Masukan nama pengguna
“Nak! Kamu di mana, Nak? Pulang, Sayang! Kalau kamu masih marah sama Papi, Mami memang tak bisa berbuat apa-apa, tapi Mami di rumah menunggu kamu, Nak. Mami rindu sekali sama kamuuuu,”
Syanina Andreta perlahan menjauhkan ponsel dari telinganya yang bertindik tiga. Suara serak maminya tak lagi terdengar. Hanya ada deru mesin mobil yang dinaikinya. Lebih tepatnya, mobil sang kekasih pujaan hati.
Kedua mata lentik Syanina nanar memandangi jajaran lampu jalan yang benderang berwarna kuning keemasan. Tiang-tiang lampu itu menancap, membelah kedua jalur jalan tol berbeda arah yang tak terlalu ramai di tengah malam ini. Atas segala kesyahduan malam ini, seharusnya menciptakan ketenangan dan kenyamanan. Nyatanya, benak riuh dengan bising, hati terasa sesak, tetapi lontaran kata tak ada yang berniat terucap. Sedari tadi, kedua tangannya hanya mengepal.
Syanina kembali memandangi ponsel yang merupakan hadiah ulang tahun sweet seventeen dari papinya dua tahun silam. Sepanjang dia hidup, baru kali ini dia cukup lama menggunakan ponsel. Maklum, akhir-akhir ini, papinya mulai perhitungan akan fasilitas yang diberikan untuk putri tunggalnya. Lebih tepatnya, setelah gadis berusia sembilan belas tahun ini menjalin hubungan dengan Mikael Armen, kawan satu kampusnya yang dikeluarkan setahun lalu akibat cari ribut dengan rektor. Perkaranya hanya soal tempat duduk kantin. Dia tak mau jika dirinya dan sekelompok teman tongkrongannya tak diperbolehkan memiliki tempat duduk khusus di kantin.
“Syan, udah aku bilang, kan, Sayang?! Matiin aja telepon kamu! Bisa, enggak, sih? Biar mama atau anak buah papa kamu itu enggak bisa hubungin kamu lagi!” Mikael menaikkan gigi, sehingga laju mobil sewanya semakin kencang. “Kamu udah ngasih tahu Mami atau Papi kamu belum, sih, kalau kita berdua ini sekarang mau ngapain? Harus dikasih kejelasan biar enggak ganggu kamu lagi! Dan memperjelas kalau semuanya sudah terlambat!”
Syanina menggelengkan kepala, “Gue masih cari kata-kata yang enggak bikin mereka berdua panik!”
Mikael menoleh ke arah kiri, ke arah Syanina yang duduk di jok samping, “Cari kata yang enggak bikin mereka panik? Hah! Lo udah gila?” Karena Syanina memakai sebutan "Gue-Elo", Mikael pun mengikuti.
“Hah? Apa kata lo? Gila? Emang udah gila! Mana ada cewek waras mau sama lo, Mik?! Hahahahaaaa!” refleks, Syanina menjambak rambut Mikael, menariknya, dan mencium bibir kekasih pujaannya ini.
TIIIIN!
Akibatnya, mobil hampir saja menabrak sebuah truk gandeng menuju pelabuhan. Untung saja, Mikael cepat-cepat banting setir. Kalau tidak, entah sudah bagaimana nasib kedua kendaraan ini.
Atau mungkin, hal lain yang berdampak dengan kendaraan lainnya bisa saja terjadi.
“Jangan memotong rencana!” protes Syanina, “Kita sudah sepakat akan mengakhirinya di sana!”
“Iya, aku tahu! Seharusnya kamu memuji caraku mengerem," ucap Mikael berubah halus. Memang kalau dia sedang marah-marah, obat mujarabnya adalah kecupan.
Tak ada respons berarti dari Syanina. Dia tak lagi takut, marah, sedih, atau beragam perasaan lainnya. Gadis ini hanya memilin-milin rambut ikalnya yang tak terlalu panjang. Kedua matanya memandangi gedung-gedung bertingkat di seberang jalan tol sana.
Lalu seketika, Syanina berhenti memainkan rambut. Air matanya mulai menggenang di kelopak mata. Dia jadi teringat jika maminya sering memainkan rambutnya seperti ini sedari kecil. Apalagi jika sedang mendongeng sebelum Syanina tidur. Dia sadar bahwa semasa kecilnya, semua orang sayang dan memperhatikannya.
Salah siapa jika pada akhirnya, pada saat ini, Syanina jadi benci sendiri karena jadi sempat merindukan seseorang yang bahkan panggilan teleponnya saja barusan dia akhiri. Seharusnya, konflik macam ini tak perlu terjadi jika rasa cinta pada Mikael direstui. Seharusnya, kedua orang tuanya juga tak perlu menuduh jika diri Syanina diguna-guna.
"Apa yang kurasakan adalah sesuatu yang konkret, dan Mami serta Papi seharusnya tidak usah bertindak atau berkomentar yang tidak-tidak terhadap jalan yang kupilih," bisik Syanina kepada dirinya sendiri. Tentu saja, Mikael mendengar.
Sambil menyetir, Mikael menguap. Tak tahu sengaja, tak tahu pula menghina Syanina yang bicara sendiri. Namun, apa pun itu, sungguh memancing Syanina untuk menoleh dan berkomentar. Dia tak ingin sesuatu yang buruk lagi terjadi di tol ini lantaran Mikael mengantuk.
Bagi Syanina, apa yang sudah disepakati sebelumnya dengan Mikael, harus dilaksanakan dengan tepat dan benar!
Selama melanjutkan perjalanan, tak ada satu orang pun di antara Syanina maupun Mikael yang mengeluarkan suara. Lagi-lagi hanya ada deru mesin mobil yang mengencang. Jarum spidometer sudah bertengger di angka 80. Bahkan, hampir mendekati angka 90.
Dering ponsel kembali mengacaukan Syanina maupun Mikael terhadap penghayatan malam dan suasana jalan. Kali ini bukan berasal dari ponsel Syanina. Mikael pun jadi kikuk dan segera mematikannya.
“Kamu tak mau angkat?” tanya Syanina, "Siapa tahu dari abangmu di rumah? Kamu udah kasih tahu juga rencana kita malam ini ke abang atau kakak ipar kamu, kan?"
Mikael menggelengkan kepala, “Saat menyetir tak boleh mengangkat ponsel. Bisa kecelakaan di tol!”
“Huh! Jangan-jangan, kamu sama saja sama aku. Kamu juga belum cerita apa-apa ke orang rumah tentang rencana kita hari ini.” Syanina hanya menanggapi dengan seulas senyum kecut.
Mikael pun merespons, "Abangku paling cuma nanya, aku sudah benerin atap yang bocor belum? Kakak iparku itu pasti yang bawel menyuruh-nyuruhku!"
Dari deretan lampu kota yang disugestikan semarak padahal tidak terlalu, Syanina menyeka air mata. Tepatnya, air mata yang tak dia pinta untuk menetes. Memang semua salah hati yang belum melupakan segenap kasih sayang kedua orang tuanya selama ini. Jika ditanya rindu, sudah pasti. Namun, Syanina yakin dirinya tak bersalah dan pantas saja melakukan hal ini. Dia harus mengikis perasaan rindu pada kedua orang tuanya ini.
Hingga akhirnya, Syanina merasa laju kecepatan mobil yang dikendarai Mikael berkurang. Rulanya, tempat yang diharapkan sepasang kekasih ini sudah ada di depan mata.
“Kamu siap, kan?” tanya Mikael tanpa menoleh ke arah Syanina.
Syanina memandang sekeliling. Ada deretan kapal yang menepi. Tak jauh dari keberadaan mereka, ada peti-peti kemas yang disusun bertingkat.
“Si, ap,” ucap Syanina yang tak dia sangka agak terbata-bata.
Pedal gas pun diinjak oleh Mikael.
“Aaaah!” secara bersamaan, kedua penumpang mobil ini pun refleks melepas seatbelt dan terjun keluar dari mobil. Mereka berdua akhirnya berguling ke arah berlawan.
“DUAAAR!”
Api menjalar ke permukaan kapal bersamaan dengan bunyi dentuman. Perusahaan mobil sewa cepat atau lambat harus menagih ganti rugi kepada Mikael. Mungkin sebelumnya tak terpikirkan karena dikira Mikael, dia tak akan pernah ganti rugi selamanya.
Dikiranya.
***
Syanina memandang Mikael setelah berusaha keras bangkit terduduk dari jatuhnya.
Sebaliknya, Mikael pun memandang Syanina.
Napas mereka berdua terengah-engah.
Terkesiap sudah pasti karena banyak hal yang tak mereka berdua percaya saat ini.
Tak percaya dengan refleks masing-masing diri maupun tambatan hati.
Namun, pertanyaan yang kini bersemayam di kedua diri ini adalah, apa yang akan Syanina dan Mikael lakukan setelah ini?
Apakah kebencian tumbuh di sanubari keduanya saat ini?
“Mi .… kael? Sejak kapan kamu, sejak kapan kamu, melepas seat belt? Rupanya, kau ingin selamat sendiri, hah?” tanya Syanina. Ternyata dirinyalah yang menagih kejujuran dan tanggung jawab saat ini.
“Apa bedanya denganmu?” Sebenarnya, kini, Mikael menanggung amarah yang sama dengan Syanina.
Amarah yang panasnya mungkin serupa dengan kobaran api di sekitar Syanina dan Mikael saat ini.
Lalu sekejap, keduanya kembali terdiam.
Keduanya menelan ludah.
Lamban laun, senyum pun terukir.
Amarah rupanya cepat juga berpamitan.
Lalu, keduanya berlari dan berpelukan.
“Ternyata, kita sama. Kita sama!" Syanina menarik kerah baju Mikael.
Mikael malah mengecup tangan Syanina yang tengah menarik kerah bajunya. Kemudian, dia berteriak sambil kembali mendekap kekasihnya, "Ternyaya kita sama-sama ingin hidup dan lebih memilih hidup dibandingkan mati dalam keadaan tolol dengan cinta!”
“Dan, aku suka itu," bisik Syanina.
"HAHAHAHAHAHA!" Lalu, keduanya tertawa terbahak-bahak. Tertawa terus sampai pita suara hampir putus. Dengan kemudian setelahnya, bunyi sirene yang bermacam-macam jenisnya mulai menghampiri pendengaran. Ada ambulance, mobil polisi, pemadam kebakaran, dan tentu saja alarm pelabuhan.
Bahaya yang lebih besar sebenarnya siap menyapa keduanya.
Tentu saja tak hanya bisa dilawan dengan kekuatan sedasar cinta.