Cerpen
Disukai
2
Dilihat
12,345
Buruh di Tanah Sendiri
Drama

Orang terakhir yang dilihat Johan adalah kumpulan manusia bertampang marah. Beberapa dari mereka berdarah. Beberapa dari mereka meringis. Tak ada yang tertawa.

“Aku tak menyesal meski kehilangan mata karena aku suka bersama mereka. Mereka yang memperjuangkan tanah kami, tanah leluhur kami …,” Johan berkata sambil memegang matanya yang menyipit. Kulit di kelopak matanya menyatu, tak ada ruang untuk bola mata yang tak berfungsi lagi untuk mengintip.

Kemudian, Johan bercerita, kisah sepuluh tahun yang lalu. Kumpulan orang yang terakhir dilihatnya itu menyatu. Berbaris tanpa aturan. Johan tak bisa menahan diri untuk tidak bergabung. Dia punya kepentingan. Tanah leluhurnya akan diambil alih.

Sebagai bapak satu anak, seharusnya Johan lebih menahan diri. Tapi itu tadi, dia tidak bisa menolak. Memperjuangkan tanah adalah wajib. Apalagi, tanah yang dia kuasai akan dikuasai pihak lain setelah berulang kali pindah penguasa.

Dulu, kakeknya memiliki sepuluh hektar tanah di kawasan itu. Tanah yang merupakan warisan orangtua. Tapi, ketika Belanda datang dan membuat perkebunan, sang kakek tak bisa melawan. Belanda merebut tanah itu. Sang kakek pun menjadi buruhnya. Tak ada perlawanan karena Belanda memiliki banyak senapan. Pun, centeng-centeng yang dipelihara Belanda, meski tidak memegang senapan, jauh lebih kejam. Sang kakek pasrah. Seiring waktu, dia pun terbiasa menjadi buruh di tanahnya sendiri yang dikuasai Belanda menjadi perkebunan. Sang kakek pun hanya bisa mengelus dada ketika rumah leluhur di tanah itu dihancurkan. Dia dan keluarga harus tinggal di rumah kebun; rumah dempet, di lokasi sekira satu kilometer tanah leluhur.

Begitu pun ketika Belanda hengkang. Negara mengambil tanah itu dan menjadikannya perkebunan nasional. Sang kakek tak juga bisa melawan. Sang kakek meninggal dengan mata terbuka; semacam tanda bahwa ada yang belum selesai.

Berganti dengan bapak Johan, nasib tak juga berbeda. Sang bapak pun terpaksa terbiasa menjadi buruh di tanahnya sendiri. Juga ketika meninggal – di rumah kebun – mata sang bapak terbuka; tanda bahwa masih ada yang belum tuntas.

Saat tanah itu jatuh ke tangan Johan, ada sedikit perubahan. Perkebunan nasional mulai mengurangi aktivitas di tanah milik Johan dan tetangganya. Sepertinya, perkebunan itu menganggap tanah milik Johan dan tetangga tak lagi produktif. Saat itulah, Johan dan tetangga mulai menguasai tanahnya lagi. Memang, sepuluh hektar milik Johan telah berkurang. Dia hanya kebagian satu hektare saja. Tapi Johan tak protes, setidaknya tanah itu kembali padanya. Sembilan hektare lagi ia iklaskan dimiliki pendatang baru; yang tiba-tiba saja muncul tanpa bisa diusir. Dan, Johan tak mau memperkarakan itu, pendatang baru itu mampu meluluhkan hatinya. Mereka – pendatang baru itu – memberi kenyamanan pada Johan. Ya, berkat mereka, tanah satu hektare milik Johan menjadi aman.

Sayangnya, dua tahun setelah Johan menguasai tanahnya sendiri, tiba-tiba datang orang asing beserta aparat pemerintahan. Johan harus hengkang dari tanahnya sendiri. Tanah itu akan dijadikan perumahan. Tidak tanah Johan saja, sembilan hektare milik pendatang baru itu juga harus dilepaskan.

Di luar tanah Johan dan pendatang baru, puluhan hektare lainnya milik para tetangga pun bernasib sama. Semua yang menguasai tanah, yang sebelumnya sempat dikelola perkebunan nasional dan Belanda, harus pindah karena dianggap penyerobot lahan. Kota baru akan dibangun di situ; jangan menentang pembangunan!

Hal inilah yang membuat murka. Warga marah. Warga Berontak. Dan, ini pula yang tidak bisa dibiarkan Johan. Dia pun ikut berjuang. “Aku tak terhanyut oleh bisikan untuk menentang pembangunan, kulakukan semua itu karena mempertahankan tanah milikku!” geram Johan.

Kemudian Johan bercerita lagi. Sepuluh tahun yang lalu, Johan dan kawan-kawan berkumpul di lahan mereka. Di hadapan mereka, berjarak jauh hingga tak terlihat wajah, berkumpul pula orang-orang yang berseragam. Orang beragam itu memegang senjata. Johan dkk tak mau kalah, mereka memegang parang, kayu, dan sebagian lagi menenteng plastik penuh dengan batu sebagi peluru ketapel.

Dua kubu berhadapan. Lahan pertanian yang telah digarap Johan dkk telah rata dengan tanah. Malam sebelumnya sekumpulan pria dengan senjata tajam telah merusaknya. Tak ada yang bisa mengusir. Perusakan itu sama sekali tidak terduga. Apalagi, lahan yang dimiliki Johan dkk jauh dari rumah; lebih kurang satu kilometer. Baru paginya, ketika mereka ingin beraktivitas di lahan, mereka sadar. Kebun mereka telah hancur.

“Preman-preman itu membuat kami marah. Kami mencoba mencarinya, tapi pagi itu yang datang malah tentara,” Johan berujar sambil memandang ke atas, entah apa yang dilihatnya, bukankah dia buta?

Kemudian Johan melanjutkan ceritanya. Setelah dua kubu berhadapan, entah siapa yang mulai, perang terjadi. Perang yang tak seimbang. Kumpulan orang berseragam itu mendekat sambil meletuskan senapan ke udara. Johan dkk gentar. Beberapa dari mereka malah terbirit. Tapi, sebagian besar lainnya mencoba melawan. Meraih ketapel dan menembakkan ke arah sekumpulan orang berseragam itu. Tak ada yang kena. Malah, kumpulan orang berseragam makin beringas. Tembakan senapan tak lagi ke udara. Beberapa kawan Johan terkapar, kaki dan perut mengeluarkan darah. Johan tersadar, dia harus menghindar.

Dia ingin berbalik. Saat itu dia sempat melihat kawan-kawannya yang bertampang marah. Beberapa dari mereka berdarah. Beberapa dari mereka meringis. Tak ada yang tertawa. Saat itulah tia-tiba matanya panas. Sinar yang masuk ke matanya langsung pecah. Pandangannya mengabur dan langsung padam.

“Begitu sadar aku sudah di rumah sakit. Tak kulihat wajah istriku. Tak kulihat muka anakku. Aku hanya mendengar tangis mereka,” kata Johan dengan nada rendah.

Kemudian Johan mengakhiri ceritanya. Katanya, tanahnya hilang. Di tanah yang satu hektare itu dibangun perumahan. “Sekarang aku masih sering ke sana, jadi tukang pijat bagi pemilik rumah yang sebenarnya berada di tanahku,” jelas Johan seperti ingin menangis.

Tiba-tiba terdengar suara sepeda motor mendekat ke rumah Johan yang berdinding papan. Seorang lelaki tegap dan berusia sekitar dua puluh tahun memasuki rumah. Dia berseragam putih biru. Dia tersenyum.

“Dia anakku. Namanya Budi. Dia jadi satpam di perumahan itu,” jelas Johan.

Saya mengangguk dan tersenyum. Budi, anak Johan, kembali tersenyum dan langsung menghilang ke ruang belakang yang berbatas tirai dari kain panjang.

“Persis dengan kakek dan bapakku, kami berdua jadi buruh di tanah kami sendiri kan?” kekeh Johan pelan. Sama sekali tidak ada nada bangga, yang terdengar adalah rintihan; semacam kesedihan yang tertahan.

Saya tersenyum, meski saya yakin kalau Johan tak melihatnya. Saya perhatikan lagi ruang tamu rumah itu. Beberapa sudutnya tampak papan yang telah keropos. Ventilasi tidak dari kawat nyamuk, hanya potongan kertas kalender bergambar pemandangan yang dilubangi kecil-kecil. Cat ruangan itu pun tak jelas warnanya, seperti perpaduan tiga warna: cokelat, putih, dan hijau. Warna-warna itu menyatu dan menciptakan warna baru. Saya tidak bisa mengatakan itu warna apa, yang saya tahu warnanya kusam. Di sisi dinding dekat pintu kamar yang hanya berpintu kain panjang corak batik, ada sebuah lemari kayu berkaca. Terlihat jelas di dalam lemari itu satu set cangkir kaca. Ada juga toples kosong. Saya menduga, perlatan itu digunakan untuk jamuan bagi tamu saat Lebaran tiba. Ada juga tumpukan kertas – tidak terlihat jelas kertas apa – sama sekali tidak rapi. Saya menarik nafas dalam-dalam.

“Rumah ini milik siapa, Pak?”

“Seharusnya milik saya. Ini warisan kakek dan bapak saya. Sudah puluhan tahun rumah ini dikuasai keluarga saya,” jawab Johan.

“Surat-suratnya ada , Pak?”

Johan tertawa. “Itu dia, kami ini orang bodoh, manalah kami punya yang seperti itu,” rintih Johan.

Saya diam. Saya semakin sadar kalau Johan tidak berada di posisi yang kuat. 

“Jadi, Mas ingin menulis kisah saya di koran?” tanya Johan.

“Tolong tuliskan besar-besar kalau saya tidak menyerobot lahan. Saya mempertahankan tanah warisan. Kekalahan saya kan cuma karena tidak punya surat, tapi coba tanya dengan orang-orang tua yang ada di sini, mereka tahu kalau semua itu tanah saya. Termasuk rumah ini, semua rumah yang berada di kawasan ini, sudah puluhan tahun kami tinggal di sini,” tegas Johan.

“Akan saya usahakan semaksimal mungkin, Pak,” jawab saya.

Setelah itu, saya pun mulai sibuk bertanya tentang rumah itu; dari sejarah hingga bukti-bukti yang mungkin bisa dijadikan batu pijakan kepemilikan. Saya catat semuanya, meski saya yakin Johan tak melihatnya. Semakin banyak tahu, saya merasa iba yang dalam. Tak ada sesuatu yang menguatkan posisi Johan dkk terhadap apa yang mereka kuasai kini.

Tiba-tiba Budi bergabung. Dia membawa segelas air putih dalam gelas berwarna cokelat. Begitu menyilakan saya minum, dia pun kembali ke belakang.

“Minumlah, segelas air bisa menyembuhkan luka,” kata Johan.

“Segelas airlah yang bisa membuat saya bertahan,” tambahnya.

Dia pun kembali bercerita. Bukan soal tanah dan rumah, tapi tentang segelas air. Katanya, setelah dia terkapar karena kena tembak, dia tidak sadarkan diri cukup lama. Sekira satu pekan lebih. Dokter di rumah sakit sempat bingung. Saat itulah datang seorang kakek-kakek, memberikannya segelas air. Dia pun langsung sadar setelah diminumkan air itu. Hebatnya lagi, ajaib, dia langsung pintar memijat.

“Minumlah, mungkin kisah saya bisa menimbulkan luka pada Mas. Jadi, biar sembuh,” kekeh Johan.

Saya langsung meminumnya. Segar. Dan aneh, saya seperti tersadar. Air itu membuat saya tiba-tiba merasa malu.

Saya pun langsung minta diri. Air itu membuat saya tidak nyaman berlama-lama di rumah tersebut.

Begitu keluar rumah Johan saya merasa sedikit tenang. Saya perhatikan lagi rumah itu. Lalu, saya perhatikan barisan rumah di sekitar rumah Johan; rumah kayu yang berjejer. Rumah yang bentuknya sangat khas. Rumah berbentuk seragam lazimnya rumah pekerja perkebunan.

Ya, Johan memang tinggal di rumah warisan dari kakek dan bapaknya yang menjadi buruh di perkebunan Belanda dan perkebunan nasional. Rumah yang berada di lahan yang dalam beberapa bulan ke depan harus dirobohkan. Lahan yang sudah diplot menjadi kawasan bisnis untuk melengkapi barisan ruko dan beberapa perumahan yang sejak sepuluh tahun telah terbangun. Lahan yang dianggap aset pemerintah dan telah dipindahtangankan ke swasta.

Dan, saya adalah pegawai di perusahaan yang menjadikan rumah Johan dkk itu menjadi kawasan bisnis. Ya, saya bukan wartawan; mengaku wartawan adalah hal paling gampang untuk mengorek keterangan dari orang yang tertindas bukan? Saya hanya pegawai yang ditugaskan untuk mencari tahu kekuatan hukum Johan dkk terkait rumah mereka.

Ah, seperti apa nanti ketika proyek itu mulai disiarkan. Apakah Johan akan kembali berjuang seperti sepuluh tahun lalu? Atau, apakah dia akan meninggal dengan mata terbuka meski dalam keadaan buta? Sumpah, saya tidak berani membayangkannya.

 

Medan, Desember 2012

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)