Masukan nama pengguna
"Armenzorg yang dimiliki oleh keluarga besar ibunya di Eropa sudah banyak menolong orang miskin, orang tua jompo, dan anak-anak yang kehilangan orang tua karena perang dunia. Katanya, sekarang dia mau mencoba membuka yayasan sosial seperti itu lagi di tanah Batavia ini," tunjuk Aris kepada seorang wanita muda blasteran Belanda yang baru saja memasuki rumahnya di seberang jalan sana. Di tangan wanita berambut cokelat panjang itu, ada sekantung beras sekilo dari sebuah toko Jepang Banzai yang kuketahui terletak di perempatan jalan sana. Aku bisa tahu bahwa kantung itu adalah sekilo beras karena ibu sering berbelanja kebutuhan sehari-hari di toko yang sama. Kalau tahu ada wanita secantik ini berbelanja di toko yang sama dengan ibu, aku tak akan menolak menemaninya berbelanja di pagi hari, kemudian lebih memilih menulis berita seraya duduk ngopi di kedai milik Aris, sahabatku yang sama-sama seorang priai rantau di tanah Batavia ini.
Aku memandangi rumah tingkat dua wanita Belanda itu tanpa berkedip. "Hmm... siapa namanya?" tanyaku seraya menyeruput secangkir kopi.
"Namanya Clara van Gaal. Ibunya adalah Loesiana van Gaal. Ayahnya adalah salah satu bankir di Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank. Lahan yang akan dijadikan Armenzorg itu berada di sebelah toko kelontong Jepang bernama Banzai. Kau tahu lahan kosong itu, kan? Yang tadinya rumah seorang pianis Prancis yang katanya sudah kembali ke negaranya," terang Aris selengkap petugas sensus.
"Sudah berapa tahun keluarga Belanda itu tinggal di sini?" aku masih memandangi rumah tingkat dua itu. Dindingnya putih bersih.
"Sudah lama. Sejak rumah mereka hanya satu tingkat. Itu yang membangun menjadi dua tingkat begini adalah para tetangga. Arsiteknya kalau tak salah dari relasi keluarga Gaal juga, sesama orang Belanda."
"Lengkap sekali ceritamu," ledekku yang menduga jangan-jangan Aris menaksir Clara.
Ah! Bagaimana ini?
Aku juga naksir Clara.
Hahaha....
Bersaing cinta dengan sahabat itu menyenangkan atau menyebalkan?
Aris menggelengkan kepala, "Aku tahu diri. Gadis Belanda itu akan menemukan pria yang lebih baik dariku. Lagipula, aku tahu cerita selengkap ini dari para pelanggan tempat ngopiku yang kebetulan turut menjadi tukang bangunan rumah keluarga Gaal menjadi dua tingkat. Sudah sekitar lima tahun lalu."
"Yaaaa..... Yaaaa.... Yaaaaaa...," aku menggeleng-gelengkan kepala, menunjukkan tak terlalu minat dengan cerita Aris.
Hanya menunjukkan tak terlalu minat saja, bukannya muak menyimak.
Sambil meneguk secangkir kopi di sebuah kedai pribumi ini, aku masih saja memperhatikan rumah tingkat dua milik keluarga Gaal yang megah itu. Memang keberadaannya sangat mencolok karena berada di tengah kedai kopi seorang pribumi, restoran mie seorang peranakan Cina, toko pakaian seorang Arab, atau rumah penduduk pribumi yang ala kadarnya. Sekilas mungkin menyulutkan kesirikan dari segi kesenjangan ekonomi. Namun, satu hal yang membuatku takjub, justru keluarga mereka dapat hidup berdampingan dengan orang-orang yang berbeda dengan mereka. Kalau aku ingin menyimpulkan, bisa jadi kebaikan hati keluarga Gaal yang membuat hidup mereka aman. Sungguh berbanding terbalik dengan tetanggaku yang seorang dokter Belanda. Suatu hari, dia ditemukan tewas dalam keadaan tertusuk pisau bedahnya sendiri dengan rumah yang setengah terbakar karena amukan massa.
Aku sendiri yang hanya seorang jurnalis muda berusia dua puluh dua tahun tak dapat berbuat apa-apa selain menuliskan peristiwa ini di surat kabar. Ayahku yang seorang pegawai percetakan surat kabar hanya bisa menontoni para tetangga kala mereka menyerang rumah dokter tersebut, sedangkan ibuku yang pernah menjadi pasien sang dokter menyayangkan tindakan pasif ayah. Untungnya, lama-lama ibu sadar bahwa ayah juga berhak melindungi dirinya.
Usut punya usut, akhirnya aku tahu mengapa rumah dokter Belanda itu diserang oleh para tetangganya sendiri yang mungkin pernah juga diobati seperti ibuku. Di waktu yang bersamaan, tersebar isu bahwa rumah sakit Batavia yang menjadi tempat dokter itu bekerja mengeluarkan keputusan untuk memberikan pelayanan kelas dua kepada para pribumi. Ruang istimewa dan kelas satu hanya diperuntukan bagi warga Belanda asli. Beberapa pasien pribumi yang sudah dirawat di ruang istimewa atau ruang kelas satu rumah sakit katanya dipaksa pulang. Belakangan, ayah mengatakan bahwa para pasien yang dipaksa pulang sebenarnya adalah mereka yang dianggap sudah membaik atau ada pula yang memang sudah tidak bisa membayar, bukannya mengusir.
Aku sendiri tak mengerti harus berpihak pada sisi yang mana. Kabar dua sisi yang dikatakan ayah juga tak menghasilkan kesimpulan keberpihakan. Lelaki paruh baya itu hanya memaparkan fakta yang dia ketahui setiap kami makan malam bersama di rumah. Sepiring nasi dan empal goreng sudah begitu nikmat bagiku. Mungkin karena ketika mengunyah makanan itu, otakku sedang berpikir keras menyimak cerita ayah, sehingga kunyahan di mulutku mungkin mengandung ilmu pengetahuan yang turut mengenyangkan perut.
"Jangan pernah kau membenci suatu kelompok atau golongan hanya karena kau membenci salah satu di antaranya. Sebaliknya, sangat bertanggung jawablah dengan apa yang kau lakukan dan tuliskan karena perilaku satu orang bisa merusak nama baik kelompok," papar ayah di meja makan setelah peristiwa kematian dokter Belanda itu. "Memang yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda di tanah kita ini tak berkeprimanusiaan. Sudah banyak perang meletus dan banyak orang tewas karenanya. Namun, bisakah yang kita benci itu adalah orang yang hanya melakukan saja? Bukan seluruh orang Belanda?"
Pesan-pesan ayah sudah biasa kudengar sejak kecil. Tanpa kusadari, aku tumbuh sebagai orang yang melihat semua manusia pada akhirnya sama saja. Justru, perbedaan adalah awal dari pembelajaran yang dapat membuka pola pikir yang lebih luas. Memang pada akhirnya, kita memilih untuk berada di sekitar orang yang baik dan sepemikiran dengan kita, tetapi bukan berarti yang berbeda itu dimusuhi dan dibenci.
Contohnya Clara, seorang manusia yang baru kulihat sosok dan kudengar namanya hari ini. Aku cukup senang dia bisa hidup damai berdampingan dengan perbedaan di sekitarnya. Dia sendiri tampak menjungjung tinggi nilai kemanusiaan, dan tak pandang bulu terhadap siapa saja yang harus diberikan kebaikan. Kalaupun benar jika dibalik kebaikannya ini ada maksud terselubung atau diboncengi kepentingan kolonialisme pemerintah, kurasa saatnya kita introspeksi diri bagaimana melakukan hal sosial seperti dirinya, tetapi bebas kepentingan pemerintah Hindia Belanda. Jadi, bukannya malah menghalangi Clara untuk berbuat baik.
"Ilmu pengetahuan barat memang lebih maju daripada timur, tetapi kebudayaan dan adat istiadat timur lebih mendasar. Tak ada yang lebih baik dan lebih kurang. Ujung-ujungnya, manusia harus saling belajar sampai mendekati kesempurnaan," tiba-tiba, aku melontarkan kata-kata yang pernah dilontarkan ayah. Mendengar ocehanku, Aris berhenti menyedu kopi. Namun, aku tetap melanjutkan kata-kataku, "kala tengah mendekati kesempurnaan pun, jangan berpikir bahwa diri memang sudah sempurna. Karena pada dasarnya, kesempurnaan hanya milik Tuhan,"
"Kau kenapa?" Aris kelihatan bingung. Kepalanya celingak-celinguk ke arahku dan ke rumah Clara. "Hanya melihat Clara, topik pembicaraanmu jadi tak seperti biasa,"
"Sebenarnya, keseharianku di rumah memang membicarakan hal yang tak biasa. Tulisan yang aku tulis di surat kabar juga tentang topik-topik yang memutar otak," jawabku seraya mengambil sebuah pisang dari tengah meja, "hanya saja, ketika aku sedang berada di luar rumah dan berbincang dengan teman sepertimu ini, aku menyesuaikan topik pembicaraan. Tak mungkin aku tiba-tiba membicarakan sesuatu yang tak sesuai atau tak disukai teman lain,"
"Yaaaa, padahal awal pembicaraan kita adalah tentang Clara," Aris menggaruk-garuk kepala, "kau tahu, kau bukan orang pertama yang kuceritakan tentang Clara. Sudah ada tiga kawan laki-laki sebelumnya yang kuceritakan tentang Clara."
"Lalu? Apa hubungannya denganku?" aku merasa mual saat mengunyah pisang. Secangkir kopi dan sebuah pisang apakah perpaduan yang kurang pas di dalam perut?
"Ketiga teman lelaki yang kuceritakan, rata-rata bertanya apakah Clara sudah punya kekasih, berkomentar tentang kecantikannya, atau mencari tahu bagaimana caranya untuk membantu Clara membangun Armenzorg agar lebih dekat dengannya. Berbeda dengan reaksi kau ini. Kau malah bawa-bawa nasihat-nasihat ayahmu tentang perbedaan. Kau tahu, terkadang kau aneh, tetapi justru keanehan itu sendiri yang membuatku senang dan bertahan untuk menjadi kawanmu."
Aku menjentikkan jari, "Terkadang, aku suka berpikir bahwa pemikiran ayah juga berkembang karena pekerjaannya di percetakan. Setiap hari, ayah katanya membaca surat kabar yang baru dicetak dan akan dibagikan seantereo Batavia. Banyak juga penulis Belanda di surat kabar itu yang menjungjung hak hidup layak kepara pribumi."
"Tapi, ngomong-ngomong, penjajah memang jahat sekali," bisik Aris, "pamanku ada yang kakinya tinggal satu karena terkena lemparan granat penjajah ketika perang."
"Aku kan tak bilang kalau penjajah itu baik?" belaku. "Aku hanya bilang bahwa jangan sampai rasa benci kita kepada mereka mendorong rasa kita ingin membunuh mereka. Takutnya, orang Belanda yang tewas dihakimi massa begitu justru yang mungkin malah peduli dengan pribumi. Kalau sebenarnya orang Belanda itu pura-pura baik pun, itu urusan mereka."
"Ya, ya, ya," kini giliran Aris yang kelihatannya ingin menyudahi percakapan. Tatapan matanya sayu, menunjukkan kebosanan akut. "EH?! Coba kau lihat! Coba kau lihat!" sampai akhirnya, matanya kembali membelalak. "Clara keluar lagi!" serunya kegirangan.
Aku segera menoleh ke arah rumah tingkat dua nan megah itu. Clara memang melenggang keluar dengan topi bundar merah muda yang senada dengan gaun berok panjangnya. Wajahnya memang secantik peri.
"Aku akan coba berkunjung ke yayasannya jika nanti sudah jadi. Misalnya, aku purs-pura ingin menuliskan beritanya di surat kabar," tegukan terakhir secangkir kopi menggerakanku untuk meninggalkan beberapa kepingan uang logam di atas meja.
"Banyak sekali uangnya?" Aris baru saja menyelesaikan minumnya.
"Untuk dua cangkir kopi."
"Untuk apa? Tempat ngopi ini kan punyaku. Harusnya aku yang mentraktirmu seperti biasa." Aris mengikutiku untuk bangkit dari kursi.
"Ya sudah. Untuk cerita," jawabku seraya menepuk bahunya.
"Cerita bagaimana?"
"Cerita tentang Clara,"
"Oh, kalau itu, tak cukup hanya segini. Hahaha," tawa Aris seraya menunjuk kepingan uang logam di atas meja.
***
Manusia tak boleh banyak berharap. Mungkin kalimat itu cocok disematkan untukku. Sudah kunanti-nantikan sejak lama proses pembangunan Armenzorg milik keluarga Gaal. Rupanya, pemerintahan Hindia Belanda merubah keputusan mereka dengan tak mengizinkan pembangunan yayasan tersebut dengan alasan yang tidak jelas. Toko Jepang Banzai di sebelahnya pun tutup. Baru saja aku mencari jalan lain agar dapat berkenalan dengan Clara, keluarga Gaal rupanya kembali ke Belanda melalui perjalanan laut.
Awalnya, aku menyayangkan kepergian keluarga Gaal. Sampai akhirnya, Jepang datang dan menggeser kedudukan pemerintah Hindia Belanda. Banyak warga Belanda di Batavia yang ditangkap, diculik, dipenjarakan, bahkan dibunuh. Semua berlalu dengan begitu cepat. Begitu tak terasa. Tak sebanding dengan tegukan secangkir kopi yang kunikmati setiap pagi bersama Aris.
"Rumah keluarga Vaal sekarang jadi mirip rumah hantu jika malam hari datang. Tak berpenghuni," di suatu pagi, suara Aris sahabatku kembali meramaikan tegukan secangkir kopiku.
"Apa rencanamu setelah ini?" tanyaku pada Aris. Sejak kedatangan Jepang, aku merasa hampir semua orang merevolusikan kesehariaannya. Maaf jika kata-kataku sulit dicerna. Maksudku, sejak kedatangan Jepang, setiap orang mulai merubah kesehariaanya. Ibu cerita, tetangganya yang seorang pribumi kaya mengeluhkan anaknya tertekan di sekolahnya karena harus merubah kebiasaan diri dari berkomunikasi dalam bahasa Belanda ke bahasa Jepang.
"Kau tanyakan rencana kepadaku? Kau meledek?" Aris menyeringai. "Apapun yang terjadi, aku tetap duduk mengelola tempat ngopi ini,"
"Aku salah bertanya padamu yang kulihat sudah bahagia karena berjualan kopi begini," aku membuang wajah dan mengembalikkan perhatian dan pandanganku ke rumah kosong keluarga Vaal. "Eh?" aku malah tertegun kala melihat seseorang membuka pagar dan memasuki rumah kosong itu. "Ada orang berbaju tentara yang masuk ke sana?"
"Oh, iya, aku belum cerita padamu," seperti biasa, Aris kelihatannya mengetahui segala informasi. "Lupakan saja Clara!" tatapannya begitu berbinar. "Ada topik baru yang seru untuk diceritakan. Namanya Yukiko! Dia adalah gadis yang kau lihat memasuki rumah kosong itu."
"Yukiko? Dia seorang perempuan? Mengapa menggunakan baju tentara?"
"Kudengar dia adalah anak seorang jendral Jepang yang dibunuh di sebuah peperangan Asia Timur sana. Makanya, dia jadi tentara untuk melanjutkan perjuangan ayahnya, meski mungkin tak legal. Hanya menambahkan tenaga di kesatuan tentara, tetapi mungkin tak ada pangkat."
"Aku tak suka wanita yang berambisi dan kelihatannya penuh dendam seperti Yukiko," benakku masih menempatkan Clara si malaikat sebagai wanita yang kusuka.
"Bukan itu yang menjadi perhatianku," suara Aris tiba-tiba mengecil, "kemarikan telingamu!" dia bersiap ingin membisikkan sesuatu padaku, "kalau kau perhatikan wajah Yukiko, pasti sudah tak asing lagi."
"Tak asing?" aku merengutkan dahi.
"Kalau kau ingat wajah pemilik toko Banzai yang sering memberikan beras kepada Clara karena tahu gadis Belanda itu senang membagikan makanan ke orang miskin, Yukikolah orangnya!"
"Hah?" Mataku langsung terbelalak.
"Semua pedagang di toko Banzai itu, sebenarnya tentara. Mereka mata-mata di Batavia selama ini," terang Aris.
"Kau tahu darimana?" aku merasakan bulu kudukku bergidik.
"Ibuku yang sering berbelanja di Toko Banzai. Coba kau tanya ibumu! Jangan-jangan berita ini juga sudah didengar olehnya." Dunia berotasi dengan cepat. Setiap hari ada saja berita yang dibawakan oleh Aris. Mungkin esok hari, aku harus ngopi lagi di sini, mencari tahu tentang manusia-manusia baru yang diceritakan Aris.
Armenzorg = Semacam yayasan sosial