Masukan nama pengguna
Ketertarikan orang-orang terhadap orang yang kukenal ini bukan pada gaya bicara yang menggelegar laiknya singa lapar maupun isi pembicaraannya yang menyerempet bahaya dan tak lazim di zaman terkini, bukan pula pada sinar matanya yang selalu penuh dibantu gerak-gerak riang dari bola mata menggemaskan bak balita baru mengenal bola karet yang memantul kemana suka, pun tidak karena gesturenya yang terjaga seperti orator ulung di depan mimbar di depan para pembayar. Dia punya panau, tepat di sisi bawah bibir sebelah kanan, di bawah garis hitam bibir dan di antara jarangnya bulu-bulu tajam tak rapi – entah jenggot entah kumis – tidak besar tapi tampak. Panau yang seperti danau di atas pulau yang berada di atas danau yang berpulau di Pulau Sumatera itu.
Kata orang, itu panau Jawa, payah untuk dibasmi. Dan, panau Jawa di wajah orang Sumatera inilah yang menjadi orang yang kukenal menjadi terkenal. Semacam ada ciri khasnya. Dia seperti unik, menganggu keingintahuan orang-orang yang melihatnya. Pun, adalah wajar ketika dalam hati terbentuk tanya, kenapa bisa ada panau di bawah bibir? Ayolah, panau itu lazimnya berada di tengkuk, daerah lembab, di tempat yang berkeringat yang jarang bertemu kain lap, yang semakin jadi ketika rambut sekadar panjang mengelusnya berulang-ulang. Lalu, tangan dengan kuku seperti kucing dan menyimpan kotoran berwarna hitam banyak menggaruknya, dia akan memerah sedikit, lalu kembali memutih. Tapi, itu bukan pula panau Jawa. Itu panau biasa yang diderita siapa saja.
Panau Jawa itu jauh lebih besar, maka tidak pas dia berada di tengkuk, dia lebih memilih berada di punggung atau bagian lawan dari perut yang memiliki tulang belakang; ruang yang lebih besar. Bentuknya seperti pulau, lebih sering seperti Pulau Jawa, mungkin itu pula sebab dinamakan panau Jawa. Ya, tentu saja selain karena yang menderita serangan jamur penghasil gatal ini memang lebih banyak orang Jawa. Orang-orang yang kedatangan pertama kalinya dikumpulkan dalam barak-barak perkebunan, yang tidur dalam suasana lembab, yang memakan nasi bau, lauk lembek, dan minuman keruh dari sumur-sumur yang digali tak dalam maupun dari sungai tempat mandi kerbau. Memang, di awal-awal kemunculan, panau yang hinggap di orang-orang Jawa perkebunan tak jadi soal, tak begitu tampak, bukan karena mereka berbaju tapi ini karena bagian tubuh yang berhias panau itu lebih sering berwarna merah atau ungu akibat cambuk yang sering tak lepas menghajar. Bukankah jarang ditemukan panau yang berwarna selain putih?
“Aku memilih untuk tidak memakai masker atau memanjangkan bulu-bulu yang liar tumbuh di bawah bibir, ini panau, dia bertuah,” begitu kata orang yang kukenal yang sudah terkenal itu.
Persis ketika pertama kali bertemu dengannya, tentu sebelum dia seterkenal itu tapi sudah memiliki panau, aku lebih banyak diam. Kubiarkan saja bibirnya terus menari-nari ke mana suka, ke arah mana saja. Begitu juga malam ini ketika kuutarakan untuk menutupi saja panau yang tampak lebih bersilau dibanding dia. Atau mengajaknya ke Sidebukdebuk, dalam balutan udara dingin adalah menyenangkan berendam di air hangat belerang. Basuh berulang-ulang wajah atau menyelamlah di kolam yang dalamnya tak lebih dari paha orang dewasa itu. Kutawarkan juga, kalau dia sibuk, bisa kuminta pembantu untuk membawakan bawang putih, lengkuas dan garam, jahe, atau belimbing wuluh dan kapur sirih jika tak berkenan dengan obat apotek. Aku percaya, meski panau Jawa dipercayai tak bisa hilang, bercak putihnya itu bisa disingkirkan.
Nyatanya, bersama minuman hitam pekat yang mengandung banyak gula, yang tetesannya tak juga menghitamkan panau putih di bawah bibirnya, lagi-lagi aku banyak memandang masa silam daripada merespon kalimatnya yang mengalir deras usai ide penyingkiran panau itu keluar dari mulut.
“Aku hargai perhatianmu, rekan, seperti pinjaman-pinjaman dana yang pernah kau berikan padaku tempo hari. Oh, masih ada yang belum kukembalikan ya? Nanti kita hitung ulang, setelah pundi-pundi di rumah tak pernah berkurang. Yang jelas, pasti kubayar, karena aku, sekali lagi, sangat menghargai itu. Persis soal panau ini, yang menurutmu bisa memperjelek kehadiran yang sudah bagus, tapi ini soal tuah, rekan. Ingatkah tentang Titiek Sandhora?”
Tentu aku ingat Titiek Sandhora. Tapi, bukan tentang tahi lalatnya yang menawan itu. Aku ingat, dia menjadi nama jembatan di atas Sungai Tamiang, yang memisahkan kawasan Upak dengan areal menuju Seruwai. Dia masih menjadi bintang cantik yang bisa menyedot massa, terbukti ketika dia hadir saat peresmian jembatan itu, maka nama dialah yang lebih dikenal sebagai nama jembatan itu dibanding pemerintahan yang menggelar pembangunannya. Tapi, ini panau! Bukan titik dari tahi lalat yang memang lebih sering dianggap bertuah. Rano Karno, Ita Purnamasari, atau lainnya sudah membuktikan, tapi tak ada tokoh yang bertuah karena panau di wajah!
Harusnya aku tak membantah, karakter tenang mendadak hilang. Kau terkejut. Persis ketika pertama kali kusodorkan uang saat kau mengaku belum makan dan belum tahu mau tidur di mana. Ya, di malam-malam perjuangan itu, ketika kau bersembunyi di sebuah warung kopi kecil di pinggiran Makam Pahlawan, Jalan Sisingamangaraja Medan sebagai caramu sembunyi dari kejaran mereka yang berseragam bukan tentara atau polisi. Kau hadir di sana hanya dengan memesan kopi pancung, kopi yang berarti setengah gelas, tanpa makan mie goreng atau nasi goreng atau martabak telur. Jakunmu bergerak, seperti menelan liur, melihat aku yang sedang menyantap lahap.
“Setiap orang punya sejarahnya sendiri, rekan. Mereka yang bertahi lalat, sudah. Tapi, mereka yang berpanau, entah itu panau Jawa atau panau apapun, belum ada. Orang-orang berpanau selalu menutup diri, setidaknya menutupi panaunya. Aku hadir, rekan, muncul dengan gagah tanpa berusaha menutupi panau yang bagi kebanyakan orang adalah aib. Apalagi di wajah, seperti aku. Tapi, ini adalah saatnya, rekan. Panauku adalah tanda kalau orang-orang untuk tidak malu lagi menutupi apa yang harus ditutup. Pengakuan terhadap aib kini telah menjadi cerita pahlawan. Ketika dia terungkap dan kemudian menjadi pergunjingan, maka secepatnya dia akan teraniaya. Maka, siapa yang tak mau memuliakan orang yang teraniaya?”
Orang yang kukenal dan sudah terkenal itu berdiri. Dia meraih dompetnya, kulit ular yang tak lusuh yang penuh dengan kartu-kartu bank. “Aku telah melewati itu. Lalu, apakah aku harus menutupi aib yang telah tidak menjadi aib bagiku?”
Orang yang kukenal itu mengeluarkan selembar uang berwarna merah. “Aku belum kaya sepertimu, rekan, tapi aku sudah ada dalam jalur sejarah. Aibku tetap kujaga, dia telah menjadi senjata luar biasa. Panauku mungkin lumayan mengganggu mata, tapi dari dialah mata lawan bicara tak bisa berpindah. Aku hargai kau selama ini, rekan, tapi jangan paksa aku untuk menjadi orang yang benar, seperti orang kebanyakan yang buru-buru menutup aib meski aib itu telah menjadi biasa. Itu saja.”
Sudahlah, aku menyerah. Membiarkannya pergi dengan sigap menuju mobil putih yang terparkir asal di depan cafe. Pun, ketika dia tidak menoleh sebelum memasuki mobil atau membunyikan klakson ketika roda mulai berputar pelan, aku tetap diam. Ya, aku lebih memilih memandang masa silam saat berkenalan dengan lelaki yang kini terkenal itu. Dan, sepertinya, memang gara-gara panau Jawa di wajahnya itulah yang membuatku hanyut, tak menghitung beri bantuan, tak membahas sodorkan waktu dan tenaga, juga tak ambil pusing kerugian akibatnya. Ah!
Medan Johor, 2019