Masukan nama pengguna
Pagi pada akhir September yang gamang. Kami mulai bergerak meninggalkan daratan, menaiki perahu bermesin yang beratap terpal, bersiap menghadapi lima jam bergoyang hingga tiba di tanah lain. Pemanduku tampak tegang, ini adalah perjalanan pertamanya ke sana – selama ini dia hanya jago cerita – ke pulau kecil asal orang-orang besar yang telah banyak mengubah arah negeri ini: Pulau Merah.
“Seandainya kita menunda ke sana, mungkin aku akan sangat bahagia,” katanya sambil berpegang ke dinding perahu dengan dua tangannya, seperti begitu takut terlempar ke laut.
Aku memilih untuk tidak menanggapinya. Aku lebih tertarik dengan si pengemudi yang berada di sisi belakang perahu kecil itu. Dia tampak tenang, mimiknya datar, matanya terang, dan gerakannya cukup terukur. Asap kretek yang keluar masuk melalui hidung dan mulut mungkin menjadi alasan soal sikapnya itu, tapi tidak, kurasa memang seperti itu pembawaannya. Terbukti ketika rokoknya kandas, dia tetap tak tampak cemas.
“Aku memang banyak tahu tentang pulau itu, kurasa cukup kau wawancarai saja,” kata pemanduku lagi. Kali ini aku hanya menoleh, sama sekali tidak tertarik untuk menyetujui idenya itu. Tampaknya dia mulai putus asa. Wajahnya memurung tapi tetap berusaha tersenyum. “Apa yang kau cari sebenarnya?”
Aku dengar tanya itu, tapi aku memilih meletakkan tangan di kuping dan mengarah kepadanya. Dia paham dan langsung mengunci mulut. Mesin perahu memang bising, tapi aku tidak pekak. Aku hanya malas berbincang tentang usaha untuk membatalkan sesuatu yang telah diputuskan. Melihatnya diam dan mulai memandang laut, aku sedikit tenang. Hamparan dataran yang telah kami tinggalkan pun menjadi pemandangan yang menyenangkan. Aku berbalik arah duduk, kali ini menghadap belakang perahu. Di balik tubuh pengemudi dapat kulihat jelas barisan perbukitan yang disebut gunung. Ada beberapa titik asap yang membumbung ke udara, tampaknya warga sedang memasak untuk makan siang karena sarapan telah mereka selesaikan sebelum matahari terbit.
Mendadak pengemudi menahan laju perahunya. Mesin dimatikan. Ada ombak besar. Sigap kupegang dinding perahu. Pengemudi tampak tersenyum kecil, dan seperti kebiasaan, dalam kondisi itu sangat tidak perlu melawan dengan mesin yang sekadarnya. Jika dipaksa, perahu bisa melompat. Ikuti saja gelombangnya. Biarkan perahu bergoyang, setelah tenang baru kemudian mesin dilajukan lagi. Tapi, goyangan cukup lama bertahan. Kami seperti terombang-ambing di tengah laut meski pantai belum lagi hilang dari pandangan.
Pemandu mulai meluruskan kakinya, mencari kuda-kuda selain tangan yang masih melekat ke dinding perahu. Dia tampak panik, padahal laut bukanlah asing baginya. Dia itu adalah nelayan, namun niat menuju Pulau Merah sepertinya membawa suasana yang beda. Itulah sebab, ada sinar harap pada matanya yang menatapku. Aku membalasnya dengan senyum tanpa berusaha untuk mengeluarkan suara.
Selang dua menit, mesin kembali menyala. Aku berbalik dan menghadap depan. Perahu melaju kencang, sepertinya dengan kecepatan maksimal. Topi yang kukenakan nyaris terbang seandainya tak sigap menahan. Mata pun mulai berair melawan angin. Dan, aku sudah siap meski harus menghadapi itu setidaknya dalam lima jam ke depan.
Dua puluh menit kemudian, aku mulai terbiasa. Entah karena air mata telah kandas, nyatanya tak ada lagi cairan yang keluar meski angin dari depan begitu kencang menerjang. Mendadak kantuk menyerang, sangat luar biasa, hingga aku sekuat tenaga menahannya. Tentu aku tak akan membiarkan sedetik pun kesadaran hilang dalam perjalanan ini. Sementara pemandu telah menopang kepalanya dengan dua tangan, kedua kakinya menekan kayu sambungkan perahu, yang melintang dari kiri ke kanan, sebagai kuda-kuda. Matanya terpejam. Jelas dia entah sudah berada di alam mana.
Tak ada lagi ombak besar, perahu melaju dengan kencang secara stabil. Sebuah pulau terlihat di depan sana, sangat jelas dikelilingi pohon bakau yang mengakar, sepertinya itu dataran yang kami tuju. Kuperhatikan jam tangan dan benar, perjalanan ternyata sudah lebih dari empat jam dan hampir lima jam, sesuai jadwal.
Tapi kami tak langsung mendarat, pengemudi mengitari pulau itu terlebih dahulu, seperti mencari dermaga. Nyatanya, tak ada dermaga seperti kebanyakan pulau. Pun tak ada hamparan pasir laiknya pantai. Setelah satu putaran, pengemudi berteriak, dia tak menemukan tempat untuk merapat. Dia memang tak pernah singgah ke pulau itu, selama ini dia hanya melihatnya dari jauh, itupun saat malam ketika dia mencari ikan. Kubangunkan pemandu. Dia perhatikan pulau itu sambil mengucek mata dengan lama. Jelas, dia juga bingung.
“Matikan mesin!” teriakku. Tidak, ini bukan karena aku telah menemukan tempat bersandar, tapi karena aku ingin mendengar suara-suara di balik rimbunan bakau. Setidaknya, ketika ada suara kehidupan di sana, maka di situlah tempat mendarat.
Tapi, jangankan suara manusia atau aktivitas warga, suara binatang pun tak ada terdengar. “Di mana kita bersandar!”
Pemandu melihatku yang berteriak sambil berdiri di atas perahu, dia tetap duduk dengan posisi kaki yang sama. “Harusnya ada, dermaganya besar lengkap dengan penjaga,” balasnya.
“Lalu perempuan-perempuan cantik akan menyambut kita dengan karangan bunga?”
“Tidak seperti itu juga, tapi ada dermaga, setidaknya dari cerita itu.”
“Cerita yang kemudian kau bumbuhi dengan segala keindahan hingga banyak yang percaya kalau pulau ini dihuni orang-orang pintar!”
Aku tak tahu, apa karena kalimatku itu atau karena sebab lain, pemandu lalu meminta pengemudi merapatkan perahu ke salah satu pohon bakau yang besar. Dia berdiri dan kemudian berpegang ke dahan bakau yang kokoh. Tubuhnya pun berpindah. Kini dia sudah seperti memanjat pohon bakau itu.
“Aku tunggu di sini, kalau dalam dua jam kalian tidak kembali, aku pulang!” kata pengemudi ketika aku mulai mengikuti tingkah pemandu. Dan, aku mengangguk.
Nyatanya, setelah melewati rimbunan bakau, yang kami temui tetaplah rimbunan bakau yang lain. Kali ini malah terlihat lebih lebat. Kulihat pemandu yang tak melihatku, dia tampak fokus mencari celah cahaya. Seperti dia, akupun begitu, berharap menemukan sebuah dataran tanah berwarna merah yang dipenuhi rumah-rumah warga. Tapi, tetap saja hitam, tanah becek berlumpur dalam hutan bakau yang hanya menyisakan jejak kepiting.
“Jangan katakan kalau kita salah pulau ....”
“Aku percaya pada pengemudi, dia pasti tidak salah mengantar,” balas pemandu tanpa melihatku. Dia terlalu sibuk menyibak ranting-ranting bakau yang seperti tangan dan kaki sekaligus.
“Sesuai cerita itu, harusnya ada sebuah kampung yang di bagian tengahnya ada sebuah mimbar kayu tempat mereka berembuk, belajar, sekaligus menentukan arah tujuan mereka. Kenapa tidak ada?”
“Kenapa aku terpengaruh dengan ceritamu?”
Pemandu tak menjawab. Dia malah sudah terduduk di salah satu dahan bakau. Seperti monyet, dia tampak nyaman di dahan itu. Aku mau tertawa, tapi rasanya tidak pas. Apalagi, matahari yang seharusnya sudah berada tepat di atas kepala seperti tidak bersinar maksimal. Pulau itu berselimut mendung, mungkin karena hutan bakau sedemikian lebat dan rapat. Udara pun terasa lebih dingin, padahal pulau itu tepat berada di tengah samudera.
“Aku jadi curiga dengan cerita yang kuceritakan itu ....”
Tepat ketika pemandu menyampaikan kalimatnya tersebut terdengar sayup suara. Ramai, seperti suara kesibukan di pasar-pasar tengah desa. Aku tertawa. Pemandu bersorak. Kami langsung bergegas ke arah suara itu. Ternyata tak jauh, tak lebih satu kilometer dari tempat kami semula, terhampar kampung yang nyata. Persis yang dikatakan pemandu, di bagian tengahnya ada mimbar kayu. Terlihat anak-anak sedang belajar, masing-masing dengan komputer jinjing dan kuping mereka ditutupi alat pendengar yang besar. Sang pengajar menggunakan layar lebar, memakai alat pengeras suara yang suaranya sama sekali tak keluar. Sementara di sisi lainnya, tak jauh dari situ, kumpulan orang berinteraksi di sebuah pasar. Losnya dari kayu, tapi segala barang sepertinya ada di sana, mulai dari alat eletronik supercanggih hingga remeh-temeh seperti bando dan pita merah jambu untuk anak balita.
“Lebih canggih dari ceritamu,” bisikku dengan antusias.
Pemandu tak menjawab, dia sepertinya masih takjub dengan kenyataan yang di luar ceritanya. “Harusnya lebih sederhana. Harusnya tak ada komputer. Harusnya seperti cerita-cerita tentang negeri di atas awan, yang lebih seperti surga ....”
“Harusnya kau diam,” balasku ketika melihat ada dua orang mendekat.
Orang pertama memakai celana tiga perempat, bersepatu tanpa kaus kaki, dan memakai baju kemeja bergaris vertikal. Lelaki itu berkumis tapi tidak berjanggut. Orang kedua memakai celana panjang yang menutupi mata kaki, memakai baju kaos dan sepatu berwarna cerah. Dia berjanggut tapi tidak berkumis. Keduanya memiliki rambut sepanjang bahu.
“Selamat datang di Pulau Merah, salut untuk kalian karena bisa sampai di kampung kami yang terpencil ini,” kata yang berjanggut dengan tersenyum. Si pemuda berkumis ikut tersenyum, tatapannya sangat teduh, tapi dia tidak bicara.
“Ada cerita yang membuatku sangat ingin berkunjung,” balasku.
“Tentang kaum kami yang pintar hingga bisa mengubah arah negeri?”
“Seperti itulah dan aku sangat ingin tahu, tapi kami sempat ragu ketika harus menghadapi pulau tanpa dermaga dan rimbunan bakau sedemikian lebat.”
“Ya, biasanya ketika mendapati itu, mereka yang datang akan langsung pulang dan menganggap perjalanannya sia-sia. Syukurlah kalian bertahan hingga bisa melihat kami seperti apa?”
“Seperti apa kalian?”
“Seperti ini, seperti yang kalian lihat,” balas pemuda berjanggut sambil melihat ke arah pemandu yang belum juga bisa bicara. “Tak perlu heran, kami memang seperti ini.”
“Tapi, bagaimana kalian bisa terhubung dengan dunia luar?”
Pemuda itu kembali menatapku, tetap tersenyum. Dia pun langsung menunjuk ke mimbar, ke tempat anak-anak yang sedang belajar. “Mereka tidak sedang belajar, mereka sedang beraktivitas mengatur apa yang memang harus diatur di negeri ini.”
Aku tertawa. Sumpah. Di mimbar itu hanya berisikan anak-anak berusia di bawah sepuluh tahun, tingkah polanya pun seperti mereka yang kecanduan game, bagaimana bisa mengatur negeri ini?
“Anda bekerja di bagian apa?”
“Pengarang.”
“Harusnya Anda paham dengan yang kami maksud ....”
“Maksudnya?”
“Apa yang ada dalam otak anak seusia mereka itu luar biasa, liar, penuh ketidakpastian, dan memiliki unsur suka-suka. Hm, sebaiknya kita bicara lebih panjang lagi, di sana sambil minum kopi,” balasnya sambil menggiring kami ke sebuah rumah panggung yang bagian bawahnya tersedia deretan kursi dan meja.
Aku dan pemandu menurut hingga tersadar begitu duduk kalau waktu kami tak lama. Pengemudi hanya memberi waktu dua jam. Kulihat jam tangan, kami sudah melewatkan waktu satu setengah jam, jadi hanya tersisa tiga puluh menit saja.
“Makanan kami sama dengan kalian, jadi jangan takut untuk menginap. Bahkan, kalau sudah menginap, biasanya jarang yang mau pulang. Jadi biarkan saja pengemudi perahu itu kembali,” pemuda berkumis buka suara, tetap tersenyum.
“Aku punya keluarga ...,” akhirnya pemandu bicara.
“Yang paling dibutuhkan keluarga adalah kepastian hidup, kebutuhan yang terpenuhi bukan? Bisa kami penuhi saat ini juga.”
Aku tertawa. Aku belum punya keluarga. “Ya, ya. Kalian bisa mengaturnya semua dari sini. Anak-anak itu yang menyelesaikan melalui komputer jinjingnya bukan?”
“Hm, Anda memang pengarang.”
Aku tak tersanjung. Mendadak aku merasa aneh. Orang-orang yang kuperhatikan penuh dengan senyum, tidak ada gerak yang mencurigakan dan cukup meneduhkan. Ini surga atau apa?
“Apa tak ada jalan keluar?” cetus pemandu. Jelas dia tampak putus asa, sepertinya cerita yang dia sampaikan ke orang-orang, termasuk aku, sudah jauh lari dari bayangannya. Matanya malah berkaca. Geraknya tampak sangat tertahan. Dan, dia lebih banyak memandang dengan kosong hingga kopi yang sejak tadi disuguhkan tak juga disentuhnya.
“Ada, kalau kalian mau. Kami punya alat yang bisa kapan saja mengantarkan kalian ke daratan. Tapi ....”
“Tapi kau akan sengsara dan dianggap pendusta karena mengaku telah menemukan pulau yang berisikan para penulis naskah negeri ini. Minimal kau akan dianggap gila, hebatnya kau dianggap penyebar fitnah,” potongku sambil tertawa.
“Anda memang pengarang,” kata si pemuda berjanggut lagi.
Pemandu langsung meminum kopinya. Sekali teguk cairan hitam dan manis itu kandas. Dia pun tertawa. “Iyalah, kalau begitu. Mau bagaimana lagi?” katanya.
Setelah itu, tak ada lagi pertentangan. Kami terlibat percakapan panjang soal sekian kejadian di negeri ini yang ternyata semuanya mereka ciptakan. Politik yang karut marut. Ekonomi yang ketar ketir. Kenyamanan yang naik turun. Semuanya.
“Itulah kenapa anak-anak kecil yang terpilih untuk mengatur itu semua. Mereka lebih murni dalam bermain. Belum ada keberpihakan soal benar atau salah, dalam otak mereka hanya bersuka-suka. Setelah besar, warga pulau ini hanya boleh menikmati hidup, di sini, karena semuanya terpenuhi. Guru yang berada di tengah itu, hanya mengawasi, dan setiap hari orangnya berganti. Jadi, ada atau tidak dia di sana, juga tidak begitu berpengaruh.”
Aku mengangguk-angguk. Aku semakin tertarik untuk masuk lebih dalam, bahkan aku ingin sekali melihat langsung anak-anak itu memainkan perannya membuat negeri ini seperti tidak punya arah. Setidaknya hal itu akan menambah keyakinanku kalau negeri ini memang butuh orang dewasa. Setelah itu, mungkin akan kutulis dan menjadikannya cerita pendek. Terserah ada yang baca atau tidak.
“Sebenarnya, dari mana kau dapat cerita soal Pulau Merah ini?” tanyaku pada pemandu ketika kami tinggal berdua di sebuah rumah panggung yang lain, yang diberikan dua lelaki tadi sebagai tempat istirahat.
“Dari cerita pendek terbitan koran ibukota, beberapa tahun lalu. Aku suka ceritanya, aneh dan tak masuk akal, sampai kuhafal setiap hurufnya. Bagiku, cerita itu sanggup membuat orang tertarik untuk mencari tahu. Makanya kusebarkan, seakan-akan itu memang ada meski aku belum pernah melihatnya langsung,” katanya sambil rebahan.
“Hebat pengarangnya itu sampai aku juga tergoda, siapa namanya?”
“Ini kalau kau mau baca, sengaja kugunting koran itu dan kubawa ke mana-mana,” katanya sambil mengeluarkan lipatan koran yang lusuh dari dalam dompetnya.
Kusambar kertas yang dimaksud. Beberapa huruf telah memudar, mungkin karena lipatan dan juga umurnya yang memang sudah tahunan, tapi masih tampak jelas judulnya: Dongeng Pulau Merah. Nama pengarangnya: namaku!
“Tunggu dulu, sekarang tahun berapa?”
Pemandu yang kutanya sudah tidur. Aku langsung keluar menuju tengah kampung yang ada mimbar kayunya. Dan, semua anak-anak yang memegang komputer jinjing itu tertawa melihat kehadiranku. Kurang ajar!
medan, 2022