Cerpen
Disukai
4
Dilihat
11,773
Kereta Sebentar Lagi Berangkat
Romantis

Stasioen Tawang, 17 November 1965, pukul 05.28 pagi.


"Lestari! Di kertas kecil ini ada alamat rumahku. Bawalah! Jangan sampai hilang!"

"........."

"Jika kau butuh tempat perlindungan dari kejaran orang-orang berseragam itu, datang saja ke rumahku! Aku dan kedua orang tuaku pasti akan melindungimu."

".........."

"Benarkah kau akan datang ke rumahku, Lestari?"

"..........."

"Benarkah Lestari? Jawablah! A...ku... Aku mencintaimu."

".........."

"Lestari! Bicaralah! Tanggapi kata-kataku."

"Ya Rukman. Aku.... juga mencintaimu."

Kupeluk erat tubuh kurus Lestari. Jika aku boleh memilih, aku ingin kami terus bersama sampai akhir zaman. Sayangnya, kini tak ada pilihan bagus yang menghampiri kisah cinta kami. Saat ini, dia harus pergi ke suatu kota yang aku sendiri tidak boleh tahu di mana letaknya. Dia hanya mengatakan bahwa semua ini dilakukannya demi keselamatannya.

Aku tak akan pernah lupa. Saat udara pagi yang dingin menari-nari di permukaan kulit, suhu tubuhmu sungguh menghangatkan, wahai kekasihku, Lestari. Sejenak aku berpikir, apakah sebuah karunia besar dari Tuhan bernama cinta ini harus kandas hanya karena malapetaka tragedi buatan manusia? Malapetaka yang berisikan orang-orang yang berebut kekuasaan, saling fitnah, mengkambinghitamkan kelompok lain, bahkan saling bantai dengan sadis.

Pokoknya, malapetaka itu telah membuat Djakarta dan kota-kota di sekitarnya, termasuk Semarang, memanas sejak september kemarin. Media massa berlomba-lomba menyulutkan amarah masyarakat. Coretan-coretan berisi umpatan memenuhi pagar, dinding, dan sudut-sudut jalanan. Kata Lestari, dia merasa terancam jika terus berada di Semarang. 

Padahal, manusia kecil di mata Tuhan. Lalu, mengapa karunia Tuhan yang bersarang di hati kami berdua bernamakan cinta ini bisa kalah dengan malapetaka buatan manusia?

Mengapa Tuhan diam saja?

Mengapa Dia tak memberi petunjuk agar kisah kami bisa berlanjut?

Apa karena Dia memang menginginkan kami berpisah?

Lantas, buat apa dahulu Dia takdirkan kami bertemu dan saling mencintai?

Ah tak tahulah! 

Jangan-jangan, Tuhan itu tidak ada. Makanya Dia diam begitu.

Tidak! 

Tuhan itu ada.

Lestari yang pernah mengatakan itu padaku. Ya. Si kekasihku yang akan meninggalkanku ini. Katanya, kita harus percaya Tuhan. Kalau tidak, kita bisa dianggap bagian dari ‘mereka’ dan nyawa kita melayang.

Lalu, apakah kata-katanya terbukti? Ternyata tidak juga.

Lestari percaya Tuhan. Berarti dia bukan bagian dari ‘mereka’. Namun, nyawanya terancam. Mengapa bisa begini?

Apa karena Lestari sering makan genjer? Hampir setiap siang, lauk dari nasi bungkusnya adalah tumis daun genjer. Kalau memang gara-gara daun itu, aku tak akan memakannya lagi.

"Aku mencintaimu, Lestari," ucapku sekali lagi. Kusentuh lembut pipinya. Ada perasaan sayang, cemas, dan hasrat yang bercampur aduk di sorot matanya. Mungkin juga di sorot mataku.

Tuuuuuuuuuuut Tuuuuuuuuut!

Kereta yang akan dinaiki Lestari hendak berangkat. Tanpa menunggu lama, dia menaikinya dan meninggalkanku begitu saja. 

Tanpa berkata-kata...

Tanpa melempar senyum...

Tak apa-apa pikirku.

Kumelangkah mendekati kereta api. Lautan manusia di stasiun membuat dadaku sesak. Biasanya, aku tak bisa terima jika jaket mahal buatan London yang kukenakan ini harus bergesekan dengan keringat dan daki orang-orang. Khususnya orang-orang kampung seperti yang ada di stasiun ini.

Terkadang, Lestari protes dengan jaket kulit London, kaca mata hitam, jam Rolex yang kukenakan, piringan hitam musik-musik Jazz Amerika atau Inggris yang kudengarkan, serta golf yang menjadi olahraga kegemaranku. Katanya, penampilan perlenteku bagai kelompok pro kapitalis. Baginya, itu tidak boleh. Sama sekali tak nasionalis. Tak empati dengan saudara setanah air yang saat ini sedang hidup memprihatinkan. Kebutuhan akan minyak tanah untuk memasak saja mengantri.

Ya... aku terima pendapat Lestari. Aku suka dengan pemikirannya. Aku suka dengan semua hal yang melekat di dirinya. Aku mencintainya.

Sulit mencari Lestari di tengah kerumunan orang di dalam kereta. Kucoba melongok dari satu jendela ke jendela lain, tetapi tak kutemukan sosok Lestari. Kira-kira, gadis kampung yang begitu memesonaku itu duduk di gerbong kereta yang mana?

Ya... walaupun berasal dari kampung, tetapi aku mencintainya. Kami pertama kali bertemu ketika kampusku mengadakan seminar mengenai peran perempuan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Lestari yang waktu itu pertama kali datang ke Semarang adalah salah satu peserta berwajah polos. Tak banyak hal tentang dunia yang dia tahu. Namun, berjalannya waktu, pemikirannya berkembang. Dia dikader budenya yang tinggal di Jakarta dan aktif di organisasi perempuan, sebuah organisasi yang kabarnya terlibat dalam malapetaka itu.

Kereta berjalan. Aku berusaha mengikutinya dari trotoar pinggir stasiun. Begitu sampai di tepian, aku hanya bisa memandang kereta dari belakang.

Kereta itu berjalan semakin jauh dari pandangan.

Di saat itulah, aku melihat sosok Lestari.

Rupanya, Lestari memilih berdiri di bagian belakang kereta. Tepatnya, di beranda gerbong belakang.

Dan kau tau apa yang Lestari perbuat di sana?

Lestari merobek kertas yang kuberikan padanya tadi, kertas berisi alamatku yang dapat dijadikannya termpat berlindungnya. Dia robek sampai bentuknya kecil-kecil. Robekan-robekan itu terurai di udara. Berpencar. Seolah menegaskan bahwa aku tak diberi kesempatan untuk berpartisipasi melindungi nyawanya, minimal menyediakan tempat untuknya berlindung dari kejaran tentara.

Bagaimana ini? Aku tak tahu Lestari akan pergi kemana, tetapi dia juga sudah tak berpegang dengan alamat rumahku.

Itu tandanya... kami tak dapat bertemu lagi.

Aku sendiri tidak tahu. Dia sempat membaca tulisanku di kertas itu atau tidak. Akan tetapi, melihat dari mimiknya yang dingin, kelihatannya dia belum membacanya.

Melihat apa yang Lestari lakukan barusan, senyumku menyusut. Mulutku sekejap meneriakan namanya. Kencang! Teriakanku menerobos udara pagi. Memecah kedamaian.

Namun, tak ada apresiasi dari Lestari. Dia berlalu begitu saja. Seolah tak bertanggung jawab dengan karunia besar Tuhan yang bertumbuh di hatinya, di hati kami berdua. Seolah Lestari menghakimi bahwa perasaan yang berkembang di hatinya itu salah, dapat membahayakan nyawaku, sehingga dia harus melepas dan melupakanku.

Dasar Lestari Bodoh! Apa dia lupa bahwa ada elemen bernama pengorbanan di dalam cinta?

Dan, itulah yang sedang kucoba untuk mewujudkannya!

Kucoba untuk bersedia mengorbankan nyawaku demi melindunginya.

Apa dia tak mengerti?!

Pada detik itulah, pukul 05.55 pagi, pada tanggal 17 November tahun 1965, aku mulai tahu bahwa cinta tidak selalu menjadi energi yang terbentuk, dirasakan, dan dikembangkan oleh dua orang.

Cinta terkadang bersifat egois dan bertolak belakang. Dia tidak tumbuh searah di kedua hati sepasang kekasih, tetapi bertolak belakang di hati masing-masing dari sepasang itu.

Misalnya, aku yang egois mengorbankan nyawaku demi melindungi Lestari dari orang-orang berseragam itu.

Atau Lestari sendiri yang egois merobek kertas lantaran tak ingin aku terlibat dalam malapetaka orang-orang berseragam itu. Salah-salah, aku yang diciduk.

Pokoknya, cintaku ingin pergi melindunginya tetapi cintanya ingin pergi melindungiku. Tak ada yang berkenan menetap.

Semuanya berbanding terbalik. Aku atau pun dia saling berlomba-lomba memberi, mengorbankan, dan membuktikan cinta masing-masing. Dengan begitu, berarti, terkadang, satu buah pengorbanan cinta seseorang bisa membatalkan pembuktian cinta pasangannya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)