Flash
Disukai
1
Dilihat
14,333
Girl Talk
Drama

"Sis, aku batal nikah sama cowokku. Dia baru cerita jujur sama aku kalau tertarik sama temen kantornya. Jadi, duit buat sewa gedung, aku pakek traveling dan party tahun baru aja! Pokoknya hidup sebebas-bebasnyalah!" Di malam tahun baru kemarin, empat sahabat "sista-sista-ku" bercerita tentang perjalanan cinta mereka. Kebetulan, di antara kami berlima, hanya aku yang baru menikah dan kini sudah memiliki tiga orang anak. Si sulung sudah berusia delapan tahun. Sehabis lulus kuliah dan menjadi pegawai negeri sipil sepuluh tahun lalu, aku menikah.

"Aku mau cerai sama suami aku," ungkap sahabat keduaku, "Aku sudah bodo amat enggak dapet gono-gini, tapi dia berusaha ambil hak asuh dua anak kita. Aku bilang enggak bisa karena dia yang selingkuh, tapi dia pakek alibi kalau aku sekama ini enggak kerja. Jadi, dia harusnya enggak bisa bawa anak-anak. Tahu gitu, aku dari dulu kerja. Mana tahu aku kalau kita bakal cerai."

Giliran sahabat ketigaku yang bercerita, "Aku ketemu lagi sama mantan cowok pertamaku gitu, tapi sebenernya sekarang dia udah nikah juga kayak aku. Anak kita sebaya juga. Terus enggak tahu, nih, aku ngerasa banyak sifat dia yang enggak ada di suami aku. Dia tuh orangnya lovely, hangat, humoris, suka muji penampilanku. Kadang tuh sebagai perempuan, kita enggak hanya butuh laki-laki yang baik doang. Baik tapi enggak ada sparkling di hati buat apa?"

"Hoo begitu, ya?" senyumku terlalu memaksa kala menanggapi sahabat ketigaku bercerita.

Meski auranya lebih berbunga-bunga daripada yang lain, sahabat ke empatku ternyata tak juga memberikan cerita yang seratus persen menyenangkan, "Aku mau dilamar cowokku bulan januari ini. Dua Tiga minggu lagi,"

"Waaah, selamat!" seruku tak menutupi seratus persen kebahagiaanku. Akhirnya, ada satu orang yang akan menyusulku untuk menikah di lingkup pertemanan ini.

"Tapi, aku kok malah stress gitu, ya?" tambah sahabatku keempat ini, "Apa jangan lamaran dulu?"

"Hah?" senyumku refleks surut.

Sahabat keempatku melanjutkan argumennya, "Aku jadi takut kebebasan aku hilang. Februari misal kita nikah, maret andaikan aku udah hamil, april jadinya aku hamil sebulan, mei dua bulan, juni tiga bulan, juli empat, agustus lima, september enam, oktober tujuh, november delapan, desember lahiran, terus Oh My God! New year party next year, berarti aku lagi nyusuin di depan kalian semua."

"Ada yang salah dengan itu?" komentarku, "Kan bisa dipompa di rumah terus ketemuan sama kita. Atau, nanti kamu bisa aja malas sendiri ninggalin anak."

Keempat mata sahabatku seketika menyorot tajam kepadaku, "Kalau kamu ada cerita apa? Kayaknya enggak ada masalah buat rumah tangga kamu, ya?"

Aku hanya menyunggingkan senyum, "Masalah sih setiap hari pasti ada, tapi, ya, enggak ada yang bisa kita lakukan selain menghadapinya, kan? Seninya menikah dan berumah tangga kan justru di situ, menyatukan dua kepribadian yang berbeda,"

"Tapi kamu tidak sampai cerita masalahmu ke kita! Berarti memang tidak ada masalah!" timpal salah satu dari mereka lagi, "Atau kamu berpikir, kita enggak bisa nanggepin cerita kamu yang kompleks karena belum ada di posisi kamu. Jadi kamu diem aja, ya?"

"Ih, enggak gitu. Hahaha," tanggapku berusaha santai.

Sampai akhirnya, suamiku menelepon. Aku langsung merogoh tasku dan mengangkatnya, "Halo, Sayang?"

Rupanya suamiku bertanya ingin dijemput jam berapa. Suamiku sendiri memberikan kebebasan bagiku perihal waktu dijemput. Apalagi, aku memang sudah lama juga tak bertemu keempat sahabatku.

Karena diri suamiku yang sesabar itu, aku jadi tak tega jika suamiku harus menjemputku lebih malam lagi. Apalagi, besok suamiku harus bekerja pagi-pagi.

Mendengar curahan hati para sahabatku yang belum menikah, aku tak dapat mengatakan bahwa diriku yang sudah menikah ini lebih tak bebas mengambil keputusan daripada mereka atau sebaliknya, aku beranggapan lebih beruntung dari mereka. Namun, saling bertukar cerita seperti ini tentunya menambah pemikiran dan introspeksi diri sendiri.

Sekilas, mungkin pernikahan atau rumah tangga bagaikan tonggak belenggu yang menerbataskan diri. Akan tetapi, bagaimana kalau keberadaan di titik ini justru mendatangkan ketenangan batin dan muara suatu tujuan hidup? Memang akhirnya, tergantung dengan siapa kita membinanya.

"Kalau kamu yakin sama cowokmu yang sekarang, kamu kalau dilamar hari ini, besok nikah, minggu depan hamil juga kamu sudah siap dan serahkan semuanya kepada Tuhan," di antara keempat sahabatku, aku pertama kali menanggapi cerita sahabatku yang terakhir alias yang keempat.

"Kalau gitu, aku harus banyak berdoa, ya?" tanggap sahabatku yang keempat.

"Kalau soal hak asuh anak, gimana, ya?" tanya sahabatku yang kedua.

"Fight dan jangan putus berdoa! Mulai mencari pemasukan selain dari suami!" seruku seraya mengusap punggung tangannya, memberikan kekuatan.

"Kalau aku, enggak apa-apa seneng-seneng traveling penuh kebebasan karena batal nikah, kan?" tanya sahabatku yang pertama.

Aku menghela napas panjang dan berkata, "Enggak apa-apa. Sambil berdoa agar hatimu tetap ada di jalanNya. Semoga bertemu yang lebih baik."

Aku melirik sahabatku yang ketiga, "Aku tahu berat membunuh perasaan cinta yang salah dan terlanjur sudah mengakar di hati, tapi ingatlah bahwa pernikahan itu adalah ibadah dengan janji sucinya langsung kepada Tuhan. Jadi, kalau bisa, kita jangan mengganggu ibadah orang lain," sambil mengatakan hal ini, kupeluk sahabat ketigaku. Saat ini pula, tangisnya meledak. Dalam posisi seperti ini, memang dukungan dari orang-orang sekitar sangat diperlukan.

Kudoakan dalam hati agar keempat sahabatku menemukan kebahagiaannya masing-masing. Aku tak mendoakan mereka untuk cepat berada di posisiku atau bagaimana. Karena pada akhirnya, kebahagiaan itu datang bisa dari berbagai aspek. Kalau pun ada di posisiku, diri harus siap lahir dan batin. Satu lagi, memang pada akhirnya, tiap pribadi mengembalikannya lagi pada Tuhan.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)