Masukan nama pengguna
Di sini, enam Ramadan. Jumat sesaat sebelum jam salat. TIP TOP Restaurant sepi. Puluhan meja, dari yang berbentuk persegi panjang dan bulat, dari yang berkursi empat hingga enam, belum terisi. Pelayan berseragam putih serta peci hitam tampak resah. Mereka memandang jalanan ramai. Mereka memperhatikan jam di tangan. Sebentar lagi azan pertama berkumandang.
Lelaki berbaju merah, bercelana jeans ketat, bersepatu boot, berambut pendek berserak masuk. Dia memilih duduk di kursi bermeja bulat. Seorang pelayan dengan kantung mata yang tebal menghampiri. Memberikan daftar menu. Dia tetap sabar ketika tamunya membakar rokok terlebih dahulu dibanding memilih menu. Pelayan itu menahan ludah. Sejak sirine imsak dari menara air mengaum, dia memang sudah tak merokok. Mulutnya mendadak asam. Hembusan asap yang keluar dari hidung dan mulut tamu itu telah memunculkan rindu yang kuat. Hm, seandainya tak ada janji di hari kemenangan, dia pasti sudah ke belakang restaurant, buru-buru mengambil bungkus yang menyisahkan sebatang rokok bekas sahur tadi. Tapi, dia memilih menuruti janji itu. Dia tahan selera. Dan, ketika sang tamu mulai membuka buku menu, dia memilih mengambil sapu tangan dari sakunya dan menyeka matanya yang berair. Terbayang olehnya harapan tamu itu, memilih makanan khas kolonial yang mengundang selera. Roti bakar. Ice cream; menu ideal untuk kota yang panas. Bistik atawa steak; santapan mantap untuk memenuhi perut. Begitu juga, menu-menu yang belum pernah dia cicipi.
"Ada kopi?" bunyi tamu itu.
Si pelayan tergagap. "Kopi? Ada Pak, kopi hitam," sambutnya.
"Itu saja dulu ya."
"Ya Pak," balas pelayan. Dia berbalik dan membiarkan buku menu di meja. Tidak mungkin tamu TIP TOP Restaurant hanya memesan kopi, pikirnya. Jika hanya kopi, kenapa harus di restaurant yang sudah berdiri sejak awal abad 20 ini, pikirnya lagi. Pikirannya itu seperti tertutup, dia bak lupa kalau kopi di restaurant tempatnya bekerja ini tak pernah berubah rasa sejak 1934!
Belum habis sebatang rokok, tamu itu sudah menerima kopi yang dipesan, lengkap dengan segelas air putih. Tamu itu tersenyum menyambut pelayan bermata sembab. Pun, ketika pelayan itu berbalik, tamu itu tetap tersenyum. Sedangkan sang pelayan, telah hilang senyum dari bibirnya. Dia masih menunggu tamu itu memanggil dan memesan menu lain. Tapi, dia tetap saja dibiarkan menunggu hingga kantuk nyaris membuat kepalanya terantuk ke dinding restaurant yang keras.
Saat-saat genting itu, empat tamu lainnya masuk. Satu ibu dan tiga anak yang remaja. Semua mata mereka sipit. Kostum mereka begitu santai; bercelana pendek dan berbaju longgar. Sang ibu memegang kamera. Dia tetap berdiri saat anak-anaknya mulai duduk, berkeliling, dan memotret beberapa objek. Dia foto kursi-kursi kosong. Piano. Dia jepret foto tua, yang bercerita tentang restaurant dan kota ini di masa lampau, dalam pigura yang terpajang di dinding. Lampu-lampu. Dan, ujungnya, dia foto merek restaurant itu. Lalu, dia menuju meja berkursi enam yang melenakan tiga anaknya.
Pelayan bermata sembab acuh tak acuh. Matanya yang berair tetap memperhatikan tamu berbaju merah yang masih sibuk dengan rokok. Tamu itu terlihat begitu nyaman mengetik di gawai. Kopi belum tersentuh. Sang pelayan mulai resah, mungkinkah tamu itu hanya memesan kopi, tanyanya dalam hati.
Empat tamu bercelana pendek akhirnya dilayani pelayan perempuan. Berseragam juga. Putih dipadu rok selutut warna hitam. Terlihat sang pelayan kewalahan menulis. Pesanan tamu itu banyak dan beragam.
Mendadak di pintu masuk muncul dua lelaki besar dengan dua tas ransel besar. Rambut keriting dan pirang. Berkulit kasar. "Selamat siang," kata seorang dari mereka.
Pelayan yang lain, kali ini perempuan berbaju batik dan rok hitam selutut menyambut. "Silakan," katanya.
Dua tamu berambut pirang tadi tersenyum. Mereka memilih duduk di dekat tamu berbaju merah. Sang pelayan memberikan buku menu. Kedua tamu itu tak membukanya. "Kami hanya ingin memesan masa lalu seperti yang pernah dirasakan kakek kami dulu."
Sang pelayan mengangguk. "Silakan," katanya sembari membalik badan sambil membawa pergi buku menu.
Kedua tamu itu mengangguk. Di meja sebelah, tamu berbaju merah tetap sibuk dengan gawainya.
Sang pelayan kembali setelah beberapa menit. Ice cream dan roti bakar menyertainya. Dua porsi. Tamu bermata biru serentak tersenyum. "Jadi ini menu kakek kami dulu?"
Sang pelayan tersenyum. "Silakan," balasnya.
Kedua tamu tadi terkekeh lalu berbisik. Pandangan mereka mengemukakan sepele yang dalam. "Terlalu berlebihan romantika yang kita kejar," seperti itulah kesimpulan yang mereka buat sebelum menyantap.
Keduanya memandang jalan. Mencoba menerobos sisa-sisa kota tua. Masih ada tembok kokoh dengan gaya kolonial. Masih ada jendela khas Tiongkok. Tapi, pandangan mereka membunyikan keresahan; sebuah harapan yang mungkin pupus.
"Dulu, kakek kita selalu di sini. Di meja ini. Pandangan ke jalan, ke gedung di depan sana. Tapi sepertinya aku tak yakin, ini semua sudah berganti. Meja ini, perhatikanlah, tampak seakan-akan tua," kata tamu yang lebih tinggi, yang matanya lebih biru, yang terlihat lebih tua.
Tamu berbaju merah melirik. Sesaat. Singkat. Setelah itu, dia kembali menatap gawainya. Fokus. Mengetik. Semakin tenggelam dan hilang ke negeri entah. Sang pelayan bermata sembab menarik napas, kesal. Memang hanya kopi pesanan tamu itu, katanya dalam hati.
Tiba-tiba, di meja dua tamu berambut pirang itu muncul warna baru: ceria. Semua bermula ketika keduanya mulai menyantap ice cream. Bak kegilaan, mereka langsung menyantap roti bakar. Warna baru makin hidup, makin ceria. Wajah keduanya berbinar. Mereka pun tertawa. Masa lalu, masa kakek mereka, ada dalam makanan itu.
Mereka mulai melihat sekeliling restaurant. Piano. Dekorasi. Empat tamu bermata sipit yang sedang asyik menyantap ice cream, roti bakar, steak, dan kopi. Tamu berbaju merah di sebelah yang belum juga meminum kopinya.
Kedua tamu itupun serempak memanggil pelayan. "Ada lagi masa lalu yang belum kami pesan?" kata mereka.
"Kopi ...," balas sang pelayan.
"Kami mau itu!"
Tak sampai dua menit, keduanya telah menerima kopi dan air putih. Langsung mereka seruput. Mereka terpejam. Mereka melihat restaurant itu penuh. Kaum mereka masing-masing di setiap meja. Kecuali dua meja. Di sebelah mereka ada seorang lelaki bersahaja duduk diam. Pribumi. Memandang depan dengan pandangan yang berisi; seperti fokus pada pikiran tertentu. Kopi terbiarkan. Di meja lain, sepasang manusia bercanda sambil mantap menyantap menu yang beragam. Mata mereka sipit. Berkulit putih.
Lalu, ketika kopi telah melewati kerongkongan, mata kedua tamu berambut pirang itu terbuka. Restaurant kembali sepi. Tak ada keramaian kaum mereka. Tamu berbaju merah mereka pandangi. Empat tamu bermata sipit mereka perhatikan.
"Sudah terlihat masa lalu itu?" tiba-tiba tamu berbaju merah bersuara.
Keduanya tersentak lalu tersenyum. "Siapa kamu yang duduk di meja itu puluhan tahun yang lalu?" balas seorang tamu berambut pirang.
Si baju merah tersenyum. Hanya senyum.
"Kakekmu? Bapakmu?"
Si baju merah tersenyum lagi. "Kenang sajalah, tak harus dibincangkan," katanya sembari kembali hanyut ke telepon pintarnya.
Kedua tamu berkulit kasar tersadar. Kesan tak menyenangkan seperti itu pasti didapati kakeknya tempo hari. Ya, pribumi memang aneh, pikir mereka. Tak mau ambil pusing, mereka alihkan pandangan ke tamu bermata sipit. Mereka mendapat balasan senyum. Ramah. Tanpa diminta, mereka datangi empat orang itu.
Lalu, keenamnya terlibat dalam tawa yang panjang. Berbagi kisah yang banyak. Dan, kembali memesan menu yang sama.
Si baju merah melirik. Tersenyum. "Sama saja," lirihnya.
Pelayan bermata sembab tak sabar. Dia datangi tamu baju merah. "Ada pesanan lain, Pak?"
"Tidak," jawab sang tamu sambil menyeruput sedikit cairan berwarna hitam yang manis dan yang tak panas lagi itu sedikit.
"Hanya kopi?"
"Tidak boleh?"
"Bukan tidak boleh, tapi kita punya menu andalan yang lain."
"Cukup ini saja ...," si baju merah kembali fokus ke gawainya.
"Ya sudah ...," ujar pelayan itu, dia berbalik.
Sang tamu tersadar. Matanya marah. Rasa disepelekan begitu mengemuka. Apakah selalu seperti ini sikap para pelayan yang terjajah kepada saudaranya yang juga terjajah, pikirnya. "Hei! Kamu! Kemari!" teriak si baju merah.
Sang pelayan terkejut. Enam tamu di satu meja yang telah menyatu juga terkejut. Pandangan mereka mengarah ke tamu baju merah dan pelayannya. Seperti menonton drama, mereka menanti konflik yang membuat sandiwara makin bermakna.
Tapi, mereka tak mendengar dialog. Sang pelayan tampak menunduk. Bersalah. Minta maaf. Sementara sang tamu mendelik. Marah. Menunjuk-nunjuk. Lalu, sang tamu melemparkan setumpuk uang. Membanting gelas kopi yang masih berisi sembari pergi meninggalkan restaurant.
Langsung saja lantai restaurant itu menghitam. Pelayan itu syok. Dia berlari ke belakang. Mengambil kain lap. Mengelap lantai itu sampai bersinar. Uang di meja masih terbiarkan. Adegan itu terekam benar di kepala enam tamu tadi. Tapi, mereka tak tahu seperti apa kalimat penguat konflik. Peristiwa itu persis film bisu era kakek dan nenek mereka.
Seperti merinding, mereka memilih pamit. Pelayan mereka panggil. Mereka meminta bon. Tapi, pelayan datang melenggang. “Semuanya sudah dibayar,” kata pelayan.
“Siapa?” serentak mereka membalas.
Sang pelayan, perempuan berseragam hitam putih hanya menoleh ke meja yang telah kosong: meja yang sebelumnya mempertontonkan konflik. Para tamu diam. Pribumi memang aneh, pikir mereka. Apalagi kalau pribumi sudah terluka, pikir mereka lagi. Lalu, mereka pun sepakat pergi. Konflik di restaurant ini antara pribumi dengan pribumi, mereka tak mau terlibat. Tapi, kalau ada pribumi yang terluka dan merelakan kekayaannya untuk mereka, ya, bukan salah mereka menikmatinya bukan?
Dan, saat azan pertama mengumandang, mereka telah meninggalkan tempat itu. Restaurant Jang Kie kembali sepi. Lantai bekas kopi telah bersih. Pelayan bermata sembab tak lagi sedih. Dia berdiri, berjalan ke luar restaurant. Masjid telah menanti. Salat Jumat harus tetap dijalani.
Sementara aku, di sini, di langit-langit restaurant ini menanti. Apakah akan ada dendam yang dibalas tamu berbaju merah itu persis yang kakeknya lakukan puluhan tahun lalu. Ya, ketika pelayan restaurant ini menyepelekan kopi pesanannya dan lebih mendahulukan pesanan pegawai Deli Maatschapij dan keluarga saudagar Tiongkok: sang pelayan saat itu ditemukan di parit Esplanade keesokan harinya. Luka menganga tepat di ulu hati. Ya, sesaat setelah restaurant ini berganti nama dari Jang Kie menjadi TIP TOP dan pindah dari Kapiteint weg ke Kesawan.
Entahlah, apa mungkin dendam berulang? Yang kutahu aku hanya melihat dari langit-langit restaurant ini. Dan, itu sudah cukup lama, sampai aku sendiri lupa sejak kapan.
Medan