Flash
Disukai
0
Dilihat
4,992
Merah-Merahnya Toko Merah
Sejarah

Batavia 1740

Burung merah kecil dalam sangkar emas itu menarik perhatian Mei Ling. Gadis berusia enam belas tahun bershio naga itu tak bosan-bosannya memandangi mata berbinar burung itu. Setidaknya, makhluk kecil ini adalah alasannya untuk tetap antusias menyambut hari baru.

Awal Mei Ling menyambut hari juga tak selalu pagi hari. Jadwal istirahatnya berantakan karena tekanan dan kebingungan. Contohnya saja hari ini. Dia baru bangun sore hari. Tepatnya, ketika mendengar teriakan menyesakkan dada itu kembali lagi.

"Aaaakgh!" teriakan penuh keputusasaan itu kembali meneteskan air mata Mei Ling. Gadis cantik berambut hitam panjang itu kembali berdoa jika seorang yang barusan dijemput maut bukanlah keluarga, saudara, atau kerabatnya.

Namun, andaikata pun bukan, Mei Ling tetap tak sanggup membayangkan rasa sakit yang pasti menghinggapi orang itu.

"Secangkir teh Sheng Pu'er khusus untuk istriku tercinta," Giovanni van Wirjk sudah hafal betul jika pikiran istrinya mulai beralih ke mana-mana, maka dia akan suguhkan secangkir teh untuk menetralisir kondisi psikisnya.

Bunyi air teh yang dituang ke gelas keramik kecil sempat menenangkan hati Mei Ling. Ditambah kicauan burung merah kecil yang bernyanyi. Mungkin Mei Ling menyenangi binatang kecil itu karena merasa senasib. Dirinya yang semenjak menikah sudah tak bertemu keluarganya dan tinggal di rumah mewah tiga lantai ini bagaikan burung yang berada di dalam sangkar emas.

"Jadi? Kapan Tuan akan mencari tahu keberadaan keluarga saya?" tatap Meiling penuh harap kepada suaminya, Giovanni.

Sekilas cukup janggal mendengar seorang istri memanggil suaminya dengan sebutan 'Tuan'. Panggilan tersebut begitu menegaskan jarak antara keduanya.

Helaan napas Giovanni menunjukkan kebingungan yang telah mendarah daging.

"Aaaaagkh!" dari pagi hingga malam, teriakan-teriakan itu menyapa pendengaran Mei Ling.

Air mata berlinang.

Kicauan burung merah kecil menyembuhkan.

Disusul sapaan penuh cinta kasih dari suami Mei Ling.

Kemudian, tuangan air teh yang menyentuh dasar gelas kecil keramik.

Bunyi-bunyian sederhana itu adalah distraksi terindah bagi Mei Ling.

Semacam meditasi di kuil kaki gunung pedesaan.

"Jadi? Kapan Tuan akan mencari tahu keberadaan keluarga saya?" Entah sudah berapa kali Mei Ling menanyakan hal ini. Tak ada respons dari Giovanni.

BRAG!

Mei Ling menggebrak meja.

"Bagaimana aku bisa tahu bahwa keluargaku selamat atau tidak? Atau orang-orang kongsi dagang VOC sudah mencincang mereka habis dan membuangnya ke sungai?" tatapan Mei Ling kini begitu tajam dan penuh amarah.

PLAK!

Tentu saja, tamparan keras mendarat di pipi Mei Ling.

Merah.

Darah.

Mei Ling terluka di bagian hidung. Dia yang terkejut sampai tertelungkup di tempat tidur berkelambunya. Harusnya dia menyangka jika suaminya yang tak baik-baik sekali ini bisa dengan mudah melakukan tindakan ini.

"JANGAN KAU PAKSA AKU UNTUK MEMBUNUHMU!" teriakan Giovanni memantul di dinding-dinding tinggi dan kokoh rumahnya yang berdinding batu bata merah.

Seorang pelayan berdarah pribumi yang tengah membersihkan pajangan dinding sampai gemetaran. Tuannya jika sudah marah memang seram sekali.

"TAK USAH REPOT-REPOT MEMBUNUHKU! BUANG SAJA AKU KE JALAN DEPAN!" respons Mei Ling untuk kali ini sungguh tak kenal takut.

"DIAM KAU!" Giovanni menjambak rambut Mei Ling.

"Aaaaagkh!" teriakan Mei Ling hampir serupa dengan yang selama ini dia dengar. Bedanya, gadis ini tak sampai tewas.

"Aaaaakgh!" seruan itu tak pernah berhenti. Air mata Mei Ling pun terus jatuh.

"Ayaah, Ibuu," bisik Mei Ling. Dia selalu takut dengan teriakan itu. Akan tetapi, sebenarnya ada apa dengan teriakan itu?

Ya! Teriakan itu berasal dari para penduduk Etnis Cina di Batavia, kota tempat Mei Ling dan suaminya yang asli Belanda ini bertempat tinggal. Karena terus memberontak, sebulan terakhir ini, orang-orang beretnis Cina dibantai dengan cara ditusuk atau dipenggal. Kongsi dagang Belanda VOC atau Vereenigde Oostindische Compagnie sengaja tak menggunakan senjata api untuk menghemat biaya.

Merasa bersalah, Giovanni perlahan mendekati Mei Ling. Dia memang selalu begitu. Setelah berbuat kasar dan kejam, dia bisa begitu berbalik lembut dan baik hati. Setelah berbaik hati, dia bisa otomatis kasar. Sungguh tak jelas kepribadiannya.

"Ma, afkan aku, Istriku," peluk Giovanni begitu erat.

Mei Ling diam bukan karena senang dengan pelukan Giovanni, melainkan dia sendiri sudah takut jika dipukulnya lagi. Jadi, pasrah saja.

"Kau tahu, aku tak kuat dengan aroma darah anyir dan daging busuk di luar jalan sana! Jadi, aku tak bisa mencari tahu perihal orang tua dan keluargamu yang lain." Kemudian, Giovanni melepaskan pelukannya, "Mengapa kau tak bersyukur saja? Kau yang masih bisa bernapas di depanku ini adalah sebuah anugerah besar. Kau bisa selamat, justru karena bersuamikan seorang Belanda sepertiku."

"......," dengan rambut yang sudah acak-acakan, Mei Ling diam seribu bahasa. Sepertinya, dia masih shock.

Dikecupnya dahi Mei Ling oleh Giovanni. Dari dekat, gadis ini memang begitu cantik. Warna hitam rambutnya yang kontras dengan warna kulit putihnya adalah suatu nilai baik untuknya. Giovanni sudah tergila-gila.

"Sebenarnya, semua ini adalah salah kau sendiri," Giovanni kembali berbicara, "Coba kau tak memaksaku mencari keluargamu! Aku tak akan menamparmu! Kau tahu, aku paling jijik dengan bau darah! Makanya, aku lebih memilih menjadi pengusaha daripada tentara."

"Iya, pengusaha," bisik Mei Ling, "Hingga sampai ayahku berhutang dan tak dapat membayar. Aku diharuskan menjadi istrimu."

"Tapi, kau malah selamat, bukan?" Giovanni terus mengelak, "Kalau tidak, nasibmu sama dengan orang-orang Cina di jalan ini. Raganya pun dibuang ke sungai!" Saking marahnya, dia sampai membuka gorden jendela kamarnya. Tampak jelas tumpukan jasad dijatuhkan ke sungai. Badan dan kepala mereka telah terpisah.

"Aku tak ingin melihat!" teriakan Mei Ling sungguh menyayat hati. Dia kembali mempertanyakan apakah ada keluarganya di sana.

"Hooooek!" terdengar suara seseorang mual.Rupanya, suara berasal dari Soemiah, pelayan pribumi Tuan Guovanni.

"Ada apa?!" tanya Mei Ling sembari keluar dari kamarnya, "Jika sakit, berhenti bekerja dahulu!" Meski sebagai nyonya rumah, dia tetap memperhatikan kondisi para pekerjanya.

Pelayan yang sedang membersihkan pajangan rumah majikannya itu menggelengkan kepala, "Maaf, Nyonya. Tadi saya buka jendela untuk menambah udara dingin. Tahunya, saya tercium bau anyir. Saya jadi ingat tadi pagi ketika ke pasar untuk membeli bahan masakan hari ini. Saya tersandung mayat. Banyak di jalan. Sampai sore hari begini, saya masih membayangkan aroma kota yang saya cium. Saya jadi mual."

"Bodoh! Muntah di mana kau?!" bentak Giovanni.

"Belum sempat muntah, Tuan."

Giovanni memberikan peringatan, "Kau bisa kubuang pula ke sungai!"

Mei Ling dan pelayannya yang seorang pribumi hanya beradu pandang. Setelah itu, keduanya tak mampu menyuarakan apa pun. Hanya kicauan burung yang terus terdengar.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)