam! Kau masih SMP!” begitu teriak kakek saat menemukanku berjinjit masuk dari pintu samping yang kuncinya telah kuduplikat.

Setelah itu biasanya aku menangis. Di kamar. Sendirian. Saat seperti itulah bayangan kerah ayah dan balon yang tak sampai di tangan mengemuka. Pun, gerimis yang membawa ibu pergi. Gambar-gambar itu bak bergerak di langit-langit. Aku mau masuk ke sana. Ke gambar-gambar itu. Namun, seperti biasanya, hingga pulas tetap saja aku di pembaringan. Tersadar ketika nenek merepet. Mengingatkanku kalau aku masih sekolah.

Maka, aku tiba di sekolah dengan mata sembab. Beruntung, senyum guru olahraga yang selalu bertugas menjaga pintu gerbang begitu menyenangkan. Aku senang. Apalagi ketika mataku sembab, dia langsung menghampiri. Berbisik. “Nanti ketika mata pelajaran kedua permisi ke kamar mandi. Biar matamu tak sembab lagi,” katanya.

Seperti biasa, aku menuruti. Pun, aku terlalu senang menunggu momen itu. Guru olahraga yang perkasa. Kesimpulan yang muncul di benak ketika peluh membuat seragamku basah. Tapi, begitu selesai SMP semua berubah. Bukan karena tak kutemukan lagi guru olahraga di sekolah yang baru, ini tentang ibu, juga tentang ayah. Keduanya muncul serempak di rumah kakek.

Saat itu Medan sedang dalam masa puncak panas. Tiga puluh derajat celcius lebih. Di ruang tamu rumah kakek yang berasbes pendek, dua orang yang terasa asing duduk mematung. Tidak memelukku. Mereka duduk di hadapanku tapi tak berani melihat. Sementara kakek, mengumbar kata. Seperti tak ada jeda. Kakek berceramah soal hidup. Soal waktu. Soal masa depan anak yang rawan. “Aku ini apalah, sudah tua. Memberinya makan dan sekolah masih bisa, tapi apa bisa aku mengejar kalau dia lari!”

Ayah dan ibu diam. Makin menunduk. Aku bingung melihat itu. Bukan karena tak bisa menangkap kalimat, sebagai anak SMA tentunya aku tak sebodoh itu. Tapi, aku bingung untuk bersikap seperti apa. Kehadiran kedua orangtua yang mendadak seakan menyesak. Membuat napas tersendat.

Ada kerinduan soal kerah ayah, juga janji-janji ibu. Tapi saat itu, semuanya seperti hilang. Aku malah membayangkan seorang pajabat negara yang selama seminggu ke belakang sibuk menjilati kulitku. Sosok bapak yang menyenangkan. Sosok bapak yang meneduhkan. Sosok yang selalu memberi apapun yang kumau. “Sayang, kenapa aku tak boleh membuka kemeja ini,” begitu rengeknya.

“Aku suka bapak memakai baju yang berkerah.”

“Ah, semaumu lah,” balasnya sebari membalikkan posisiku menjadi di atas.

Dan, aku tersenyum mengingat itu. Pun hatiku riang ketika mengingat seorang ibu, pengusaha tanpa anak dan suami. Ibu yang bolak-balik minta ketemu. Di hotel. Malah, lebih sering memintaku ke rumahnya yang berada di komplek mewah di Jalan Setia Budi sana. “Kenapa kita selalu bertemu saat hujan, Sayang,” begitu protesnya. “Sudahlah, tinggal di sini saja, biar kita bisa bertemu setiap hari,” tambahnya.

Aku tak menjawab. Kunikmati saja sentuhannya di bagian vital. “Kenapa Sayang?” tanyanya lagi.

Aku menarik kepalanya. Wajah kami berhadapan sangat dekat hingga napas seperti tak ada beda. Menyatu. “Hujan itu kayak janji, iramanya pasti,” jawabku.

Dan, aku kembali tersenyum mengingat itu. Sementara di depanku, di ruang tamu kakek, tak ada senyum. Wajah-wajah ketat berkutat dengan kalimat. Entah apa itu. Yang kutahu, ayah dan ibu mendadak datang setelah sepuluh tahun hilang.

“Lihat anakmu, makin liar,” mendadak kudengar kalimat kakek. “Tapi jangan coba-coba kalian bawa dia!” tambahnya.

Dan, aku tersenyum. Kakek yang aneh. Seaneh rokoknya yang berwarnah merah. Kretek. Yang asapnya terbang ke mana suka. Yang kemudian membuatku nyaman. Menyakinkanku kalau rokok tidak sejahat iklan-iklan yang ada dalam buku pelajaran.

“Jadi, kami harus bagaimana?” tanya ayah.

“Biarkan kami mengasuhnya, sudah sepuluh tahun, Amangboru,” timpal ibu.

“Selama ini bukan kami tak mau mengasuh, tapi Bapak kan tahu, aku di penjara! Istriku juga!” kata ayah lagi.

“Makanya jangan mencuri! Uang rakyat itu uang Tuhan! Mencuri uang rakyat itu mencuri uang Tuhan!” balas kakek. Nenek lari ke kamar. Menangis.

“Sudahlah Bapak, itu masa lalu. Kami sudah menyesal ..., kami pun sudah dihukum.”

“Aku wakil kepala wilayah, apa ada aku mencuri! Kalian masih kepala bidang, di dinas kota pula, sudah bertingkah ....”

“Sudahlah Bapak ....”

Diam. Aku tersenyum. Akhirnya aku tahu apa jabatan terakhir kakek. Hm, luar biasa juga. Tapi, akhirnya juga aku tahu kalau kedua orangtuaku koruptor?

Terbayang ayah yang dipaksa sekelompok lelaki yang memeganginya. Dua di kanan. Dua di kiri. Dua di belakang. Dia layaknya diseret sambil tetap memegang balon ungu untukku: hadiah yang memang dia siapkan. Terbayang sosok ibu, di suatu pagi yang gerimis dia permisi. Katanya mau cari uang. Katanya untuk beli susu. Katanya mau beli balon untukku.

“Ayo Lena, bela ayah dan ibumu. Pilihlah tinggal bersama kami, Nak,” terdengar suara ibu.

Terbayang balon yang di tangan ayah. Berwarna ungu. Teringat janji balon untukku dari ibu. Tanpa bentuk.

“Nak, jawablah.”

Aku berdiri. Tidak berlari ke kamar. Aku ke halaman. Mengambil sapu lidi. Terlalu banyak daun mangga kering di halaman berumput itu.

“Lena!” kudengar ibu berteriak.

Aku semakin menyapu.

“Tak ada balon untukku. Akan selalu begitu ....” kataku sambil berlalu, melewati ruang tamu, ke kamar mandi. Mencuci apa saja yang bisa kucuci. Rambut. Bulu-bulu. Kuku. Kuping. Kulit. Lidah.

Kudengar suara kakek. “Pergilah, Lena akan baik di sini. Dia akan lebih bahagia.”

Kudengar tangis nenek berhenti. Kudengar pintu tertutup. Ayah dan ibu pergi. Kali ini tak ada yang kuingat. Tidak seperti dulu. “Ya, sudah cukup Lena ....” kulihat bayanganku berkata, wajah dari cermin kecil yang tergantung di balik pintu. “Cukup.”

 

Medan, Januari 2017

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)