Cerpen
Disukai
0
Dilihat
3,776
Masjid Pensiunan
Slice of Life

“Maaf, Anda Muslim?”

“Ya.”

“Cocok. Ini rumah dekat dengan masjid. Warga di komplek ini aktif. Masjidnya besar dan tak pernah kosong. Kerukunan warga juga bagus. Jadi kamu cocok sekali ....”

“Berapa?”

“500 juta.”

Kau meletakan telepon genggam di meja. Di telingamu masih terngiang suara dari seberang telepon itu. Suara orang yang kau dapat dari iklan online. Yang membuai. Yang menggoda. Yang mengajakmu untuk segera melihat rumah dalam komplek tua legendaris itu. Perumahan mewah di zamannya. Tempat tinggal para pejabat. Pemuka kota.

Tapi, kau cerdik. Kau tak langsung memberi kata ‘iya’. Kau atur waktu pekan berikutnya untuk ke sana. Ini bukan soal harga. Ini juga bukan soal tak percaya. Kau percaya rumah di komplek itu punya kelas. Ini tentang jaga-jaga. Waspada. Awas. Setidaknya hal itu sesuai dengan istrimu.

“Komplek itu terkenal. Masih kecil pun aku sudah bermimpi tinggal di sana. Tapi, komplek itu sudah tua, Bang. Kita harus lihat dulu. Nanti malah lebih banyak uang keluar untuk memugarnya.”

Kau tersenyum. Standar. Kalimat istrimu sudah tentu kau pikirkan sebelumnya. Tapi, ini tidak sekadar soal rumah. Kau lebih tertarik dengan masjid yang diceritakan itu. Belum terbayang dalam otakmu jika ada masjid di komplek yang terbilang mewah bisa begitu aktif. Yang pengajiannya hidup. Yang jamaahnya rajin. Dan, yang seperti kisah di kota pesantren.

“Abang cek aja dulu. Abang salat di sana ...,” celetuk istrimu.

Kau tersenyum. Kau usap kepala istrimu. Mesra. “Itulah kenapa kuminta ngecek rumah itu pekan depan. Mau aku tes dulu masjid itu selama beberapa hari ini.”

Tak perlu menunggu lama, jelang ashar kau langsung ke sana. Ke arah pegunungan, bukan lautan. Ke kawasan yang dekat bandara lama. Daerah terbilang hijau. Sebaris dengan taman perkemahan Pramuka. Yang ada danau buatannya. Yang ada arena bermain anak-anak. Dan, yang masih punya banyak pohon besar dan tinggi.

Johor nama daerah itu. Bukan di Malaysia, tapi Medan. Sumatera Utara. Kota Besar ketiga di Indonesia. Kota yang berisi sedikitnya delapan etnis. Yang bahu membahu membangun. Yang tak memunculkan intrik. Yang tidak menuhankan SARA. Dan, yang saling jaga.

Masjid itu sudah terlihat sebelum memasuki komplek. Dia berada tepat di sisi jalan besar. Terpisah pagar komplek. Bukan tembok. Pagar besi, lebih tepatnya kawat yang tinggi. Tembus pandang. Di sisi kanan jalan. Sementara di sisi kiri barisan rumah toko tampak rapat. Ramai. Tukang parkir pun harus bolak-balik berlari mengejar kendaraan yang ingin beranjak.

Kau belokan mobil ke kanan. Masuk gerbang komplek yang bergapura. Gaya klasik. Berportal. Beratap. Bak gapura Tujuh Belasan. Di bagian tengah gapura, pemisah jalur masuk dan keluar, ada sebuah ruang tak luas. Pos satpam. Berisikan satu meja dan dua kursi. Pos itu sejalur lurus pulau jalan hingga ke pertigaan. Kau pilih ke kanan. Sampai pertigaan lagi, kau pilih kanan. Jumpa pertigaan berikutnya, kau ambil kiri. Lurus. Masjid sudah terlihat.

Kau memang hafal betul dengan komplek itu. Setidaknya, sudah sekian kali kau kelilingi blok demi blok. Mencari alamat pejabat. Mencari rumah rekan. Maupun, melihat-lihat rumah yang mau dibeli. Dan, kau memilih parkir di halaman masjid yang berkonblok dengan bagian pinggirnya berumput. Luas. Di sudut terlihat jelas menara tinggi. Tampak juga sedikitnya tujuh mobil parkir dan beberapa sepeda motor. Indah.

Saat membuka pintu mobil tak terpikir olehmu sama sekali untuk melihat rumah 500 juta itu. Padahal, rumah itu ada di jalan sisi masjid. Blok 5. Kau begitu serius untuk mengecek masjid terlebih dahulu meski kondisi rumah itu masih sangat misterius.

Pelan kau buka sepatu. Meletakkannya di rak yang tersedia. Masjid sudah ramai. Padahal belum azan. Padahal ini ashar. Waktu yang sering terlupakan.

Kau ke sisi kiri masjid. Mengambil air wudhu. Air segar menyergap. Begitu keluar dari tempat wudhu yang meneduhkan, matamu terpaku. Seorang lelaki tua tampak memegang gagang sapu. Seperti baru selesai membersihkan lantai. Kau hafal wajah lelaki itu. Dia bekas kepala dinas.

Kau tak berusaha menegur meski yakin benar kenal dengan lelaki itu. Kau alihkan ke bagian luar, ke arah dua anak tangga tempat sendal jamaah. Lagi-lagi kau kenal wajah lelaki tua yang sedang merapikan alas kaki para jamaah. Dia mantan camat. Kau pun tak berusaha untuk menegurnya meski yakin kenal baik dengannya.

Kau pilih masuki masjid. Azan mulai berkumandang. Kau berdiri di ruang tengah. Ruang ber-AC. Ruang yang seperti akuarium. Yang terpisah kaca dengan sisi belakang, samping kiri, dan samping kanan; ruang yang berkipas angin. Kau perhatikan isi masjid itu dengan dalam. Terdapat tiga monitor. Layar datar yang ditempel di dinding. Satu di belakang. Satu di samping kiri. Satu di samping kanan.

Azan selesai. Kau laksanakan dua rakaat. Selesai. Komat. Salat ashar dimulai. Empat shaf penuh. Tiga shaf laki-laki dan satu shaf perempuan. Bekas kepala dinas di shaf pertama. Begitupun mantan camat. Kau pilih shaf terakhir.

Salat selesai, kau langsung beranjak. Sama sekali tak bertegur sapa. Kau pulang. Temui istri yang sedang menyiapkan kue untuk petang hari. Bersama kopi kalian duduk di beranda. “Kucoba subuh nanti. Kalau memang ramai juga, berarti memang benar kata pemilik rumah itu.”

Dan, subuhnya kau terkejut. Para pensiunan yang kau kenal cukup banyak berjamaah di sana. Selain bekas kepala dinas yang menyapu, mantan camat yang merapikan sendal, ada pula purnawirawan. Bukan perwira rendah, tapi perwira menengah. Pensiunan pejabat eselon satu dan dua lainnya juga seperti tak hilang dari mata. Beberapa mantan anggota dewan yang masih aktif menjadi narasumber media pun tampak sibuk menyiapkan gelas dan piring di sisi masjid.

Keterkejutan semakin menjadi ketika salat subuh dengan delapan shaf itu usai; lima lelaki dan tiga perempuan. Tak ada anak-anak. Tapi, ada ceramah. Usai ceramah gelas-gelas mulai diedarkan. Teh manis panas. Piring-piring pun ditebar. Berisi makanan, bukan sekadar kue, ini makanan berat. Nasi kuning lengkap dengan telur bulatnya.

Kau tak bisa mengelak. Kau harus menikmati hidangan itu. Dan, mau tak mau, mereka yang mengenalmu menyapa. “Orang jauh berjamaah di masjid kita ini, alhamdulillah,” kata bekas kepala dinas.

“Apa cerita kawan, angin apa yang membawa kau kemari?” timpal mantan camat.

“Jangan bilang kau mau cari berita?” celetuk mantan anggota dewan.

“Dia pemred, mana mungkin cari berita, kan tinggal suruh anggotanya kalau mau wawancara kita,” balas purnawirawan.

Kau tersenyum mendengar itu semua. Tak menjawab. Ekspresimu hanya menunjukkan malu.

“Ha ha ha, kau kan mau cari rumah ya kan? Aku ingat, anggotamu pernah cerita. Sudah beli rumah di sini, blok berapa?” sambar mantan anggota dewan yang lain.

“Memangnya kau mau pensiun? Kau kan masih muda ...,” kata seorang mantan pejabat eselon dua.

Dan kau, sama sekali tak menyahuti segala kalimat tadi. Kau pilih alihkan pembicaraan. “Aku dengar masjid ini aktif, aku jadi penasaran,” katamu.

“Ya, namanya kami semua pensiunan, sudah saatnya tinggalkan dunia. He he he,” kata bekas kepala dinas yang disambut tawa semua yang ada.

Kau tertawa. Di mulut saja. Sampai rumah kau malah garuk-garuk kepala. Istrimu penasaran. Dan, kau katakan, “Masjid pensiunan, pantas ramai ....”

“Hus, tak baik ngomong gitu Bang.”

Kau tak membalas teguran itu, tapi kau malah menyambar telepon genggam. Kau telepon pemilik rumah. Membatalkan rencana membeli. Istrimu langsung protes. Dia sampaikan keinginannya untuk tinggal di komplek itu. Mimpi yang sudah ada jalan untuk menjadi nyata.

“Aku kan belum mau pensiun Sayang ...,” katamu yang membuat istri berang.

“Ibadah itu ibadah, bukan soal sudah mau bau tanah!” katanya sambil meraih telepon genggammu. Menelepon kembali sang pemilik rumah.

Dan, siangnya kau langsung kembali ke komplek itu. Kali ini tak sendiri. Kau bersama istri. Ternyata rumah yang dimaksud memang dekat dengan masjid. Tak sampai berjarak lima belas rumah. Tapi, kau kecewa. Kondisi rumah seluas 8 meter kali 15 meter itu jauh dari harapan. Rumah itu masih standar, belum banyak yang berubah. Bagian belakang rumah memang sudah ditambah. Ada dapur. Ada ruang makan. Dan, ada kamar mandi. Itu saja. Lebihnya, dua kamar dan ruang tamu serta ruang keluarga adalah bawaan rumah sejak berdiri pada akhir tahun 1980-an itu.

“Sudah lihat masjidnya kan?” kata si pemilik rumah.

“Maaf, Anda Muslim?” balasmu.

“Tidak.”

“Tapi kenapa nama Anda Alim?”

“He he he, bukan Alim tapi A Lim,” kekeh sang pemilik rumah. “Tapi saya jual ini rumah bukan karena saya tidak Muslim. Saya jual karena saya kasihan dengan rumah ini, saya sudah punya rumah lain lho,” tambahnya.

Kau tertawa. Istrimu tertawa. Pemilik rumah juga tertawa. Tapi, tidak ada deal. Rumah batal berpindah tangan. 500 juta sangat tak wajar. Ya, meski rumah itu berada di komplek legendaris.

“Tapi bukan karena masjid ya, ini karena rumahnya tak layak,” kata istrimu begitu di dalam mobil.

Kau tersenyum sambil mulai memijak gas. Perlahan. Melewati masjid yang ramai. Yang sebentar lagi azan. Terlihat para mantan pejabat yang kau kenal sibuk di bangunan megah berwarna putih itu. Istrimu melirik. Memperhatikan para mantan pejabat itu. Dia tersenyum tak wajar. “Eits, bukan karena masjid ya, ini karena rumahnya tak layak,” kata istrimu.

Kau tersenyum. Standar. Setidaknya hal itu sesuai dengan istrimu.

Januari 2017


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)