Masukan nama pengguna
"Agar Ibu tak curiga, Bapak meminta saya mengambil dasi cokelat garis-garis yang tertinggal dari kamar Anda," ucap seorang pria yang berdiri tenang di ambang pintu kamar hotel. Tak berseragam. Hanya kemeja hitam dan kamera tergantung di leher. Sebut saja dia… Fotografer Partai. Dari lantai 29, pemandangan Ibukota di malam hari penuh semarak lampu gedung dan kendaraan bermotor, bagikan ratusan exposure panjang di mata sang fotografer yang terlatih. Namun malam ini, matanya tak sedang bekerja. Ia sedang menahan ingatan yang terlalu jernih untuk diburamkan waktu. Wanita itu, calon istri muda Bapak, tak menjawab. Ia hanya menatap sang Fotografer Partai. Ia diam, seperti selembar foto lawas yang menyimpan terlalu banyak kisah. Tubuh mereka mengingat kisah lama yang tersimpan rapi di balik setelan, protokol, dan posisi. Sekian detik pandangan keduanya beradu. Tak berani beringsut menjadi sekian menit. Detak jam dinding lebih nyaring dari detak hati. “Baik. Akan saya ambilkan,” ucap sang wanita, nyaris berbisik. Suaranya seperti cahaya yang nyaris padam di ujung malam, "Ini," tak berapa lama, ia memberikan dasi itu kepada sang fotografer. “Terima kasih,” jawab sang fotografer datar. Ia memalingkan wajah, lalu melangkah di lorong hotel berbatu marmer menuju lift. Wanita itu hanya bisa menatap punggung sang fotografer. Punggung itulah yang dahulu ia peluk saat masih bisa saling memanggil bebas dengan nama. Sang wanita tak tahan. Dengan langkah cepat, sang wanita mengejar sang fotografer. Lalu, refleks memeluk dari belakang. Begitu erat, diam-diam, dan penuh rindu. Sang fotografer membeku bagaikan terkena blitz kamera. Matanya refleks melirik ke arah CCTV di atas lift. Di ruangan lain, layar LCD menampilkan kejadian itu. Bapak menonton. Dingin. Ia memincingkan mata. Rahangnya mengeras. “Ternyata benar. Sesuai dugaan kami, Pak,” bisik seorang staf. Kembali ke depan lift. Dalam diam, sang fotografer partai memegang tangan sang wanita yang masih melingkar di pinggang bidangnya. Lalu, ia berkata dingin, "Saya bukan Bapak," kemudian, dia berbalik menghadap sang wanita itu, "Saking merindu di tengah kesibukan Bapak, Anda sampai salah memeluk orang?" Sang wanita tercekat, sedangkan sang fotografer mundur perlahan, memasuki lift, dan menghela napas. Tatapan mereka berdua kembali bertabrakan. Namun, malam terlalu sempit untuk menampung rindu yang tak sempat difokuskan. Sungguh dingin, sunyi, dan getir. Pintu lift menutup. Sang wanita terpaku tetap berdiri di sana. Mungkin tengah memeluk kehampaan yang dulunya pernah jadi miliknya, sedangkan kamera yang menggantung di leher sang fotografer sempat menangkap pantulan wajah cantik sang wanita di pintu lift yang mengilap, lantas pilu tak butuh lensa untuk terlihat.