Masukan nama pengguna
Tak terasa, tahun naga akhirnya tiba juga.
Sang Naga Air Biru yang selama ini tertidur pulas, pada akhirnya, dibangunkan oleh molekul air dan buih.
Ikan-ikan dan biota laut lainnya pun menyambut kesadaran Sang Naga Air Biru. Semuanya menyambut dengan suka cita dan penuh harapan.
Harapan itu sendiri berarti penilaian Sang Naga Air Biru akan penjagaan manusia, makhluk yang konon dituliskan oleh berbagai kitab suci sebagai makhluk yang paling berakal.
Lantas, penjagaan manusia terhadap apa?
Tentu saja penjagaan manusia terhadap hamparan laut.
Namun, tampaknya, tahun ini Sang Naga Air Biru kecewa dan marah.
Sampah, polusi dari proses peledakan ikan, minyak, dan zat lainnya mengotori air laut.
Membawa amarah, Sang Naga Air Biru pun berenang menuju permukaan air laut.
Diantar ombak, Sang Naga Air Biru menghampiri manusia di Desa Pesisir alias Desa Naga Air.
Sang Naga Air Biru tambah mengamuk begitu melihat jajaran rumah ya g dibangun padat di bibir pantai. Tak hanya adanya penebangan pohon, tetapi juga ketidakseimbangan ekosistem. Bagaimana jika abrasi pantai terjadi?
Di saat inilah, Donghai, si Pelaut yang diutus kepala desa mencoba untuk bernegosiasi dengan Sang Naga Air Biru.
"Ayah dan Ibu merelakan engkau berlayar ke laut," Ayah Donghai yang seorang nelayan mendekap erat anak laki-laki satu-satunya. Tak dipinta, air mata pasti meleleh membasahi pipi. Lelaki tua renta ini tak akan tahu apakah pertemuan dengan anaknya ini adalah kali terakhir.
Di tepi pantai Desa Naga Air, Donghai berpamitan kepada kedua orang tuanya. Kapal kayu yang dibuat oleh ayah dan beberapa kerabatnya sudah berada di bibir pantai. Nantinya, kapal inilah yang akan menemaninya bernegosiasi dengan Sang Naga Air Biru.
Mungkin kata "bernegosiasi" memang lebih pantas dibandingkan "berhadapan", apalagi "bertarung". Hal ini dikarenakan ada kesempatan Sang Naga Air Biru untuk berlaku baik pada warga desa dan pergi kembali ke dasar laut.
Semuanya tentu saja tergantung bagaimana manusia menjaga keasrian laut mereka.
Setelah dekapan sang ayah terlepas, giliran ibu Donghai yang tak kuasa menahan kesedihan. Refleks, dipeluknya kuat-kuat lelaki berambut panjang hitam lurus itu. Parasnya yang tampan sesungguhnya begitu sayang jika harus dijadikan tumbal. Apalagi, tampaknya tahun ini, Sang Naga Air Biru tak menunjukkan kepuasaannya terhadap perlakuan manusia terhadap keseimbangan laut.
"Donghai! Putraku tersayang!" seru Ibu Donghai yang seorang pengrajut jala. Seminggu terakhir ini wanita tua berambut putih ini tak bisa tidur. Dia tahu bahwa ketika tahun naga tiba, dia harus merelakan anaknya untuk pergi.
Pergi untuk kembali.
Atau pergi untuk selamanya.
"GRRRRR!" amukan naga sampai mendorong air laut untuk menggulung dan mendatangkan ombak besar. Buih yang terseok pasir tak tergerak karena angin, tetapi oleh pergerakan Sang Naga.
"Ayah, Ibu, Dong Hai pamit," ungkap Dong Hai seraya merundukan badan.
Ayah dan Ibu Dong Hai tentu saja masih dalam keadaan menangis. Di samping mereka berdua, Bapak Kepala Desa berdiri gagah dan menganggukan kepala. Seolah, orang nomor satu desa itu berkata, "Berangkatlah!"
Pekikan Sang Naga Air Biru sungguh merusak pendengaran. Namun, bagai Dong Hai, suara itu bukanlah sesuatu yang harus ditakutkan, tetapi harus direnungkan. Semua itu adalah ungkapan kekecewaan.
"Maafkan kami," bisik Dong Hai seraya melangkahkan kaki menaiki kapal. Ucapan maaf ini, bukan hanya diperuntukkan bagi Sang Naga Air, tetapi juga semua elemen semesta, khususnya lautan beserta isinya.
Pada saat ini, Dong Hai berangkat bersama salah satu rekan nakhoda. Dia pun sebenarnya siap mati pula jika terjadi sesuatu pada kapalnya.